Besok adalah Kamis tanggal 17 Agustus 2017, kita bersama akan merayakan hari kemerdekaan NKRI yang ke-72.

Sebagai warga negara yang sangat mensyukuri akan arti kemerdekaan, maka besok pada Upacara Proklamasi Kemerdekaan di kampus, saya akan tulus dan hormat pada Sang Saka Merah Putih, yang melambangkan KEMERDEKAAN INDONESIA !

Kemerdekaan ini bagiku sangat bermakna, khususnya kalau melihat perkembangan akhir-akhir ini di masyarakat yang kadangkala tidak bisa dinalar, khususnya jika dikaitkan dengan “keyakinan agama” . Kesannya, pokoknya kalau terkait agama, maka semuanya adalah benar adanya. Nggak perlu diperdebatkan. Persoalan itu tidak hanya terjadi di awam saja, bahkan telah  melibatkan orang-orang yang disebut awam sebagai tokoh agama. Adanya kondisi seperti itu tentu dapat dibayangkan jika negara ini tidak berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Jika itu terjadi, maka tentu golongan agama minoritas akan terdampak nyata dan bisa-bisa tidak bisa merasakan apa arti kemerdekaan ini.  Oleh sebab itu kalau masih ada teman-teman dari golongan agama minoritas yang tidak mensyukuri akan arti kemerdekaan ini, lalu apa lagi yang mau diharapkan.

Untunglah permasalahan yang dibicarakan di atas, hanya terjadi pada segelintir orang, dan bersyukurlah bahwa pemerintahannya saat ini sangat membanggakan. Meskipun tentu saja masih saja ada disana-sini, yang tidak puas. Maklum itu seperti kemauan kelompok yang tidak terakomodasi. Tahu sendiri, yang namanya kekuasaan memang banyak yang memperebutkannya. Adapun yang sudah mendapatkan bagian, akan senyum-senyum, sedangkan yang tidak mendapatkannya pasti akan gembar-gembor meributkannya.

Bagaimana pak Wir makna kemerdekaan di dunia pendidikan / sekolah atau perguruan tinggi ?

Ini pertanyaan yang tidak gampang. Jika menyangkut kehidupan kita sebagai anggota masyarakat. Pada kondisi seperti ini, kita tentunya tahu bahwa yang namanya pendidikan tidak bisa dilepaskan dari uang. Itu juga berarti yang belum punya kemerdekaan finansial (uang), maka pendidikan yang diharapkan tentu tidak bisa seenaknya sendiri. Terkekang, yang berarti belum merdeka.

Di sisi lain, menjadi dosen di jaman kemerdekaan saat ini adalah “lebih terhormat”. Bagaimana tidak, dosen yang sudah mempunyai sertifikasi atau disebut dosen profesional, maka akan mendapatkan tunjangan pemerintah, tambahan dari gaji yang ada. Enak banget khan. Saya saja sebagai dosen di perguruan tinggi swasta juga bisa mendapatkan  keuntungan tersebut, apalagi kalau dosen di perguruan tinggi negeri. Pasti akan mendapatkan prioritas yang lebih baik lagi. Kondisi seperti ini tentunya dapat dimaknai bahwa dosen atau guru di jaman sekarang ini telah mendapatkan penghargaan yang lebih baik lagi.

Situasi seperti itu kelihatannya telah banyak diketahui orang. Oleh sebab itu banyak lamaran kerja yang masuk di kampusku untuk menjadi dosen. Hanya saja masalahnya, selama dosen-dosen yang ada masih mampu mengajar mata kuliah, maka tentunya penerimaan dosen belum dibuka. Tahu sendiri khan, jadi dosen di perguruan tinggi swasta adalah harus efisien dan optimal. Dosen tetap diharapkan bisa mengajar lebih dari satu mata kuliah. Itu pula alasannya, karena latar belakang ilmu utamaku adalah “rekayasa struktur” atau structural engineering, maka mata kuliah yang kuajarkan juga bisa bermacam-macam asal terkait bidang ilmu tersebut. Mata kuliah yang pernah aku pegang di Jurusan Teknik Sipil UPH adalah analisa struktur, fisika mekanik, rekayasa struktur, komputer rekayasa struktur, struktur baja (I, II dan III), struktur kayu, bahkan tool yang biasa aku gunakan, yaitu bahasa pemrograman komputer (ini sih hobby-ku juga). He, he, . . . , kelihatannya banyak tetapi sebenarnya nggak juga, maklum ilmu-ilmu tersebut pada prinsipnya mirip. Oleh sebab itu mengajar sebanyak itu karena masih saling terkait, maka tidak menjadi beban bagiku.

