Respons teman-teman pembaca blog maupun jaringan Facebook terhadap rencana buku yang akan diterbitkan, sangat antusias sekali. Hal itu tentu meningkatkan semangat dan motivasi tinggi bagi penulis. Juga tentunya memberi pengharapan besar bagi penerbitnya. Maklum bisnis mereka tergantung dari kesuksesan buku perdana yang akan terbit ini. Jika sukses, maka kelahiran LUMINA Press akan berkembang untuk menjadi penerbit nasional yang akan mengkhususkan diri pada buku-buku teknik sipil dan buku bermutu lainnya.

Untuk itu, maka langkah awal dan pertama kali adalah menjaga harapan para pembaca tersebut dan membuatnya puas. Jangan sekali-sekali membuatnya kecewa.

He, he, itu tentunya suatu pernyataan yang jarang terdengar dari seorang yang berlatar belakang guru. Tetapi bagi seorang bisnisman maka itu adalah kunci agar konsumennya tidak lari. 🙂

Agar tidak membuat kecewa, maka satu-satunya cara adalah membuat buku tersebut, menjadi buku yang benar-benar bermutu. Untuk itulah, pemikiran-pemikiran ini aku sampaikan sebagai strategi menentukan suatu buku yang bermutu. Sehingga nantinya yang disebut mutu itu tidak bersifat abstrak tetapi dapat ditindak-lanjuti secara nyata.

Bilamana ada masukan yang membangun tentu akan sangat berterima kasih.

Meskipun sudah ada empat (4) buku yang diterbitkan, tetapi akses ke penerbit tempo hari, sangat terbatas. Aku hanya bertugas menulis isi buku, mencari testimoni pakar sebagai strategi pariwara, dan menyerahkannya pada editor. Format, atau ukuran buku juga mengikuti kemauan editor.

Jadi jangan kaget, bukuku tempo hari, baik yang membahas soal SAP2000 atau Visual Basic, semuanya memakai ukuran kertas A5 (14 x 21 cm) atau separo A4 (21 x 29.7 cm).  Jadi ketika dijejerkan bersama dengan buku-buku koleksiku, yang dari John Wiley & Sons, CRC Press, World Scientific, MacGrawHill, maka jelas ukuran bukuku adalah paling kecil. Nggak sebanding. 😦

Buku-buku dari luar negeri ukurannya besar-besar, seperti misalnya buku Cable Supported Bridges – Niels J Gimsing – Wiley, berupa hard-cover ukuran 19.5 x 25.2 cm. Buku Reinforced Concrete Design of Tall Buildings – Bungale S. Taranath – CRC Press, berupa hard-cover ukuran 18.2 x 26 cm. Buku Stability of Structures – Zdenek P. Bazant – World Scientific, berupa soft-cover berukuran  16.6 x 24.7 cm. Nah jelas khan, buku karanganku adalah yang paling kecil.

Kertas dari buku luar negeri yang jadi koleksiku, juga sangat bagus-bagus. Tidak sebanding dengan kertas yang dipakai pada buku karanganku, yang hanya memakai kertas HVS. Setelah aku mencoba mengetahui macam-macam jenis kertas, maka kuketahui bahwa kertas HVS itu cocoknya bukan untuk buku, tetapi untuk kertas tulis. Itu tipe kertas yang belum dilapis (uncoated), sehingga mudah menyerap air. Kertas HVS dipilih karena relatif dapat diterima (masyarakat terbiasa dengan kertas fotocopy) dan murah.

Tentang kertas, rasanya aku belum melihat ada buku teknik sipil cetakan Indonesia yang mempunyai kualitas sama dengan buku luar. Buku umum saja seperti buku Steve Job – Walter Issacson – Bentang, ukurannya 15.5 x 23.5 cm. Menurutku lebih bagus dari bukuku yang dicetak, buku tersebut mempunyai tebal 4.3 cm untuk jumlah sekitar 740 halaman. Kertasnya bukan HVS tetapi agak kekuning-kuningan. Katanya kertas tersebut lebih baik dari kertas HVS. Untuk macam kertas tersebut, coba kita bandingkan dengan bukunya Zdenek yang diterbitkan World Scientific, ketebalannya 3.4 cm. Untuk ketebalan seperti itu,  jumlah halamannya adalah 1100 (seribu seratus halaman). Jadi kertas dari luar negeri tersebut mempunyai ketebalan hanya 53% dari kertas yang dipakai untuk buku Steve Job tersebut. Meskipun lebih tipis, tetapi kertas dari luar negeri tersebut cukup solid dipegang dan jelas tintanya (tidak terlihat bayangan dari tulisan dibelakangnya).

