magic, santet dan eyang . . .

Jangan kaget dan heran, jika penulis yang biasa hidup di dunia rasional, maklum berlatar belakang teknik, ternyata tertarik juga menuliskan sesuatu yang kelihatannya irrasional. Apakah itu berarti yang bersifat irrasional tidak menarik untuk diungkapkan ?

Suatu pertanyaan menarik. Kebetulan hari ini adalah hari Minggu yang bertepatan dengan minggu Paskah. Satu rangkaian terkait perayaan besar umat kristiani, yang dimulai dari hari Kamis Putih (Perjamuan terakhir), Jumat Agung (Penyaliban dan Kematian Yesus) dan Paskah (Kebangkitan Yesus). Suatu peristiwa yang bagi sebagian orang, dapat disebut  irrasional sehingga tidak perlu dipercaya. Tetapi saya, sebagai bagian dari umat kristiani, mempercayai betul peristiwa tersebut dan maknanya. Nah, bagi umat kristiani pembaca blog ini, sekaligus diucapkan “Selamat Paskah, Tuhan Yesus telah mengalahkan maut dan menebus doa kita, umat manusia. Bawalah sukacita dan damai sejahtera bagi kita semua.“.

Ucapan selamat di atas merupakan petunjuk bahwa rasional dan irrasional, bisa berbeda antara manusia satu dengan lainnya. Kita yang hidup di negara berdasarkan Pancasila tentu tidak perlu mempermasalahkan hal itu. O ya, saya memakai istilah rasional dan irrasional, dan bukan ilmiah atau non-ilmiah. Jika istilah yang terakhir itu yang dipilih, berarti harus ditunjukkan bahwa hal itu dapat dibuktikan ulang. Adapun istilah rasional atau irrasional hanya merujuk pada kondisi dapat diterima rasio (pikiran) dan dipercayainya, serta tidak perlu dibuktikan ulang.

Tulisan ini perlu diungkapkan karena prihatin dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Bayangkan saja, di level lembaga resmi sudah digulirkan wacana tentang UU tentang santet. Itu menunjukkan bahwa santet sesuatu yang resmi diakui oleh negara, padahal di sisi lain sejak kemerdekaan kita telah mempunyai komponen dasar negara yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Apakah itu bukan suatu kemunduran. Bahkan saat inipun, di pinggir ibukota, di daerah Bekasi, dapat saja terjadi penggusuran rumah ibadat yang kontroversial. Ini beritanya. Jadi aneh saja khan, di satu sisi ada sebagian rakyat yang sedang memperjuangkan mengamalkan sila pertama Pancasila, eh negara tidak mendukung. Di sisi lain, wakil rakyat yang diharapkan bahkan memperjuangkan santet. Khan ini tidak urgent, ditambah pemimpinnya yang diharapkan oleh sebagian rakyat hanya sibuk memikirkan partai. Anda itu dipilih menjadi paling atas di negara ini, dengan maksud agar mengayomi rakyat. Itu berarti di atas semua golongan. Partai dibentuk hanya sebagai sarana menuju ke situ. Ingat pak, ada yang lebih besar dan jangan terjebak pada rutinitas.

Eh koq jadi keluhan. Mari kita kembali ke rasional dan irrasional.

Perdebatan tentang masalah irrasional dan rasional bagi manusia adalah wajar, maklum pada dasarnya kita ini terbatas, tidak berdaya, dan yang namanya kesengsaraan (kesedihan, ketakutan ) itu lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Itulah mengapa kita bersatu padu mengatasinya, membentuk negara dan hukum. Untuk apa itu semua, ya agar kita tidak takut lagi dan tidak sedih lagi. Dengan adanya negara dan hukum maka kita tidak hidup seperti ditengah hutan, yang mengandalkan hukum rimba. Maklum, manusia itu kalau dibiarkan saja semaunya bisa lebih menakutkan daripada serigala. Dengan cara pikir seperti itulah, bahwa kita yang telah mempunyai negara dan hukum, tetapi kaget juga dengan dapat terjadinya peristiwa seperti di Bekasi tersebut. Mana fungsi negara kalau begitu.

