Saya tertarik untuk membahas tentang skripsi lagi karena masih saja ada pertanyaan sebagai berikut :
Tulisan yang sangat menarik. Pak Wir, saya menangkap argumentasinya sebagai berikut: bagaimana mungkin bisa mengejar perguruan tinggi (PT) luar negeri kalau kita menghapuskan skripsi? (maaf jika saya terlalu menyederhanakan atau salah tangkap)
Yang ingin saya tanyakan: sepertinya banyak (saya tidak tahu persis proporsinya) PT di negara-negara peringkat tinggi (misalnya: australia, usa, uk,…) yang tidak mewajibkan lulus dengan skripsi (by courses?). Apakah ada hubungan antara wajib skripsi dengan kualitas PT? Hubungan kausalitas atau korelasi? Mohon pencerahannya.
Jika tertarik juga untuk membahas dan mendengarkan argumentasi saya, silahkan dilanjut.
Pertanyaan di atas itu sebenarnya adalah tanggapan dari thread sebelumnya.
Pertama-tama, perlu diungkapkan terlebih dahulu bahwa saya pada dasarnya tidak mau merecoki kebijakan pendidikan yang akan diambil pemerintah. Maklum, saya tahu bahwa apapun yang diambil maka argumentasi pendukungnya dapat dengan mudah disiapkan. Tinggal siapa yang ngotot, maka itulah yang menang. Jadi apakah nanti skripsi jadi dihilangkan atau tidak. Que sera-sera sajalah.
Meskipun demikian, karena saat ini hidup dari dunia pendidikan, dan tahu juga bahwa meskipun dulunya bukan seorang bintang pelajar, tetapi karena merasa bisa survive menjadi bagian dari dunia pendidikan itu maka tentunya perlu bersikap.
Dalam hal ini sikapnya adalah bahwa skripsi dan semacamnya adalah ilmu penting yang harus dipelajari. Bahkan juga mengamini yang disimpulkan oleh penanya di atas. Terus terang jika tanpa melalui skripsi dan semacamnya itu, mungkin saya ini bukan apa-apa dan tidak akan seberani ini untuk mandiri.Tahu sendiri, saya ini contoh hasil pendidikan di dalam negeri, yang risetnya di bidang teknik tentu tidak bisa dijadikan mercusuar keilmuan sebagaimana terjadi di luar negeri.
Tentang pentingnya ilmu penulisan skripsi dan semacamnya itu mungkin bisa saya kaitkan dengan pengalaman saya menulis buku struktur baja setebal 760 halaman, yang mungkin belum ada buku serupa dalam bahasa Indonesia sebelumnya. Bayangkan saja, saya bisa menulis buku setebal itu, tetapi kalau ditanya siapa guru saya di bidang ilmu baja, maka saya akan menjawab adalah pak Soetojo di UGM sekitar 30 tahun yang lalu.
Jadi saya hanya punya guru (formal) struktur baja di level S1 di UGM. Pada waktu mengambil S2 di UI dan bahkan S3 di Unpar, saya bahkan tidak diberikan mata kuliah tersebut. Jadi anda tentu akan heran, nggak punya guru koq bisa menulis buku ilmiah lagi.
Itu semua bisa terlaksana, karena saya mendapatkan manfaat dari adanya skripsi-thesis-disertasi yang saya tempuh. Dengan pengalaman menyelesaikan tulisan skripsi-thesis-disertasi itulah maka saya bisa belajar sendiri secara efektif.
Bisa dapat dimengerti atau nggak antara perlunya skripsi dan belajar mandiri. Masih belum mudeng ya ?
Memang, memahami pentingnya skripsi atau thesis atau disertasi memang tidak gampang. Bahkan pada saat lulus S1 pun dan sudah bekerja, saya masih belum memahami maknanya. Jadi ketika itu kalau melihat brosur program S2 dan disebutkan by research. Wah saya pikir ini nggak baik, wong nggak ada perkuliahan.
Waktu itu yang namanya kuliah, ya harus ada kelas ada guru yang ngajar. Tanpa ada itu maka dianggaplah tidak bermutu. Apalagi pengalaman di S1 dulu bahwa skripsi itu dosennya sering mempersulit. Jadi kalau saat itu ada pemikiran bahwa skripsi akan dihapus maka saat itu saya pasti akan mendukung dengan mantap. Skripsi bikin susah, jadi harus dihapus. Begitu pikirku saat itu.
Mempelajari proses pengerjaan skripsi sampai disertasi, saya pada kesimpulan bahwa proses pembimbingan skripsi yang benar itu di dunia pendidikan di Indonesia adalah tidak mudah. Tentu saja sampelnya terbatas pada perguruan tinggi yang pernah saya ikuti. Tetapi karena itu perguruan tinggi yang cukup ternama, maka tentunya tidak terbayangkan di tempat-tempat lain.
