Ilmu struktur tahan gempa adalah salah satu ilmu penting bagi insinyur teknik sipil, khususnya yang mendalami bidang rekayasa struktur (structural engineering). Penting, karena dengan ilmu tersebut seorang profesional akan “didengar dan diperhatikan”. Maklum setiap keputusan berdasarkan ilmu tersebut dapat membuat orang lain harus mengikuti ketentuan yang dibuat. Akibatnya akan berdampak penambahan kerja atau meningkatnya biaya. Oleh sebab itu, proyek yang berisiko tinggi terhadap gempa, harus menunggu petunjuk dari empunya ilmu tersebut. Jika tidak, maka desain yang sudah jadi, bisa-bisa tidak lolos ujian sidang evaluasi para ahli (di Jakarta TPKB misalnya).

Karakter ilmu struktur tahan gempa agak berbeda dibanding ilmu stabilitas struktur. Dampak penggunaan ilmu struktur tahan gempa tidak secara langsung akan terlihat dengan cepat. Maklum gempa yang besarnya sesuai rencana, tidak setiap saat terjadi. Tempatnya juga belum tentu di lokasi bangunan yang dibangun. Ini berbeda dari ilmu stabilitas struktur, yang dapat mendeteksi risiko terjadinya keruntuhan struktur akibat pertambatan lateral yang tidak memadai. Jenis keruntuhannya bisa terjadi kapan saja, tidak perlu menunggu sampai ada gempa atau angin kencang. Ilmu stabilitas struktur banyak diperlukan pada struktur baja yang umumnya langsing sehingga menjadi ilmu standar bagi ahli struktur baja.

Karena dampak ilmu struktur tahan gempa tidak bisa langsung terlihat, maka tidak mudah orang menilai hasilnya. Kompetensi akan ilmu struktur tahan gempa hanya dilihat dari pemahaman akan ketentuan-ketentuan dari code (ASCE 7 atau SNI 1726), dan kemampuan meyakinkan orang akan risiko jika ketentuan tersebut diabaikan. Karena ketakutan akan risiko gempa itulah maka akhirnya petunjuk ahli tersebut dituruti.

Jadi, ahli struktur tahan gempa yang dicari adalah ahli yang bisa meyakinkan bahwa usulannya mampu mengantisipasi risiko secara efektif, bisa menjelaskan secara rasional mengapa ketentuan itu perlu dilaksanakan sehingga tidak ada keraguan lagi, dan yang terakhir bilamana petunjuk untuk mengantisipasi ketakutan tersebut paling minim dampak biayanya (ekonomis). Itulah mengapa seorang ahli struktur tahan gempa harus mempunyai wawasan pengetahuan yang luas, mulai dari ketentuan code dan juga latar belakang teori yang mendasarinya. Tidak sekedar comot ketentuan dari code tanpa memahami makna di belakangnya.

Nah salah satu kompetensi untuk disebut ahli tentunya harus bisa menjelaskan jawaban pertanyaan berikut.

Dh, pak Wiryanto,
Perkenalkan nama saya Widyanto. Ijinkan untuk ikut diskusi masalah nilai R. Saya bekerja di konsultan perencana. Saya ada pengalaman sewaktu mendapatkan tugas untuk perencanaan sebuah bangunan di daerah gempa tinggi. Waktu itu saya ambil nilai R yang rendah dengan pertimbangan workmanship di lapangan, yang tidak bisa mencapai pendetailan struktur yang daktail. Akan tetapi client bertanya mengenai pengambilan nilai R ini karena di Tabel 12 SNI-1726-2019 status dari struktur tersebut TI (Tidak diijinkan) menggunakan nilai R yang rendah..

Pertanyaan saya apakah tabel 12 SNI-1726-2019 (Table Faktor R, Cd, dan omega untuk sistem pemikul gaya seismik) sifatnya mengikat sehingga harus mengikuti aturan tersebut atau bisa disesuaikan dengan kondisi di lapangan berdasarkan engineering judgement.

Jika aturan tersebut bisa disesuaikan, maka apa alasan untuk tidak mengikuti aturan tersebut ?

Terima kasih sebelumnya pak Wiryanto.