Itu tadi di sisi lain, di sisi pribadi juga terlihat tidak ada pertumbuhan dalam hal rasional dan irrasional. Lihat saja sekarang banyak diungkap media tentang pentingnya perdukunan. Bahkan baru-baru ini ada kesaksian artis yang merasa ditipu dukunnya, yang disiarkan berulang-ulang.

Apakah itu semua bukan merupakan upaya menurunkan derajat agama, hanya sekedar menjadi identitas sekelompok orang, dan bahkan nantinya menjadi tidak berbeda dengan sebutan ormas atau semacamnya.

Banyaknya dukun dan dibahasnya santet menjadi agenda resmi negara menunjukkan bahwa banyak dari kita ini tidak sanggup menjangkau yang Maha Kuasa, yang Maha Kasih melalui agama yang dianutnya. Sedih tentunya, karena memang ada yang melihat bahwa menghadiri misa di Gereja sebagai sebagai ritual kewajiban, yang jika tidak hadir dianggap tidak beragama. Dimana itu menjadi stigma yang ditakuti daripada tidak dekat dengan yang Maha Kuasa itu sendiri.

Maklum saat ini orang lebih puas dengan kenampakan lahir, sudah puas dengan melihat orang datang ke Gereja atau ke Mesjid secara rutin, atau bersembahyang tepat lima waktu. Itu semua khan sekedar petunjuk agama agar kita lekat dengan sang Maha Kuasa itu sendiri. Itu pula yang menjadi jawaban, mengapa di Indonesia yang rakyatnya rajin beribadah, tetapi korupsinya tetap hingar bingar, dukun-dukun masih eksis, bahkan di promosikan di media-media ini juga.

Bagaimanapun, agama adalah penting karena di dalamnya terdapat petunjuk yang jelas bagaimana kita dapat bersatu dengan yang Maha Kuasa dan menjadi saluran berkat-Nya. Nah bagaimana itu caranya, saya kira itu sudah cukup jelas. Jika belum puas bisa langsung ke pemuka agama masing-masing.

Nah yang paling penting adalah mengetahui bagaimana ciri-ciri orang yang telah melekat dengan-Nya. Tentu ini pendapat pribadi, jika ada yang lebih baik mohon ditambahkan.

Orang yang lekat dengan Tuhan secara umum adalah orang yang membawa suka-cita, mensyukuri kehidupannya dan merasa dipilih untuk membawa berkat bagi orang lain, lebih baik memberi daripada menerima, bahkan bersedia melayani dalam kasih untuk mengupayakan damai dan sejahtera bagi sesama.

Jadi selain taat beribadah, sudahkan buahnya seperti itu. Selamat Paskah, Tuhan memberkati kita semua.

Guru yang bukan Sarjana Pendidikan

Di sela-sela hingar bingar berita di media elektronik, yang umumnya hanya berkisar tentang diketemukannya kasus korupsi, narkoba, juga kekisruhan politik, ternyata diam-diam ada juga yang mempertanyakan profesi guru.

Ini berita yang dimaksud :

Kamis, 28/03/2013 18:49 WIB
MK Putuskan Profesi Guru Bukan Monopoli Sarjana Pendidikan
Danu Damarjati – detikNews

Ternyata diam-diam ada yang ngotot memperjuangkan persyaratan orang untuk berprofesi menjadi guru. Idenya mungkin seperti dokter, yang mana hanya boleh diberikan bagi orang yang telah lulus menempuh pendidikan dokter. Jadi mereka yang menuntut itu berharap bahwa hanya orang-orang yang telah menempuh sarjana pendidikan saja yang boleh menjadi guru.

Guru, profesi yang menarikkah.

Saat ini mungkin begitu, maklum adanya pengakuan UU menyebabkan logis jika pada profesi tersebut diberikan tunjangan dari pemerintah, sebagai tambahan dari gaji yang telah diterima selama ini oleh guru. Hanya memang, rasanya belum menjangkau semua guru, hanya yang telah ter-sertifikasi saja.

