Tidak setiap orang memahami, apa makna dari judul artikel ini. Maklum, istilah yang saya pakai tersebut hanya familiar bagi structural engineer yang biasa bekerja dengan program SAP2000, khususnya jika telah memakainya pada tahapan post-processing : desain penampang beton bertulang atau profil baja dari elemen struktur yang dianalisis.

Capacity Ratio (R) adalah rasio antara gaya atau momen ultimate pada penampang yang terjadi (beban terfaktor: Pu atau Mu atau Nu) terhadap kuat nominal penampang (Pn atau Mn atau Nn) yang tentunya telah memasukkan faktor reduksi (phi). Cara tersebut merupakan strategi program (SAP2000 atau yang sejenis) dalam menerjemahkan code design untuk mengetahui apakah suatu penampang pada elemen struktur telah memenuhi persyaratan perencanaan atau tidak.

R = Pu / phi. Pn untuk gaya aksial atau R = Mu / phi . Mn untuk lentur.

Dengan penjelasan ini tentunya anda akan lebih paham mengenai istilah tersebut, yang sebenarnya merupakan indikasi numeral terkait kondisi kekuatan (strength) struktur. Karena berupa angka tentunya akan mudah membandingkannya antara satu komponen dengan komponen lainnya, mana yang kritis atau bahkan masih aman kekuatannya. Suatu struktur dianggap telah memenuhi persyaratan kekuatan jika nilai R < 1 atau paling tidak R =1. Itu dijamin hukumnya karena didukung oleh pernyataan pada code perencanaan. Sedangkan kalau R > 1 pastilah dapat dianggap suatu struktur tidak memenuhi syarat perencanaan lagi. Setahu saya, sampai saat ini tidak ada klasul pada code design seperti AISC atau ACI atau SNI yang mengakomodasi nilai R boleh lebih besar dari angka 1 tersebut.

Sudah sangat jelas pak Wir, mengapa mesti dipertanyakan lagi. Mungkin engineer-nya belum baca peraturan ya pak ?

Ya begitulah, suatu pertanyaan yang kelihatan sederhana, yang sering aku jumpai ketika ketemu dengan para alumni perguruan tinggi bergelar sarjana teknik yang bekerja di konsultan rekayasa. Padahal menurutku, jawabannya sendiri tidak sesingkat pertanyaannya. Aku bisa membayangkan, bahwa pertanyaan tersebut timbul ketika pada suatu kasus terdapat berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus penampang yang telah memenuhi syarat perencanaan (R <1), lalu dijumpai juga ternyata ada 1 atau 2 penampang yang ternyata tidak memenuhi persyaratan tersebut. Ibarat ada 100 yang di-check ternyata diketemukan 1 atau 2 yang gagal, yang berarti hanya sekitar 1 atau 2% saja. Jika karena itu kemudian dilakukan iterasi atau perhitungan lagi, maka tentu bikin repot. Itulah mengapa, untuk mengantisipasi “yang hanya sedikit itu”, mereka mencoba mencari pembenaran (untuk tidak melakukan perhitungan ulang) dengan bertanya itu kepadaku. Nah lho kalau begitu bagaimana untuk menjawabnya.

Paling aman ya tentu saja menjawab seperti yang pertama aku sampaikan tadi, bahwa R harus lebih kecil satu ( R < 1). Karena bagaimanapun, katakanlah ada bangunan yang roboh, lalu dilakukan pemeriksaan oleh para ahli, maka pertama-tama langkah yang paling mudah adalah dengan memeriksa dokumen perencanaan struktur-nya. Jika kemudian dapat dijumpai bahwa pada komponen yang roboh tersebut ternyata mempunyai kondisi R > 1, maka para pemeriksa tersebut dapat dengan mudah menuduh bahwa perencanaan struktur-lah yang bermasalah. Padahal kenyataannya bisa saja karena kontraktor-nya yang ceroboh sehingga mutu material strukturnya tidak sesuai spesifikasi. Maklum, untuk yang terakhir ini yaitu menemukan keteledoran kontraktor dengan mutu materialnya, tentu perlu kerja yang lebih keras lagi, seperti melakukan coring sampel beton (itu jika struktur beton) atau hal lain yang memerlukan effort yang lebih daripada sekedar memeriksa dokumen perencanaan. 😀

