Bagaimanakah pedulinya seseorang terhadap pendidikan, maka lihatlah kehidupannya.
Tanpa didikan yang baik maka orang tidak akan bisa hidup sejahtera, bahkan bisa binasa. Nasehat seperti itu sudah jelas tidak perlu diperdebatkan, sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Jika anda merasa itu tidak benar, ya silahkan saja renungkan sendiri. Ini adalah suatu hikmat.
Ia mati, karena tidak menerima didikan dan karena kebodohannya yang besar ia tersesat.
[Amsal 5:23]
Memang sih, didikan dalam hal ini tidak terbatas pada pendidikan formal sekolah, tetapi juga pendidikan dalam kehidupan itu sendiri. Itu pula yang menyebabkan ketika ada orang sukses tanpa pernah bersekolah maka disebutnya sebagai otodidak.
Padahal kenyataannya dia belajar keras terhadap didikan real yang diperoleh dalam kehidupannya. Tetapi orang-orang seperti itu relatif sedikit, sehingga disebutlah sebagai suatu keistimewaan. Tidak berlaku sama hasilnya jika diterapkan pada banyak orang. Bagaimanapun prosentasi keberhasilannya akan lebih banyak jika mendapat pendidikan formal. Tentu saja ini dengan asumsi bahwa pendidikan yang dimaksud adalah yang berorientasi pada mutu dan tidak sekedar mendapatkan ijazah.
Oleh karena itu, mayoritas berpendapat bahwa pendidikan umumnya berkorelasi langsung pada peningkatan kesejahteraan hidup, sehingga para guru yang bekerja pada sektor tersebut mendapat julukan ‘pekerja mulia’ atau ‘pahlawan tanpa tanda jasa’.
Note: kesejahteraan hidup kadang tidak terkait langsung dengan kekayaan materi. Ada aja manusia yang disebut orang sebagai konglomerat, tetapi ternyata mati bunuh diri. Orang seperti itu apa bisa disebut sejahtera.
Apakah itu berarti bahwa semua yang mendapat pendidikan formal sekolah pasti hidupnya sejahtera. Padahal kita tahu dari koran-koran, bahwa banyak terdapat pengangguran meskipun yang bersangkutan menyandang pendidikan tinggi. Itu semua menunjukkan bahwa pendidikan yang berorientasi mutu seperti di atas masih belum mencapai tujuannya, atau bisa saja dikatakan bahwa pendidikan di sini belum bermutu (nggak semua sih).
Tunjuk hidung, mana yang bermutu dan mana yang tidak, jelas tidak gampang ! Kecuali jika yang bersangkutan adalah sudah sangat keterlaluan.
Bagaimanapun, itu menyangkut kelangsungan hidup orang sehingga pihak yang terkait tersebut akan mempertahankan mati-matian. Jadi maunya adalah meningkatkan mutu pendidikan tetapi karena menyangkut hajat hidup orang banyak, ya udah di atur-atur. Peduli amat dengan anak didik, yang penting sudah meluluskan dan yang hidup di sana bisa tatap mendapatkan periuk nasinya.
Ketakutan untuk kehilangan periuk nasi menyebabkan pelaku pendidikan mencari jalan gampangnya saja. Jalan tengah agar semua ‘baik-baik’ saja. Takut mengambil resiko. Intinya manusia-manusia yang hidup dari ‘pendidikan’ tidak berani mengambil terobosan yang ekstrim jika hal tersebut menyangkut reformasi bagi pihak-pihak tertentu.
Kalaupun ada pernak-pernik yang seakan-akan peduli dengan pendidikan, yang beberapa saat sempat menjadi topik menarik pada blog ini, itupun hanya sekedar intermezo. Cari topik atau objek yang relatif ‘aman’. Sehingga jikapun terjadi kontroversi bagi yang mencetuskan topik tersebut masih yakin akan mendapat banyak pendukungnya, tetapi kalau berbicara masalah yang urgent yang esensi, yang menyangkut benar masalahnya sendiri yaitu anggaran pendidikan oleh pemerintah. Orang-orang pendidikan cenderung diam. Saya tidak melihat bahwa komentar itu bisa datang dari kalangan pendidikan itu sendiri. Para pejabat cenderung pilih jalan aman, paling-paling hanya sekedar berwacana. Lalu diam. Sunyi senyap, menerima. Pasrah. Karena jika ngotot, bisa-bisa dipecat !
Kenapa saya ngomong begini ?