Pertanyaan di atas dipastikan tidak pernah dijadikan sebagai soal ujian mata kuliah struktur tahan gempa di perguruan tinggi. Maklum pertanyaannya sederhana, tetapi jawabnya nggak sederhana. Tidak gampang juga mendapatkan jawabannya di code atau buku teks . Maklum meskipun terlihat pertanyaannya sederhana, tetapi sebenarnya sangat penting karena mempertanyakan seberapa jauh ketentuan suatu code harus dipatuhi.

Alasan untuk tidak mematuhi menurut Sdr Widyanto adalah “engineering judgement“, istilah khas untuk menyebut sebagai pertimbangan ahli. Itu berarti ada kesan bahwa hirarki “engineering judgement” lebih tinggi dibanding “code“. Padahal itu sifatnya subyektif, tergantung siapa ahlinya. Pertimbangan ahli menurut sdr. Widyanto, bisa berbeda dari ahli lain. Jadi karakternya berbeda dari “code”, yang umumnya jelas dan tidak ambigu.

Engineering code atau peraturan teknik yang digunakan untuk perencanaan struktur, meskipun kesannya seperti peraturan undang-undang untuk perencanaan, tetapi esensinya berbeda dibanding peraturan undang-undang hukum. Sama-sama peraturan, tetapi di engineering code dimungkinan untuk bisa berbeda karena adanya unsur engineering judgement tersebut.

Mengapa bisa begitu, karena engineering code dibuat untuk mendapatkan keamanan publik. Materinya hanya mengatur suatu ketetapan minimum untuk diberikan pada jenis struktur yang dianggap konvensional, yang umum-umum saja. Jadi bisa saja ketemu kasus khusus, yang dianggap tidak umum sehingga ketentuan code tidak mencukupi. Akibatnya bisa diberikan ketetapan lain yang berbeda dari code, yang dianggap bisa memberikan keamanan yang lebih baik. Itu engineering code, tetapi kalau itu terjadi pada kitab hukum undang-undang, maka ketika dilanggar akan langsung mendapatkan sanksi.

Gambar 1. Kutipan keterbatasan dari ASCE 7-16

Dalam perjalanan waktu, saat ini saya melihat banyak permasalahan rekayasa diselesaikan dengan cara hukum. Jika antara rencana dan di lapangan ditemukan perbedaan maka pelaksananya dianggap salah, dianggap korupsi. Tentang hal ini tentu ini suatu kemunduran. Karena di luar negeri saja jika ketemu kasus rekayasa, maka solusinya juga oleh para ahli teknik, dan bukan oleh ahli hukum.

Esensi dari uraian di atas dapat dilihat dari potongan kata pengantar dari ACI 318M-19 sebagai berikut.

Gambar 2. Potongan dari kata pengantar di ACI code (2019)

Nah “sound engineering knowledge, experience, and judgement” pada paragraf di atas itulah yang dirujuk sdr Widyanto sebagai “engineering judgement“. Jadi boleh dong analogi itu digunakan untuk mengubah nilai R.

Strategi yang digunakan sdr Widyanto tidak salah, hanya saja beliau tidak bisa meyakinkan owner, yang ternyata pertimbangan rasionalnya lebih mantab.

Untuk menjawab boleh atau tidak bila “tidak mengikuti code“. Secara umum code hanya menetapkan ketentuan minimum, oleh sebab itu jika dianggap “kurang”, maka tentunya boleh untuk berbeda dari ketetapan code. Itu bahkan perlu agar dapat dijamin keamanannya. Itu jawabnya.

Selanjutnya tentu sdr Widyanto pasti akan bingung, karena sudah merasa bahwa dengan menetapkan R rendah maka gaya gempa rencana akan jadi besar, sehingga persyaratan detail bisa tidak terlalu diperhatikan. Jadi engineering judgement-nya mas Widyanto adalah: “Toh gaya gempa sudah dibesarkan, jadi kenapa harus memilih gaya gempa yang lebih kecil tetapi dengan detailing khusus“.