Jadi saya bisa membayangkan, jika saat ini proses skripsi dipaksakan dan dikerjakan oleh dosen-dosen yang tidak berkualifikasi, maka tentu hasilnya juga tidak tercapai. Bisa-bisa terjadi skripsi dikerjakan orang lain, atau sekedar copy-and-paste asalkan dosennya tidak mengetahui. Nah kalau ini tetap dipertahankan, maka mubasir sajalah. Khan lebih baik dihapus saja, begitu kemungkinan pendapat dari pak Menteri tempo hari.
Membimbing skripsi itu lebih berat dari mengajar. Ini tentu relatif sifatnya, mungkin ada yang ngomong sebaliknya. Maklum yang namanya skripsi itu khan seperti proses menulis, membuat karya tulis. Semua orang yang pernah kuliah, pasti akan malu kalau dibilang tidak bisa menulis. Jadi karena merasa bisa menulis, maka tentunya setiap dosen bisa membimbing mahasiswa untuk menulis. Begitu khan.
Alasan itu yang selalu digunakan sebagai argumentasi dalam pembimbingan menulis.Tentang menulis, memang begitu : semua orang apalagi dosen selalu merasa bisa menulis. Kalaupun tidak menulis alasannya adalah waktu. Sibuk cari duit. Itu alasan klasik. Jadi dengan itu, bisa dijumpai seorang dosen telah banyak membimbing mahasiswa skripsi tetapi dianya sendiri tidak punya karya tulis mandiri yang bisa dibanggakan. Nah kalau begitu, apa yang dia sampaikan ke mahasiswa pada waktu pembimbingan. Kebanyakan hanya memberi tugas atau perintah, bukan pembimbingan. Inilah yang kadang-kadang memberi kesan skripsi itu sulit.
Padahal sebenarnya nggak seperti itu. Jadi menurutku, untuk melihat apakah pembimbing skripsi itu mempunyai kompetensi atau tidak, janganlah dilihat dari sekedar jenjang kepangkatannya saja, tetapi juga karya tulis yang dia buat. Mengapa demikian, saya coba kutip pendapat berikut :
Kemampuan seseorang dalam menuangkan gagasan secara tertulis merupakan representasi dari kualitas intelektualitas-nya, karena melalui tulisan atau karya tulis (dalam bentuk apapun) seseorang mewujudkan pikirannya. Dari tulisan memang akan kelihatan logika berpikir seseorang. Dengan menulis, seseorang belajar berpikir secara eksak dan padat.
Dedi Supriadi (1997)
Itu pendapat prof Dedi alm. Jadi sebenarnya, tugas skripsi yang diberikan dilevel S1 adalah cara bagaimana melatih mahasiswa untuk dapat menuangkan gagasannya secara tertulis. Jadi jika pembimbingnya saja nggak pernah membuat karya tulis, lalu bagaimana bisa dia membimbing dengan benar. Inilah yang membuat kacaunya dunia pendidikan kita. Inilah yang membuat timbul pertanyaan, apa gunakan skripsi. Toh kalau kerja tidak digunakan.
Sekarang ini masalahnya, meskipun tercantum mata kuliah skripsi, tetapi mahasiswa nggak mendapatkan apa-apa darinya. Jika seperti ini, saya setuju skripsi itu dihapus. Memang nggak mutu.
Nah masalahnya : sudah tahu nggak mutu, bukannya memperbaiki tetapi menghilangkan saja topik yang bikin masalah tersebut. Jika skripsi dihilangkan, khan kesannya tidak ada masalah. Inilah yang terjadi.
Tentang di luar negeri skripsi tidak ada. Jangan itu dijadikan pembanding, kita ini terbiasa dengan budaya lesan, lebih banyak dibicarakan daripada dituliskan, itu tentu berbeda dengan luar negeri.
Memang sih untuk kerja, apalagi yang mengandalkan “bisa karena biasa” maka keberadaan skripsi tidak terlalu signifikan. Hanya orang-orang yang nanti mengandalkan pikiran, kreatifitas dan penemuan maka ketrampilan seperti yang dilakukan pada saat pembuatan skripsi baru terasa. Saya sebagai seorang penulis sangat merasakan itu, bagaimana melihat masalah, bagaimana cara mengungkapkanya dengan benar agar orang lain paham, maka disitulah peran pentingnya skripsi, thesis dan disertasi.
Terlepas dari pendapat orang lain tentang skripsi maka dapat dimisalkan bahwa belajar dengan cara ikut perkuliahan tatap muka itu ibarat membaca buku, adapun belajar dengan cara penulisan skripsi itu ibarat menulis buku. Bagi yang ingin maju, tentu tahu pilihan apa yang harus diambil. Maklum pembaca itu kodian, adapun penulis itu istimewa. Kita mau jadi bangsa kodian atau bangsa yang istimewa.
Tinggalkan komentar