“Outsourcing”
Minggu-minggu ini, bagi sebagian besar buruh di jabotabek maka kata “Outsourcing” sedang populer-populernya. Bagaimana tidak, akibat kata itulah maka mereka berduyun-duyun berjuang untuk menghapuskannya. Lihat saja, ini salah satu buktinya, unjuk rasa para buruh di kawasan industri MM 2100, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (3/10/2012), sumber Kompas.com.
Bagi pengusaha, maka adanya out-sourcing memang menyenangkan. Bagaimana tidak, mereka dapat berfokus pada hasil. Gak puas, ganti orang lain. Produktivitas, itulah inti out-sourcing. Bagaimana dengan buruh itu agar dapat menghasilkan produk yang berguna, bukan masalah pengusaha, itu masalah perusahaan outsourcing. Gitu khan.
Pembahasan lebih lanjut masalah buruh kita tunda, saya bicara duniaku, dunia pendidikan. Konsep outsourcing sebenarnya telah lama berlaku, sadar atau tidak sadar di dunia pendidikan, yaitu guru lepas atau dosen tidak tetap , yang ditujukan pada guru atau dosen yang dibayar ketika datang mengajar atau memberikan kuliah saja. Untuk perguruan tinggi negeri, dosen yang seperti itu tidak banyak, tetapi pada perguruan tinggi swasta, wah dulu banyak sekali.
Konsep dosen tidak tetap atau dosen lepas tentu sangat menyenangkan bagi perguruan tinggi, maklum dosen dibayar sesuai beban yang dikerjakannya. Jika ngajar maka dibayar, jika sedang libur maka tentu perguruan tinggi tersebut tidak terbebani. Bagi sebagian dosen, kondisi seperti itu tidak menjadi masalah. Maklum, mereka menganggap mengajar hanya hobby atau bahkan sambilan saja untuk menambah status, misal pengusaha dan dosen. Kesannya wah begitu.
Kondisi seperti di atas menyebabkan profesi dosen tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber nafkah. Memang ada sih yang bisa, tetapi umumnya itu dikaitkan dengan jabatan birokrasi yang memang harus ada di perguruan tinggi itu agar dapat disebut universitas. Jadi jarang sekali ada dosen yang benar-benar hanya mengerjakan porsi dosen saja. Itulah kondisi dulu yang aku ketahui, sehingga aku bahkan tidak membayangkan bekerja sebagai dosen.
Dalam perkembangan lebih lanjut, dunia pendidikan di Indonesia semakin maju. Semakin sadar bahwa untuk bisa maju, tidak sekedar prasarana fisik, tetapi juga SDM-nya. Oleh karena itu, mulai ada yang merekrut orang untuk menjadi dosen full-time. Memberi fasilitas dan kesempatan untuk berkembang jadi dosen profesional. Itu berarti perguruan tinggi punya kewajiban memberikan pendidikan lanjut bagi dosen agar berkembang. Tidak sekedar terima hasil, mengajar dan mengajar saja. Untunglah di dunia pendidikan tinggi dikenal adanya Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu mengajar, penelitian – publikasi dan pengabdian masyarakat. Karena itulah maka “dosen tidak tetap” pasti tidak bisa melaksanakan scope di luar mengajar, kalaupun ada maka itu luar biasa, maklum porsi itu khan tidak dibayar.
Konsep di atas didukung lebih lanjut oleh pemerintah, khususnya dengan undang-undang guru dan dosen yang kemudian ditindak-lanjuti dengan sertifikasi dosen. Dalam sertifikasi itu, maka “dosen tidak tetap” tidak diakui. Itu secara langsung menunjukkan bahwa dosen dengan strategi outsourcing tidak disetujui.
Apa bedanya sih dengan kondisi seperti itu.
Keberadaan dosen tidak tetap pada suatu perguruan tinggi, bukan sesuatu yang dapat dibanggakan, khususnya jika dipandang dari sudut akreditasi oleh pemerintah. Saat sekarang suatu perguruan tinggi tidak bisa dengan mudah mencantumkan daftar dosen bergelar doktor atau profesor, yang ternyata adalah dosen tetap di perguruan tinggi lain. Jadi perguruan tinggi yang serius harus berusaha merekrut dosen sendiri dan membinanya hingga punya gelar atau prestasi dosen yang dibanggakan. Konsep seperti inilah yang sekarang sedang digalakkan pemerintah dengan adanya sertifikasi.
Konsep tidak adanya outsourcing dapat terjadi secara sukses di perguruan tinggi karena proses pembinaan dapat berjalan dengan baik. Dengan proses pembinaan yang baik maka diharapkan hasilnya atau produktivitasnya dapat dibanggakan.
Jadi kalau begitu, bapak setuju dong jika outsourcing bagi buruh juga ditiadakan ?
Nah, masalahnya sekarang jika itu (penghapusan atau dilarangnya outsourcing) juga akan diterapkan pada buruh, apakah mereka mau juga dibina sehingga produktivitasnya meningkat. Jika tidak produktif lalu bagaimana. Maklum, perusahaan didirikan khan untuk cari keuntungan bukan lembaga sosial semata.
Pemerintah dan pengusaha suka dengan konsep outsourcing karena dapat memastikan hasil. Jika tidak ada yang dihasilkan, maka ganti buruh dengan yang lainnya (yang mengganti pengusaha outsourcing tentunya). Karena saya yakin, jika memang buruhnya produktif (dapat dipastikan, jangan hanya sebagian kecil) maka pengusaha tentu akan berusaha mempertahankan terus, maklum, itu khan produktifitas. win-win.
Jadi boleh-boleh saja konsep outsourcing dihapuskan, tetapi tentu saja pengusaha diberi mekanisme jika ternyata buruh yang direkrut ternyata tidak produktif (tidak mau dibina). Maklum dosen kalau dikatakan tidak produktif banyak yang malu, sedangkan buruh apakah juga seperti itu. 🙂
Tinggalkan komentar