sukses meniti karir

Ini tulisan intermezo, tentang topik yang diharapkan banyak pihak. Hanya saja isinya bisa saja berbeda-beda tergantung cara pandang penulisnya. Penulisnya berlatar belakang praktisi (konstruksi) dan saat ini hidup sebagai dosen (juga expert di industri konstruksi), tentu bisa dipahami apa yang disampaikannya adalah didasari oleh pengalaman karirnya tersebut. Jangan berharap isinya tentang kesuksesan karir bagaimana menjadi pejabat atau juga pengusaha. Bisa berbeda strateginya.

Tulisan tentang karir, ini seakan-akan meloncat dari tulisan-tulisan sebelumnya, yang banyak membahas tentang penerbitan buku (warna cover buku, buku istimewa 2023). Progress buku yang dibahas sudah on the right track, sesuai rencana. Saat ini posisinya, buku sedang tahap naik cetak. Ternyata untuk mencetak sesuai spesifikasi, perlu waktu empat (4) minggu dari sekarang. Itu berarti tidak bisa diperkenalkan kepada publik pada acara Seminar HAKI di Medan (19 Mei 2023). Padahal saya menjadi salah satu pembicaranya (ada di panggung). Ini bukti poster seminarnya.

Suatu even yang cukup besar khan, sayang terlewatkan. Moga-moga rencana launching buku yang akan diadakan oleh Progdi Teknik Sipil UPH (2 Agustus 2023) dapat terlaksana. O ya, pihak LUMINA Press berencana membuka meja promosi dan penjualan buku di Seminar HAKI di Jakarta (22 Agustus 2023). Semoga ini juga bisa sukses terlaksana.

He, he kembali ke laptop, ke masalah sukses meniti karir.

Jujur, saya menulis ini karena terinspirasi oleh pertemuan kemarin dengan teman kerja lama, yang puluhan tahun tidak ketemu. Saya berpikir karena sudah sukses, maka jadi lupa. Eh ternyata tidak seperti itu halnya, bahkan kebalikan dari yang aku pikirkan. Orangnya datang secara tiba-tiba, terkesan kusut dan nampak tua (padahal umurnya di bawahku), ditemui bersama rekan kantor yang lain, obrol punya obrol, yang bersangkutan ternyata mencoba mencari peluang kerja. Ini tentu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ini sekedar petunjuk, ternyata ada orang yang belum tahu bagaimana cara meniti karir yang sukses.

Agar sukses dalam berkarir, sehingga bisa berdiri tegak penuh percaya diri dan mensyukuri hidup, maka ada dua faktor yang menentukan, yaitu [1] faktor di dalam diri kita; dan [2] faktor di luar diri kita. Jika ke dua faktor itu bisa bertemu dan cocok, maka kesuksesan adalah tinggal menunggu waktu. Oleh sebab itu kita harus menyadari, meskipun faktor di dalam diri kita sudah dianggap ideal, tetapi kalau belum ketemu atau tepatnya belum mendapatkan kesempatan yang baik atau pas dengan faktor di luar diri kita, maka tentu tidak ada rasa suka cita yang diperoleh . Agar sukses, dan akhirnya dapat bersuka-cita, bisa saja mencari faktor luar di tempat lain, yang pas.

Nah poin yang terakhir itu yang bisa memahami, mengapa ada teman kerja yang akhrinya perlu “keluar”. Ini sesuatu yang wajar , siapa tahu di luar akan menjadi semakin baik. Pertemuan kemarin menunjukkan bahwa ternyata tidak seperti itu adanya.

Adanya dua faktor, diri kita dan dunia luar, menunjukkan bahwa tidak setiap keinginan kita, pasti akan mendapatkan kesuksesan. Baru ketika dua faktor tersebut, diri kita (kompetensi) dan dunia luar (kesempatan) itu pas, atau cocok, maka kesuksesan akan terjadi. Ingat apakah bisa pas, itu yang harus kita pikirkan. Tentang hal tersebut, ada narasumber yang berpendapat atau mungkin untuk menghibur, yaitu “cobalah terus, pantang menyerah, suatu saat pasti akan berhasil, selanjutnya menunjukkan bukti-bukti real yang mendukung ide tersebut“. Kapan saat berhasil itu, tidak ada yang tahu. Bagaimanapun juga, ketika mencoba, maka waktu terus berjalan, usia bertambah, dan tentu saja itu semua akan sangat mempengaruhi.

Kita harus realistis tentang hal tersebut. Kalau tidak, maka kejadian kemarin yang saya ceritakaan di atas, akan terjadi. Saya tentu saja merasa prihatin, hanya saja untuk suatu pekerjaan tertentu, tidak bisa sekedar dijadikan pelarian.