Jadi pemahaman sdr Widyanto adalah bahwa detail-detail struktur tidak terlalu penting, jika tidak terpenuhi maka bisa dikompensasi dengan memberikan gaya gempa rencana yang lebih besar. Mindset inilah yang salah.

Begini pak Widyanto, esensi struktur tahan gempa adalah harus memenuhi persyaratan kekuatan, kekakuan dan daktilitas. Adanya unsur daktilitas tersebut maka bisa ditentukan nilai R. Seperti diketahui bahwa daktilitas adalah perilaku keruntuhan, hanya bisa terjadi jika ada bagian material yang direncanakan dapat mengalami kondisi inelastis. Karena hanya kondisi inelastis, yaitu terbentuk momen plastis pada penampang (jika keruntuhannya berupa lentur) maka struktur bisa daktail.

Jadi kalau hanya sekedar berdasarkan gaya gempa besar, maka yang bisa diharapkan dari struktur adalah kekuatannya saja. Jadi selama gaya gempa menghasilkan gaya yang lebih kecil dari kekuatan tersedia, maka pasti aman. Kalau ternyata gempanya lebih besar dari yang diprediksi, maka jelas struktur tidak aman.

Ketentuan SNI bahwa bangunan tidak boleh dibangun dengan R rendah, menunjukkan bahwa persyaratan daktilitas bangunan lebih penting, karena risiko gempa lebih besar dari gempa rencana sangat mungkin terjadi pada daerah tersebut. Dengan adanya bangunan yang daktail, maka jika hal tersebut terjadi maka bangunan tidak langsung runtuh, tetapi bisa mengalami inelastis sebagai mekanisme disipasi enerji gempa. Dengan menetapkan R yang tinggi, maka insinyur harus menetapkan bagian-bagian bangunan yang bekerja elastis, dan bagian lain bisa bekerja inelastis. Jadi persyaratan daktilitas sangat penting. Begitu pentingnya di struktur baja, maka AISC sampai mengeluarkan buku code khusus, yaitu AISC 358 tentang sambungan pra-kualifikasi. Sekarang bikin sambungan baja nggak boleh sembarangan lagi. Jadi kalau sekarang melihat ada bangunan portal baja pakai sambungan voute (penebalan) maka dapat dipastikan itu tidak mengikuti ketentuan tahan gempa baja yang terbaru, yang mengikuti AISC 341.

Moga-moga jelas ya pak Widyanto.

Pemahaman tentang nilai R (Response Modification Coefficient / Koefisien Modifikasi Respons) adalah gampang-gampang susah. Sekali salah maka bisa-bisa gaya gempa rencana harus dikalikan dua karena kekecilan, atau bisa juga kebesaran sehingga boros. Jadi sebelum dilakukan analisis dan desain dengan komputer yang otomatis, maka menetapkan nilai R yang tepat adalah sangat penting sekali.

Kalau pak Widyanto berdebat soal tersebut dengan owner, yang kebetulan tahu risiko gempa. Baru-baru ini saja saya menjumpai kasus yang sebenarnya sudah dibahas oleh para pakar. Ini menyangkut suatu bangunan publik yang milyaran rupiah, ini alasan saya perlu mengungkapkan karena menyangkut kepentingan publik lebih luas.

Saya sebenarnya ditugaskan untuk mengevaluasi proses pelaksanaan, yaitu untuk menjamin tidak terjadinya kecelakaan konstruksi selama proses pelaksanaan. Asumsinya tentu proses desain sudah beres. O ya, saya bisa begitu karena posisi saya sebagai tenaga ahli tim K2K-PUPR.

Seperti biasa, untuk mengevaluasi sistem struktur secara keseluruhan maka saya perlu melihat juga laporan perhitungan struktur. Nah ketemu deh bagaimana mereka (perencana) menetapkan nilai R untuk sistem struktur bajanya. Ini saya kutip dari laporan yang mereka buat.

Saya bilang kepada insinyurnya, kenapa pak ada hal yang tidak konsisten dalam menentukan sistem struktur baja anda. Satu sisi anda menyebut sebagai Ordinary momen frame (OMF) lalu di bagian lain anda menyebutkan sebagai Special Moment Frame (SMF).

