ada apa dengan standardisasi jembatan baja

Permintaan untuk menjadi invited speaker atau pembicara yang diundang secara khusus, bahkan menjadi pembicara utama adalah sesuatu yang biasa tentunya bagi dosen bergelar guru besar. Saya yang juga guru besar menyadari bahwa hal itu bukan sebagai suatu hal yang bisa disombongkan, itu adalah tugas atau peranan saya saat ini. Tugas seorang guru besar adalah mengajar, tidak hanya murid kelasnya saja, tetapi juga masyarakat profesional.

Masyarakat profesional, atau hanya golongan masyarakat tertentu, yang berlatar belakang pendidikan teknik sipil. Itu terjadi karena apa yang saya ajarkan, hanya topik yang memang dipahami (berguna) bagi kalangan tersebut, kalangan profesional di bidang konstruksi. Itupun juga masih terbatas, hanya yang memahami kata kunci berikut : risiko, keselamatan, keamanan, kekuatan, stabilitas, struktur, baja, beton atau semacamnya. Di luar kata kunci tersebut, rasa-rasanya saya akan sama seperti orang awam umumnya. Untuk kata kunci tersebut, kadang kemampuan otak bawah sadar akan merespon dengan cepat. Itulah yang membantu saya, untuk menerima tanggung-jawab jika diminta menyiapkan materi sebagai pembicara di atas. Pokoknya yang penting, saya merasa senang menerima undangan menjadi pembicara, mempunyai harapan positip (merasa terhormat diundang), dan diberi waktu cukup (jangan sampai ada kesan dadakan, hanya jadi pembicara pacokan karena pembicara lain tidak bisa hadir). Permintaan jadi pembicara dadakan, biasanya akan saya tolak dengan sopan. Maklum motivasi mau menjadi pembicara adalah karena “merasa dianggap ada” atau aktualisasi diri. Bukan cari duit, meskipun ketika menerima honorarium, tentu akan senang sekali.

Dalam penyiapan materi, jika topik yang dibenak telah disetujui, dan ada waktu tenang, menyendiri, maka materi presentasi bisa dengan cepat dibuat. Pembuatannya kalau dilakukan dengan suka-cita kadang kala tidak terasa, tahu-tahu jadi. Hasilnya bahkan di luar ekspetasi, yang penting memuaskan. Tentu saja untuk saat itu. Maklum, ketika membaca tulisan lama, kadang merasa ada yang perlu diperbaiki dan ditambah lagi.

Penggunaan kemampuan bawah sadar dalam bekerja, dan mempresentasikan adalah hal penting bagi saya. Itulah sebabnya, untuk undangan acara, saya selalu berusaha datang tepat waktu, lebih pagi dari jadwal, agar tidak panik kalau sampai terlambat. Saya perlu waktu untuk mengatur diri agar tenang. Bahkan pada awal presentasi, yang bisanya masih menggunakan kesadaran biasa karena untuk mengingatkan siapa-siapa yang harus disapa, maka jika diperhatikan, di awalnya masih terasa kagok. Saya sadar akan hal itu. Tetapi biasanya setelah berapa saat, setelah merasa nyaman, biasanya saya akan berbicara dengan lancar, cepat, dan tidak harus berpikir lagi. Kata-kata dengan lancar akan keluar dengan sendirinya. Tentu saja selama pembicaraannya dalam topik kata-kata kunci di atas. Ini mungkin efek positip dari terbiasa menulis. Bayangkan saja, materi buku struktur baja saya, yang setebal hampir 900 halaman, itu materinya dapat dijelaskan dengan mudah tanpa harus membaca ulang terlebih dahulu.

Dengan kemampuan seperti itulah, maka saya merasa banyak menulis, banyak presentasi adalah tidak melelahkan. Bisa karena biasa, itu mungkin yang menyebabkannya. Mungkin dengan kemampuan itu, maka ketika berbincang-bincang dengan para profesional, dapat dengan mudah menggali ilmunya. Jika seseorang berbincang pada kata kunci yang sama, dengan yang saya pahami. Otomatis terbayang semua apa-apa yang melatar-belakangi pembicaraan tersebut. Jika ada kata kunci yang belum dipahami, biasanya saya simpan. Jika bisa ditanyakan langsung, tentu bersyukur, tetapi jika belum maka saya klik internet untuk mencari jawabannya. Puji Tuhan biasanya ketemu jawabannya. Hal-hal seperti inilah yang membuat saya bisa berkembang, meskipun tanpa guru formal sekalipun. Adapun yang menjadi guru, adalah para profesional tersebut, yang tugasnya adalah memicu syaraf-syarat dendrit otak saya agar bisa mencari jawaban sendiri, dibantu internet (buku dan jurnal atau hal lainnya).

