Jokowi adalah trendsetter, sehingga setiap tindakan dan kata yang diucapkannya, jadi berita. Tidak itu saja, bahkan tanggapan yang muncul diberitakan oleh media. Ini misalnya, penggalan pidatonya di depan rapat umum barisan relawan di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/8/2016) :
“Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani.” kata Jokowi.
[Sumber : nasional.kompas.com]
Menurutku, itu kalimat biasa-biasa saja, tidak istimewa. Tetapi karena yang mengucapkannya adalah pak Jokowi, maka muncullah berita-berita heboh, dua diantaranya adalah sebagai berikut :
Coba kalau yang mengucapkan bukan pak Jokowi, maka tentunya akan hilang tidak berbekas. Karena itu adalah kata-kata pak Jokowi sebagai trendsetter makanya isi kalimat untuk setiap kata akan dicerna habis-habis. Karena ada kata “berantem” pula maka kata itu dijadikan objek oleh pihak yang suka nyinyir untuk diarti-negatifkan.
Berantem khan memang tidak baik pak Wir !
Berantem atau adu fisik adalah sesuatu yang tidak baik. Itu betul, kalau hanya ditinjau satu kata, tetapi tentu saja untuk mendapat makna yang tepat, maka tentu saja tidak bisa dilihat hanya sepotong-sepotong. Harus dibaca secara keseluruhan untuk mendapatkan konteks makna yang tepat. Itu tentu sudah diketahui oeh pak RG, yang katanya berlatar belakang akademisi.
Sebagai orang Jawa yang lahir di Yogyakarta, saya dapat memahami konteks ucapan pak Jokowi. Kesan saya, itu adalah kalimat standar sebagaimana orang tua umumnya memberi nasehat pada anak-anaknya, yaitu “berbuat baik bukan karena takut, tetapi karena ingin berbuat baik“. Tahu sendiri khan, di Jawa, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya maka sikap sopan-santun kepada anak-anak muda selalu diajarkan, misalnya kebiasaan berjalan merunduk di depan orang tua yang sedang duduk (jawa : jalan munduk-munduk). Itu adalah bentuk bagaimana anak muda menghormati orang tua atau orang asing. Sikap itu bagi sebagian orang, yang memang tidak biasa melihat budaya Jawa, akan membayangkan seperti sikap jongos berjalan di depan tuannya. Tampak fisik dari luarnya sama, tetapi maksud yang sesungguhnya keduanya berbeda.
Dengan demikian, kata “Tapi, kalau diajak berantem juga berani“, ibarat nasehat orang tua ke anaknya agar cara menghormat dalam budaya Jawa itu (berjalan merunduk) tidak diartikan sebagai suatu bentuk ketakutan, sebagaimana jongos kepada tuannya.
Emangnya berani berantem betulan pak ?
Pertanyaan di atas timbul tentunya karena menemukan kesan bahwa orang Jawa (Jogja / Solo dan sekitarnya) itu klemak-klemek, dan halus tata bahasanya. Berbeda sekali dengan preman yang nampak di film-film bioskop, bahwa yang jago berkelahi adalah orang yang berwajah garang dan kasar. Itu artinya, orang yang berani berantem identik dengan wajah garang. I ya khan ?
Jangan salah, berani berantem atau tidak kadang tidak ada hubungannya dengan wajah garang atau lembut. Lihat saja dengan jago silat film mandarin, banyak jago silat yang ahli berantem berwajah klimis (tanpa kumis) dan nampak lembut. Mereka berani berantem karena terlatih, atau tepatnya punya ilmu beladiri.
Ngomong-ngomong tentang ilmu beladiri, maka kota-kota di selatan Jawa tengah (Jogja dan Solo serta sekitarnya) adalah gudangnya. Saya termasuk yang tidak terlalu mendalami ilmu ini, tetapi waktu kecil atau masa sekolah dulu, sering sekali mendengar kabar tentang aktifitas organisasi beladiri di Yogyakarta, baik yang resmi (seperti perguruan Tapak Suci atau Merpati Putih) dan yang nggak resmi, yang hanya dikenal berdasarkan alur guru silat pembimbingnya. Kalau nggak percaya, coba saja sekali-kali bermain di kota Jogja menjelang malam 1 Suro. Jika keluar malam hari, khususnya di jalan-jalan menuju pantai selatan, maka akan banyak bertemu dengan barisan anak-anak muda yang berjalan kaki malam hari ke arah selatan (pantai). Mereka sedang menjalankan ritual tradisionil yang banyak dilakukan oleh para pelibat ilmu beladiri di kota tersebut.
Oleh sebab itu, bagi warga kota Jogja – Solo dan sekitarnya, adalah wajar menjumpai banyak anak-anak mudanya belajar ilmu bela diri. Tahu khan, yang namanya ilmu bela diri adalah belajar bagaimana agar tidak kalah dan terluka ketika harus berantem. Nah pada konteks seperti itulah, orang tua yang mempunyai anak yang perlu belajar tata krama budaya Jawa dan di sisi lainnya adalah pelajar seni bela-diri, maka nasehat sebagaimana yang diungkapkan oleh pak Jokowi adalah sangat relevan. Itu nasehat yang biasa yang dijumpai di daerah tersebut.
Jadi komentar-komentar dari pak Fahri dan Rocky itu nggak perlu ditanggapi ya pak ?
Ya gimana lagi, kalau sudah dari sononya apriori, maka ya begitulah nggak perlu ditanggapi, karena semakin mendapat tanggapan mereka akan senang, dianggapnya selevel dengan pak Jokowi. Btw, adanya tanggapan-tanggapan yang heboh sebenarnya hanya menunjukkan bahwa pak Jokowi saat ini adalah trendsetter dan mempunyai pengaruh kuat di masyarakat. Wajar saja jika beliau perlu diberi kesempatan dua periode jabatan. Buat siapa, buat kita semua agar NKRI jaya.