Jadi jelaslah bagi seorang perencana struktur dalam menyiapkan dokumen-dokumen perencanaan yang dibuat, jangan sekali-sekali menunjukkan kondisi-kondisi yang rawan secara tertulis, yang bisa saja itu dijadikan alat bukti untuk menunjukkan kesalahan kita (engineer-nya).

Kalau begitu dihapus saja ya pak atau tidak ditampilkan.

Ya nggak dong, itu namanya nggak jujur. Bagi seorang engineer kejujuran adalah suatu hal yang penting saja. Bagaimanapun adanya R > 1 adalah indikasi ada sesuatu yang perlu menjadi perhatian yang seksama bagi engineer. Minimal dapat diketahui mengapa itu bisa terjadi, misal ukuran penampangnya dibatasi, atau ada beban yang sangat besar dan lain sebagainya.

Emangnya kalau R > 1 maka strukturnya nanti akan roboh ya pak Wir ?

Nah kalau pertanyaannya seperti ini maka lain ceritanya.

Pertama-tama tentu perlu ditanya terlebih dahulu, apakah asumsi desain yang digunakan seperti halnya beban rencana, spesifikasi bahan material struktur yang dipilih, kondisi dan bentuk geometri struktur yang dibuat, serta yang lain sebagainya, apakah sudah terwakili oleh model struktur yang dianalisis atau tidak. Ingat, model struktur itu sendiri merupakan hasil interprestasi engineer berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya terhadap suatu struktur real, yang mana itu dibuat agar dapat diformulasi perilaku struktur, dan diselesaikan (solved) dengan metode dan teknologi yang tersedia. Jadi jika jaman dahulu hanya dipakai jangka-hitung atau kalkulator maka tentunya model tidak bisa sedetail (complex) mungkin.

Jadi dengan demikian, apa yang diperkirakan sudah R > 1 pada model yang dianalisis, tetapi pada kenyataannya ada faktor-faktor yang belum diperhitungkan yang ternyata menyumbang atau menambah kekuatan struktur. Itu berarti meskipun R > 1 tetapi strukturnya tetap ok-ok saja. He, he, kalau ini mah namanya faktor keberuntungan.

Kedua, pada semua perencanaan ultimate (baik yang menurut ACI maupun AISC, juga ASCE) kondisi ultimate suatu struktur diperoleh berdasarkan beban rencana dikalikan dengan beban terfaktor (sesuai kasus beban yang ditinjau). Nilai beban terfaktor tersebut diperoleh secara statistik atau probabilistik. Jadi jawaban terhadap suatu nilai R <1 dibanding R > 1 hanyalah terkait dengan faktor risiko. Jika R <1 maka risiko keruntuhan akan lebih rendah dibanding jika penampang tersebut mempunyai kondisi R > 1. Dengan demikian pernyataan pastilah akan runtuh, tentu tidak akan berlaku mutlak.

Ketiga. Untuk membicarakan runtuh atau tidaknya suatu struktur, maka selain segi kekuatan (strength) dan juga kekakuan (stiffness) maka segi daktilitas atau ductility perlu juga dimasukkan dalam pertimbangan.

Nah sebelum masuk pada tahap berikutnya, saya perlu bertanya dahulu apakah anda tahu caranya mengakses atau mengetahui daktilitas struktur.

Tahu pak, untuk penampang beton maka tulangannya harus pada kondisi under-reinforced. Jadi nggak boleh banyak-banyak, harus dibatasi sedemikian sehingga keruntuhan akan terjadi pada tulangan terlebih dahulu, yaitu mengalami leleh.

