Pelan tetapi pasti, semua produk yang akan digunakan di Indonesia harus memenuhi kriteria mutu tertentu, yang disebut SNI atau Standard Nasional Indonesia. Maksudnya penting agar masyarakat Indonesia terhindar dari produk abal-abal yang tidak menjamin keselamatan. Contoh penerapan SNI yang mulai digalakkan adalah produk helm :

Kalau nggak berlogo SNI maka dianggap helm-nya tidak bermutu. Ini adalah logo resmi SNI yang dimaksud.

1
Logo SNI yang khas

Adapun logo tersebut nantinya akan ditampilkan pada helm, untuk menunjukkan bahwa produk tersebut bermutu sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

helmsni
Helm berlogo SNI yang dicetak embosh

Logo seperti pada helm tersebut penting, khususnya untuk membedakan helm-helm murah yang bertebaran dijual di pinggir jalan, yang bisa saja hanya indah untuk dilihat tetapi belum tentu berfungsi seperti yang diharapkan. Maklum, untuk mengetahui apakah bermutu, tentunya tidak mudah. Faktanya ada yang bagus dan ada pula yang jelek. Jadi adanya lambang SNI tersebut dapat menjadi tanda, bahwa mutunya sudah mengikuti standar minimum.

Memang sih, tidak adanya logo SNI tidak berarti bahwa produk helm yang dimaksud adalah abal-abal.  Misalnya saja, helm mahal yang dipakai para pembalap asing profesional. Belum tentu ada logo SNI di helm mereka. Meskipun lombanya ada di sini. Mereka tentu akan lebih percaya helm mereka sendiri, meskipun tidak ada logo dimaksud.

Terlepas dari logo pada kasus helm pembalap asing tersebut, maka pada umumnya di Indonesia ada kesan bahwa produk yang berlogo SNI, ada jaminannya.

besitulanganbetonsni
Tulangan baja dengan logo SNI

Jadilah logo SNI sebagai salah satu aspek pemasaran penting, khususnya bagi merk dagang yang belum terkenal. Kalau yang sudah terkenal seperti produk Krakatau Steel misalnya, maka ada atau tidaknya logo SNI tentunya nggak terlalu ngaruh. Hanya saja tentu pemerintah berkepentingan untuk memastikan bahwa logo SNI harus juga dicantumkan pada produk unggulan yang ada, karena kalau nggak ada, maka nanti yang lain tidak merasa bangga memakai logo tersebut.

Pencantuman logo SNI ternyata tidak hanya berlaku untuk produk barang saja, tetapi juga produk buku ketentuan perencanaan atau code. Untuk struktur baja misalnya dapat disebutkan sebagai SNI 1729:2015.  Jika ada yang belum punya, ini ada link dari undiknas.ac.id yang memuat materi tersebut. Seperti halnya produk barang, maka setiap tahapan perencanaan baja yang mengikuti buku petunjuk ber-SNI tersebut tentunya dapat dianggap bermutu. Betul khan.

Gitu ya pak, kalau begitu buku pak Wir yang berjudul Struktur Baja – Perilaku, Analisis dan Desain – AISC 2010 , yang tidak mencantumkan logo SNI, maka tentunya tidak bermutu ya pak ?!

foto1
Buku karanganku yang tidak berlogo SNI

up. . . iya ya . . buku karanganku yang di atas itu tidak ada logo SNI-nya ya.  Eh, tapi itu tidak berarti tidak bermutu lho. Itu kasusnya mungkin seperti helm pembalap asing, yang pakai helm nggak ada logo SNI, tetapi tetap berani membalap karena yakin helm-nya tetap bermutu.

Ngeles !

Baiklah pak, kalau begitu saya harus jujur nih. Untuk buku baja yang saya tulis, memang tidak mencantumkan SNI, karena memang kenyataannya memang demikian. Waktu buku itu ditulis, yang ada saat itu hanya draft, RSNI. Jadi belum ada itu SNI 1729:2015. Ingat buku Struktur Baja edisi 1 keluar sekitar April 2015. Jadi kalau saya mencantumkan logo SNI maka  itu tidak benar adanya.

Meskipun tidak ada logo SNI tetapi jangan ragu dengan mutunya. Itu khan asli tulisanku, dan selama ini khan terbukti kalau tulisan-tulisan yang aku buat adalah sangat bermutu. He, he, ini nggak nyombong lho, ini fakta. 😀

<< pede Mode ON>>

Meskipun secara tampilan tidak ada logo SNI tetapi jangan kuatir, buku saya itu isinya sama atau bahkan lebih baik dari materi SNI 1729:2015. Maklum pada waktu nulisnya adalah bersandar penuh pada code AISC 2010, yang dijadikan sumber terjemahan SNI kita. Jadi buku saya di atas tersebut juga dapat dijadikan pembanding juga untuk SNI 1729:2015, khususnya jika ada yang bingung. Oleh sebab itu tidak salah juga jika saat ini buku tersebut menjadi buku pertama di Indonesia yang benar-benar dapat dipakai untuk perencanaan struktur baja yang mengacu ke SNI 1729:2015 tersebut.