Luar biasa ya, mutu buku-buku teknik dari luar.

Hal-hal seperti ini perlu aku ungkapkan sebagai salah satu cara mempelajari apa yang disebut dengan buku bermutu. Karena menurutku, buku yang baik tidak hanya sekedar isi, tetapi juga tampilan fisik luarnya.Itu pula alasannya mengapa threat-ku sebelumnya menampilkan cover buku. Itu sesuatu yang penting menuju buku bermutu versi Wiryanto.

Jadi sorry saja ya, aku menulis buku bukan sekedar karena ingin mengejar kum kenaikan pangkat dosen. Memang sih, itu juga penting, tetapi kalau fokus utamanya  mengejar kum, maka tentunya aku akan fokus pada jurnal ilmiah international dan bukan buku yang dicetak.

Dengan mengusahakan kondisi fisik buku dan juga isi tulisannya yang bagus, maka keinginan untuk membuat buku yang bersifat abadi akan benar-benar terwujud. Maklum, tulisan Printed in . . .  on acid-free paper yang biasa ada di lembar ke dua suatu buku, ternyata ada maknanya. Jika buku dicetak bukan di kertas acid-free-paper maka dengan berlalunya waktu, buku dapat rusak dengan sendirinya karena reaksi kimia tinta dan kertasnya itu sendiri. Juga tentang jenis kertas HVS yang sering kita pakai. Kertas jenis itu  memang didesain agar mudah menyerap  tinta, sehingga dipakai sebagai kertas tulis atau fotocopy. Jika jenis kertas tersebut disimpan ditempat lembab akan mudah menyerap air, yang ujung-ujungnya adalah berjamur dan akhirnya rusak. Jadi suatu buku yang bermutu dapat dilihat dari kertas yang digunakannya.

Apakah anda sudah pernah memikirkan hal-hal seperti di atas terhadap mutu suatu buku. Saya kira itu jarang menjadi pemikiran orang, kecuali memang orang yang kerja dipercetakan, yang kerjanya mengurusi  order cetak buku. Jika hanya pembaca awam, paling-paling kalau melihat buku bagus dan kantongnya terasa cukup, maka boleh berpikir: “ini kertasnya apa ya, koq bagus. Aku beli deh“.

Bagi seorang penulis, rasanya juga tidak banyak yang sampai masuk pada tahapan seperti di atas, sampai memikirkan tipe kertas untuk bukunya. Biasanya sudah bisa dicetak dan dijanjikan dapat royalti, rasanya sudah puas. Harapannya paling-paling ingin bukunya jadi best-seller. Yakin deh, nggak sempat ngurusin desain fisik bukunya.

O ya, ya, ada yang protes. Maklum ada dosen yang pada level tertentu karena untuk kepentingan ngurus kum sampai-sampai nerbitin buku khusus, diolah sendiri mulai dari penulisan isi, cover bahkan nyari percetakannya. Jadi karena kertas terkait langsung dengan harga buku yang akan dicetak, maka memikirkan kertas pernah dia lakukan. He, he memang ada sih yang sampai seperti tahapan pemikiran saya seperti di atas. Perbedaannya adalah pada jumlah buku yang dicetak. Itu saja. Kalau hanya untuk kepentingan kum pastilah tidak akan mencetak sampai 1000 eksemplar. Betul khan.

Kalau begitu, mengapa pak Wir mengurusi hal-hal itu untuk apa ?

Yah, bukan mengurusi koq, karena kalau menentukan kertas, ukuran buku, dimana percetakannya, maka itu adalah pekerjaan penerbit. Saya ini khan penulis, yang memang sih pekerjaan formalnya adalah dosen, dan kadang-kadang menerima undangan untuk disebut nara-sumber.

Lho jadi bapak ini penulis atau pakar sih yang benar. Itu khan berbeda ?

Gimana ya. Saya ini kadang-kadang juga agak bingung untuk menyebut diri sebagai apa. Kalau menyebut diri sebagai pakar struktur baja, maka nanti muridku bingung, karena aku juga mengajar struktur kayu. Jika kayu juga bingung, karena aku juga mengajar pemrograman komputer. Untuk bilang pakar di bidang bangunanpun, nanti kamunya juga bingung bila ternyata buku jembatan yang sedang aku tunggu ini terbit. Level international lagi.