Betul. Tapi itu berlaku pada perilaku penampang, yang bersifat lokal atau setempat. Bagaimana pada daktilitas pada tingkat struktur secara global. Apakah bisa memakai cara analisis struktur elastis-linier biasa seperti metode cross, atau metode slope deflection, atau bahkan metode matrik yang berbasis komputer.

He, he, jelas tidak. Selama analisa strukturnya yang digunakan adalah elastis linier biasa, maka perilaku daktail atau tidaknya suatu struktur tidak dapat diakses.

Lho koq begitu pak. Khan masalah daktilitas itu penting sekali untuk mengantisipasi bahaya gempa. Selama ini untuk perencanaan hanya digunakan hasil dari analisis struktur elastis-linier saja. Ada juga sih yang bersifat non-linier, tetapi umumnya terbatas dalam memperhitungkan pengaruh efek P-Delta pada struktur. 

Wah kalau hanya itu saja, maka jelas akses tentang daktlitas struktur tidak bisa diusahakan.

Lho kalau begitu bagaimana dong mempertanggung-jawabkan hasil analisis dan desain untuk perencanaan bangunan tahan gempa yang selama ini diusahakan.

Wah kalau itu sih jangan kuatir. Perilaku daktail dari suatu struktur dapat diusahakan, yaitu dengan memakai detail-detail yang memang direkomendasikan peraturan (code-design).

Jadi kalau diperhatikan, selama ini penggunaan desain dengan program  SAP2000 atau ETABS sekalipun sebenarnya hanya memberikan petunjuk akan jumlah luas tulangan perlu (itupun jika R < 1). Adapun bagaimana detail pemasangannya, maka program akan menyerahkan sepenuhnya pada code-design. Itu juga berarti bahwa ahli dalam pemakaian program (SAP2000 atau semacamnya) tetapi tidak tahu (tidak ahli) akan persyaratan-persyaratan detail pemasangan sesuai code-design maka tidak ada jaminan akan dihasilkan bangunan tahan gempa, yang memang mensyaratkan daktilitas yang tertentu.

Emangnya setelah mengikuti persyaratan pendetailan pasti strukturnya daktail.

Wah kalau pasti itu sih tergantung jenis strukturnya. Pendetailan lebih diutamakan untuk mengusahakan daktilitas pada bagian yang didetailkan tersebut, jadi sifatnya lokal atau setempat. Memang sih, jika setiap bagian (yang lokal tadi) telah bersifat daktail maka harapannya strukturnya secara keseluruhan juga akan bersifat daktail. Hanya memang, pernyataan itu hanya benar jika strukturnya bersifat statis-tak-tentu atau mempunyai derajat ketidak-tentuan statis yang tinggi. Kalau hanya statis tertentu biasa, maka jelas tidak bisa diusahakan.

Koq bisa begitu pak. Ilmunya apa itu pak ?

Yang jelas tidak bisa mengandalkan metode cross atau metode slope-deflection dan semacamnya. Untuk memahami apa yang aku ungkapkan di atas maka diperlukan mempelajari “analisa plastis” secara manual, atau bisa juga mempelajari push-over analysis.

Gitu ya pak. Lalu apa hubungannya dengan judul threat ini, yaitu jika R > 1.

Belum paham ya. Memang sih, seperti yang aku ungkapkan tadi. Pertanyaan tentang bagaimana R > 1 memang tidak dapat secara gampang untuk dijawab. Maklum untuk suatu kondisi tertentu, struktur dengan R > 1 bisa saja aman-aman saja, tetapi bisa juga untuk struktur yang lain ketika R > 1 langsung kelihat deformasi yang besar (fail).

Intinya, untuk struktur yang daktail dan mempunyai derajat ketidak-tentuan statis yang besar (struktur statis tak tentu) maka keberadaan R > 1 (dengan catatan perilaku keruntuhannya adalah material, yaitu yielding) tidak akan menimbulkan masalah, karena dapat mengalami redistribusi tegangan atau gaya sedemikian sehingga kelemahan suatu elemen akhirnya terkompensasi oleh elemen lain.

