Catatan : ini opiniku mengapa konstruksi baja di Indonesia relatif lebih mahal dibanding beton bertulang. Silahkan direnungkan dengan baik, kebenarannya tentu saja tergantung data yang digunakan, yaitu yang aku ambil dari data Worldsteel Association. Jika ditunjang data yang lebih valid dari dalam negeri, tentu akan lebih mendekati kebenaran. Apa yang aku tulis ini memang keluar dari bidang keahlianku, tetapi saya kira bermodal nalar dan logika sederhana anda pasti mampu untuk mengikutinya. Moga-moga.
Tingginya peradaban bangsa (negara) pada jaman dahulu dapat diketahui dari bangunan fisik yang ditinggalkan. Lihat saja bangsa Mesir (juga bangsa Inca) dengan piramida, bangsa Cina dengan tembok besarnya, adapun Indonesia dengan candi-candi besarnya, candi Prambanan dan Borobudur. Itu tadi adalah jaman dahulu, dalam era kemajuan seperti sekarang ini dimana komunikasi dan transportasi telah menjadikan batas samudra tidak lagi menjadi halangan, maka keberadaan suatu bangunan yang istimewa dapat ditemui dimana saja, tidak tergantung dari kemampuan rekayasa bangsa itu sendiri. Bahkan jika keadaan itu digabung dengan adanya kebijakan politik mercu-suar suatu negara, maka jelas saja pemilihan bangunan fisik sebagai indikator tingginya peradaban bangsa sebagaimana di jaman dahulu, tentunya bisa menyesatkan. Jadi sekarang ini perlu indikator lain sebagai petunjuk tingginya peradaban atau kemajuan bangsa.
Jika tinggi suatu peradaban atau kemajuan bangsa dapat dikaitkan dengan kemajuan ekonomi negara, maka konsumsi baja dapat di-pakai sebagai indikator (Warell-Olsson 2009; Walters 2012). Hal ini cukup logis mengingat material baja diperlukan pada berbagai sektor industri sebagai bahan bakunya (lihat Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Sektor industri yang mengandalkan baja (Basson 2012)
Sektor-sektor industri di atas (Gambar 2.1) hanya berkembang di suatu negara jika sektor industri pemasok kebutuhan primernya (sandang pangan) telah tercukupi. Berbeda tentunya jika dipakai indikator minyak dan gas, yang lebih mengarahkan pada tingginya kebutuhan energi dari suatu negara. Maklum tingginya kebutuhan energi suatu negara bisa juga diakibatkan oleh infrastrukturnya yang tidak siap atau tidak efisien, misal infrastruktur transportasi yang kurang sehingga dengan kondisi jalan yang ada selalu timbul kemacetan sehingga enerji minyak banyak yang terbuang sia-sia.
Jadi negara yang banyak memakai baja bisa dianggap tergolong maju perekonomiannya, sehingga kemungkinan besar juga maju dari segi peradaban dan budayanya. Oleh karena permintaan baja dianggap sebagai indikator kemajuan perekonomian, ada baiknya melihat rekaman data yang dihasilkan Wordsteel Association.
Gambar 2. 2 Permintaan dunia akan baja (juta-ton) – (Basson 2012b)
Adanya peningkatan pesat permintaan baja di dunia menunjukkan kondisi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang maju industri bajanya. Jadi bukan petunjuk tentang kondisi perekonomian dunia pada umumnya. Negara yang berpotensi kuat di industri bajanya, seperti India bahkan cukup berani mengangkat pejabat setingkat menteri untuk mengelola industri-industri bajanya secara khusus. Adapun tugasnya adalah : (http://steel.gov.in)
- Koordinasi dan perencanaan pertumbuhan dan pengembang-an industri besi dan baja di India;
- Perumusan kebijakan dalam hal produksi, harga, distribusi, impor dan ekspor besi & baja dan produk yang terkait,
- Pengembangan industri hulu terkait penyediaan bijih besi, bijih mangan, bijih krom dan sebagainya, yang dibutuhkan terutama oleh industri baja.
Negara-negara di dunia yang diketahui mempunyai industri baja, telah didata oleh Wordsteel Association sebagai berikut :
Tabel 2.1 Peringkat negara produsen baja (juta-ton) – (Basson 2012b)
India dengan menteri khususnya ada di peringkat atas (4), adapun Indonesia ternyata berada di peringkat bawah, yaitu 37 dari 50.
Melihat peringkat negara-negara produsen baja (Tabel 2.2) tentu akan menarik pula jika mengetahui kepemilikan atau nama pabrik yang memproduksinya. Maklum, material baja untuk perencanaan sangat tergantung ketersediaan di pasaran, adapun mutunya kadang dapat dengan mudah ditengarai dari pabrik pembuatnya.
Tabel 2.2 Grup kepemilikan pabrik baja dan produksinya (juta-ton) – (Basson 2012b)
ArcelorMittal (www.arcelormittal.com) adalah group perusahaan bidang baja dan pertambangan, berkantor pusat di Luxembourg, merupakan produsen baja terbesar dunia (2013). Bahkan saat ini Bethlehem Steel Corporation, perusahaan baja terkenal Amerika dan telah berdiri sejak tahun 1857, telah diakuisisi dan menjadi milik ArcelorMittal sejak 2006. Adapun produsen terbesar ke-2: Hebei Group, dan ke-3: Baosteel Group, serta ke-5: Wuhan Group adalah perusahaan Cina, sedangkan produsen baja terbesar ke-4: POSCO adalah Korea Selatan.
Produsen baja ke-6 terbesar dunia adalah Nippon Steel, Jepang, yang banyak melakukan kerja sama dengan PT. Krakatau Steel & Group di Indonesia. Mungkin itu ada kaitannya dengan banyaknya investasi Jepang di Indonesia pada medio tahun 90-an. Akibatnya banyak diproduksi profil baja hot-rolled mengacu standar Jepang atau JIS (Japanese Industrial Standards), dan sampai sekarang juga masih menjadi jenis profil baja yang umum dijual di Indonesia.
Sampai saat ini (2013), para praktisi baja di Indonesia khususnya yang bergerak di bidang konstruksi bangunan dan jembatan, puas dengan hasil produksi dari PT. Krakatau Steel & Group. Meskipun demikian, jika dibandingkan produksi baja dunia, terlihat sekali bahwa peran Indonesia selaku produsen baja, relatif masih kecil. Bahkan terlihat tidak signifikan dalam kancah internasional, yaitu hanya sekitar 0.23% produk dunia, bahkan Malaysia yang luasnya 329,847 km2, atau hanya 17.3% luas Indonesia (1,904,569 km2), ternyata produksi baja mereka 154% lebih banyak (berdasarkan data pada Tabel 2.1).
Membandingkan produktifitas industri baja dalam negeri dengan negara tetangga Malaysia, khususnya dalam rangka melayani luas wilayahnya, dapat dipastikan kemampuannya memenuhi hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply) adalah tidak sama. Malaysia tentu lebih unggul, produksi bajanya saja dibanding luas wilayahnya adalah 18 ton/km2, bandingkan dengan kemampuan dalam negeri Indonesia yang hanya 2 ton/km2 luas wilayahnya. Kondisi seperti tentu menyebabkan jika ada permintaan baja yang sama besar pada kedua negara tersebut, maka industri dalam negeri (Indonesia) dipastikan tidak sanggup, dan akhirnya kebijakan imporlah jalan keluarnya. Hal itulah yang mungkin jadi penyebab, mengapa memakai konstruksi baja Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan jika memakai konstruksi beton bertulang biasa.
Tinggalkan komentar