Terlepas dari itu (belum semuanya tersertifikasi), tetapi karena ada jaminan undang-undang dan juga kecenderungan, “guru-tetap” (lawannya adalah guru tidak tetap) lebih diprioritaskan, maka profesi menjadi guru dapat dianggap sebagai peluang yang menarik, untuk mendapatkan kepastian suatu pekerjaan. Maklum, jadi pegawai swasta atau buruh, juga rawan lho untuk kena PHK.

Tentang PHK atau perusahaan bangkrut, memang beritanya jarang kita dengar. Koran-koran media umumnya lebih suka memberitakan adanya segerombolan buruh-buruh yang sedang melakukan protes kenaikan UMR. Mereka (media) menganggapnya berita yang populer, atau seakan-akan berita yang memihak pada yang lemah (keadilan).

Faktanya, memang ada perubahan kenaikan UMR. Ada buruh-buruh yang senang mendapatkan itu, tetapi ternyata ada juga sebagian (kecil) yang bahkan tidak mendapatkan apa-apa, maklum perusahaan tempatnya bekerja telah mengalokasikan pabriknya, pindah ke tempat baru yang dirasakan lebih menguntungkan (UMR yang dianggap wajar atau buruh yang tidak suka sedikit-sedikit demo). Kalau mau melihat lapangan, kadang-kadang ngeri juga karena untuk demo tersebut kesannya paksaan, ada sebagian buruh, yang mengaku dari kelompok (kelompok apa ya) yang datang untuk sweeping jika ada buruh yang tidak bersolidaritas. Padahal kalau pabriknya bangkrut, kelompok tadi diem saja. 😦

Relokasi pabrik memang bisa saja dikesankan  positip, tetapi tidak menutup pula jika ternyata pabrik tersebut menjadi bangkrut. Kalau nggak percaya, lihat saja pabrik-pabrik di sekitar pinggiran Jakarta. Pak Jokowi saja tempo hari pernah menyatakan bahwa ada puluhan pabrik yang melakukan relokasi. Bayangkan saja, apakah pemiliknya juga mengajak serta buruhnya. Kondisi tersebut di atas, terjadi pada perusahaan atau pabrik, dan jarang sekali hal itu terjadi pada sekolah-sekolah, tempat bekerjanya guru. Kondisi itu khan jelas menunjukkan bahwa kepastian kerja profesi guru adalah lebih baik dibanding menjadi buruh. 😀

Adanya hal-hal yang positip itulah maka ada sekelompok orang yang memperjuangkan melalui mekanisme undang-undang bahwa yang boleh bekerja sebagai guru hanya lulusan sarjana pendidikan. Mau di monopoli begitu kelihatannya.

Untunglah, MK dapat mengambil keputusan, yang menurutku adalah tepat, bahwa profesi guru adalah berbeda dengan profesi kedokteran. Yang boleh menjadi guru, tidak terbatas hanya lulusan sarjana pendidikan saja, tetapi sarjana-sarjana yang lain, yang memenuhi kualifikasi tertentu.

Ini penting diungkapkan, karena meskipun guru pekerjaan utamanya adalah mendidik dan mengajar, tetapi sebenarnya yang dipentingkan adalah kemampuan mentransfer materi / pengetahuan / keahlian yang dimilikinya. Memang sih, pada level bawah, pendidikan dasar, maka fungsi pendidikan siswa lebih besar porsinya, yaitu memberi nilai-nilai dasar kehidupan. Semakin tinggi level pendidikan maka kompetensi non-kependidikan akan menjadi besar. Apalagi guru di level perguruan tinggi, yang kadang disebut juga sebagai dosen. Nama sih boleh beda-beda penyebutannya, tetapi sebenarnya adalah guru juga. Itulah mengapa aku yang dosen ini (katanya) juga menulis tentang topik guru ini.