Masih bingung pak.

Nah, itulah gunanya mempelajari structural engineering,  khususnya topik tentang ductility, plastic analysis, momen plastic dan sebagainya. Threat ini sekedar pengantar menuju ke situ. Jika masih saja bingung maka jangan ambil risiko untuk perencanaan, selalu pastikan R < 1. Karena kalau nggak bisa kasih argumentasi, dan nanti jika ternyata ada kegagalan, maka andalah kambing hitamnya. 😀

30 tanggapan untuk “Capacity Ratio lebih dari 1, boleh pak ?”

  1. Cak Gun Avatar

    Bingung saya Om 🙂

    Suka

    1. Yose RIzal Avatar
      Yose RIzal

      sama..
      hihihi 😀

      Suka

  2. Ahmad Avatar

    Bagus ulasannya. Trims

    Suka

  3. Tas Kulit Asli Avatar

    Berdasarkan pengalaman, Kami gunakan stress ratio 0,7 – 0,9 agar malamnya tidak kepikiran. Hehe

    Suka

  4. Rahasia Cantik dan Ganteng Orang Asia Avatar

    ikut nyimak om,masih belum paham dengan istilah istilah tersebut,hee hee..

    Suka

  5. afrizal ramadhan (@AfrizalRamadhan) Avatar

    kebiasaan dalam sebuah perencana struktur di lapangan, maka mudahnya ambil ratio<1. jika terjadi beban besar pada suatu waktu, impact, 0.95 menjadi sandaran, jika beban berlangsung secara terus menerus, biasa ambil 0.75. ntah itu decision maker para sesepuh dilapangan atau memang wangsit ya pak,

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      “jika beban berlangsung secara terus menerus, biasa ambil 0.75”

      Ratio yang saya sampaikan di atas adalah didasarkan pada kriteria kekuatan Ru <= phi. Rn. Padahal bisa saja kerusakan terjadi akibat misalnya fatig, yaitu terjadinya fraktur pada kondisi beban elastis (belum mengalami leleh). Nah disitu mungkin logika atau sesepuh anda tadi, karena fatig adalah karena terjadinya beban bolak-balik (fluktuasi tegangan) dan salah satu cara untuk mengatasinya adalah memastikan tegangan yang bekerja jauh di bawah titik kritis untuk timbullnya fatig maka jika ratio diturunkan dari 0.95 ke 0.75 maka tentunya risiko kerusakan terhadap fatig akan berkurang.

      Keputusan seperti di atas cukup relevan untuk struktur jembatan atau struktur yang memikul beban mesin yang bersifat dinamis. Gitu dik kira-kira latar belakang pemikiran sesepuh adik.

      Suka

      1. afrizal ramadhan (@AfrizalRamadhan) Avatar

        oh begitu pak, terimakasih pak, jadi lebih mengerti. ada lagi kasus yang pernah saya temui. pada desain dengan menggunakan salah satu software anaylysis. ketika itu saya menjumpai ratio 1.03 yang pemahaman saya itu fail, akan dari pihak engineering nya itu cukup fair. wah bingung. sebagai info struktur terebut adalah tubular di jepit di tiap ujungnya. terimakasih pak

        Suka

  6. nailahajar Avatar

    Reblogged this on nailahajar_side's Blog and commented:
    Blog Pak Wiryanto, sangat bermanfaat.. Check this out..

    Suka

  7. Afret Nobel, ST Avatar

    Betul itu Pak. Jangan sampai kita jadi kambing hitam atas robohnya sebuah bangunan akibaat kesalahan kita. Nama baik kita akan tercoreng.

    Suka

  8. agung Avatar

    Lebih banyak desain dipengaruhi oleh batas defleksi akibat beban layan jadinya R jauh dibawah 1. Jadi gimana tuh.