O ya, jangan ngaku ahli struktur baja yang up-dated, bila belum membaca buku tersebut. Bisa-bisa yang dikuasai baru sebagian yang ditulis dalam buku tersebut. Oleh sebab itu, memiliki buku tersebut adalah wajib hukumnya untuk ahli baja. Tentang hal itu, maka ada berita gembira khususnya bagi para ahli atau praktisi konstruksi yang belum memiliki buku tersebut dan kebetulan hadir di acara seminar HAKI 2017 akhir bulan ini. Silahkan deh untuk mampir ke stand LUMINA Press. Ini beritanya. Buku tersebut dapat dibeli di acara tersebut, tanpa harus on-line selama ini. O ya, sebagai penulisnya saya juga akan hadir di acara tersebut, saya akan mempresentasikan salah satu hasil riset saya ke masyarakat konstruksi. Presentasi saya di hari ke dua seminar. Ini jadwal acara hari ke-2. Dukung ya.

Ya, ya pak. Kembali ke SNI lagi ya. Kalau begitu, apakah setiap ketentuan yang memakai logo SNI dapat dijamin mutu dan kualitasnya dan langsung dapat dipakai ?

Mestinya begitu ya. Hanya saja kalau langsung dapat dipakai . . .  oleh sembarang orang, dan bukan ahlinya. Wah nanti dulu. Jujur,  . . . saya masih banyak mikir kalau pakai produk ketentuan sendiri. Kalau ternyata ketentuan yang dibuat itu adalah mencontoh atau foto-copy produk luar, saya bahkan merasa lega. Aneh ya, ini khan tidak baik. Bisa-bisa orang Indonesia akan ragu memakai buku saya juga yang produk lokal. Mereka tentu berpikir, dari pada pakai buku terjemahan, yang mungkin bahasanya tidak baik, maka lebih baik beli dari luar saja. Beres.

Iya khan. Pasti akan ada orang yang berpikiran seperti itu. Oleh sebab itu apa-apa yang kutulis di buku tersebut di atas adalah asli buah pikiranku, itu tulisan baja-nya Wiryanto. Orisinil dan belum pernah dipublikasikan oleh orang lain selain Wiryanto.

Ya, ya pak Wir, aku percaya koq !

Kalau copy produk dari luar, lega. Tetapi kalau ketentuan yang dibuat itu dikatakan asli (bukan mencontoh dari luar). Nah biasanya aku mikir dua, tiga kali. Maklum orang Indonesia itu khan jarang yang bikin riset. Jadi kalau tanpa itu, lalu bisa bikin ketentuan sendiri (tidak mencontoh), maka bahkan curiga. 😀

Terus terang aku juga sering di ajak untuk jadi narasumber. Itu dua tiga tahun lalu, sekarang sih jarang ada undangan yang datang. Tetapi kalau mempelajari dari cara bagaimana code SNI itu disusun maka, aku bisa memahami “mengapa aku punya keraguan tersebut”.

Peraturan yang berlabel SNI umumnya dibuat berdasarkan konsensus “banyak ahli”. Sampai di sini  tidak ada yang salah. Hanya saja yang disebut ahli itu, bisa berbeda-beda kriterianya. Kalau saya perhatikan, “banyak ahli” itu berarti menyangkut institusi-institusi penting dapat terwakili. Jadi SNI yang beredar adalah yang sudah mendapatkan kesepakatan dari orang-orang yang mewakili institusi tersebut. Sampai di sini juga tidak ada yang salah.

Hanya saja kemudian, yang disebut terwakili adalah lebih pada lembaga dan jabatan orang di lembaga tersebut. Jadi misalnya Jurusan Teknik Sipil UPH dianggap sebagai institusi yang bisa mewakili, maka jika ketuanya yang hadir, itu sudah tepat. Sampai disini juga tidak ada yang salah. Hanya saja yang dibahas di dalam SNI itu khan banyak sekali macamnya. Tidak setiap hal pasti dapat dikuasai oleh pejabat tadi. Jadi bisa saja yang disebut representatif itu sebenarnya tidak tahu masalah yang dibahas, atau nggak kompeten.