Oleh sebab itu menjadi pembicara, tidak sekedar memberi kepada masyarakat, tetapi juga kesempatan untuk menerima pengetahuan baru, khususnya jika bertemu profesional berilmu lebih tinggi. Pernyataan yang terakhir ini tentu tidak berlaku untuk semua acara. Maklum tidak di semua acara, pasti akan didatangi para profesional berilmu tinggi. Mereka biasanya sangat sibuk, dan hanya hadir pada acara-acara yang dianggap istimewa saja.

Acara istimewa, salah satunya adalah yang diselenggarakan industri. Acara yang baru selesai kemarin, yang diselenggarakan pabrik baja Krakatau Posco adalah contohnya. Ini posternya.

Penyelenggaranya adalah pabrik baja terbesar di Indonesia, penyumbang 60% produk baja nasional, yang diselenggarakan di hotel berbintang, JS Luwansa Hotel and Convention Center. Meskipun yang hadir tidak lebih dari 100, tetapi sebagian besar adalah pemimpin utama atau bos perusahaan terkait baja, atau profesional kunci perusahaan tersebut. Pada acara tersebut, saya berbicara pertama kali untuk memicu diskusi, makalahnya berjudul “Prospect and Problems using Steel Construction in Indonesia”. Pembicara lainnya dari internal Krakatau Posco. Pembicara luar diperlukan agar acaranya tidak membosankan, begitu skenarionya. Ini suasana acara di atas.

Jumlah yang diundang relatif sedikit, itu bisa dimaklumi, karena para hadirin adalah para elitnya. Jika terlalu riuh tentu tidak menyenangkan.

Hal yang menarik dari menghadiri acara tersebut adalah bertemu dengan seorang praktisi, pengusaha dan pelaku konstruktor jembatan baja Indonesia, yaitu bapak Ernest Guillaume dari Waagner Biro. Bagi orang yang pernah terlibat dengan proyek jembatan baja di Indonesia, maka nama perusahaan tersebut tentunya tidak asing lagi. Saya sering bertemu anak-buah beliau, tetapi bertemu President Director, baru di acara ini. Ini enaknya diundang jadi pembicara, tempat duduk disiapkan.

Sebagai orang yang mempunyai passion, begitu istilah pak Ernest, terhadap jembatan baja, maka dalam waktu yang pendek, terjadilah dialog yang cukup berbobot. Ini tentang kemajuan jembatan baja Indonesia.

Hal yang menarik dari beliau, yang telah puluhan tahun tinggal di Indonesia, yang anak-anaknya ternyata juga bersekolah di Indonesia, adalah rasa bangganya dengan Indonesia. Beliau menyebutkan bahwa perusahaan beliau adalah satu-satunya perusahaan yang telah mengekspor jembatan baja ke luar negeri. Saya agak lupa negara-negara mana yang dimaksud, tetapi yang teringat adalah satu-satunya. Mengapa begitu, karena kata kuncinya adalah karena bisa memberi solusi yang inovatif dengan jembatan baja yang dibuatnya. Hal yang menarik, bahwa inovasi itu dihasilkan oleh para insinyur Indonesia sendiri, dan bukan dari barat. Bayangkan, beliaunya yang orang bule, tetapi begitu bangga menyebut hasil kerja orang Indonesia. Selama ini khan ada kesan, kalau yang terkait inovasi, itu pasti hasil kerja orang bule.

Dalam diskusi, beliau menyinggung kebijakan pemerintah tentang standardisasi jembatan baja, yang selanjutnya dibuat e-katalog, dan juga perlunya proteksi bagi industri baja dalam negeri. Jika tidak hati-hati, industri baja kita akan tergilas oleh produk Cina. Untuk hal tersebut, beliau mencontohkan, situasi yang terjadi di Bangladesh dan juga beberapa negara lain, yang akhirnya tergantung pada Cina. Lho koq bisa, bukankah standardisasi dan e-katalog adalah hal yang positip. Dengannya maka kualitas produk akan seragam dan biayanya transparan. Itu akan menyebabkan produknya efisien dan ekonomis.

