Satu Suro ! Bagi masyarakat jawa, itu mengandung arti khusus. Karena pagi ini libur maka pagi-pagi sudah bisa ngobrol dengan Bapak di Jogja via Fren, lumayan, interlokal murah. Dengan bermodal pulsa Rp 50 ribu untuk satu bulan , nggak habis-habis lho untuk bicara, sampai bosen deh.
Ketika berbicara tentang suro dan keris maka pembicaraan kita beralih pada keris pusaka keluarga besar kami yaitu Kiai Slamet. Ternyata beliau telah mendapatkan amanah khusus dari saudara tuanya (pakde Cip) dua minggu sebelum meninggal untuk merawat keris-keris keluarga besar kami. Salah satunya yang cukup populer di keluarga besar kami adalah kanjeng Kiai Slamet, keris yang dianggap dapat membawa aura positip bagi calon pasangan penganten, untuk dipakai penganten pria selama duduk di pelaminan. Harapannya agar keluarga baru akan mendapat keselamatan. Percaya, nggak percaya, tetapi sebagai orang jawa maka keluarga besar kami pada setiap mengawinkan anaknya akan meminjam keris tersebut. Itu sudah terjadi secara turun-temurun, termasuk aku dulu juga memakainya.
Meskipun keluarga besar kami adalah penganut Katolik, tetapi dalam hal-hal yang menyangkut seperti itu maka kita netral. Jika orang-orang tua, para pinisepuh menganggap baik dan bagi kami itu tidak merugikan, yang nggak masalah. Kita akan mengikuti petunjuk para pinisepuh tersebut, seperti misalnya memakai kanjeng Kiai Slamet sebagai wangkingan penganten pria. Bagi kami, memakai keris hanya sebagai simbol wadag bahwa kita-kita telah mengikuti petunjuk-petunjuk mereka para pinisepuh, sehingga mereka-mereka puas. Ya akhirnya slamet gitu lho.
Berkaitan dengan hal tersebut, orang-tuaku menceritakan bahwa satu suro ini adalah waktu khusus untuk memandikan keris tersebut, dan dia sendiri yang meluangkan waktu untuk memandikannya.
Wah berani juga. Aku kadang ragu karena dulu waktu muda, Bapak jarang otak-atik soal perkerisan.
“Yah, mungkin sudah waktunya“, kata beliau. Tetapi memandikannya cukup dengan minyak kayu kenongo nggak pakai warangan kata beliau.
Beliau bercerita, bahwa soal memandikan keris, pernah didatangi sepasang suami istri tionghoa yang membawa keris, keduanya bergelar doktor di Jogja. Beliau diminta juga memandikan keris tersebut. Ada pembicaraan yang menarik berkaitan dengan kegiatan memandikan keris keluarga tionghoa tersebut. Setelah berpakaian lengkap dan duduk bersila dan mengucapkan doa (didasarkan injil) ketika keris dibuka, bapak melihat noda karat. Mungkin karena teringat pengalaman dengan para pinisepuh terdahulu, atau apa, beliau tanpa sadar mengucapkan kepada keluarga tersebut:”apakah pemilik keris dalam keadaan sakit ?“.Keluarga tersebut menjawab: “ya“. Ayah saya berpesan agar memberi perhatian yang cukup baik bagi pemilik keris tersebut:”kondisinya tidak baik“. Eha ternyata, dua minggu kemudian dikabari bahwa pemilik keris sudah meninggal.
Lho, apa itu ada hubungannya pak. Saya minta penjelasan yang lebih rinci. Wah itu ilmu titen Wir, gimana neranginnya ya. Percaya nggak percaya tapi kalau sudah kejadian, itu bisa diyakini.







Tinggalkan Balasan ke sitijenang Batalkan balasan