    Suka

  9. demsy hutubessy Avatar
    demsy hutubessy

    Selamat sore Pak Wir, ulasan bapak mengenai capacity ratio sangat bermanfaat sekali, mohon maaaf pak mau bertanya, saya ada suatu kasus dimana saya menganalisa bangunan industri pengolahan kelapa menggunakan software etabs, result yang saya dapatkan capacity ratio balok WF ada yang nilainya < 1 yaitu 0,365, namun masih menunjukkan warna merah, di As yg sama, dimensi WF yang sama nilai 0,608 namun menunjukkan warna hijau (yang umumnya seperti itu), apakah tidak ada masalah bila saya tetap berpedoman pada nilai capacity ratio yang ditunjukkan ? dan tidak harus memperbesar dimensi balok WF ?

    Terima kasih Pak

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      pak program Etabs ya untuk program industri. Sebelum dilanjut apakah lantainya memakai pelat beton yang menyatu dengan balok (sayap profil tertanam pelat beton). Jika demikian berarti lateral bracing ada disepanjang bentang, dan tidak ada risiko lateral torsional buckling atau Lb < Lp.

      Jika tidak demikian, maklum bangunan industri cukup pakai pelat baja, maka kondisi di atas belum tentu terjadi. Anda harus menyediakan bracing terlebih dahulu secara khusus, yang jaraknya Lb.

      Maklum ini saya tanyakan karena program Etabs dan program SAP2000 dalam menentapkan Lb berbeda. Pada program SAP2000 yang didesain untuk struktur serba guna maka dia secara otomatis tidak menetapkan Lb < Lp, dianggap sayap profil WF bebas, tidak tertanam pada pelat beton. Adapun jika anda pakai program ETABS yang didesain khusus untuk bangunan bertingkat tinggi yaitu gedung, maka dianggapnya setiap lantai adalah pelat beton atau minimal profil yang jadi balok akan tertanam bagian sayap desaknya sehingga memang tidak akan mengalami LTB, yaitu Lb < 1 tetapi merah, wah apa iya. Pastikan check terlebih dahulu. Mestinya tidak begitu.

      Suka

  10. Afret Nobel, ST Avatar

    Pak Wir. Saya structural engineer di kantornya Pak Ferry. Tahu Pak Ferry kan, Pak? Yang tempo hari nelpon Bapak.
    Oya Pak, sekarang di konsultan kami mendesain struktur baja untuk sebuah gedung trade centre di jakarta. saya mau menanyakan beberapa hal:

    1. Manakah yg lebih baik antara balok baja CBWF (Castella) atau Welded (IWF)?
    2. Apakah ada referensi buku yang menjelaskan cara perhitungan kolom baja komposit? (kasus kolom baja komposit Kingcross).
    3. Bagaimana hubungan sambungan/joint jika balok baja bertemu dengan dinding geser beton? Apakah di Pin atau di Fix?
    4. Apakah jika sudah menggunakan pelat lantai satu arah, balok baja masih perlu diberi lateral bracing?
    5. Apakah ada panjang maksimal kantilever untuk struktur baja? (kasus= kantilever pada bangunan ini hampir 4 meter, direncanakan kantilever menggunakan struktur rangka)

    Mudah-mudahan Bapak berkenan menjawab pertanyaan saya. Atas perhatian Bapak saya ucapkan terimakasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak. Amin.

    Suka

  11. iyus sopandi Avatar
    iyus sopandi

    Izin tanya pak, kalau cara menghitung kapasitas rasio pada suatu rangka atap yg terbuat dari pipa baja dengan sambungan las. Apakah caranya sama atau ada cara yg lain?
    Terimakasih.

