cover buku 2023 – warna apa ?

Dosen profesional apalagi GB itu diberikan tunjangan tambahan oleh pemerintah. Itu adalah hak sebagai bagian dari profesi yang diakui oleh negara, yaitu dosen, yang bertugas mendidik anak bangsa ini. Hak adalah yang akan diterima, tetapi mereka juga punya kewajiban, yaitu melaporkan kinerja mereka dengan profesi dosen tersebut, yang dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu porsi pendidikan & pengajaran; porsi penelitian dan publikasi ilmiah; dan ke tiga porsi pengabdian bagi masyarakat.

Terkait hal tersebut maka sebagai GB setiap 3 (tiga) tahun ditagih untuk menghasilkan minimum 1 (satu) buku ajar; 3 (tiga) jurnal international atau 1 (satu) jurnal international terindeks (misalnya Scopus) dan bereputasi. Itu juga merupakan syarat untuk meraih jenjang GB. Itu semua sebenarnya sekedar bukti bahwa dosen yang dimaksud mempunyai kompetensi ilmiah dan layak disebut GB. Pada kenyataan, yang penting bahwa mereka telah mencapai standar minimum yang disyaratkan oleh pemerintah. Terkait hal itu, sebagai seorang reviewer BKD pernah ditemukan jurnal ilmiah dari dosen bergelar tertinggi, ternyata publikasi di jurnal abal-abal. Ini jadi pertemanan menjadi tidak enak. Kalau kondisi seperti itu, maka selalu yang saya tekankan, tolong cari bukti lain, yang tidak termasuk jurnal yang saya sebut abal-abal itu. Karena kalau itu, maka saya tolak. Kadangkala ada alasan, kalau asesor satunya sudah ok. Kalau kondisi ngeyel seperti ini, biasaya saya melepas posisi saya sebagai reviewer, saya minta cara reviewer yang lain. Pikiran saya, reviewer nggak digaji, maka idealisme setinggi mungkin, nggak mau ngikutin saran, cari yang lain saja.

Kecuali kewajiban jurnal international, maka GB wajib juga menulis buku ajar. Ini kalau di BKD masuk di porsi pendidikan dan pengajaran, bukan pada penelitian. Saya pikir-pikir mengapa buku ajar, yang bahasa luarnya disebut textbook. Tetapi aplikasi real kalau saya lihat, itu dimaknai membuat buku untuk perkuliahan di kelas. Banyak saya lihat yang membuatnya menjadi semacam buku penyelesaian soal-soal mata kuliah. Yah sah-sah saja, dan tentunya ini memang dari segi bobot, lebih rendah dari jurnal internasional karena materinya tidak dilakukan peer-reviewer oleh teman sejawat. Jadi nulisnya copy and paste, dengan sedikit modifikasi dari buku-buku yang sudah ada, juga tidak akan ketahuan. Mereka menerbitkan juga dalam jumlah terbatas, kalau terlalu banyak, dibagi-bagipun kadang males bacanya. Jujur, nggak tahu kenapa, saya sangat jarang membaca tulisan yang dibuat ahli lokal. Kalaupun ada, paling ya ahli-ahli yang itu-itu juga, yang memang istimewa. Itupun kadang sekedar untuk benchmarking seberapa jauh materi yang telah mereka bahas. Selebihnya lebih baik langsung ke sumber asli. Keberadaan internet kecepatan tinggi, saat ini sangat membantu pekerjaan profesiku. Apalagi dengan ikutnya di keanggotan profesi kelas dunia, seperti AISC dan ACI. Benar-benar bermanfaat.

Terkait dengan keanggotan profesional seperti itu, saya lihat teman-teman di sini lebih kearah wah-wah saja, biar terlihat intelek. Padahal baca jurnalnya saja, kelihatannya mereka jarang. Aneh menurutku kalau terlalu menunjukkan institusi profesional yang mereka ikuti, tanpa memperlihatkan dampaknya. Bahkan saya melihat saat ini, banyak sekali mereka menampilkan gelar-gelar profesional di belakang namanya. Saya kira itu sah-sah saja selama tidak ada yang protes.