Langkah utama yang bisa dilakukan adalah menyiapkan bagian dari diri kita untuk sukses. Pertama adalah mengenal betul diri kita, mana kekuatan dan mana kelemahan. Ada tiga komponen di dalam diri kita yang menunjang kesuksesan dalam kehidupannya, yaitu : [1] ketrampilan yang dimiliki (pengalaman formal akademik atau non-andemik); [2] bakat (talent); dan [3] karakter, atau kebiasan dalam kehidupan kita.

Kecuali bakat, yang memang dari sononya, maka ketrampilan dan karakter biasanya dipengaruhi oleh proses pendidikan dan lingkungan kehidupannya di masa muda. Semakin tua umur seseorang, maka mengubah karakter atau menambah ketrampilan, menjadi sesuatu yang semakin berat. Itu pula alasannya, mengapa perusahaan mau menerima anak muda yang baru lulus untuk menjadi pegawai dan kemudian mendidiknya lagi. Jelas, nggak ada yang mau menerima yang sudah tua.

Oleh sebab itu, keterlambatan menyadari bagaimana mencapai kesuksesan dalam kehidupan saat sudah berumur, maka hanya penyesalan yang terjadi. Pada kasus seperti ini, banyak yang kemudian menyalahkan orang lain sebagai kambing hitam ketidak-suksesan tersebut. Jika ini terjadi, maka saya yakin, hanya akan kegetiran yang ditemui, dan kesuksesan akan menjadi semakin menjauh. Jadi kalau begitu bagaimana ?

Sukses adalah terwujudnya harapan, yang terkait dengan pihak lain. Pihak lain itu punya kriteria, jika kita tidak bisa memenuhi kriteria tersebut, maka tentu kesuksesan tidak akan tercapai. Jadi jika kasusnya sudah terjadi (sudah berumur), maka yang pertama adalah introspeksi diri terlebih dahulu. Mencari tahu ke tiga (3) point penunjang kesuksesan di atas, dari sana kita tawarkan ke pihak lain yang mempunyai kriteria yang bisa dipenuhi. Jika perlu, nggak usah takut untuk down-grade dibanding karir yang dulu. Nah di sini biasanya ego yang tidak memungkinkan.

Jujur menasehati orang muda itu lebih mudah daripada menasehati orang tua yang tidak sukses (gagal). Biasa kalau ketemu orang di atas usia 40 tahun, saya takut menasehati (kecuali tentu jika diminta pendapat). Karakternya sudah terbentuk.

Paling baik adalah menasehati anak-anak muda (yang mau), dan tentu saja anaknya sendiri. Ini tentu sangat penting, karena kalau sampai anak-anaknya sendiri di hari tua bermasalah, pasti tidak punya waktu juga untuk memikirkan orang tuanya. Jadi adalah kewajiban orang tua untuk memastikan anak-anaknya, minimal bisa mandiri, agar nanti minimal tidak menjadi bahan pemikiran orang tuanya di hari tua, dan bahkan bisa memikirkan balik.

Sebagai seorang yang berpengalaman berkeluarga sejak 1991 atau sudah 32 tahun, maka mendapatkan jodoh yang baik, adalah salah satu syarat untuk mendapatkan kesuksesan hidup. Untung saja saya dulu menikah relatif muda, sebelum pensiun, anak-anak sudah selesai kuliah, dan sudah ada yang berumah-tangga. Bisa dibayangkan, jika terlambat menikah, maka pada usia tua, harus kerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beruntung, jika terlambat menikah, tetapi di usia tua sudah bebas finansial. Nggak ada masalah itu. Tetapi apa ada jaminan jika menika terlambat itu kalau tua akan bebas finansial.

Oleh sebab itu, kepada anak-anak, aku menjelaskan agar segera ketika sudah mendapatkan kepastian karir agar segera mencari jodoh untuk mau bersama-sama menjalani kehidupan ini. Kepastian karir, biasanya sudah bisa terdeteksi ketika sudah lulus SLTA atau SMA. Ini tentu jika jalan kehidupan sesuai cita-citanya, misalnya ketika SLTP sudah bercita-cita jadi dokter. Akibatnya cari SLTA yang alumninya banyak ketrima di FK. Jadi ketika lulus SLTA dan bisa masuk FK, maka jelas itu karirnya sudah pasti. Upaya yang dilakukan sekedar belajar giat, dan mencari peluang mendapatkan jodoh. Saya yakin, hal seperti ini tidak setiap orang tua berani menyatakan kepada anaknya. Jika cewek, maka itu lebih aku tekankan lagi. Maklum usia prima seorang putri untuk menarik minat jodoh adalah di bawah 30 tahun. Ini ideal, meskipun setelah itu sah-sah saja, dengan catatan fisik masih prima.