Tentang hal tersebut, tidak ada yang salah. Tetapi kita (saya agak kaget dengan kata kita, apakah sama-sama merasa sudah jadi orang Indonesia). Menurut beliau jika hal itu dilakukan, maka SDM Indonesia, khususnya para rekayasawan menjadi tidak banyak aktif lagi untuk berpikir, pakai standard saja, toh akan lebih murah dan sudah terbukti. Kreatifitas insinyur menjadi tidak diperlukan, atau bisa juga karena sudah tidak diperlukan pemikiran baru, maka pekerjaan konstruksi lebih banyak pada pekerjaan tukang, atau produksi berulang, dibandingkan proses rekayasa yang khusus. Jadi intinya, jika pemerintah membuat kebijakan bahwa semua jembatan di Indonesia adalah yang standard, maka lama-lama para ahli yang kreatif, yang harus memikirkan sesuatu yang baru, menjadi tidak ada lagi. Padahal, kemajuan rekayasa itu terjadi ketika kemampuan inovasi (otak) mampu mengungguli kemampuan tukang (fisik dan ketrampilan).

Juga beliau mengingatkan, jika tujuannya adalah sekedar mutu dan ekonomis, maka produk Cina suatu saat akan pasti lebih mengungguli, dengan biaya lebih ekonomis. Jika itu terjadi, akhirnya kita hanya menjadi konsumen saja.

Jujur, ada benarnya juga argumentasi dari pak Ernest, padahal di satu sisi, tahu juga mengapa kebijakan standardisasi dan e-katalog dipilih oleh pemerintah. Standardisasi menjadi pilihan, karena disadari bahwa sumber daya dengan kompetensi mendesain dan mengkonstruksi jembatan yang baik itu terbatas. Oleh karena itu disadari bahwa tidak semua ahli bisa terlibat pada proyek-proyek jembatan yang begitu banyak. Jika bisa dibuat standardisasi, maka para ahli bisa berkonsentrasi untuk desain dan konstruksi beberapa tipe jembatan saja. Setelah hasilnya mantab lalu bisa diproduksi secara berulang. Itulah prinsip standardisasi yang saat ini dipilih.

Adapun cara pikir pak Ernest, sebagai bos perusahaan konsultan besar, agar bisa eksis maka kemampuan inovatif yang dapat diberikan, sehingga untuk situasi proyek yang khas, dapat dihasilkan produk yang optimum, ekonomis dan aman. Artinya, setiap proyek jembatan baja bagi pak Ernest itu perlu dipikirkan secara khusus, disesuaikan dengan situasi, kondisi. Karena kompetensi para sdm itulah maka perusahaan beliau bisa ekspor ke manca-negara.

Saya jawab, anda tidak salah karena perusahaan anda telah siap. Adapun untuk diterapkan umum, di Indonesia tentu tidak sesuai. Saya bahkan bilang, orang Indonesia itu kalau bekerja di konsultan itu cenderung pendek, hanya dijadikan batu loncatan untuk karir lain yang lebih baik. Maklum kerja di konsultan itu gajinya relatif kecil. Padahal yang namanya kreatifitas, inovasi, itu selain membutuhkan otak yang baik, juga ketekunan. Jika gaji kecil, bagaimana bisa tekun. Tentang hal ini, beliau juga mengakui, bahkan menyebutkan bahwa insinyur staf-nya banyak yang bekerja cukup lama menekuni bidangnya. Kalau seperti itu, dan sudah dibiasakan kreatif, maka akan bisa semakin kreatif. Beliau mengkuatirkan, jika semua jembatan dibuat standar, maka proses kreatif menjadi tidak utama, jika tidak banyak terlatih, maka orang-orang kreatif tentu menjadi berkurang. Jika itu terjadi, dan ada pihak lain yang mampu dan modal besar (Cina misalnya), akhirnya perusahaan dalam negeri mati suri, dan kita tergantung dari luar.

Memang buah simalakama, setiap pilihan pasti ada konsekuensi logis yang menyertai. Akhirnya disepakati, karena sama-sama punya passion di bidang konstruksi baja, beliaunya mengundang ke kantor di gedung Talavera, dan workshopnya di Cikande.

Kata kunci yang menarik, agar bisa eksis di bidang rekayasa konstruksi jembatan baja, maka kreatifitas dan inovasi adalah utama. Menulis adalah bagian penting dalam proses mencapai hal tersebut. Semoga bermanfaat.

Satu tanggapan untuk “ada apa dengan standardisasi jembatan baja”

  1. els 37 Avatar

    Hasil dengan kualitas baik ..memang diperlukan material terbaik juga. ..dan SDM yang menguasai teknologi di bidangnya dengan pengalaman yang sempurna. Selamat berkarya…..jadilah yang terbaik…💪💪👍👍

    .

    Disukai oleh 2 orang

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com