Struktur beton juga pak ?

Mestinya bisa juga. Hanya saja untuk mata kuliah struktur beton di UPH, masih di bahwa tanggung jawab, Prof Harianto. Dulu sebelum saya memegang banyak mata kuliah, saya pernah menjadi asdos mata kuliah tersebut.

Apa dampak kemerdekaan bagi dosen seperti bapak ini ?

Saya bisa berkarir sesuka hati saya, dalam hal ini adalah hidup berkarir sebagai dosen. Dulu ada kesan kalau dosen itu tidak bisa dijadikan mata pencaharian pokok, duitnya kecil. Jadi kalau ingin finansial-nya cukup m aka harus aktif ngobyek, jadi pemborong. Memang sih, kalau mengamati dosen-dosen saya dulu yang mobilnya bagus-bagus dan kaya, pasti bekerja juga sebagai pemborong. Kelihatannya keren (waktu itu) tetapi sayangnya setelah mereka pensiun maka tidak ada jejak intelektual yang ditinggalkannya. Nah karena saya sekarang bisa hidup dari gaji dosen saja, dan tidak harus ngamen di tempat lain (waktu habis di jalan) maka ada waktu bagiku untuk menulis,  yah seperti ini. Ini aku kerjakan sore setelah jam kerja di kampus.

Nah terkait dengan pekerjaanku menulis itu, maka saya bisa benar-benar merasakan apa itu arti kemerdekaan, yaitu kebebasan untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Tentu saja itu masih terbatas sesuai ilmuku, yaitu teknik sipil. Untuk hal lain tentu harus hati-hati, apalagi jika terkait SARA.

Juga karena ketertarikannya dalam menulis, maka saya dapat melihat banyak teman-teman dosen-dosen Indonesia, khususnya bidang teknik sipil, sebenarnya masih dalam kondisi terjajah. Terjajah bukan dalam hal kebebasan finansial (waktunya habis untuk cari duit). Kalau kalau masalah keuangan, saya melihat sudah banyak dosen yang terpenuhi kebutuhannya. Maklum profesi dosen itu khan berkonotasi positip di masyarakat. Bahkan kesannya sih terhormat. Bagi pengusah, itu khan sangat penting, modal untuk mendapatkan kepercayaan client. Nah karena adanya kepercayaan maka tentu akan berbeda dari orang lain yang tidak punya hal tersebut. Tahu sendiri seorang pengusaha sukses itu modalnya kadang hanya kepercayaan saja lho. Iya khan.

Jadi kalau dari segi materiil sudah baik, mengapa masih disebut terjajah pak !

Terjajah atau tidak, kadang tidak ada hubungannya dari segi materiil (finansial). Memang sih,  dengan adanya dukungan materiil (finansial) maka kita akan lebih mudah untuk membuat pilihan, lebih bebas. Adapun terjajah yang dimaksud adalah terjajah dalam segi ide. Jadi meskipun profesinya adalah dosen, atau guru (sumber pembelajaran) di jaman kemerdekaan ini, tetapi yang diajarkan masih mengandalkan materi dari para penjajah (asing atau bukan bangsa sendiri). Itu sama saja dengan masih terjajah,  iya khan. Mereka-mereka para pengajar di Indonesia umumnya masih mengandalkan (tergantung) produk asing. Mungkin ini kasusnya seperti ibu-ibu pejabat jaman dahulu, yang merasa keren jika memakai produk manca-negara.