Tidak hanya jabatan, mungkin juga karena dikenal. Ini seperti pengalaman saya ketika diundang jadi narasumber. Pada kasus tertentu memang saya menguasai, tetapi pada kasus lain ternyata bidang yang dibahas tidak saya kuasai. Tetapi karena ada undangan ke saya, maka saya datang juga. Ketidak-tahuan saya tersebut ternyata tidak menjadi masalah, karena yang mereka butuhkan hanya kelengkapan saja, yang penting ada gelar akademis yang mentereng atau jabatan, lalu nama institusi yang kredibel. Beres, . . . . padahal materi yang dibahas sebenarnya awam bagi saya. Tentang hal itu, saya tidak protes. Maklum pulangnya diberi bekal amplop. Thank you.

Oleh sebab itu saya bisa memaklumi jika ada hasil produk SNI, meskipun sudah melibatkan banyak orang (ahli) untuk pembahasannya, tetapi ternyata . . . . . .  Kalau produk SNI yang dibuat adalah terjemahan dari ketentuan asing. Nggak ada masalah itu. Para praktisi akan langsung murujuk pada sumber asli untuk membandingkannya. Ini persis ketika nulis buku struktur baja, karena SNI 1729 yang terbaru belum keluar (saat itu) maka aku langsung ke sumbernya, yaitu AISC 2010.

Nah kalau panitia penyusunnya agak kreatif, yaitu tidak puas dengan yang ada dan ingin memasukkan ide orisinilnya sendiri. Ini yang aku kuatirkan sekali. Maklum kita itu khan bangga jika disebut “tidak meniru”, bangga kalau disebut itu “ide asli”. Hanya saja improvisasi yang mereka buat, tidak didasarkan dari pengalaman riset dan pendalaman ilmu yang matang. Pokoknya kreatif, dan berbeda saja lah. Nah kalau seperti itu, maka hasilnya kadang tidak bisa dipakai. Nggak percaya, ini aku beri contohnya.

hal-1
Salah satu SNI untuk pengujian mutu kayu konstruksi

Tampilannya sangat elegan dengan mencantumkan logo SNI dan juga kode nomornya, yaitu SNI 03-3399-1994. Kalau mau membaca keseluruhan ini aku up-load, silahkan di download *.PDF (461 kb).

Sudah di download, sudah dibaca lengkap ?

Hanya 16 halaman, dan di halaman belakang terlampir ada lebih dari 50 ahli yang terlibat di dalamnya. Luar biasa khan. Anda melihat ada yang aneh nggak ?

Jika anda bukan orang kayu (ahli kayu dan berpengalaman riset tentang kayu), maka tentu tidak ada yang aneh di peraturan tersebut.  Tetapi bagi orang kayu, saya termasuk disitu maka jelas bahwa isi materinya sebenarnya sama dengan isi materi pengujian ASTM, tepatnya ASTM D143 – Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber. Tetapi mengapa dalam SNI 03-3399-1994 itu tidak disebutkan sama sekali sumbernya. Malu atau biar dilihat orang awam sebagai inovator ?

Apa yang tercantum pada SNI juga hanya sebagian kecil dari ASTM. Saya nggak tahu apa maksudnya. Padahal untuk pengujian tersebut ada beberapa sampel uji yang harus dibuat. Aku tahu betul, karena ketentunan ASTM D143 tersebut aku jadikan materi praktikum mata kuliah kayu di Jurusan Teknik Sipil UPH.

O ya gambar-gambar yang ada di SNI itupun ternyata unik, gambar tangan. Mungkin berharap ada kesan ini asli produk Indonesia. Ini yang kau maksud,  perhatikan yang diberi warna kuning, nanti aku bahas.

hal-4
Illustrasi tangan terkait ketentuan pengujian kayu

Keren khan ?

Bagi awam mungkin ya. Maklum itu gambar tersebut tidak ada ditemukan di code lain di manapun di dunia. Itu asli produk Indonesia. 😀

Wah kalau begitu orisinil pak, produk asli Indonesia. Bangga kita dengannya !

Aku belum selesai. Memang benar gambar itu tidak ada yang lain, kecuali di Indonesia, tepatnya di SNI 03-3399-1994. Tetapi sebenarnya jika memahami benar cara pengujian kayu, maka petunjuk pada gambar di atas adalah SALAH. Itu sampelnya nggak boleh dijepit.

Kalau nggak percaya coba sendiri aja deh. Itu sampel, ketika dipegang dengan cara di klem langsung pada mesin UTM (Universal Testing Machine) maka bisa-bisa sampel kayunya putus, bahkan sebelum diuji tarik. Maklum klem itu khan kayak dijepit, bisa-bisa posisi jepit nggak pas, jadi timbul momen pada sampel.

