Membahas tentang agama, khususnya di Indonesia adalah sangat sensitif. Apalagi jika itu dilakukan di antara orang-orang yang berbeda agama. Tahu sendiri, untuk agama yang samapun, kadang-kadang materi pembahasan yang disampaikan dapat membuat sakit hati, bagi yang dihakimi perbuatannya berdasarkan interprestasi akan ayat-ayat suci yang ada. Kesannya kalau sudah dihakimi dengan cara seperti itu, tanpa perlu melihat argumentasi yang melatar belakangi, maka pastilah itu suatu kesalahan. Itu terjadi karena ayat-ayat suci suatu agama diyakini sebagai suatu kepastian (kebenaran) mutlak, tanpa perlu pembuktian. Logikanya, jika sesuatu tidak sama dengan “kebenaran” tersebut, maka pastilah itu suatu “kesalahan”.

Jadi kalau begitu, pak Wir nggak percaya akan kebenaran dalam kitab suci agamanya ?

Ya seperti ini misalnya, kalau didepan orang-orang beragama yang militan, maka jelas jawabannya adalah “tentu, saya percaya”. Karena jawaban seperti itulah yang dibutuhkan untuk dapat beragama. Hanya butuh kepercayaan, meskipun tidak ada bukti yang dapat dijadikan pegangan akan kebenarannya. Ini ayatnya.

. . . Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya. [Yohanes 20:29]

Adanya kepercayaan tanpa “bukti” itulah yang kadang menimbulkan hal-hal yang kadang tidak terbayangkan oleh orang yang tidak mempercayai. Itulah uniknya agama.

Agama melekat pada pribadi seseorang, termasuk yang berprofesi insinyur. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa di Indonesia semua insinyurnya pastilah beragama. He, he, kalau ada yang protes, silahkan tunjuk diri. Biar pernyataan tersebut dikoreksi. 😀

Nah ini yang menarik, ketika para profesi tersebut mencoba menganalogikan agama dengan profesinya. Ini terjadi mengacu adanya pendapat bahwa ayat-ayat suatu agama hanya boleh diinterprestasikan oleh yang beragama sama. Ini tentu suatu pendapat menarik, dan tentunya tidak mesti diamini oleh semua orang yang beragama sama. Kenapa, karena ini tidak ada di dalam ayat-ayat suci suatu agama, hanya interprestasi saja.

Tetapi yang namanya orang, ada saja yang ngotot bahwa pernyataan di atas adalah suatu kebenaran. Bahkan untuk membuktikannya, karena diungkapkan di antara para insinyur lainnya maka yang bersangkutan mengambil perumpaan insinyur pula, yaitu seperti :

itu ibarat seperti seorang awam (tidak punya gelar S.T) tidak boleh membahas atau memberikan pendapat terkait bidang keinsinyuran yang dimaksud.

Saya lihat banyak yang mengamini akan pendapat tersebut. Hanya saja aku tidak sependapat dan melihat hal tersebut berbeda jika dianalogikan dengan kasus agama. Jelas tidak sama.Perbedaannya jelas, untuk kasus agama yang bikin heboh adalah penganutnya bukan yang membahas atau memberikan pendapat.

Tahu sendiri, jika ada awam memberi pendapat tentang hal terkait keinsinyuran, maka sang insinyur tentunya nggak akan heboh, apalagi membawanya kepengadilan. Kecuali orang awam itu yang punya duit (owner), maka biasanya sang insinyur akan mengabaikan saja pendapat yang dimaksud. Memang sih, jika pendapat yang dimaksud ternyata logis bahkan dapat mengingatkan kembali akan pengetahuan insinyur yang terlupa, maka patutlah untuk dijadikan masukan untuk dipertimbangkan. Artinya seorang awam boleh saja memberi pendapat (boleh diterima atau tidak oleh sang insinyur).

Juga awam yang ingin berpendapat tentang bidang rekayasa, umumnya hanya terbatas pada hal-hal umum. Kecuali jika ternyata yang terlihat awam (nggak punya gelar) ternyata punya pengalaman yang dijalankan secara trial-and-error. Pengalaman itu dapat menjadi bukti bahwa meskipun tidak punya gelar sarjana teknik, tetapi punya kompetensi terkait sesuatu yang telah terbukti memberi hasil. Inilah yang membedakan dengan agama. Bidang rekayasa memang perlu bukti. Nggak ada gunanya ngaku sarjana, master atau doktor, jika uraian atau hasil pemikirannya ternyata tidak bisa dibuktikan. Itu seperti ngomong kanan, tetapi  ternyata kiri hasilnya. Intinya suatu pembahasan terkait rekayasa maka tentunya harus dapat dibuktikan. Tanpa itu, tentu tidak patut untuk dijadikan pertimbangan.