Jujur, saya bilang ke anak-anak bahwa secara rasional cowok masih melihat fisik sebagai hal utama, sedangkan dari sisi cewek akan melihat cowon dari potensi kemapanan di masa depan. Oleh sebab itu wajar ditemui di lingkungan kerja saya, seorang cewek dengan karir yang bagus, ternyata masih melajang. Hal-hal ini aku identifikasi agar bisa dijadikan bahan renungan anak-anak muda (anak saya atau yang lain yang mau mendengar) dalam melangkah. Karir dan keluarga itu seperti dua hal yang paralel dalam kehidupan, bahkan bisa saling menopang.

Dengan cara pikir seperti itu, maka tahun 1991 saya melangkah dalam perkawinan. Istri saya empat (4) tahun di bawah saya, menurut kepercayaan Tionghoa, itu seperti kaki meja, cocok. Ini aku ingat betul, sekedar motivasi dalam berkeluarga. Setelah 32 dalam kehidupan perkawinan ternyata ok-ok saja. Apakah karena kepercayaan kaki meja atau bukan, aku nggak tahu. Intinya, hal-hal yang positip, selalu aku ingat, yang tidak mendukung, buang.

Agar keluarga bisa saling menopang, maka anggota keluarga dibebaskan berkarir atau meraih prestasi, pengikatnya adalah saling kepercayaan dan komitmen untuk membentuk keluarga untuk kebaikan bersama dan untuk kemuliaan Tuhan. Ini memang visi jauh, itu pula alasannya mengapa harus memilih istri yang seiman, agar tujuan di atas bisa tercapai. Jika berbeda agama, tentu akan ada pertanyaan terkait Tuhan. Ini bisa jadi masalah, dan biasanya jika aku amati mereka ada salah satu yang mengalah, atau bahkan bersifat universal, tidak condong salah satu.

Bagi anak muda, modal pendidikan adalah sangat penting. Ini akan menambah komponen ketrampilan, yang dalam perjalanannya akan mempengaruhi karakter pribadinya. Meskipun praktiknya, hasil pendidikan yang baik, selain membekali dengan ketrampilan juga akan merubah mindset dan kemandirian. Dua hal ini, yang sebenarnya paling penting. Itu pula alasannya, mengapa pendidikan anak-anak tidak ada yang sama dengan kampus papanya. Agar diperoleh kemandirian.

Salah satu indikator kesuksesan adalah mampu hidup mandiri, meskipun ketika dalam proses pendidikan, masih dibiayai oleh orang tua. Ini penting, karena saya menjumpai masih banyak orang tua yang enggan anak-anaknya jauh darinya selama proses pendidikan. Maunya di dekap terus, jika ada masalah anak, maka orang tuanya yang maju. Sampai kapan orang tua bisa selalu bersama anak-anak.

Wah panjang juga, karena sukses itu biasanya telah menjadi karakter. Banyak bukti, jika seorang anak sukses di bagian tertentu, maka di bagian lain juga sukses, dan jika tidak sukses maka di mana-mana juga gagal. Ini biasanya harus ada perubahan dari sisi karakternya. Rejeki itu ibarat seperti kita akan memilih restoran untuk makan siang / malam. Kita cenderung memilih restoran yang ramai, dan bukan yang sepi. kalau hal seperti itu khan ada kesan tidak adil. Ini juga berlaku pada karir dosen, ada dosen yang selalu bisa dengan mudah menerbitkan artikel di jurnal international terindeks Scopus, adapun saya perlu kerja keras sekedar memenuhi syarat satu jurnal bereputasi tiap tiga tahun sekali. Juga menjawab mengapa setiap semester selalu mendapat undangan sebagai pembicara seminar, adapun yang lain tidak seperti itu. Hidup itu aneh, tidak bisa diukur dengan adil atau tidak. Mindset kita harus berubah yang positip.

Saya kira cukup dulu, sekedar untuk uneg-uneg akan keprihatinan saya pada seseorang, yang sebenarnya hal itu bisa dihindari jika puluhan tahun lalu yang bersangkutan mau mendengarnya. Waktu telah berlalu, usia bertambah, semoga yang bersangkutan menemukan jalan yang pas untuk hidupnya, dan bisa mensyukurinya. Tuhan memberkati kita semua.