    Suka

    1. wir Avatar
      wir

      Ya, caranya sama dik. Pertama asumsi sambungan di abaikan, dianggap secara rangka kontinyu (ini tentu dengan las sekuat profil). Selanjutnya dibuat pemodelan struktur, pastikan antara model dan real ada kesamaan prinsip, jika ada eksentrisitas pada sambungan maka sebaiknya hal itu dapat dimodelkan dengan baik. Note : eksentrisitas dapat menimbulkan momen tambahan. Kemudian dari gaya-gaya internal dan lendutan yang diperoleh dapat dilakukan check penampang, evaluasi per elemen. Petunjuk AISC dapat digunakan, sesuai dengan gaya dan momen yang bekerja, jika batang tarik saja maka Chapter D (AISC 2010) dapat dipakai, kalau tekan maka Chapter E, kalau ada momen gunakan Chapter F dan kombinasi gaya di Chapter H. Jika penampang memenuhi syarat, maka selanjutnya check kondisi sambungan, apakah ukuran atau detail sambungannya mampu mengikuti asumsi yang digunakan, yaitu sekuat profil. Kalau tidak, maka bisa saja proses diulang, kembali kedepan, yaitu analisis yang sesuai dengan kondisi sambungan.

      Suka

  12. luthers Avatar
    luthers

    pak maaf mengganggu, mau tanya jika Mu lebih besar dari Mr pada perhitungan pelat lantai bagaimana solusinya ??

    Suka

    1. wir Avatar

      ya ditebalin pelatnya dong, atau ditambah tumpuannya.

      Suka

  13. Azizi Jamaludin Avatar

    pa kalau rumus rasio = Mu/ Md iru sama aja dengan rumus yang di atas?
    terimaksih

    Suka

    1. wir Avatar

      rumus apa itu mas.

      Suka

  14. kelven Avatar
    kelven

    pak terima kasih ilmu dri web bapak sangat bermanfaat sekali. maaf sebelumnya sy ingin bertanya sy mengalami masalah dlm perencanaan bangunan tingkat tinggi beton bertulang dengan sap 2000. yg sy ingin tanyakan sy merencanakannya dengan menggunakan SRPMK. sy sedang cek hsl dri output designnya. yg sy bingung pak kenapa hasil momen capacity probable yg 1.25fy untuk perencanaan geser pada balok beton menggunakan luas tulangan bukan dri minimun dri perencanaan designnya. sy kira itu akibat 1.25 fy tapi pas sy hitung manual ternyata luas tulangannya yg dipakai beda dan lebih besar (suatu kasus luas tulangan perencanaan 50 mm2 dan luas tulangan untuk momen capacity 2200 mm2). pengaruhnya sy bingung pd penentuan Vu nya kan perbandingan antara Vu factored sama Vsway=Vp+Vg. nah Vp ini kan geser capacity tapi hslnya dari momen capacity baloknya gede akibat masalah tulangan di atas pak. pada akhirnya struktur bisa tidak aman akibat geser Vu nya gede dari momen capacity balok trsbt yg hasilnya beda. (sy pake code design aci 310-08/ibc2009)

    Suka

  15. Wahyu Avatar

    Bagus pak wir

    Suka

  16. Ryan Rifaldi Avatar
    Ryan Rifaldi

    selamat siang pak. stress ratio yg dimaksud disini total ratio dari beban terfaktor atau masing masing dari nilai Pu Mu dan Nu ?

    Suka

    1. wir Avatar

      tergantung dari elemen yang ditinjau, sesuai dengan code-nya. Sebagai contoh untuk LRFD dimana pesyaratannya adalah Ru < phi. Rn maka ratio = Ru / (phi. Rn). Adapun Ru atau Rn tergantung yang ditinjau, jika tarik maka ikuti Chapter D (AISC 2010), jika tekan maka ikuti rumusan di Chapter E dan sebagainya.

      Suka

  17. Ismi Baroroh Avatar
    Ismi Baroroh

    Kalau boleh tau pak Wir code design terkait capacity rasio ini ada di SNI atau ASTM nomer berapa dan tahun berapa?

