Pada masa pandemi Covid 19 ini, sektor pekerjaan konstruksi masih tetap berlangsung. Jadi tidak heran jika mendengar telah terjadi kegagalan konstruksi. Itu berarti ada proyek, tetapi mengalami kegagalan pada saat pelaksanaannya, yaitu keruntuhan struktur baja sebelum jadi. Pada era sekarang, gambar dan video bahkan lebih cepat dari informasi tertulis yang tersebar. Ada peristiwa tetapi tidak tahu dimana itu terjadi. Untung waktunya bisa dilihat dari catatan di foto, yaitu akhir Januari atau awal Februari 2021. Bagi yang belum tahu infonya. Saya upload lagi. O ya ini data bersumber dari WhatsApp grup SGI (Struktur & Geoteknik Ind.) yang Admin-nya pak Nathan Madutujuh dan teman-teman. Note: terima kasih atas ijin yang diberikan untuk saya bahas di blog ini.
Ini dokumentasi awal, tertanggal 27 November 2020. Atap baja berupa struktur pelengkung (arch), tersusun dari segmen-segmen lurus, yang secara keseluruhan membentuk busur. Perakitannya sekaligus memasang dua segmen struktur pelengkung, yang disatukan oleh gording dan ikatan angin. Terlihat gording pada bagian pertemuan segmen lurus agak berbeda (bisa satu gording besar atau dua gording sama yang berdekatan). Untuk ikatan angin atau bracing terlihat sangat langsing, sehingga dipastikan itu berupa bracing tarik dari baja bulat (rod dengan turn-buckle, kalau ini tidak ada, yang berarti tidak dikencangkan, maka bracing atau ikatan angin tu tidak berfungsi.
Pada gambar di atas, terlihat dengan jelas bahwa segmen-segmen elemen pelengkung disusun paralel, dua-dua. Ini tentu dengan alasan bahwa elemen pelengkung, yang disusun dari profil I buatan (built-up), termasuk jenis open section yang kekakuan torsi-nya relatif kecil. Kondisi itu tentu ketika dilakukan erection sendirian, cenderung tidak stabil. Oleh sebab itu untuk meningkatkan stabilitas saat erection maka dua elemen profil I digandeng bersamaan. Jadi kalaupun masih memakai shoring atau perancah khusus maka cukup hanya memikul gaya vertikal. Jika tidak digandeng (digabung jadi satu) maka stabilitas arah lateral diperlukan. Akibat shoringnya lebih khusus (mahal).
Strategi perlunya dua profil I digabung itu persis tulisan di buku saya. Intinya profil I tidak boleh dipasang sendirian, kalau ada gaya tidak sebidang (eksentris), bisa timbul torsi, dan profil I lemah di torsi. Jika profil I bisa dipasang paralel, tentunya diharapan bisa terjadi kerja sama keduanya, yaitu terbentuknya momen kopel dari kedua profil I tersebut. Itu teori tentunya, apakah bisa menyatukan atau tidak tentu tergantung detail dan dimensi sistem struktur.
Terlepas apakah penggabungan itu bisa bekerja sesuai rencana atau tidak, tetapi strategi erection dengan rafter paralel sehingga satu tahap erection selesai bisa terbentuk dua pelengkung paralel, yang terhubung gording dan ikatan angin adalah patut diacungi jempol. Ini sudah betul prinsip-prinsipnya.
Pada saat membuat foto di atas, tentu engineer-nya bangga. Wah sebentar lagi karyanya akan jadi. Dari jauh terlihat segmen-segmen lurus penyusun rangka telah sukses membentuk pelengkung betulan. Sepintas tidak terlihat lengkung yang patah-patah. Jika sukses tentu menarik juga ya.
Setiap tahap erection sekaligus dua elemen pelengkung, sehingga mengacu Gambar 4 telah ada 5 (lima) kali tahapan erection yang sukses dikerjakan. Jika dari gambar di atas, segmen terakhir (karena tidak ada pondasi yang terlihat) berupa pelengkung tunggal, tidak digabung seperti yang lainnya. Itu berarti stabilitas lateralnya sangat tergantung pada sistem yang sudah terpasang. Kelihatan ini sudah dipikirkan, terbukti sengaja dipasang terakhir. Asumsinya karena bagian lain sudah terpasang, dan sudah diikat dengan gording dan ada ikatan angin, maka dianggap pertambatan lateral bagi elemen yang dirakit itu sudah mencukupi.