Ini di P. Jawa lho, SMPN 193 Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur
(Sumber : Kompas)
Apakah tidak tahu, bahwa pada saat ini sedang ada upaya untuk dilakukan pemotongan anggaran pendidikan oleh pemerintah. Apakah itu masih dalam wacana upaya atau ternyata sudah dipotong. Kurang jelas. Tetapi yang jelas ada dua artikel di Kompas yang membahas hal tersebut. Artikel kecil, kalau tidak diperhatikan sih nggak kelihatan. Nggak heboh seperti halnya tentang pembahasan tentang PTS tempo hari, yaitu :
-
Anggaran Pendidikan Jangan Dipotong (Kompas, Kamis 28 Feb 2008)
-
Pendidikan Bukan Lagi Prioritas (Kompas, Kamis 28 Feb 2008)
Jadi siapa yang harus berupaya ngotot memperjuangkan itu semua. Tentu, orang-orang yang kehidupanya tidak mengandalkan gaji dari institusi pendidikan, bisa-bisa di out-kan, toh anggaran untuk pendidikan juga dikurangi. Masih mau digaji ? He, he, he, itu kali, ancaman yang punya anggaran.
Jika bukan dari orang-orang pendidikan , lalu siapa ? Ya, satu-satunya yang punya gigi untuk menolak seperti itu adalah dari orang-orang dpr. Iya nggak ? Masalahnya adalah apakah mereka mempunyai visi dan misi yang mendukung tentang pendidikan ini. Itu khan melawan arus, apalagi kalo mereka kemudian diiming-imingin sesuatu agar diem. Udah masalah jadi berhenti.
Masalah pendidikan di sini khan sangat banyak, besar, jika ada segelintir orang bersusah payah memperjuangkan kepentingan orang banyak tersebut. Apakah orang banyak yang dibantu tersebut akan mengerti, lalu memberi balas jasa atau apresiasi . Boro-boro !. Orang kita khan terbiasa untuk mengomel, memberi komentar sinis. Karena berpikiran seperti itulah, maka orang-orang yang mempunyai potensi untuk memperjuangkan kondisi pendidikan di sini akan mengambil jalan tengah. Nggapain konflik. Kalaupun masih ada orang seperti itu, pastilah orang idealis, yang mempunyai pendapat bahwa itu semua akan mendapat upah di surga. ![]()
Pak Wir mengapa pesimis sih ?
Bukannya pesimis, tapi fakta. Coba deh anda baca komentar-komentar yang tempo hari sempat kontroversi. Bukan di blog ini sih, karena kalau ada, dan tidak mempunyai dasar yang baik serta sopan, maka komentar-komentar tersebut saya singkirkan tanpa pemberitahuan. Pokoknya kalau dapat komentar miring, nggak sopan, terus terang saya anggap itu komentar sampah, saya delete dengan tangan besi. 😀
Yang apa sih pak Wir ?
Itu lho, orang kaya yang bikin sekolah pts. Khan lucu, ada orang yang peduli dengan pendidikan di negeri ini. Eh di komentari buruk, padahal yang ngomentari tersebut emangnya sudah bisa apa dibanding si orang kaya itu. Itu paling-paling khan iri.
Jadi untuk bisa peduli dengan pendidikan di sini, selain kemauan, kemampuan juga perlu keberanian. Harus berani sendirian menentang arus mayoritas. Jadi kalau dipikir-pikir, orang yang peduli pendidikan dan hanya mengandalkan manusia semata, rasanya mustahil adanya. Itu harus langsung minta dukungan yang kuasa.
Jadi benarlah bahwa pendidikan itu tidak hanya sekedar berpatokan pada knowledge, tapi juga faith dan Godly character.
Apa itu pak Wir ?
Ah nggak usah dipikirin. Wong saya ini nggak berani koq ! Takut juga kalau dipecat.

Artikelku di blog ini yang mungkin terkait :
-
Permintaan komentar dari sdr Hartanto W.
Artikel orang lain yang concern terhadap mutu pendidikan di negeri ini:







Tinggalkan komentar