Tempo hari aku juga ikut juga program PPI profesi, sekedar agar gelar Ir yang selama ini melekat sejak S1 dulu, tidak dipermasalahkan. Gelar lain rasanya tidak tertarik. Maklum selama ini ketemu banyak orang, kadang gelar berderet tidak menunjukkan sebagaiamana yang kita bayangkan juga. Iya sudah, yang penting sekarang mempertahankan nama saja, yang meskipun hanya terdiri dari dua kata, Wiryanto Dewobroto, sudah terlalu panjang untuk ditambahi gelar lagi.Toh orang kalau mau mencari tahu di Google, cukup dua kata itu saja, tanpa harus nambah gelar.

O ya, ada yang lebih memprihatinkan juga, ada institusi besar yang tidak percaya diri mencantumkan gelar S2-nya itu seperti pemerintah. Maunya bergelar dengan kata asing, misalnya M.Eng. Koq nggak percaya diri, harus bahasa inggris. Emangnya kalau M.Eng itu lebih hebat dari M.T yang merupakan gelar resmi Indonesia. Tapi ya begitulah, orang Indonesia itu sangat percaya diri dengan gelar, luarnya, bukan isinya.

Pemikiran saya di atas mungkin juga baru-baru saja, yaitu setelah punya gelar GB, gelar lain yang tertinggi Dr. Pada titik tersebut, gelar-gelar tersebut tidak membantu untuk langsung menjadi pintar. Kalau tetap diam saja, ya tetap bloon. Gelar-gelar itu membuat kita harus belajar lagi dan tidak bisa tidur. Untunglah saya termasuk menikmati proses belajar tersebut. Oleh sebab itu pasti akan kecewa orang yang bekerja sekedar ingin meraih gelar, karena kalau sudah tercapai, maka tidak bisa berhenti, bahkan harapan orang luar menjadi semakin tinggi. Kalau sampai gagal memenuhinya tentu akan banyak yang kecewa.

Karena sudah merasa, bahwa nama yang saya sandang itu lebih tinggi dari gelar-gelar yang saya punyai, maka tentu saja dalam mengambil sikap menjadi berbeda. Teman-teman se level dengan aku, ketika harus memenuhi kewajiban GB untuk menulis buku ajar, maka mereka menulis ramai-ramai. Setelah selesai diterbitkan, buku yang ditulis ramai-ramai itu lalu diklaim sebagai telah memenuhi kewajiban GB. Memang sih menurut petunjuk BKD maka menulis buku itu tidak harus menjadi penulis pertama, pokoknya namanya tercantum pada buku. Itu berarti sudah memenuhi. Banyak GB yang ikut dengan cara itu.

Kadang-kadang saya mikir, gelarnya banyak, koq hanya nebeng. Level GB-nya itu dimana ?

Tapi saya bisa memahami, menulis buku itu tidak gampang. Kalau sampai-sampai terdeteksi plagiat tulisan orang lain, maka bisa-bisa gelar GB dianulir. Itu berisiko tinggi. Saya yang seorang penulispun merasa kalau lagi nggak punya ide, maka menulis itu memang sulit. Jadi yang sulit adalah cari idenya.Kalau nggak percaya, lihat saja buku yang diterbitkan para GB Indonesia, yang sampai jadi best seller dan dicari orang, rasanya sangat jarang. Banyak bahkan bukunya dibagi-bagi saja, sekedar memenuhi syarat jumlah minimum dicetak. Coba tanya, dicetak berapa banyak bukunya dicetak, kurang dari 2000, bahkan hanya puluhan saja.

Karena aku mengeluh seperti di atas, maka ketika harus memenuhi kewajiban GB, jadi ingat. Jangan sampai nanti buku karyaku juga dikritik seperti ini. Untuk itu pertama-tama, aku harus menghindari ikut dalam buku dengan banyak penulis. Buku semacam itu pasti tidak bisa memberikan style personal, tetapi style gado-gado. Mending kalau yang nulis itu orang-orangnya memang bermutu. Kalau hanya sekedar nebeng, sekedar agar dapat kum untuk penilaian. Enak banget. Artinya, aku memang tidak akan menganggap remeh dengan buku yang ditulis oleh orang banyak, selama orang-orang yang menulis itu memang bereputasi.