Ternyata anggapan-anggapan yang umumnya berlaku itu, pada kasus di atas adalah tidak tercapai. Konstruksi baja yang terlihat terpasang gagah, ternyata mengalami kegagalan. Sangat menyedihkan, ini dokumentasinya.
Bisa dibayangkan, betapa kecewa para pekerja proyek. Kepanikan pertama, tentu ketakutan apakah ada temannya yang jadi korban. Jika mandornya jadi korban, lalu siapa nanti yang akan bayar. Dari video, tidak terlihat ada korban. Moga-moga perilaku keruntuhannya daktail, sehingga ketika akan roboh, ada waktu untuk lari menghindar. Semoga.
Jika ternyata selamat, maka ketakutan berikutnya adalah kerugian yang terjadi. Kontraktor di awal proyek pasti tidak membayangkan itu akan terjadi. Di benaknya tentu hanya berpikir pada keuntungan yang didapat. Adanya peristiwa ini jelas menunjukkan bahwa keuntungan itu tidak akan diperoleh. Jika berpikir jangka panjang, tentu akan memikirkan pada reputasi. Jika kontraktornya kaya maka menjaga reputasi adalah yang utama. Rugi tidak masalah, karena jika masih ada reputasi maka pasti akan terbayarkan nanti. Tetapi jika reputasi hilang dan tidak ada kepercayaan lagi, wah gawat itu. Eh, ternyata masih ada video yang belum aku upload. Ini untuk melengkapi data.
Pada video terakhir, terlihat ada yang memegang alat pengukur angin, untuk menunjukkan besarnya angin saat itu. Siapa tahu sistem rangka terpasang itu roboh karena ada angin. Ini video setelah kejadian tentunya.
Informasi ini diperoleh dari WA grup SGI (Struktur & Geoteknik Ind.), yang anggotanya adalah terbatas para praktisi dan profesional di bidang konstruksi saja. Latar belakang para profesional tentu didukung dengan pendidikan, pelatihan dan pengalaman, selama bertahun-tahun. Tidak termasuk orang awam. Oleh sebab itu setiap komentar yang mereka sampaikan tentunya tidak kaleng-kaleng. Oleh sebab itu ada baiknya komentar mereka terhadap kejadian di atas harus kurangkum terlebih dahulu. Semakin banyak yang memikirkan, tentu kesimpulannya akan semakin mantab.
Komentar ahli / profesional #1:
- Itu terjadi karena minim lateral beam (hanya purlin saja)
- Wind bracing secara visual kecil sekali, terlalu langsing KL/r nya feeling nya lewat dari > 200
- Profil WF nya built up nya terlalu langsing dan minimnya pengaku/tambatan lateral dilihat visual nya
- Profil nya tinggi sehingga tambatan gording tidak berfungsi dengan baik, seharusnya ada lateral beam, misalnya per jarak 8 meter dengan tinggi balok lateral 0.5 tinggi profil yang ditambat.
- Yang di brace hanya flange atas, jadi buckling ke sumbu minor
- Tips dan pengalamannya : mega span dengan PEB akan bermasalah jika metode konstruksinya tidak tepat. Itu pernah terjadi 10 tahun lalu dimana mega span PEB ambruk karena minimnya pertambatan lateral.
- Usulan : Harusnya dipasang 1 portal lengkap dengan pertambatan lateral berupa beam dan windbracing, baru lanjut ke portal berikut nya. Dulu ada bentang mega span PEB juga ambruk karena metode erection yang tidak tepat sekitar 10 tahun lalu.
Komentar ahli/profesional #2:
- Iya, harus kelapangan, baru dapat diketahui “apa-apa saja yang bisa jadi temuan”
- Ini keruntuhan akibat kesalahan Metode Kerja Konstruksi.
- tinggi juga ya badan atau web PEB nya, besaran beban angin saat konstruksi terhadap badan atau web PEB ini, “mungkin” tidak diperhitungkan sehingga bracing dan pengaku portal nya diabaikan
- body langsing mahal biayanya…hanya engineer tertentu saja yang mampu..
Komentar ahli/profesional #3: Sepintas kelihatan keruntuhan akibat LTB ya.
Komentar ahli/profesional #4:
- PEB kalau sesuai syarat b/t kebanyakan tidak memenuhi syarat ?
- Ini padahal sistem gantry crane-nya sudah mantap sekali. Gording-gording lateral juga sudah dipasang.