Lalu kalau aku menyebut itu semua, pakar baja-kayu-pemrograman-komputer dan lain-lainnya, nanti dikira pakar gado-gado. Orang bisa  bertambah ragu-ragu saja nantinya. 🙂

Wah betul juga ya pak. Pakar khan kesannya adalah spesialis. Dokter spesialis itu khan spesifik, sangat tertentu. Tapi ongkos kesananya akan  lebih mahal lho daripada  dokter umum. 😀

Nah karena alasan itulah maka aku lebih puas untuk menyebut diri sebagai penulis, netral. Maklum, seorang penulis bisa menulis apa-apa, tergantung mood dan suasananya. Karena itulah maka tulisanku bisa bermacam-macam.

Pantas saja sekarang pak Wir bercerita tentang desain buku, padahal bukan ahli grafika. Mood dan suasana menunggu dicetakkannya buku Bapak ya. 😀

Betul. Saat ini suasana mood sebagai penulis yang sedang muncul. Untunglah suasana banjir di Jakarta tidak sampai merusak mood tersebut. 😀

Saat ini aku lagi berkepentingan untuk menghasilkan buku yang baik, dari segi luar (fisik) maupun dari segi dalamnya (content). Selanjutnya boleh saja dong kalau aku bermimpi: jika suatu saat nanti, anak-anak turunku dapat membaca buah-buah pikiranku di buku tersebut.

Maklum, buku yang baik dari segi content pasti akan disimpan untuk dijadikan referensi. Jika seperti itu, pasti akan disimpan di perpustakaan publik atau perguruan tinggi. Karena itu pula, buku yang baik harus dicetak di kertas bebas asam (acid-free-paper) agar tulisan di dalamnya, dapat bertahan berpuluh-puluh tahun, bahkan berabad-abad pada kondisi normal

Untuk itu semua, maka spesifikasi mutu buku cetakan yang akan diterbitkan, perlu didefinisikan secara nyata.

Wah nanti buku pak Wir jadi sangat mahal. Kantong kita yang mahasiswa ini jadi nggak terjangkau. Gimana pak Wir. Buku-buku hard-cover luar-negeri khan harganya ratusan ribu bahkan ada yang jutaan. Kita perlu ilmu bapak. Mohon dipikirkan dong pak, jangan terlalu idealis yang berdampak pada harga. 😦

Wah koq begitu sih dik, pesimis banget kesannya.

Dari tulisanku pada threat sebelumnya, penerbit mematok harga buku  berkisar antara Rp 150 – 200 ribu. Harapannya sih harga di tengah-tengah itu. Aku sadar bahwa harga Rp 200 ribu adalah ambang batas psikologi terkait harga buku. Itu aku rasakan jika ada di toko buku. Jadi untuk harga segitu, maka aku perlu melihatnya berkali-kali, apakah memang pantas buku tersebut kubeli. 🙂

Oleh karena itu, harga ambang batas tersebut diusahakan tidak akan terlampaui. Kisaran harga seperti di atas tentu telah melalui pertimbangan matang, seperti misalnya dengan melihat buku-buku sejenis di pasaran. Bayangkan saja, buku sejenis dengan kisaran tebal sekitar 220 halaman saja harganya sudah sekitar Rp 75 – 80 ribu. Padahal buku saya tersebut tebalnya sekitar 640 halaman. Jadi dengan perkiraan seperti itu, maka harga di atas, relatif murah. Itu ditinjau dari segi bobot (berat) belum isi di dalamnya lho.

Nah dengan patokan harga segitu, apakah nutup pak harganya. Idealis sih boleh tetapi harus real, mem-bumi. Nanti bisa-bisa bangkrut lho pak setelah buku Bapak terbit. 😦

Wah thanks dik, atas perhatiannya.

Saya memang menyadari, untuk mewujudkan idealisme memang perlu modal. Tidak sekedar hanya memikirkan hal-hal baik saja, lalu idealisme akan datang sendiri. Modal yang dimaksud tentu saja tidak sekedar dukungan moral, tetapi yang lebih penting adalah dukungan financial. Iya khan. Ingat “jer basuki mawa bea“.

