konstruksi lantai galangan kapal

Sudah lama tidak membuat tulisan populer terkait bidang teknik sipil. Kebetulan saja ada pertanyaan saudara Deddy yang cukup menggelitik, siapa tahu dari situ dapat dibuat tulisan yang menarik. Ini pertanyaannya :

deddy commented on jalan beton dan tulangannya

Sekarang ini banyak galangan kapal yang menggunakan perkerasan rigid seperti jalan raya… kalau di jalan raya menentukan tebal perkerasan berdasarkan data lalu lintas dan di plotkan ke tabel / diagram /// kalau untuk galangan kapal bagaimana pak … mohon pencerahannya.

Jika membaca pertanyaan di atas, pihak penanya tentunya bukan orang awam di bidang teknik sipil, minimal paham perencanaan konstruksi jalan raya. Karena paham itulah, maka ketika melihat adanya kesamaan fisik, yaitu digunakannya pelat beton di jalan raya dan juga lantai galangan kapal, maka timbullah pertanyaan di atas.

Meskipun demikian, saya menduga bahwa pengamatan yang dilakukan relatif terbatas, tidak terlalu detail. Hanya dilihat dari pelat betonnya saja. Maklum, konstruksi jalan raya dan konstruksi galangan kapal adalah berbeda, seperti misalnya dari sisi panjang. Dapat dipastikan bahwa ukuran jalan pastilah lebih panjang dari galangan, juga posisinya dimana jalan raya cenderung di atas permukaan tanah, tidak direncanakan tergenangi oleh air. Adapun galangan kapal, agar nantinya kapalnya dapat dengan mudah “lepas” ke sungai atau laut maka posisinya umumnya dibangun di lobang galian, di bawah permukaan tanah. Bahkan mestinya akan lebih baik jika sampai bawah permukaan air.

Jadi disinilah sebenarnya kerumitan dari suatu perencanaan, meskipun yang digunakan adalah sama-sama pelat beton, tetapi karena fungsi dan cara pemakaianya berbeda, maka strategi perencanaannya juga akan berbeda.

Cerita tentang pelat beton pada konstruksi jalan raya, saya telah bercerita banyak, yaitu di artikel “jalan beton dan tulangannya”.  Kalau di jalan intinya adalah, material beton lebih murah daripada material baja, karena jalan biasanya volumenya besar (panjangnya itu lho) maka jika material baja-nya minimal tentu akan murah. Strateginya adalah membuat beton berfungsi sebagai topping atau penutup, itulah maka disebut pavement. Adapun yang memikul beban pada dasarnya adalah tanah itu sendiri. Jadi pelat beton untuk jalan raya jelas berbeda sekali dengan pelat beton untuk gedung bertingkat. Tetapi karena panjangnya, maka untuk menghindari kembang susut dan semacamnya maka pelat beton yang digunakan cenderung tidak menerus dengan cara diberi siar dilatasi. Adanya tulangan baja di sekitar siar dilatasi agar di bagian pinggir tidak rusak bila dilalui kendaraan di atasnya. Itu prinsip dasar dari konstruksi jalan raya.

Untuk konstruksi galangan kapal, tentu tidak seperti itu ceritanya. Karena posisinya dibawah permukaan air (umumnya) maka pada saat perakitan kapal tentunya diusahakan agar permukaannya kering. Itu berarti pelatnya harus menerus, tidak boleh ada siar dilatasi untuk menghindari kebocoran.  Nah adanya harus menerus menyebabkan strategi perencanaan jelas akan berbeda. Konstruksi menerus adalah konstruksi statis tak tentu, sangat dipengaruhi oleh deformasi atau penurunan tanah.

Kondisi di atas menyebabkan sangat riskan menempatkan konstruksi pelat beton untuk galangan kapal, langsung di atas tanah, kecuali memang dapat dibuktikan bahwa kondisi tanahnya sangat baik. Jadi kalau kondisi tanahnya jelek, maka strategi perencanaannya bisa seperti perencanaan pelat gedung bertingkat atau suspended slab.

Itu tadi terhadap pembebanan vertikal gravitasi (arah ke bawah), yaitu dengan asumsi bahwa kondisi permukaan airnya di bawah permukaan pelat. Bagaimana jika kondisi permukaan airnya berada di atas pelat, dan lantai galangan harus kering. Jika bisa, maka berarti ada perbedaan tinggi permukaan air, dan itu menyebabkan ada tekanan hidrostatis ke atas atau gaya apung . Bisa-bisa ini bahkan lebih besar dari beban vertikal gravitasinya lho. Bayangkan saja, beban hidup 1.5 ton/m2 saja sudah dirasa sangat besar, jika kemudian permukaannya saja ada perbedaan 2 m, maka akan ada tekanan ke atas (hidrostatis) sebesar 2 ton/m2. Lebih besar bukan.

Nah, umumnya untuk mengatasi gaya apung, maka berat sendiri struktur ditingkatkan, misalnya dengan menambah ketebalan. Jika tidak, maka pelatnya bisa-bisa terangkat.

Jadi di sini, dalam perencanaan galangan kapal, perlu dipikirkan juga kondisi kering (tanpa kapal), kondisi kering dengan kapal, dan juga kemampuan pondasi untuk tidak mengalami penurunan. Maklum, jika terjadi penurunan, dan pelatnya tidak didesain untuk itu, maka itu artinya membolehkan pelat mengalami retak, akibatnya bocor. Jika bocor tentu susah mengeringkan, bisa tergenang. Dan jika tergenang fungsinya tidak bisa lagi sebagai galangan kapal, paling-paling kolam renang.

Begitu dulu ya.  Salam.