Guru di level pendidikan tinggi, atau dosen, karena lebih banyak diharapkan pada level kompetensi non-kependikan maka mereka mengenal istilah tridharma perguruan tinggi, dimana pendidikan dan pengajaran hanya mendapat porsi 1/3 (kira-kira), ada yang lain, yaitu porsi riset-publikasi ilmiah dan porsi pengabdian masyarakat. Pada porsi yang terakhir itulah maka kadang-kadang ada harapan bahwa keberadaan perguruan tinggi dapat menyumbangkan solusi bagi kemajuan negeri. 😀

Nah yang namanya sarjana pendidikan, memang tidak diragukan lagi bahwa mereka telah belajar banyak tentang pendidikan itu sendiri. Tapi tentang konten, atau materi yang diajarkan maka tentu tidak bisa dipastikan. Jadi sebagai gambarannya, guru yang bertugas untuk mendidik dan mengajar, maka dapat dianggap mereka kompeten di bidang pendidikan (yang utama untuk pendidikan dasar) tetapi di bidang pengajaran (sain / pengetahuan / keahlian) belum tentu dapat dibandingkan dengan sarjana lainnya. Itulah mengapa, guru di level pendidikan tinggi, seperti aku ini, tidak berangkat dari pendidikan guru.

Itulah mengapa, aku mendukung MK yang mengambil keputusan bahwa profesi guru tidak terbatas pada orang-orang yang telah punya gelar sarjana pendidikan.

Jika kita berorientasi pada kemajuan bangsa bahkan profesi guru perlu diberikan persyaratan yang ketat, nggak sembarang orang dapat bekerja di sana. Ini penting, apalagi sampai-sampai ada pepatah : “guru kencing berdiri, murid kencing berlari“.

Maklum, mendidik dan mengajar orang yang baik, adalah tidak sekedar memberikan pengetahuan atau keahlian, tetapi juga sikap hidup (attitude) yang positip. Guru harus dapat menjadi teladan, minimal dapat memberikan semangat belajar bagi anak-anak didiknya. Saya kira untuk mengantisipasi adanya orang yang dipagi hari berprofesi guru, tetapi sore hari jadi tukang ojek, maka diberikannya insentif oleh pemerintah melalui sertifikasi dosen.

Kemampuan menjadi teladan, dapat menunjukkan atau memberikan semangat belajar yang tinggi pada anak-anak. Jika itu dijiwai dengan baik, maka meskipun tidak terasa tetapi dapat dijamin bahwa kompetisi guru tersebut nantinya pasti akan meningkat, semakin maju. Bahkan, jika lingkungannya tidak mendukung bisa dipastikan, guru yang semakin maju tersebut, akan berani mendobrak, atau minimal keluar untuk mencari lingkungan kehidupan yang lebih baik. Jika itu terjadi maka dapat dipastikan tidak akan ada lagi orang-orang yang mengaku berprofesi guru yang datang berdemo meminta kenaikan gaji dan semacamnya. Jika mereka mempunyai kompetensi yang memang sesuai dengan namanya guru (orang yang lebih pintar dari lainnya) maka tentunya mereka tidak perlu sampai mengemis-ngemis ke MK minta diperjuangkan nasibnya.

Semoga kedepannya, profesi guru di Indonesia dapat menjadi seperti “guru silat”, disegani. Semoga.

resensi buku baja

Punya hobby membaca dan kemudian bekerja sebagai dosen. Wah itu seperti pepatah jawa: “tumbu oleh tutup”, kebetulan sekali. Maklum orang lain melihatnya seperti bekerja padahal memang hobby-nya.

Kadangkala membedakan antara orang yang membaca dan yang belajar, ternyata berbeda sangat tipis. Lihat saja, kalau ada seorang anak yang terlihat memegang buku-buku fisika atau matematik, orang akan mengatakannya bahwa anak tersebut sedang belajar. Adapun yang dipegang adalah buku komik, atau majalah game, maka disebutlah membaca. Jarang yang menyebutnya sebagai sedang belajar. 😀

Lanjutkan membaca “resensi buku baja”