Tentang hal itu. Maka aku boleh bilang, bahwa buku terbitanku yang saat ini adalah betul-betul istimewa. Tidak sekedar didukung idealisme semata, tetapi lebih dari itu. Mungkin bisa juga aku katakan, dari terbitan buku ini pula maka idealismeku akan benar-benar mewujud, dari pikiran abstrak menjadi benda materi. Bagaimana tidak, pihak penerbit yang membuka peluang sponsor pada buku tersebut mendapat sambutan yang baik. Peluang sponsor tersebut diusulkan penerbit berdasarkan track-record penulis atau tepatnya reputasi, yang menurut penerbitnya “menjual“.

Terus terang, konsep sponsor bagiku juga asing. Baru sekali ini aku membuat buku dengan membuka peluang sponsor. Itu aku lakukan setelah merenungkan secara mendalam bahwa konsep sponsor tersebut adalah mulia, tidak hina, karena dapat memberikan win-win-solution bagi penulis maupun pemasang sponsor.

Bagaimanapun buku adalah suatu media budaya, dari media tersebut dapat diharapkan suatu pertumbuhan sehingga nantinya dapat bersama-sama menjadi besar. Bagi sponsor yang sudah besar maka tujuannya adalah mempertahankan pertumbuhan sekaligus mengabadikan nama besarnya agar tetap dikenal di sepanjang kebudayaan tersebut. Disitulah maksud dari win-win solution tersebut. Memang sih, ini usaha jenis aktualisasi diri, jadi kalau usahanya masih dalam tahap kebutuhan primer yang harus dipenuhi, maka tidak disarankan untuk jadi sponsor. Bisa terbebani nanti. 😀

Dengan pola pikir seperti itu, maka pede-pede saja aku menyampaikan peluang sponsor kepada teman-teman, baik yang mengenal aku secara pribadi maupun hanya melalui tulisanku. Tapi memang, khususnya teman-teman yang tidak mengenal tulisan-tulisanku, ketika aku ajukan surat sponsor yang dimaksud, ada yang terkesan meremehkan. Jika demikian adanya, aku coret dari daftar. Maklum dianya tidak memahami kekuatan media yang aku tawarkan.

Pak Wir, kalau boleh tahu siapa saja yang menerima kehormatan untuk dapat terpampang abadi namanya di buku bapak.

Betul, kehormatan itu sebenarnya yang aku tawarkan. Adanya sponsor maka kualitas buku secara fisik dapat ditingkatkan. Kalau kualitas isi,  itu aku yang jadi jaminannya. Betul khan.

Baik, inilah teman-teman di industri konstruksi yang berkenan berbagi keabadian karena namanya akan ditulis dalam suatu buku yang bermutu. Suatu buku yang ditulis dengan semangat agar dapat diteladani dan jadi berkat. Adapun nama perusahaan berikut, adalah yang telah membayar atau setidaknya telah berkomitmen jadi sponsor, yaitu :

  1. PT. Rekatama Konstruksindo
  2. PT. Wiratman & Associates
  3. PT. Fyfe Fibrwrap Indonesia
  4. PT. Ostenco Promitra Jaya
  5. PT. Pola Agung Consulting
  6. PT. Perkasa Carista Estetika
  7. PT. Tigenco Graha Persada
  8. PT. Agung Utama Persada
  9. PT. Pratama Daya CM
  10. PT. Sinergi Pandu Dinamika
  11. PT. Saka Baja Mulya
  12. Hadi & Associates

Cukup banyak juga khan. O ya, bagi pembaca yang sudah membaca tawaran sponsor dan memikirkannya, tapi namanya belum ada, berarti komitmen kepada pihak penerbit belum diterima. Cepat-cepat hubungi penerbit.

Mungkin perlu juga dijelaskan yang dimaksud sponsor, yaitu pada lembar-lembar pemisah buku, baik antar bab atau antar judul, bisa di depan di tengah atau di belakang akan dicetak informasi nama perusahaan pemberi sponsor. Ada yang dicetak berwarna dan ada yang tidak. Slot yang tersedia 1 halaman atau 1/2 halaman.

Jadi karena buku yang akan dicetak akan diorientasikan sebagai buku referensi yang disimpan dengan baik oleh pemiliknya, maka informasi nama perusahaan juga nantinya akan tersimpan sebagai referensi. Memang betul, pembaca buku sangat khusus, hanya mahasiswa atau insinyur teknik sipil. Maka tentu saja, perusahaan yang mendapat keuntungan terbesar adalah yang terkait dengan mereka-mereka itu. Ingat, meskipun saat ini yang membaca adalah mahasiswa, tetapi beberapa tahun kemudian merekalah penentu kebijakan. Jadi jika perusahaan anda diorientasikan jangka panjang, maka jelas informasi perusahaan anda yang ada dibuku menghasilkan persepsi positip.