    Suka

  18. Bryan Avatar
    Bryan

    seharusnya tidak ada pertanyaan seperti itu…bagi orang teknik sangat paham apa artinya rasio…rasio artinya perbandingan antara suatu beban pada suatu objek berbanding dengan kapasitas objek tsb untuk menahan beban itu…..misalnya : berat sekarung beras 100 kg akan dipikul oleh kuli angkut, padahal kemampuan kuli tsb cuma sanggup 80 kg…rasio = 100/80 =1,25 (> 1)…artinya kuli tsb tdk mampu mengangkatnya….begitu juga dengan balok dll, kapasitan balok 10 tm tapi beban maksimum balok cuma 8 tm berarti balok tidak kuat kerena rasio 10/8=1.25 (lbh besar 1)…maaf penjelasannya terlalu detail…

    Suka

  19. As Andika Sah Putra Avatar

    perkenalkan saya andika dari aceh, izin bertanya soal keterkaitan capacity rasio dengan nonlinearitas struktur. maaf saya mahasiswa yang baru lulus dan belum terlalu dalam mempelajari soal daktalitas, momen plastic dan bahkan saya tidak pernah mendapakatnya dikampus saya. jadi pada kasus di tugas akhir saya saya dapat sebuah kasus dimana struktur rasio as pada balok anak di lantai 1 lebih kecil dari pada di lantai dua dengan luas penampang yang sama namun di LT 1 pakai besi D16 dan di LT 2 memakai besi 19. Nah saya terpikirkan bahwa struktur atas ada terjadinya pemborosan, setelah saya mengidealisasikan struktur diatas pada software etabs pada kondisi Linear terdapat sejumlah penampang yang O/S, Namun setelah saya check Terhadap Pengecheckan arah horizontal dan vertikal semua syarat masih terpenuhi, dan pada saat pengecekan dengan pushover analysis persyaratan kinerja di penuhi, Tapi saya masih bingung pak dengan soal ini karena di pernyataan dibeberapa jurnal yg saya baja, kinerja struktur itu bukan global tapi terhadap elemen pembentuknya apa struktur yang saya analisis ini aman atau tidak pak, karena kalau melihat dari penampang untuk bangunan 2 Lt sudah sangat memenuhi sistem rangka pemikul momem khusus….?

    Suka

    1. wir Avatar

      pushover analysis itu memanfaatkan sifat penampang yang daktail dan perilku non-linieritas struktur. Jika kedua parameter terakhir itu belum dipahami, maka bisa-bisa pemahaman anda terkait hasil pushover analysis itu bisa salah.

      Ingat yang kita analisis di komputer itu hanya model, apakah ada hubungan antara model dan kondisi real itu hanya sang insinyur yang memahami. Jadi jika sang insinyur tidak paham, maka hasilnya juga tidak berkorelasi dengan kondisi real, atau dengan kata lain, tidak bermakna apa-apa. Bisa ok, maupun tidak ok.

      Ingat komputer dan programnya hanya alat saja, hasil akhir tergantung isinyurnya.

      Suka

      1. As Andika Sah Putra Avatar
        As Andika Sah Putra

        terima kasih pak, dengan jawaban bapak saya harus banyak belajar lagi nih pak, tapi izin bertanya juga pak ada hal yang masih mengganjal, terkait kolerasi model dan realitanya masih belum terlalu paham pak karena saya masih awal dibagian ini pak. terkait jawaban terkait pertanyaan saya, apakah dengan kata lain struktur yang saya modelkan dengan pushover itu sifatnya tidak daktail karena adanya O/S pada analisis linear elastik.?

        Suka

  20. Willi Avatar
    Willi

    Pak mau tanya, jika hasil simulasi, nilai ratio dalam suatu rangkaian jembatan terdapat perbedaan yg signifikan, misal ada baigan tertentu ya R1 (nilainya ratusan) “Overstressed”..
    ada juga yg kosong nilai rationya, namun di statusnya terdapat kalimat “See ErrMsg”

    itu gmn ya pak??

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com