- Juga model lengkung mestinya cukup stabil. Aneh juga kalau sampai roboh. Bisa juga kepukul cranenya ?
- Bisa juga. Jadi yg di-brace hanya flens atas. Bentang terlalu besar. Perlu lateral bracing yang tinggi seperti truss beam dsb.
- Ini kadang engineernya suka lupa memang. Padahal kalau pelengkung, flens atas dan bawah keduanya tertekan juga.
- Beban angin terhadap web memang sering dilupakan. Kalau untuk menara biasa dihitung per profil
- Alat-alatnya sudah mantap sebenarnya. Mungkin pas kena angin gede ? Lombok soalnya.Gordingnya sudah dirakit dibawah sebelum diangkat. Sudah semi prefab.
- Utk V=15m/s kalau pakai UBC : h = 0, qs = 14.24 kg/m2; untuk h = 30 m, ce=1.6, cq=1.3, qs = 29.68 kg/m2
- Kalau webnya tinggi, lumayan bila kena beban lateral, anggap v=15 km/h akan terlalu kecil tekananannya, di level 30 m hanya 2.29 kg/m2.
Komentar ahli/profesional #5:
- Benar. PEB umunya menggunakan elemen nonkompak atau langsing dengan material mutu tinggi seperti A572. Jadi tidak sesuai untuk dipakai pada daerah gempa
Komentar ahli/profesional #6:
- Struting silang gak ada…..Team Nekad. Masalah pada Struting silang: sayap atas dan sayap bawah tidak ada.
- Saya pernah lebih langsing dan beneran melanggar aturan b/t ….Tinggi Web 1750 mm dan sayap 400 . Bentangan bebas 65 m. Sampai saat ini AMAN. Alhamdulilah HARUS PUASA dan DZIKIR
- Ampunan deh : sayap bawah tidak ada yang pegang
- Masang sebesar itu mah harus terjun langsung dan pakai TERIAK2
Komentar ahli/profesional #7:
- Lateral bracing nya harus dihitung.
- Lateral torsional buckling harus dicegah
- Selain itu local buckling dari web juga harus dipertimbangkan.
- Metode erection juga harus lebih cermat.
- Harusnya sebelum semua elemen-elemen terpasang, ada temporary support..
Komentar ahli/profesional #8:
- Rangka sisi kanan (Gambar 4) apakah profilnya lebih kecil ?
- Saran : salah satu titik kritis dalam struktur atap baja bentang besar adalah kestabilan dalam 2 (dua) arah sumbu utama struktur saat erection, tidak 1 (satu) arah saja. Sangat perlu dibuat erection manual yang baik dan benar. Di dalamnya mengatur a.l temporary bracing horizontal dan vertikal, temporary support, urutan erection dst., dst., dst. Selain tentunya semua elemen-elemen yang memang seharusnya ada dalam desain sebelum struktur baja tersebut membentuk struktur sesuai dalam analisis.
Komentar ahli/profesional #9:
- kalo 15 m/s kira-kira p= 14 kg/m2
- sdh dikalikan pak 🙏🏻
q = 0.613 Kz Kzt Kd v^2
mungkin tidak tepat sekali angkanya karena belum sempat liat tabel2 di SNI 1727, tapi kira-kira ± 14 kg/m2
Saya kira sudah ada 9 (sembilan) pendapat dari para ahli atau profesional yang dapat menggambarkan dugaan apa yang menyebabkan bangunan tersebut roboh. Jika boleh saya rangkum sebegitu banyak komentar maka disimpulkan adalah sebagai berikut :
Rafternya relatif tinggi, termasuk profil I slender. Pertambatan lateral tidak cukup hanya satu sisi saja, apalagi hanya pakai gording, harus ada balok pertambatan khusus minimal 50% tinggi rafter yang ditambat, bahkan kalau bisa berupa truss (rangka). Juga wind-bracingnya terlalu langsing. Akibat semuanya maka diperlukan metode dan teknik konstruksi khusus. Intinya karena metode konstruksi yang kurang tepat, maka struktur roboh.
Ini rangkuman dari pendapat 9 orang ahli / profesional anggota WA grup SGI
Para ahli atau profesional di atas sudah sepakat, bahwa pertambatan lateral yang terpasang meragukan. Itu berarti tidak sekedar metode konstruksi saja penyebabnya, tetapi juga ada tahapan desain yang kurang mantab.
