Diskusi soal ini (otorisasi mengajar) tentunya dapat dianggap penting, maklum dalam era demokrasi yang didukung oleh otoritas hukum kadang-kadang setiap topik yang terkait kepentingan seseorang atau sekelompok, dapat saja diperdebatkan. Bayangkan saja, jika ada suatu hal yang tidak tegas, atau hanya tersirat tetapi telah disepakati bersama, lalu kemudian ada yang berhasil menyuratkan (meskipun belum semuanya menyepakati) dan dapat membawanya ke ranah hukum untuk dibuatkan undang-undang, maka bisa jadi : tujuannya menjadi menyimpang dari semula (menjadi ada yang tidak sepakat).
Lihat saja, tempo hari ada sekolompok mahasiswa bidang pendidikan melek hukum yang dapat membawa kasus bahwa “hanya sarjana lulusan pendidikan saja yang berhak jadi guru, sedangkan sarjana yang lain tidak boleh“. Untunglah MK dapat memutuskan kasus tersebut secara bijak, yaitu tidak disetujui untuk dibahas lebih lanjut. Coba kalau MK kurang smart sehingga dapat diyakinkan penggugat dan meloloskannya dalam bentuk undang-undang. Bisa-bisa ada kekacauan di bidang kependidikan. Kenapa, jika belum paham silahkan saja baca opini saya tentang hal itu di sini.
Baik, selanjutnya kita akan mendiskusikan tentang otorisasi mengajar.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, yang disebut otorisasi adalah pemberian kuasa. Jadi otorisasi mengajar dapat diartikan pada pemberian kuasa pada seseorang atau institusi untuk mengajarkan sesuatu.
Keberadaan otorisasi mengajar ini penting, pada level institusi itu merupakan pengakuan dari yang berwenang, di negara kita dalam hal ini adalah Kemdikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), sehingga sertifikat atau tepatnya ijazah yang dikeluarkan oleh institusi tersebut dapat dianggap syah dan berlaku. Karena Kemdikbud membawahi pendidikan secara umum, sedangkan penulis lebih banyak pengalamannya di bidang pendidikan tinggi maka pembahasan selanjutnya terbatas di level pendidikan tinggi saja.
Pada level pendidikan tinggi, yaitu : universitas, institut atau sekolah tinggi, otorisasi mengajar umumnya dapat dideteksi dengan terakreditasi atau tidaknya suatu institusi. Kondisi ini tentunya berbeda dengan jaman dahulu saat penulis masih mahasiswa. Dulu dianggap bahwa semua perguruan tinggi negeri (PTN) otomatis punya otorisasi, sedangkan perguruan tinggi swasta (PTS) ada yang otorisasinya diakui (otorisasi terbatas) bahkan disamakan dengan negeri (otorisasi penuh), tetapi ada juga yang belum diakui (tidak punya otorisasi legal).
Akibatnya, PTS yang tidak punya otorisasi maka ijazahnya tidak diakui secara legal. Untuk mengatasinya maka institusi tersebut harus mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi lain yang sudah punya otorisasi. Kondisi tersebut tentu dapat menimbulkan masalah, maklum materi yang diajarkan dan yang diujikan, bisa tidak sama. Angka ketidak-lulusan bisa tinggi. Jadi murid yang belajar pada institusi pendidikan dengan otorisasi penuh, maka ketika dinyatakan lulus perkuliahan akan langsung diakui keabsahan-nya.
Adanya otorisasi mengajar itulah maka dibentulah Kopertis di tiap-tiap daerah, yang tugasnya mengelola, mengorganisasikan dan memastikan bahwa tiap-tiap instansi pendidikan (dan juga dosen-dosen) di wilayah kekuasaannya memang berotorisasi mengajar.
Jadi adanya otorisasi mengajar pada level institusi, yang sekarang dapat diidentikkan dengan terakreditasi atau tidaknya suatu lembaga pendidikan, akan secara langsung berdampak pada calon-calon murid yang akan masuk. Itulah mengapa, universitas ketika beriklan pada saat ujian saringan masuk, tidak lupa untuk mencantumkan status akreditasinya. Akreditasi A, B atau C, di luar itu dianggap belum berotorisasi.
Nah bagaimana dengan otorisasi mengajar pada level pengajar atau dosen. Cara mendeteksi apakah dosennya memang punya otorisasi mengajar atau tidak, ternyata tidak ada mekanisme evaluasi seperti halnya akreditasi pada institusi.