Agar pegangannya tidak menjepit sampel itulah, maka pada ASTM D143 perlu peralatan khusus. Ini aku tampilkan prosedur yang benar.

D143-22

Ini untuk tarik. Itu foto pada ketentuan ASTM D143, lebih jelas khan. Nggak ada itu jepitan di kayu. Itu makanya sampel kayunya perlu dibuat bertakik. Jadi pegangannya bukan jepit tetapi semacam sendi (nggak ada momen).

Itu tadi tarik sejajar serat, ini sampel untuk uji tarik tegak lurus serat.

D143-24

Itu juga tidak ada jepitan untuk memegang sampel-nya. Jadi adanya penulisan tentang jepitan pada sampel menunjukkan bahwa penyusun SNI di atas tidak memahami ketentuan pengujian yang ditulis pada SNI tersebut.

Tentang hal itu, kadang aku jadi mikir, mengapa konstruksi kayu di Indonesia tidak maju adalah karena yang bertanggung-jawab untuk menyusun peraturan atau semacam itu adalah orang yang bukan ahli dibidangnya, dan juga yang ahli di bidangnya tidak peduli dengan kesalahan yang ada. Ini yang lebih kasihan adalah orang-orang yang tidak tahu dan baru ingin belajar.

Jadi ini hanya salah satu fakta yang menyebabkan saya kadang ragu kalau memakai sumber-sumber ilmu dari dalam negeri. Bukan karena tidak nasionalis, tetapi begitulah . . . 😀

5 tanggapan untuk “sudah mengacu pada SNI-kah anda ?”

  1. rizky.sadewa Avatar

    Artikelnya bagus pak, menurut bapak kalau saya sebagai anak muda yang ingin menciptakan produk sendiri seperti paket wisata, apa kah SNI diperlukan pak? Apakah ada? Karena memang sekarang saya sedang merintis travel agent sendiri sekarang.

    Suka

    1. wir Avatar

      SNI adalah suatu cara standardisasi.Mirip-mirip juga dengan ISO. Adapun yang distandardisasi itu bisa berupa produk fisik maupun produk jasa. Untuk mencapai standar yang sama, maka yang dievaluasi tidak hanya hasil akhir tetapi juga langkah proses yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Dengan demikian orang-orang yang memahami standar, maka ketika menjumpai barang atau jasa tertentu yang mengikuti standar tersebut, maka bisa membayangkan hasilnya terlebih dahulu, tanpa harus mencoba dulu. Jadi adanya SNI atau standar menyebabkan orang lain percaya akan kualitas atau mutu yang dimaksud.

      Dengan cara pikir seperti itu maka tentunya produk anda terkait paket wisata bisa juga menerapkannya. Untuk paket wisata tentu ada dua hal yang menjadi pertimbangan, yaitu ijin dari pemerintah, sumber dana dari bank dan konsumen pemakai. Untuk pemerintah dan sumber dana (bank) khan yang dijumpai tertentu, oleh sebab itu ikuti saja persyaratannya. Adapun untuk konsumen pemakai khan bervariasi, tiap-tiap negara bisa berbeda-beda permintaan dan sebagainya. Oleh sebab ada baiknya memahami standar merek terkait wisata. Jika ada, maka tentu itu bisa dijadikan keunggulan marketing produk jasa anda. Hanya saja, saya tidak tahu standar apa yang cocok, maklum jarang ikut wisata sih. 😀

      Suka

      1. rizky.sadewa Avatar

        Wah, makasih pak info nya. Kapan2 wisata pakai jasa aaya saja hehe.

        Suka

  2. Ridwan DA Avatar
    Ridwan DA

    Selamat sore pak Wir,

    Mau tanya untuk SNi yg diberlakukan wajib atau tidak. Di website BSN http://sispk.bsn.go.id/SNI/DaftarList terdapat banyak SNI yg wajib, tapi ada juga yg tidak ada. Contoh SNI 7860:2015, tidak ada dalam daftar, apakah artinya SNI ini tidak wajib untuk diikuti pak? Setahu saya, SNI 7860 itu ikut AISC 340-10, dan bahkan sudah ada yg baru lagi 340-16. Mohon pencerahannya pak Wir. Kemudian ada lagi untuk beton 2847, di website itu ada tahun 1992, untuk code baru yg 2013 dan 2019 apakah juga tidak wajib pak?

    Terima kasih, pak Wir
    Salam Sehat selalu.

    Ridwan DA

    Suka

  3. Ridwan DA Avatar
    Ridwan DA

    Maaf pak Wir, salah tulis code.
    Harusnya AISC 341.

    Ridwan DA

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com