Produk mancanegara yang menjadi kebanggaan dosen-dosen teknik sipil Indonesia

Bagi seorang awam, ketika melihat seorang dosen masuk kelas dengan meneteng textbook di atas, mungkin ada yang terkesan, “wah dosennya keren“. Ini dosen up-dated terus ! 😀

Itu orang awam, tetapi kalau saya melihatnya, lain deh. Saya berpikir ini dosen sebenarnya pakar keilmuan atau hanya “tukang” mengajar saja. Saya kuatir yang terakhir, yaitu “tukang” mengajar. Kalau seperti itu adanya, maka dapat dimaklumi jika ada orang awam yang berpikir, bahwa dosen itu bisanya omdo (omong doang), atau teoritis (dengan nada sinis).

Itu yang bernada sinis, tentu berpikir bahwa teoritis itu sama dengan ngomong doang. Yah pendapat orang saja, hanya saja menurutku seorang teoritis itu juga patut dihormati. Jika belum paham maksudnya maka ada baiknya anda membaca artikelku yang di bawah ini.

dosen dan TEORI, adakah yang salah ? – 18 Januari 2017

Kalau untuk kasus yang bernada sinis, maka yang disebut “dosen teoritis” yang dimaksud, tentunya tidak berbeda dari seorang buruh. Jadi bekerjanya hanya sesuai yang diperintahkan pimpinan. Pokoknya bekerja (mengajar) bidang apapun, meskipun latar belakang ilmu yang dimilikinya adalah berbeda dari yang diajar di depan kelas. Untuk pelaksanaannya tidak menjadi permasalahan, tetap percaya diri karena mengandalkan materi dari buku teks-nya. Memang itu nggak salah sih, tetapi untuk hal-hal di luar materi textbook, pasti akan bingung.

Lumayan khan pak, dapat gaji bulanan !

Memang itu motivasinya. Sekedar mendapatkan gajian. Kalau begitu, merayakan hari kemerdekaan beberapa kali atau puluhan kalipun maka keadaan tidak akan berubahPasif  dan tidak memanfaatkan momen kemerdekaan!

Jujur saja, saya bisa berpendapat meskipun kita ini gembar-gembor mengatakan diri “sudah mandiri”, tetapi adanya hal-hal yang sepele di atas dapat menjadi petunjuk bahwa esensi kemerdekaan ditingkat pengajaran di perguruan tinggi masih belum ada. Kita terjajah karena masih mengandalkan produk asing. Kita masih tergantung, belum mandiri. Jadi kalau begitu jangan pernah ngaku-ngaku bahwa kita ini bangsa besar, karena kalau hanya materi pembelajaran saja masih memakai produk dari luar negeri. Mana bukti kemandirian atau kemerdekaannya.

Wah ilmunya khan memang belum setingkat pak !

Lho ini argumentasinya koq seperti orang terjajah juga ! Mana bisa bilang begitu, kita ini punya profesor cukup banyak. Bahkan mereka mendapatkan tunjangan khusus setiap bulannya. Istimewa. Apa lalu kerja mereka. Bayangkan, hanya membuat materi kuliah sesuai bidang ilmunya saja, kog nggak bisa. Kalaupun bisa, hanya murid-muridnya saja yang memakai, tidak bisa dijadikan harapan semua orang (nggak bermutu). Nah untuk mengejar mutu tersebutlah maka masih sangat banyak dosen yang masih mengandalkan hasil pekerjaan orang lain (asing). Jika para dosen itu saja tidak percaya diri dengan produk keilmuan mereka sendiri, lalu bagaimana orang lain.

Ingat ini sudah 72 tahun Indonesia merdeka. Pada jaman saya kuliah dahulu (sekitar tiga puluh tahun lalu), masih banyak itu dijumpai buku-buku karya bangsa sendiri, seperti buku prof Sumono, buku prof Rosseno atau buku kayu Soewarno. Mereka dengan buku seperti itu saja dapat sukses membuat bangunan konstruksi, maka wajar saja jika kepercayaan diri bangsa dapat meningkat. Akhirnya kepercayaan diri maka berani untuk mandiri dan bisa semakin berkembang pula. Ini sebenarnya esensi kemerdekaan.