Yah, seperti rokok, namanya ingin selalu diungkapkan dimana-mana. Itulah rahasia kekuatan suatu media pariwara.

Bagi yang tertarik agar namanya terukir abadi di buku, yaitu dengan menjadi sponsor. Silahkan menghubungi penerbit LUMINA Press dengan kontak person H. Wijaya, nomer Telp 021- 68 11 5000 atau nomer HP 0817 489 65 09

Pak-pak, adakah hubungan sponsor dengan mutu buku Bapak. Apa nggak melenceng ini dengan judul Bapak di atas, yaitu mendesain buku.

Wah adik ini, khan tadi sudah aku sebut “jer basuki mawa bea“. Atau bahasa gaul dipemerintah sekarang adalah ada turunnya anggaran, maka jelas keberadaan sponsor seperti diatas akan sangat menentukan kualitas fisik buku tersebut. Saya tekankan lagi kualitas fisik.

Kalau kualitas isi, jelas tidak, itu adalah kehendak bebas penulis. Intinya penulis tidak bisa dibeli, dan dalam hal ini reputasi penulis yang jadi jaminannya. 😀

Nah agar secara fisik buku tersebut dapat disebut bermutu, maka ciri-ciri yang perlu dipertimbangkan adalah:

  • Jenis kertas yang digunakan. Ini penting karena menentukan juga keabadian isi yang dituliskan. Jenis kertas harus acid-free paper. Juga kalau bisa, lebih baik dari kertas jenis HVS. Sebaiknya kertas yang diberi lapisan khusus, sehingga tidak mudah menyerap air, seperti misalnya standard-coated-fine paper. Adapun untuk sponsor yang berwarna paka art-paper.
  • Cover buku. Buku-buku luar kebanyakan berjenis hard-cover, meskipun demikian bukunya Bazant, yaitu Stability of Structure yang punya ketebalan 1100 halaman masih memakai sampul soft-cover. Hasilnya juga masih terkesan elegan. Saya kira untuk buku itu nantinya cukup soft-cover. Maklum, agak kuatir kalau order hard-cover di Indonesia, apakah kualitasnya juga bisa sama seperti kualitas buku-bukunya Wiley. Kalaupun sama, takutnya harganya bengkak. Kasihan pembacanya,.
  • Ukuran buku. Jelas harus lebih besar dari ukuran A5 atau buku SAP2000-ku yang lama. Untuk sementara ini ukuran yang aku siapkan untuk menulis adalah 15.5 x 24 cm. Ini tentu tidak mati, tergantung dari kesediaan kertas dan kemampuan percetakaan, yang kira-kira paling ekonomis akan dipilih. Beda-beda sedikit, nggak masalah ya.
  • Desain cover buku. Tentang hal ini sudah pernah aku nyatakan, bahkan aku mintai pendapat para pembaca. Ternyata tata letak font juga berpengaruh. Untuk itu berdasarkan desain yang disukai pembaca sebelumnya akan menyajikan desain cover yang terakhir. Menurut pembaca, mana yang lebih baik ?

Alternatif cover muka dengan perubahan pada tata letak dan jenis font.

rencana-sampul_

Mohon masukan untuk rencana cover buku di atas ya, mana yang sebaiknya dipilih. Bisa juga usulan agar buku yang beredar nanti benar-benar bermutu. 😀

<< up-dated>>

Mengikuti saran dari pembaca, desainnya diubah lagi ya. Perhatikan ada perubahan sekitar kata “SAP2000”, huruf sambungan “dengan” di depannya dan juga warna high-light-nya. Kuning, hijau atau merah. Juga nama penulis ganti font dan ukuran agar menjadi sedikit dominan dibanding sebelumnya. Mana yang lebih bagus ?

sampul6d-warna

He, he ini benar-benar desain yang melibatkan betul calon pembacanya. Maklum, demi kepuasan pembaca, penulis sekaligus penerbitnya. 😀

12 tanggapan untuk “mendesain buku”

  1. I Putu Widyatama Pradipta Avatar

    Sampul yang lama masih lebih bagus pak, ukuran tulisannya berimbang jadi dari jauh, judul bukunya terlihat jelas dan utuh.