Orang bereputasi umumnya lebih suka nulis sendiri, egonya besar, nggak suka didikte-dikte. Ini tentu bisa dibayangkan, seperti misalnya saya sedang menulis tentang kasus struktur baja, lalu tiba-tiba ada orang yang jelas, tetapi memberi komentar dan arahan. Emangnya mau didengarkan. Kalau ada kontribusi penting, tentu patut kita dengarkan.

Semester ganjil 2022/2023 kemarin adalah batas saya harus mengumpulkan kewajiban GB berupa buku ajar. Tempo hari sampai diperingatkan, jika evaluasi bulan Februari 2023 ini berhasil, maka wajib mengembalikan tunjangan GB. Tahun lalu bingung, mencari judul buku yang bisa ditulis. Seperti biasa, setelah merenung, kontemplasi, bahkan stress, akhirnya mengambil judul “Jembatan Gantung Infrastruktur Kemakmuran”. Judul ini saja pada saat itu banyak yang meragukan. Maklum kalau masuk ke wag para ahli struktur, bahkan mereka tidak pernah membahas sekalipun. Materi yang banyak mereka bahas adalah bangunan tahan gempa dan lain-lain. Intinya itu tidak dipahami oleh para ahli yang ada saat itu, dan bahkan saat ini sekalipun.

Kenapa nggak populer, karena proyek jembatan gantung itu hanya diminta oleh pemerintah, satu tempat, dan para teman-teman ahli struktur itu swasta, nggak punya akses. Kondisi saya berbeda, saya itu kalau di luar, dianggapnya ahli struktur baja. Ini terjadi karena buku yang tulis tahun 2015 dan 2016, yang ketebalannya hampir 1000 halaman. Dianggapnya saya itu ahli. Padahal saya ini nggak punya gelar berderet maupun SKA yang utama, yang selalu dibangga-banggakan orang sesama profesi. Nah karena buku itu, maka saya dapat akses ketemu dengan para pemberi kerja untuk proyek jembatan gantung pejalan kaki. Tahu sendiri khan, pak Jokowi, presiden Indonesia, bahkan telah meminta PUPR membangun seribu lebih jembatan tersebut. Sampai sekarang, dalam masa pemerintahannya sudah lebih 400 jembatan gantung pejalan kaki dibangun. Nah saya banyak terlibat disana, banyak sekali pengalaman yang saya dapat. Itulah yang ingin saya tulis, karena merasa tidak banyak yang tahu permasalahan yang terjadi.

Nah akhir Januari itu, materi utama yang saya tulis sudah selesai. Lalu sekarang masuk pada tahap meminta review para senior yang saya anggap menguasai tentang materi tersebut. Ini konsepnya seperti jurnal international, bahwa materi yang bermutu itu kalau ada peer review-nya. Memang sih nggak persis seperti itu, tetapi kalau ada orang yang mendukung, tentu akan lebih baik. Itu pula akhirnya buku yang saya tulis, perlu saya cetak terbatas, sekedar untuk menunjukkan bukunya bagus. Ini ada foto buku yang saya cetak terbatas untuk dikirimkan ke para reviewer.

Warna biru yang saya pilih cukup menarik juga. Hanya saja warna biru khan terlalu main-stream, biasa-biasa. Nanti saya akan coba pilihkan yang lain. Kecuali buku diatas, maka ada kiriman video yang menggambarkan isi buku tersebut. Ini videonya.

Nah berdasarkan dua data di atas, maka saya coba kontak para senior yang dianggap ahli terkait materi yang saya tulis.Ternyata banyak juga yang masuk list, tetapi karena harus memilih, maka untuk satu institusi besar cukup dipilih satu saja, yang dianggap mewakili. Untuk mendapatkan review, tentu berbeda dari kondisi saat dulu ketika belum pernah menulis. Nama saya sebagai penulis ternyata dapat dihandalkan, apalagi ada gelar GB yang belum lama saya terima. Cukup dengan WA, ternyata banyak yang setuju untuk memberi review. Ini penting karena dari review tersebut kita dapat memahami apa harapan profesional mereka terhadap topik yang saya tulis. Tidak hanya itu, data di atas juga saya sounding ke teman-teman di industri konstruksi, apakah mereka tertarik join sponsor, seperti yang ada di buku-buku saya dulu, sekedar agar buku dapat dicetak baik, bagus dan menjadi terbaik. Ternyata prosesnya cepat juga. Nggak terlalu banyak basa-basi, mereka pada tertarik, bahkan mendengar dari pihak pengelola sponsor, banyak yang ingin di halaman terdepan. Tentu saja nggak bisa karena terbatas.