Ini jelas membingungkan, nggak bisa itu dicampur-campur. Padahal dijelaskan sebelumnya bahwa sistem struktur sudah direview oleh para ahli. Maklum ini proyek gede. Kalau mengikuti code, maka penjelasan di atas, jelas tidak benar, karena di Jawa untuk bangunan baja yang lebih dari satu lantai apalagi untuk publik nggak boleh OMF. Karena di OMF unsur daktilitas tidak diperhatikan. Apalagi struktur bajanya sendiri ketika saya lihat tidak ada yang bisa disebut momen frame, karena sebenarnya adalah sistem rangka batang (truss) atau yang terdiri dari rangka segi-tiga (gaya aksial lebih dominan daripada mekanisme lentur). Jadi jelaslah persyaratan detail SMF pasti tidak ada.

Hanya saja ketika saya tanyakan ke perencana, ternyata jawabnya mantap sekali. Begini kira-kira penjelasannya. Ini struktur bajanya besar dan rumit, oleh sebab itu ketika gempa saya merencanakan di baja tersebut tidak boleh terjadi kondisi inelastis. Oleh sebab itu untuk perencanaan gaya gempanya maka gaya-gaya gempa setelah dibagi R saya kalikan lagi dengan overstrength factor, yang sebesar 3.0 tersebut. Sampai disini, jika dijelaskan dengan mantap maka terkesan tidak ada yang salah. Tetapi kalau mempelajari filosofi tahan gempa, pada suatu bangunan memang ada yang didesain elastis (tidak berperilaku inelastis), tetapi tetapi ada bagian yang bekerja untuk menerima disipasi energi, yaitu mengalami kondisi inelastis.

Nah jika strukturnya rangka batang, yang lainnya tidak ada momen frame, lalu bagian elemen mana yang bekerja secara inelastis. Nah ini belum kejawab. Juga mengapa secara aktual itu rangka batang koq perencanaannya bisa dikategorikan sebagai momen frame. Itu jelas beda sekali, rangka batang itu non-daktail, adapun momen frame itu daktail. Jadi pantas jika diberikan nilai R=8.

Dengan demikian dari perhitungan perencanaan tersebut maka bagian yang bisa bekerja sebagai disipasi enerji, belum jelas. He, he, ini benar-benar terjadi lho. Ini juga bukti bahwa engineering judgement dari perencana dan reviewer bisa berbeda. Iya khan. Mumpung bangunan belum dibuat, maka tentu pertanyaan di atas perlu dijawab dengan tuntas.

Nah ini bukti bahwa penentuan nilai R itu penting khan.

9 tanggapan untuk “Diskusi tentang R (gempa)”

  1. Nobel Avatar

    Benar-benar njelimet ya pak masalah R ini. Sepertinya tidak tuntas-tuntas dibahas. Semakin dibaca semakin bingung.
    Tapi banyak ilmu yg bisa diambil dari tulisan-tulisan di atas. Mantap Pak Wir.

    Suka

    1. wir Avatar

      Di antara para ahlipun ternyata bisa berbeda-beda pendapat. Kasus yang saya singgung di bagian akhir adalah nyata, dan katanya itu sudah dikonsultasikan dengan para ahli (katanya). Tetapi ternyata koq bisa meragukan.

      Seru juga ilmu struktur tahan gempa, sepintas seperti ilmu agama, karena sampai sekarang saja kapan gempa akan datang, orang tidak bisa prediksi dengan baik. Persis seperti kematian, itu hal yang ditakuti orang sehingga antisipasinya adalah dengan beragama dengan baik agar kalau mati bisa “terselamatkan”.

      Suka

  2. Andi Herman Avatar
    Andi Herman

    Sangat menarik tulisannya pak wir. Tapi saya coba menelusuri pertanyaan pak widyanto tentang: “…Tabel 12 SNI-1726-2019 status dari struktur tersebut TI (Tidak diijinkan) menggunakan nilai R yang rendah”. Mohon informasinya apakah memang ada statement ini di SNI nya? Sepertinya yang tidak diijinkan itu adalah Kategori Disain Seismik nya. Saya sangat sependapat bahwa daktiliti dan detailing sangat penting dalam struktur penahan gempa. (Maaf, koreksi jika saya salah).