Masalahnya adalah, siapa yang pada saat mau konstruksi berani bilang bahwa desainnya kurang mantab. Saya yakin praktisi lapangan akan malu, jika disebut tidak bisa. Betul khan. Para anggota SGI yang terhormatpun tidak berani menyatakan secara tegas bahwa desain tidak mantab, hanya meragukan dengan memberi komentar bla . . bla.
Jika tidak ada yang menyatakan bahwa desain tidak baik, maka tentu prosesnya masuk ke tahapan konstruksi, menentukan metode konstruksi. Oleh sebab itu jika ternyata roboh seperti itu maka itu bukan kesalahan perencana, itu kesalahan kontraktor. Betul khan.
Emangnya pak Wir punya kesimpulan bahwa itu juga kesalahan perencana ?
Eh jangan tersinggung dulu. Tunggu penjelasan berikut.
Konstruksi di atas terjadi pada masa konstruksi, tidak ada gempa atau angin (terlihat beban angin relatif kecil). Itu berarti keruntuhan terjadi adalah akibat permasalahan stabilitas, yang termasuk problem non-linier geometri. Ini berbeda kasus dengan keruntuhan akibat gempa. Struktur tahan gempa, umumnya diharapkan keruntuhan yang bersifat daktail. Agar daktail maka diharapkan terjadi terlebih dahulu sendi plastis. Itu problem non-linier material, bukan permasalahan non-linier geometri. Ingat ketentuan struktur tahan gempa di AISC 341 yang harus dimulai dengan memastikan terlebih dahulu penampang kompak dan harus diberikan pertambatan lateral atau lateral bracing yang kuat agar kegagalan akibat stabilitas tidak terjadi. Maklum kegagalan stabiltas itu sifatnya non-daktail, tiba-tiba. Seperti robohnya konstruksi pelengkung di atas.
Permasalahan stabilitas ini tidak sepele. Ahli analisa struktur jebolan S1, pasti tidak paham, kecuali beliaunya mendalami struktur baja. Bahkan yang tidak pernah membaca AISC 360-05 tentu hanya membayangkan bahwa permasalahan stabilitas itu jika tumpuan berupa rol-rol atau semacamnya. Jika konstruksi stabil, dianggapnya permasalahan stabilitas tidak terjadi. Jika ya, berarti anda memahami dalam konteks pelajaran S1.
Permalahan stabilitas, tidak sekedar kantilever yang tidak bisa memikul momen. Itu jelas struktur yang tidak stabil. Kalau dipaksa digunakan itu namanya bego banget. Ilmu seperti itu bisa dipelajari dan bisa terdeteksi dengan analisa sturktur elastis-linier. Solved.
Permasalahan stabilitas yang saya maksud adalah adanya pengaruh gaya aksial pada elemen struktur. Ini kasusnya seperti senar gitar. Kalau ada tegangan tarik, maka senar punya kekakuan yang tinggi, dan sebaliknya jika tidak tegangan maka senar tidak berfungsi (tidak ada kekakuan). Kemampuan memprediksi pengaruh gaya aksial, apakah tekan atau tarik pada elemen struktur, tidak bisa terdeteksi dengan ilmu analisa struktur elastis-linier yang dipelajari di level S1. Bahkan ilmu struktur baja berdasarkan cara ASD (Allowable Stress Design) edisi tahun 89 tidak mengulas secara rasional. Baru pada AISC code tahun 2005, yaitu AISC 360-05 pada Chapter C ada pembahasan khusus tentang stabilitas.
Karena permasalahan stabilitas adalah problem non-linier geometri, yaitu dapat dilihat secara visual. Maka pendapat untuk mengulas keruntuhan pada gambar di atas harus turun ke lapangan, tentu tidak perlu. Toh dari foto yang ada sudah ada data visual untuk diolah. Ini berbeda dengan struktur beton. Ingat struktur beton tentu berbeda dari struktur baja, yang biasanya langsing. Struktur beton umumnya tidak bermasalah dengan permasalahan stabilitas (jarang ada yang langsing). Jadi kegagalan struktur beton adalah problem material, mutu beton yang drop, atau mutu tulangan baja maupun detailingnya yang tidak baik. Itu tidak terlihat dari luar, harus dibongkar, dan dilihat secara detail dan kalau perlu diambil sampel tulangan yang ada untuk diuji di lab. Jadi saya setuju dengan pendapat harus ke lapangan untuk melihat penyebab keruntuhan struktur beton. Adapun untuk struktur baja, karena elemennya relatif langsing, terbuka dari luar, maka foto-foto yang ditampilkan kadang sudah mencukupi untuk menyusun suatu hipotesis. Dari situ tentu bisa disusun penyebabnya.