Nah sambil menunggu para reviewer, yang dead line adalah awal maret 2023 ini, ternyata ada juga para senior gercep. Ini reviewer dari ITS, Surabaya, Prof Priyo menulis langsung di bukunya sbb.

Sampul draft buku sudah dicetak bagus. Ini saya kira kebetulan juga namanya. Hanya saja yang namanya penulis idealis itu tentu tidak cepat puas. Saat ini dengan pihak LUMINA Press sedang diupayakan untuk mencari bentuk cetak apa yang paling baik. Karena ada sponsor yang mendukung, maka biaya tidak menjadi batasan. O ya, saat ini tanpa bersusah payah, telah terkumpul kira-kira 10 (sepuluh) perusahan yang berkenan jadi sponsor. Ini saja saya pilih yang terkait dengan topik yang dibahas, jadi untuk teman-teman yang berkaitan dengan gedung, bukan jembatan, tidak ditawari.

Dalam rangka mencari format buku terbaik yang bisa diterbitkan, maka saya menyusun usulan cover buku. Silahkan pilih warna buku apa yang paling menarik, biru, merah atau hijau. Semua baik, sehingga membingungkan, mohon dibantu nggih.

[1] Draft cover buku warna BIRU

[2] Draft cover buku warna MERAH

[3] Draft cover buku warna HIJAU

Cover di atas jelas belum fixed, jika ada desain yang lebih baik, maka bisa saja disesuaikan. Jika anda punya ide, monggo. Thanks

11 tanggapan untuk “cover buku 2023 – warna apa ?”

  1. Aep Saepuloh Avatar
    Aep Saepuloh

    Warna Hijau pak 😁🙏

    Suka

    1. wir Avatar

      Cakep mas Aep, banyak juga yang memilih warna hijau. Matur nuwun.

      Suka

  2. Mahadi Kurniawan Avatar
    Mahadi Kurniawan

    Warna merah marun keren Prof. Wir.
    Salam sehat dan sukses selalu Prof.

    Suka

    1. wir Avatar

      Pak Mahadi, warna merah juga bagus. Hanya saja banyak yang memilih warna hijau, dan juga warna merah baru saja dipakai untuk buku saya yang struktur baja. Jadi ingin berbeda, sekarang pakai warna hijau.

      Istimewanya buku yang ini, akan dicoba dicetak mewah, pakai kertas halus dan berwarna. Hanya saja yang warna mungkin akan dibatasi, agar bisa dicetak lebih banyak lagi. Semoga ini akan lebih baik.

      BTW, thanks atas masukannya.

      Suka

  3. inggarfipiana Avatar

    saya pilih warna hijau pak, biru dan merah kan sudah pernah

    Suka

    1. wir Avatar

      Betul ibu, warna hijau memang belum ada sebelumnya. Jadi diputuskan warna hijau. Thanks nggih.

      Suka

  4. Juli Ardita Pribadi R. Avatar
    Juli Ardita Pribadi R.

    Warna hijau prof.

    Suka

    1. wir Avatar

      Sip, ok warna hijau. Nuwun

      Suka

  5. Rudyanto Saroinsong Avatar
    Rudyanto Saroinsong

    Untuk Cover Buku, Saya paling suka Hijau. Semoga bapak juga menyukai Hijau 🙏

    Suka

    1. wir Avatar

      Betul mas, warna hijau. Matur nuwun.

      Suka

  6. Jeffry Manampiring Avatar
    Jeffry Manampiring

    Hijau Prof.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Juli Ardita Pribadi R. Batalkan balasan

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com