Pepatah di masa lalu mengatakan bahwa bisa menulis buku yang layak disimpan, berarti berhasil menoreh sejarah untuk masa mendatang.
Jika masih ada yang meragukan pernyataaan di atas, maka ada baiknya mempelajari kasus Ilyas Karim. Sosok yang mengaku sebagai pengibar bendera pusaka bercelana pendek di tahun 1945 yang lalu. Sudah tahu belum kasusnya. Jika belum, silahkan baca terlebih dahulu informasi di sini.
Pernyataan beliau (Ilyas Karim) ternyata banyak diragukan. Maklum dalam catatan sejarah yang ada sebelumnya, pelakunya diyakini adalah orang lain, yaitu Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo. Untuk hal itu, maka sdr. Fadli Zon dapat dengan mantap mengatakan hal-hal berikut :
“Saya punya buktinya. Buku-buku sejarah yang saya miliki mengungkap, pria bercelana pendek itu bernama Suhud” kata Fadli.
Di perpustakaan pribadinya, Fadli menyimpan buku-buku kuno, juga barang-barang kuno, termasuk buku yang menjelaskan siapa pria bercelana pendek yang mengibarkan Sang Saka Merah Putih saat detik-detik Proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno.
“Ini demi pelurusan sejarah. Kasihan kalau sejarah sampai dibelokkan. Makanya, saya siap debat Ilyas Karim. Dia bukan pengerek bendera, melainkan Suhud. Fakta sejarahnya ada dalam buku-buku yang saya simpan,” katanya.
Sumber : Kompas.com 25 Agustus 2011
Nah jelas khan, buku (barang mati) lebih dipercaya daripada Ilyas Karim (manusia hidup) jika terkait dengan sejarah. Buku lebih dipercaya karena dibuat di masa lalu, adapun Ilyas Karim diragukan karena baru menyatakan saat ini, dimana pelaku sejarah yang lain sudah almarhum. Itu masalahnya.
Lanjutkan membaca “pentingnya BUKU terhadap perjalanan SEJARAH”