Karena permasalahan stabilitas dipicu oleh adanya tegangan tekan, maka semua dugaan harus diawali dengan memahami perilaku struktur yang roboh tersebut dalam memikul berat sendiri atau beban luar. Karena tidak ada gempa dan angin yang besar, juga tidak ada berita bahwa ada hantaman dari crane pada saat pengangkatan, maka tentunya yang dominan adalah akibat berat sendiri struktur. Setuju khan.
Struktur yang roboh adalah pelengkung atau arch. Dari komentar yang muncul ada yang mengaitkan dengan PEB (atau pre-engineering building). Itu terjadi karena profil I adalah profil I built-up yang langsin yang umum digunakan pada konstruksi PEB, yang umumnya berupa struktur portal. Jika ini terjadi maka jelas itu pasti hanya atas dasar pengalaman saja, yang selama ini kita tahu bahwa untuk bentang panjang (portal) maka PEB akan lebih murah. Jika anda menjadi perencana pelengkung atau arch dan memilih profil I built-up yang langsing untuk pelengkung tersebut karena terinpirasi oleh pengalaman di PEB maka anda perlu belajar lagi. Itu salah besar.
Mari kita lihat karakter portal memikul berat sendiri, ini ada gambar yang saya dapat hasil google:
BMD seperti di atas tentu para pembaca (profesional) sangat familier, dan momen itu yang menentukan dimensioning profil, yaitu akibat lentur. Bentuk itu pula yang menjawab mengapa portal dengan profil hot-roll standar akan kalah ekonomis dengan profil I built-up, yaitu karena profil I-built-up bisa dibuat setinggi mungkin dan disesuaikan dengan bentuk momen yang terjadi. Jadi para produsen PEB berani bertaruh, bahwa untuk konfigurasi yang sama, portal dengan profill hot-rolled pasti akan lebih mahal. Apalagi jika produsen PEB itu fabrikasinya sudah efisien (ini kata kuncinya).
Sampai di sini saya ingin menekankan, profil I-built-up yang tinggi itu hanya cocok jika perilaku frame-nya adalah didominasi lentur dan bukan yang lain. Sedangkan bagaimana dengan struktur pelengkung atau arch. Mari kita lihat gaya-internal yang terjadi. Ini saya menemukan gambar di Google yang tepat sekali menggambarkan perilaku struktur pelengkung.
Bisa dipahami nggak gambar di atas. Jadi kalau bentuk pelengkung maka yang dominan adalah gaya membran, atau kalau untuk rangka dua dimensi maka yang dominan adalah gaya aksial, bukan momen lentur.
Jika masih bingung, maka itu ibarat struktur balok dan struktur rangka batang (truss).
Jika anda sudah paham, apakah layak jika struktur pelengkung (arch) yang didominasi aksial akan memakai profil I yang tinggi, yang cocoknya hanya untuk momen yang besar. Ini yang saya maksud, bahwa desain dari sistem pelengkung sendiri dari sononya memang sudah tidak baik, kalau tidak mau dikatakan salah. Dengan menggunakan profil I built-up yang biasa dipakai oleh PEB maka jelas b/t rasio-nya saja sudah bermasalah. Itu berarti tekuk lokal bisa mudah terjadi. Ditambah juga hanya pertambatan lateral hanya pada satu sisi sayap saja. Betul sekali seperti yang dinyatakan pada komentar salah satu anggota WA grup SGI di atas, bahwa untuk pelengkung maka tegangan tekan pada penampang tidak gradient tetapi merata, sehingga yang paling tepat tentu bracing di sumbu as. Jika mengacu pada keruntuhan tekan aksial, bentuk profil I built-up yang digunakan itu berisiko mengalami tekuk torsi-lentur. dan bukan tekuk torsi lateral (LTB = Lateral Torsional Buckling). LTB diduga tidak terjadi karena momennya relatif kecil.
Saya kira hipotesis saya cukup disini dulu ya. Jadi kesimpulannya masih mirip dengan sebelumnya yaitu akibat desain yang buruk, maka metode konstruksi yang baikpun bisa jelek hasilnya.
Tinggalkan komentar