Kita ini adalah bangsa yang didominasi wacana lesan dibanding wacana tulis. Kesannya sepele, tetapi dampaknya luar biasa, dan itu menjadi ciri kehidupan negeri ini. Kemajuan peradaban bisa dilihat dari kecenderungan yang mereka pilih. Ciri umum, bahwa wacana lesan umumnya relatif lebih subyektif, lokal dan pendek pengaruhnya dibanding jika wacana tulis, yang umumnya bersifat obyektif, meng-global (berjangkauan luas) dan mempunyai paroh waktu yang lebih lama.
Suatu bangsa yang lebih didominasi wacana lesan, orang-orangnya lebih suka berkata-kata (pidato) dibanding menuliskan idenya tertulis, jika itu menjadi jiwa bangsa tersebut maka kemajuan yang dicapai akan demikian juga sifatnya, lokal dan jangka pendek sifatnya. Memang ada sih dalam sejarah bangsa-bangsa tersebut pernah berdiri suatu kerajaan besar, tetapi pengaruh dan lama waktu hidupnya relatif pendek, adanya kemajuan-kemajuan teknologi akibat ciptaan-ciptaan orang hebat pada jaman tersebut memang memberikan pengaruh, tapi lokal, terbatas pada orang-orang yang ketemu atau berinteraksi langsung dengan si penemu tersebut. Selanjutnya jika orang-orang yang hebat tersebut sudah meninggal maka temuannya bisa-bisa ikut lenyap juga, kecuali jika sudah ada estafet kepemimpinan atau keahlian yang terjadi.
Salah satu ciri dari bangsa yang dominan di wacana lesan adalah cepat melupakan, baik yang sifatnya baik maupun yang sifatnya jelek juga. Jadi kalau ada bencana, maka bangsa tersebut juga akan lupa jika bencana telah lewat. Jeleknya jika ada bencana serupa maka biasanya orang-orang tersebut hanya terkaget-kaget. Demikian juga dengan musibah-musibah yang biasa terjadi di Indonesia, yang seakan-akan hanya sekedar rutinitas saja, seperti misalnya banjir, tsunami maupun gempa.
Tentang gempa, jelas sudah banyak jatuh korban di Indonesia, tetapi itu tidak dijadikan pembelajaran bahwa korban itu terjadi karena kita tidak pernah memikirkan keberadaannya, dianggap itu sebagai musibah, bukan sebagai tantangan yang harus diantisipasi.
Prihatin dengan adanya pemikiran seperti di atas kadang-kadang dapat sedikit terhibur, bahwa ternyata masih ada juga orang yang peduli bahwa hal-hal yang dapat menimbulkan musibah tersebut dapat diantisipasi. Coba perhatikan komentar bernada prihatin dari sdr Pambudi (diambil dari sini) sebagai berikut:
Salam P wir, ikut nimbrung
Saya sependapat masalah gempa belum memasyarakat di Indonesia. Tapi dengan banyaknya kejadian gempa di Tanah Air baru terbuka mata banyak orang tentang bahaya gempa. Saya jadi berfikir apakah masyarakat indonesia harus terjadi dulu baru masyarakat sadar akan bahayanya gempa.
Kalo dikaitkan dengan tingkat pendidikan, saya pikir tidak juga, karena saya pernah punya pengalaman menarik sekitar tahun 99 waktu merencanakan gedung kampus di Solo. Pada waktu itu mau direncanakan struktur tahan gempa, sebagai akibatnya biaya pembangunan membengkak. Akhirnya terjadi perdebatan di lingkungan rektorat mengapa biaya membengkak padahal gedung yang sebelumnya di bangun biayanya lebih murah. Setelah dijelasikan bahwa desainnya tahan gempa muncul kata-kata dari PR 2 pada waktu itu “Ngapain di desain tahan gempa, gempa itu urusan di atas”.
Walaupun tidak ada kata sepakat akhirnya gedung tsb tetap didesain tahan gempa.
Kata-kata tersebut membuat saya berpikir mengapa seorang berpendidikan tinggi berpikiran seperti itu ?
Saya nggak tahu sekarang, apa setelah gempa di Yogya yang berimbas juga di Solo, apakah pendapat itu masih ada. Yang jelas satu kesimpulan yang pasti bahwa sosialisasi mengenai bahaya gempa yang sangat kurang di Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung baru sadar setelah adanya kejadian.
Mungkin sekarang sudah perlu didirikan lembaga semacam FEMA di Indonesia ………….
Jadi kita ini sebaiknya selalu diingatkan bahwa yang namanya musibah-musibah tersebut sebenarnya dapat diantisipasi jika kita mau. Semoga blog ini dapat menjadi wacana tulis untuk selalu mengingatkan itu semua. Semoga.







Tinggalkan komentar