    Salam

    Suka

    1. wir Avatar

      Statemen yang tersurat persis, jelas tidak ada. Itu mengungkapkan maksud dari Tabel 12. Pada kolom pertama tercantum jenis-jenis “Sistem pemikul gaya seismik”. Cukup banyak, nah pada baris “C. Sistem rangka pemikul momen” ada pilihan “Rangka baja pemikul momen khusus, R = 8” dan “Rangka baja pemikul momen biasa, R = 3.5”.

      Jadi yang bersangkutan mencoba menjelaskan, daripada yang khusus, lebih baik yang R-nya rendah, yang biasa saja. Biasa dalam arti detail-detail tidak perlu perhatian khusus. Hanya saja di kolom “Kategori desain seismik – D”, yang tergantung lokasi dan tanah dimana bangunan akan dibuat, tertulis kode “TI” atau tidak diijinkan, untuk yang R rendah. Adapun yang R tinggi kodenya adalah TB atau tidak dibatasi.

      Jadi ownernya kritis, TI koq tetap dipilih, berarti tidak memenuhi kriteria SNI yang baru dong. Begitu maksudnya.

      Suka

  3. Sami Avatar
    Sami

    Maaf pak saya mau bertanya, kebetulan saya lagi mengerjakan skripsi ttg suatu gedung beton bertulang 12 lantai yang ada shear wall nya. Nah saya hanya mendapatkan gambar as built saja, sekarang saya ada kesusahan dalam menentukan sistem penahan seismik nya tipe yang mana menurut sni tabel 12 tersebut. Dan juga pembahasan saya ttg retrofitting gedung tersebut dengan bracing, lalu di tabel 12 itu sendiri tidak ada perpaduan antara shear wall dengan bracing

    Suka

    1. wir Avatar

      Yang punya ide retrofiting shear wall dgn bracing siapa ? Ini menarik ini. Itu alasannya mengapa di tabel nggak ada. Karakter rangka dengan bracing itu seperti shear wall. Kalau pernah baca buku struktur bajaku, rasanya akun sering menceritakannya. Retrofit dgn bracing jika strukturnya portal saja, nggak ada shearwallnya.

      Suka

      1. Sami Avatar
        Sami

        Rekomendasi dari dosen pembimbing pak, jadi retrofit nya cuma pake bracing pak. Tapi di gedung nya sendiri pada kondisi eksisting ada shear wall nya

        Suka

  4. Rinaldo Avatar
    Rinaldo

    Salam sejahtera pak Wir .
    Mohon untuk pencerahannya karena saya masih baru dalam dunia perencanaan struktur.
    pada saat kita merencakan balok baja pada rangka lean on 3 dimensi menggunakan SAP 2000 yang menerima beban axial dan lentur. Apakah boleh menggunakan momen release di ujung balok sehingga momen diujung sambungan balok kolom menjadi nol . tetapi pada saat menghitung sambungan menggunakan sambungan penebalan ( voute ) sehingga sambungan menjadi kaku . Dengan kata lain asumsi momen release memerlukan penampang dengan momen nominal yg besar dibandingkan dengan penampang yang menyalurkan momen ke kolom . Apalagi menggunakan analisa balok komposit sehingga lebih kecil lagi . Lalu bagaimana cara untuk menentukan dimana seharusnya menggunakan momen release pada rangka tersebut. apakah boleh menggunakan 2 pemodelan pakai momen release untuk analisa balok dan yang tidak pakai untuk analisa kolomnya .
    Terima kasih banyak pak wir . Maaf kalau terlalu banyak bertanya . . . .

    Suka

    1. wir Avatar

      Strategi pemodelan yang anda gunakan adalah tidak konsisten. Anda modelkan sebagai release, dengan maksud tidak ada momen, tetapi pada praktiknya anda kasih penebalan. Saya menjumpai dalam pemodelan, bisa apa saja, dan tidak ada masalah jika konsisten. Jadi kalau tidak konsisten, maka itu pasti SALAH. Apapun program komputer yang anda gunakan.

      Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com