Bagi orang awam, yang benar-benar awam dan tidak punya pengalaman praktis terkait, maka tentunya tidak layak untuk dijadikan panutan di bidang ilmu tersebut. Sedangkan awam (tidak punya gelar akademik yang mendukung), tetapi hidupnya penuh pengalaman di bidang rekayasa, maka mau tidak mau kita perlu mengapresiasinya. Kita yang punya gelar insinyur formal, bahkan perlu belajar darinya, bukannya lalu melarang yang bersangkutan berbicara atau berpendapat tentang hal tersebut.

Memangnya ada yang seperti itu pak ?

Ada saja, seperti misalnya orang kampung (awam dan tidak punya gelar akademis) yang  telah biasa (berpengalaman) membuat jembatan bambu di daerahnya, maka boleh saja dianya punya pendapat tentang material bambu dan mengolahnya menjadi jembatan, sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya. Orang awam (kampung) tersebut sangat boleh membahas, maklum tidak setiap kasus di bidang rekayasa dapat diajarkan perguruan tinggi, sebagai lembaga yang dapat secara resmi mengangkat seseorang menjadi insinyur (karena lulus program studinya) atau tidak.

Jika awam tidak punya pengalaman praktek maupun teori, maka untuk kasus-kasus kecil mungkin bisa saja diakomodasi menjadi pertimbangan. Tetapi untuk kasus-kasus besar, maka suatu pendapat (perencanaan) yang salah akan dapat berakibat fatal bahwa dapat mengganggu keselematan manusia secara langsung.  Oleh sebab itu pendapat awam yang dimaksud adalah wajib diabaikan. Bagaimanpun seorang insinyur harus dapat mempertanggung-jawabkan sendiri akan setiap keputusan rekayasa yang dibuat. Ini penting setiap keputusan rekayasa akan dievaluasi oleh alam. Perencanaan jembatan yang dilakukan ceroboh (tanpa ilmu) maka meskipun didoakan sampai lelah, maka bisa terjadi kegagalan konstruksi. Ini adalah suatu risiko mengapa orang awam tidak berani memberikan pendapat yang aneh-aneh terkait suatu proses rekayasa yang akan dibuat.

Itu juga berarti, bahwa orang yang sok tahu akan bidang rekayasa, akan dievaluasi oleh alam, apakah benar yang bersangkutan memang benar-benar tahu atau tidak tahu. Adanya hal inilah, maka orang awam tentu akan hati-hati untuk memberi pendapat akan hal yang bukan keahliannya.

Juga ilmu rekayasa dan agama tidak ada kaitannya secara langsung.

Esktrimnya, seorang yang menguasi ilmu rekayasa (teknik sipil) tetapi tidak beragamapun bisa saja tetap menghasilkan karya nyata di lapangan. Juga tidak menjamin bahwa meskipun orang tersebut doannya kuat, tetapi jika tidak berilmu, maka jembatan yang direncanakan dibangun bisa mengalami kegagalan.

Betul kan.

4 tanggapan untuk “hubungan antara agama dan insinyur”

  1. arionodhanisblog Avatar

    Pak, ngomong2 kok di UPH teknik sipil itu tangga darurat yang dari baja kok keropos sih Pak, hehehehehehhehhe

    Suka

    1. wir Avatar

      yah namanya saja material baja, tentunya bisa terjadi korosi. Baik pak, masukan Bapak saya informasikan kepada yang berwenang.

      Suka

  2. Nusantara Adhiyaksa Avatar

    memang semua hal yang berkaitan dengan agama pasti baik terutama bagi pengikutnya, namun ada kalanya harus bersikap bijak jika ada Insinyur yang berusaha memaknai berbeda.
    karena Agama mengajarkan kebaikan bukan keburukan dan perpecahan.

    Suka

    1. wir Avatar

      Berbeda nggak masalah pak, selama tidak mengganggu yang lainnya. Toh kalaupun nanti, masuk surga atau neraka, adalah tanggung jawab pribadi masing-masing. Itu nggak terkait apakah yang bersangkutan insinyur, dokter atau profesi lainnya.

      Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com