Adapun sekarang perguruan tinggi mengandalkan banyak textbook berbahasa asing. Nggak percaya, datang saja ke kampus saya. Di dekat kampus ada toko buku yang isinya textbook luar. Jika kita mau jujur, itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita pada dasarnya mengalami kemunduran secara intelektual. Kita ini hanya objek bangsa lain, terjajah tidak secara fisik tetapi intelektual. Bahasa kita, bahasa Indonesia sebenarnya terlecehkan.

Google saja bisa bangga untuk menyatakan “Satu Bahasa”

Jadi untuk apa kita ini bangga dan sigap merayakan hari sumpah pemuda setiap tanggal 28 Oktober, yaitu dengan cara dan meneriakkan dengan keras “satu bahasa yaitu bahasa Indonesia”. Nyata-nyatanya untuk mendidik calon insinyur Indonesia saja mengandalkan bahasa asing. Jadi dimana tingkat kemandirian bahasa Indonesia setelah 72 tahun kemerdekaan.

Kemerdekaan ada hubungannya dengan tingkat kemandirian. Tetapi apa benar itu juga terjadi pada bidang keilmuan kita. Jujur saja menulis memang sesuatu yang tidak sederhana, kita ini bangsa lesan. Budaya menulis masih jauh. Jadi ketika dipersyaratkan bahwa tulisan ilmiah menjadi syarat kenaikan tingkat, maka untuk mengejar persyaratan tersebut orang berbondong-bondong untuk menulis paper ilmiah. Tapi ya seperti itu masalah, karena memang belum membudaya, maka mutu paper kita juga abal-abal, banyak yang baik tetapi banyak yang juga buruk. Pengasuh jurnal kita kadang susah untuk memilih yang baik dan menolak yang jelek. Sungkan adalah budaya kita.

Apa itu akibatnya ?

Tulisan ilmiah di jurnal lokal (indonesia) tidak dipercaya lagi. Mutu jelek, juga bahasanya tidak dikenal orang lain. Akibatnya sekali menulis, hilang tak berbekas. Orang juga malas untuk menyimpan tulisan-tulisan tidak bermutu itu. Dengan demikian persyaratan awal bahwa kemampuan menulis dapat menjadi indikasi intelektual seseorang, tidak tercapai. Para pengasuh jurnal di Indonesia tidak mampu berfungsi sebagai filter intelektual tersebut.

Itulah alasannya mengapa saat ini, DIKTI dalam mengevaluasi tulisan ilmiah seseorang untuk persyaratan kenaikan akademik adalah mengandalkan jurnal yang berindeks SCOPUS. Ini hanya suatu cara bahwa jurnal yang berindeks SCOPUS mempunyai mutu tertentu.

Scopus itu milik Dikti ya pak Wir ?

Bukan. Itu lembaga adanya di Eropa ini link-nya :  https://www.scopus.com/

Pada sisi lain, ini bagus karena akan meningkatkan mutu profesor-profesor kita. Tetapi juga menunjukkan bahwa dari sisi akademisi kita ini belum merdeka, masih tergantung dari luar.

Apa salahnya pak Wir. Kita ini khan jamannya global, kita harus mempersiapkan diri.

Memang semua itu tidak ada yang salah, khususnya jika cara memandang bisa disesuaikan. Tetapi kalau konteknya adalah persatuan bangsa dan negara, maka hal-hal yang saya sampaikan di atas adalah penting. Jadi seperti bunyi sumpah pemuda tanggal 28 Oktober, bahwa bahasa adalah alat pemersatu. Itu adalah benar adanya. Selain pemersatu, maka bahasa juga adalah alat pelindung atau pertahanan diri. Saya akan beri contoh :

Suatu waktu, saya pernah diminta owner suatu proyek untuk melakukan proses optimasi konstruksi baja, yang kontraktor dan perencananya baja adalah dari negeri Cina. Jelas itu aku sanggupi (aku membantu teman). Bayanganku, mereka mereka (engineer Cina) pasti melakukan perhitungan perencanaan konstruksi baja seperti yang aku pelajari. Mereka tentunya akan merujuk pada code international seperti AISC. Indonesia khan juga seperti itu. Program-program komputer yang digunakan seperti SAP2000 atau program sejenis yang tentunya adalah bahasa Inggris. Waktu itu khan ada pemikiran bahwa bangsa Cina itu belum maju, nggak semaju bangsa Jepang. He, he, sekarangpun khan banyak juga yang berpikir seperti itu.