    Ditunggu bukunya Pak Wir.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Terima kasih Putu atas masukannya.

      Jalannya percetakan buku baru tersebut semakin memberikan harapan. Maklum, jika dulu sekedar bersandar pada iman atau kepercayaan untuk menghasilkan buku bermutu. Saat ini dari iman tersebut sudah memulai mewujud dan itu akan menjadi bekal real untuk kesuksesan publikasi buku tersebut. Mohon dibantu doa ya.

      Terus terang teman-teman pembaca blog ini benar-benar membantu mewujudkan buku tersebut. Tanpa ini, saya tidak yakin buku itu dapat terwujud, apalagi dengan spesfikasi mutu seperti yang aku sampaikan di atas.

      Suka

  2. juragan.sipil Avatar

    Yang tengah, pak wir.

    Biar bisa kelihatan dari jauh highlight SAP2000-nya… Dijamin para “penikmat” dunia konstruksi akan mendekat.
    terus begitu mendekat… langsung baca penulisnya… dan langsung beli…

    🙂

    Kalo kami perhatikan memang istilah “SAP2000” adalah “the most valuable keyword“-nya. Jadi, kayak di lapak-lapak (maaf) rekan-rekan Tiong-Hoa, … highlight SAP2000-nya itu berfungsi sebagai “kucing pemanggil”… 🙂

    Kalo Pak Wir percaya dengan “keberuntungan” mungkin bisa mencari warna “keberuntungan” juga.

    *kalo saya sih ngga percaya pak.. hehehe

    Suka

  3. Jem Avatar
    Jem

    Sy milih …. mmmh yang nomor 4 Pak Guru.
    DIPERCEPAT TERBIT 😀

    Dan disosialisasikan tempat2 untuk mendapatkannya 😉

    Suka

  4. captain Avatar

    yg tengah pak, lebih jelas n mantap..

    Suka

  5. santo2012 Avatar
    santo2012

    yg tengah, lebih bagus pak..
    dengan tulisan hijau SAP2000 yg cukup mencolok…membuat bukunya mudah dicari..
    itu aja menurut saya pak 🙂

    Suka

  6. juragan.sipil Avatar

    Saya coba lihat dari jauh, antara warna kuning, hijau, dan merah…. Font warna KUNING yang paling jelas bisa terbaca dari jauh.

    Sementara font merah sama sekali susah kebaca pak wir.

    (cmiiw)

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Jadi font warna merah, dieliminasi ya pak. Thanks.

      Suka

  7. ipha Avatar
    ipha

    saya mendukung yang tengah pak..yang hijau.
    diketahui juga bahwa warna merah dalam penulisan semacam itu cukup mengganggu penglihatan pembaca.

    kami tunggu kehadiran buku bapak yang terbaru ini,,
    😀

    Suka

  8. abdias Avatar
    abdias

    High light kuning cocok sekali untuk latar hitam Pak Wir, rasanya tak sabar menunggu buku ini.

    Suka

  9. wir Avatar
    wir

    @ipha dan abdias :
    wah bingung juga ya, kuning atau hijau. Semuanya menarik, jadi apa ya.

    Kalau kuning, di perempatan lampu lalu-lintas maka kuning artinya hati-hati, siap-siap untuk berhenti. Apakah itu berarti SAP2000-nya karena berwarna kuning juga berarti bersiap-siap untuk berhenti. 🙂

    Padahal kalau hijau khan artinya GO, jalan. Jadi bisa diinterprestasikan lancar gitu jalannya, juga penjulan buku tersebut 🙂

    Di sisi lain, hijau berarti ramah lingkungan, juga di banyak fakultas warna hijau dihubungkan dengan dunia teknik sipil.

    Baik, terlepas dari itu semua, maka yang terakhir adalah dari percetakkannya. Warna mana yang mampu menyajikan high-lighted. Takutnya warna di layar komputer bagus, ketika dicetak.Jadi jelek.

    Kira-kira kita sudah mempunyai gambaran. Thanks semua ya. Ini juga lagi nunggu satu testimoni berkaitan materi beton bertulang di Bab 5 dari seorang pakar beton bergelar Profesor. Sabar ya semua.

    Suka

  10. riezal Avatar
    riezal

    Yang tengah pak wir… mantap…

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com