Orang awam mengetahui apakah seseorang mempunyai otorisasi mengajar, dengan melihat keterkaitannya orang tersebut dengan suatu institusi yang sudah diakui otorisasinya, misalnya saja UI. Jadi misalnya, ada seseorang yang mengajar struktur baja di institusi tersebut, dipastikan orang tersebut punya otorisasi mengajar bidang tersebut. Jadi yang dilihat sebenarnya adalah institusinya.
Bagi seorang yang khusus, atau sebut saja profesional di bidang tersebut maka tentu memerlukan data lebih lanjut, tidak sekedar nama institusinya, tetapi person itu sendiri. Siapa orang yang mengajarkan, apakah sudah dikenal nama dan karya-nya.
Pada beberapa kasus, kadang dari murid-murid alumninya sendiri dapat terungkap, apakah dosen yang mengajarnya dulu memang punya otorisasi mengajar atau tidak. Saya bilang dulu, karena kalau masih berstatus mahasiswa, pada dasarnya mereka tidak peduli apakah dosennya memang punya otorisasi mengajar atau tidak, yang penting bagi mereka saat itu adalah lulus dan ijazahnya di akui. Benar nggak.
Ini aku ungkapkan karena ada kesaksian (dari alumni tempatku mengajar) bahwa ketika mengambil studi lanjut (S2 di tempat lain tentunya), mereka menjumpai mata kuliah yang namanya sama dengan yang dahulu diterima di level S1. Dari situ terungkap, bahwa ada materi S1 dahulu yang ternyata sangat membantu, tetapi ada juga yang tidak membantu, dalam memahami materi perkuliahan di level S2.
Sangat membantu dalam arti, materi S1-nya berkesesuaian, dapat menjadi pondasi atau dasar bagi pemahaman materi di level S2, tidak ada gap yang terlalu jauh. Adapun yang tidak membantu adalah kondisi materi di level S1 yang ternyata tidak bisa dikaitkan dengan materi di level S2. Kalaupun ada, dianggap tidak cukup, mereka harus bekerja keras, membuka buku di sana-sini untuk memahami materi pelajaran di level S2. O ya, materi yang aku maksud adalah ilmu terapan, yang tentunya level S1 dan S2 berkesesuaian. Belajar di level S2 mestinya akan lebih mendalam, dalam arti materi di level S1 tentunya harus dapat memberikan dasar-dasar yang utama.
Jika harapan tersebut ternyata tidak dijumpai, maka mengeluhlah alumni S1 tersebut. “Kenapa ya pak, materi yang diberikan dosen (di level S1) bisa berbeda atau tidak memadai untuk digunakan memahami pada materi di level S2. Apa itu berarti dosennya tidak menguasai atau tidak punya ilmu yang memadai untuk diberikan“.
Menanggapi kondisi seperti itu, aku jadi ingat tentang otorisasi mengajar. Mengapa sampai ada keluhan seperti itu, padahal dosen yang bersangkutan dilengkapi gelar yang lebih dari cukup, dan dari institusinya sudah punya otorisasi mengajar (surat tugas resmi). Ternyata itu semua tidak mencukupi untuk mendapatkan pengakuan bahwa dosen tersebut dapat dianggap benar-benar sebagai guru atau master pada bidang ilmu tersebut.
Dosen tersebut dengan materi kuliah S1-nya, mungkin lima atau sepuluh tahun yang lalu sudah sangat memadai. Apalagi jika tidak ada murid yang membandingkannya dengan materi S2 di tempat lain. Tetapi karena statis, tidak dikembangkan maka dosen yang dulu dianggap “bermutu” bisa-bisa menjadi dianggap tidak bermutu atau diragukan otorisasinya dalam mengajar.
Jadi jika akreditasi institusi juga ada batas waktunya, maka otorisasi mengajar seorang dosen juga perlu dibatasi waktunya, perlu dievaluasi lagi apakah yang bersangkutan masih terus mengembangkan diri pada bidang ilmu yang diajarkannya atau sudah enak-enak berhubung sudah dapat sertifikat dosen profesional.
Jadi hati-hati suatu saat nanti (jika ingin berorientasi pada mutu), maka tidak hanya murid yang akan ikut ujian nasional, dosen atau gurunya juga suatu saat perlu dievalusi.
Nah gimana pandapat anda sekalian. Setuju ?
Tinggalkan komentar