Untuk itu semua, bahkan aku sampai dikirim ke kota Chengdu. Maklum ini khan permintaan owner atau pemberi kerja. Jadi kontraktor harus melayani dengan baik.

Suatu siang di kota Chengdu, wilayah Tiongkok bagian barat daya

Top khan. Nah ini yang menarik. Saya dan teman-teman, dipertemukan oleh engineer dari Cina tersebut. Memang sih nggak hebat-hebat, mereka pada nggak bisa berbahasa Inggris. Jadi komunikasinya adalah melalui penerjemah.

Nah dalam rangka mengevaluasi hitungan perencanaan baja, yaitu dalam rangka bagaiamana itu dapat dioptimasi maka saya diberikan tumpukan buku-buku yah semacam laporan perencanaan. Nah apa yang dilihat, buku-bukunya semua dalam bahasa Cina, nggak ada yang berbahasa Inggris.

Kesel juga waktu itu. Agar nggak kerja sia-sia, lalu aku meminta mereka untuk menunjukkan program komputer yang dipakai. Pikirku, jika mereka pakai program berbahasa Inggris, aku akan bisa melacak hitungan mereka, minimal melihat seberapa besar beban dan ratio strength yang mereka gunakan. Ini ide yang menarik, yang didukung oleh teman-temanku juga. Untuk itu memang mereka (engineer Cina) perlu membawa laptop khusus yang bisa menjalankan program.

Beres deh, pikirku.

Apa yang terjadi, ternyata mereka tidak memakai program berbahasa Inggris, mereka pakai program berbahasa Cina juga. Nggak tahu apa programnya. Hanya saja kelihatannya cukup canggih, keluarannya seperti AutoCAD tetapi bisa untuk menghitung strength ratio.  . . . . .. . yah . . Gagal deh mau melakukan optimasi. Mereka ngotot bahwa hitungan mereka mepet. Jadi nggak berani untuk dikecilkan, sedangkan aku tidak bisa melacak hitungan mereka. 😦

Itu menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Nasional ternyata  bisa menjadi alat pertahanan yang efektif dari asing 😀

Jadi saudara-saudara teman-teman para pakar di perguruan tinggi, kapan anda bisa memanfaatkan bahasa nasional kita dengan baik. Ini penting untuk menunjukkan bahwa kita ini sudah merdeka, 72 tahun lagi.

Pak Wir, dengan himbauan yang sama seperti di atas. Bagaimana dengan anda, apakah bapak sudah bisa menunjukkan kemerdekaan yang dimaksud, khususnya dalam menggunakan bahasa Indonesia di level perguruan tinggi ?

Wah ini pertanyaan kelihatannya hanya berasal dari orang-orang yang belum pernah membaca blog ini. Kalau sering membaca, maka tentunya pertanyaannya bukan itu. Tetapi baiklah, untuk itu saya akan tampilkan saja hasil kemerdekaan sebagai seorang dosen, yang dapat dengan mantap mengajar memakai materi produk dalam negeri.

suatu siang di kota Medan dalam acara seminar HAKI Komda Sumut – 2017

Di atas,  aku berfoto bersama teman-teman di Medan, adapun tumpukan buku-buku merah tersebut adalah buku teks berbahasa Indonesia produk dalam negeri untuk mata kuliah Struktur Baja.  Buku berwarna merah di atas, adalah lebih baik dari buku teks struktur baja berbahasa asing sekalipun lho. Warna merah memang melambangkan kemerdekaan. Adanya buku tersebut dapat melambangkan kemandirianku dalam mengajar, seperti makna kemerdekaan NKRI yang harus mandiri dalam mensejahterakan rakyat negeri ini.

11
berkibarlah benderaku selama-lamanya !

NKRI harga mati, sekali merdeka tetap merdeka. Selamat HUT RI ke-72. Semoga Indonesia selalu damai dan sejahtera.

 

 

Satu tanggapan untuk “Hut RI ke-72 : makna kemerdekaan !”

  1. Mujahidin Avatar

    Mantapp.. merdeka..

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com