ASD dan LRFD, mana yang sebaiknya dipilih

Ternyata sampai hari inipun, masih ada yang memperdebatkan tentang ASD dan LRFD. Masih saja ada yang mempertanyakan, mengapa perlu mempelajari LRFD, karena faktanya ASD masih digunakan pada bagian lain di dunia ini. Jadi kalau begitu, apa yang sebaiknya dilakukan.

Threat ini tercetus menanggapi pertanyaan Juragan Awal di salah satu artikel saya, sebagai berikut :

juragan.sipil – 8 Mei 2015 pada 21:41 

Salam, Pak Wir…

Mungkin saya salah kamar nulis komen ini. Tapi mumpung lagi ingat, mending saya langsung cuap-cuap di sini saja pak. 😀

Tentang DAM… saya masih “penasaran” arahnya ke depan bakal seperti apa penerapan metode DAM ini pak?

Soalnya begini. Waktu saya kuliah, saya belajar metode LRFD. Saya kemudian bekerja di konsultan perencana dan ngga menemui masalah yang besar dengan desain dan perencanaan struktur baja dengan metode LRFD.

Lima tahun berikutnya saya masuk ke sisi lain civil engineering, di perusahaan EPC, bagian Engineering Design,… di situ banyak struktur baja berat (non-building).

Dan desain/perencanaanya masih menggunakan ASD! Sampai sekarang. Saya awalnya heran, tapi perlahan-lahan mulai bisa menyesuaikan. Ternyata alasan mereka masih menggunakan ASD antara lain:

  1. Ilmu warisan. Desain struktur yang ada diusahakan mengikuti contoh-contoh perhitungan dan desain dari proyek-proyek sebelumnya. Dan.. kalo ditelusuri… ilmu warisan ini sudah berlangsung selama beberapa dekade. 😀 😀
  2. Nggak ada waktu buat belajar. Kalaupun para engineer-nya disuruh belajar, leader, pemeriksa, QA/QC, sampai ke client yang tugasnya memberikan approval-pun harus belajar. Masalahnya The Approvers ini kebanyakan diisi oleh orang yang sudah (maaf) berumur, dan mereka cenderung “malas” jika ada metode baru di luar metode yang sudah mereka kuasai secara turun temurun.
  3. Code/Standard LRFD yang mengakomodasi kebutuhan desain struktur baja untuk jenis bangunan di sana sangat minim. Kalaupun ada, ngga ada penjelasan atau pedoman lebih jauh, sehingga kesannya mengambang. Misalnya, di bidang onshore ada beban yang dinamakan Piping Load (dalam kondisi Erection, Test, dan Operating), Thermal Load, Anchor Load (angkur pipa), Friction Load (gesekan pipa dengan baja), dll, yang ngga lazim ditemukan di Code/Standard LRFD. Kalaupun ada spesifikasi yang memberikan pedoman, itu sifatnya khusus, dan tiap spesifikasi bisa beda antara satu klien dengan klien lain.

Akhirnya, mungkin karena ngga mau pusing, dipakailah metode ASD. Walaupun kalau ngga salah sejak AISC 2005, metode ASD  mulai “dipanggil” lagi ya pak.

Nah… DAM ini nasibnya di dunia EPC seperti apa kira-kira nanti ya?

Padahal ada satu info yang mungkin menarik…
Software yang populer di perusahaan EPC adalah StaadPro (saya ngga paham kenapa harus StaadPro) 😀
Dan… sejak versi 2007, StaadPro sudah eksplisit mengakomodasi metode analisis langsung (Direct Analysis). Di pilihan Run-nya bisa kita pilih, salah satunya adalah Perform Direct Analysis. Pengaturannya juga ngga sederhana, seperti yang pak Wir katakan di buku Struktur Baja.

Setelah dapat pencerahan teori DAM dari Pak Wir, saya sepertinya mau ngulik-ngulik lagi Direct Analysis-nya StaadPro dengan berpedoman pada apa yang Pak Wir lakukan pada SAP2000 🙂
Kemarin-kemarin belum paham soalnya, pak.. hehe.

Komen saya kayaknya kepanjangan ya pak. Lagi semangatnya coba DAM lagi, setelah sempat ragu dengan masa depannya. 😀 😀

Terima kasih, pak.
Sukses dan sehat selalu.

Jadi bagaimana kita bersikap tentang hal tersebut.

Lanjutkan membaca “ASD dan LRFD, mana yang sebaiknya dipilih”