sukses meniti karir

Ini tulisan intermezo, tentang topik yang diharapkan banyak pihak. Hanya saja isinya bisa saja berbeda-beda tergantung cara pandang penulisnya. Penulisnya berlatar belakang praktisi (konstruksi) dan saat ini hidup sebagai dosen (juga expert di industri konstruksi), tentu bisa dipahami apa yang disampaikannya adalah didasari oleh pengalaman karirnya tersebut. Jangan berharap isinya tentang kesuksesan karir bagaimana menjadi pejabat atau juga pengusaha. Bisa berbeda strateginya.

Tulisan tentang karir, ini seakan-akan meloncat dari tulisan-tulisan sebelumnya, yang banyak membahas tentang penerbitan buku (warna cover buku, buku istimewa 2023). Progress buku yang dibahas sudah on the right track, sesuai rencana. Saat ini posisinya, buku sedang tahap naik cetak. Ternyata untuk mencetak sesuai spesifikasi, perlu waktu empat (4) minggu dari sekarang. Itu berarti tidak bisa diperkenalkan kepada publik pada acara Seminar HAKI di Medan (19 Mei 2023). Padahal saya menjadi salah satu pembicaranya (ada di panggung). Ini bukti poster seminarnya.

Suatu even yang cukup besar khan, sayang terlewatkan. Moga-moga rencana launching buku yang akan diadakan oleh Progdi Teknik Sipil UPH (2 Agustus 2023) dapat terlaksana. O ya, pihak LUMINA Press berencana membuka meja promosi dan penjualan buku di Seminar HAKI di Jakarta (22 Agustus 2023). Semoga ini juga bisa sukses terlaksana.

He, he kembali ke laptop, ke masalah sukses meniti karir.

Jujur, saya menulis ini karena terinspirasi oleh pertemuan kemarin dengan teman kerja lama, yang puluhan tahun tidak ketemu. Saya berpikir karena sudah sukses, maka jadi lupa. Eh ternyata tidak seperti itu halnya, bahkan kebalikan dari yang aku pikirkan. Orangnya datang secara tiba-tiba, terkesan kusut dan nampak tua (padahal umurnya di bawahku), ditemui bersama rekan kantor yang lain, obrol punya obrol, yang bersangkutan ternyata mencoba mencari peluang kerja. Ini tentu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ini sekedar petunjuk, ternyata ada orang yang belum tahu bagaimana cara meniti karir yang sukses.

Agar sukses dalam berkarir, sehingga bisa berdiri tegak penuh percaya diri dan mensyukuri hidup, maka ada dua faktor yang menentukan, yaitu [1] faktor di dalam diri kita; dan [2] faktor di luar diri kita. Jika ke dua faktor itu bisa bertemu dan cocok, maka kesuksesan adalah tinggal menunggu waktu. Oleh sebab itu kita harus menyadari, meskipun faktor di dalam diri kita sudah dianggap ideal, tetapi kalau belum ketemu atau tepatnya belum mendapatkan kesempatan yang baik atau pas dengan faktor di luar diri kita, maka tentu tidak ada rasa suka cita yang diperoleh . Agar sukses, dan akhirnya dapat bersuka-cita, bisa saja mencari faktor luar di tempat lain, yang pas.

Nah poin yang terakhir itu yang bisa memahami, mengapa ada teman kerja yang akhrinya perlu “keluar”. Ini sesuatu yang wajar , siapa tahu di luar akan menjadi semakin baik. Pertemuan kemarin menunjukkan bahwa ternyata tidak seperti itu adanya.

Adanya dua faktor, diri kita dan dunia luar, menunjukkan bahwa tidak setiap keinginan kita, pasti akan mendapatkan kesuksesan. Baru ketika dua faktor tersebut, diri kita (kompetensi) dan dunia luar (kesempatan) itu pas, atau cocok, maka kesuksesan akan terjadi. Ingat apakah bisa pas, itu yang harus kita pikirkan. Tentang hal tersebut, ada narasumber yang berpendapat atau mungkin untuk menghibur, yaitu “cobalah terus, pantang menyerah, suatu saat pasti akan berhasil, selanjutnya menunjukkan bukti-bukti real yang mendukung ide tersebut“. Kapan saat berhasil itu, tidak ada yang tahu. Bagaimanapun juga, ketika mencoba, maka waktu terus berjalan, usia bertambah, dan tentu saja itu semua akan sangat mempengaruhi.

Kita harus realistis tentang hal tersebut. Kalau tidak, maka kejadian kemarin yang saya ceritakaan di atas, akan terjadi. Saya tentu saja merasa prihatin, hanya saja untuk suatu pekerjaan tertentu, tidak bisa sekedar dijadikan pelarian.

Langkah utama yang bisa dilakukan adalah menyiapkan bagian dari diri kita untuk sukses. Pertama adalah mengenal betul diri kita, mana kekuatan dan mana kelemahan. Ada tiga komponen di dalam diri kita yang menunjang kesuksesan dalam kehidupannya, yaitu : [1] ketrampilan yang dimiliki (pengalaman formal akademik atau non-andemik); [2] bakat (talent); dan [3] karakter, atau kebiasan dalam kehidupan kita.

Kecuali bakat, yang memang dari sononya, maka ketrampilan dan karakter biasanya dipengaruhi oleh proses pendidikan dan lingkungan kehidupannya di masa muda. Semakin tua umur seseorang, maka mengubah karakter atau menambah ketrampilan, menjadi sesuatu yang semakin berat. Itu pula alasannya, mengapa perusahaan mau menerima anak muda yang baru lulus untuk menjadi pegawai dan kemudian mendidiknya lagi. Jelas, nggak ada yang mau menerima yang sudah tua.

Oleh sebab itu, keterlambatan menyadari bagaimana mencapai kesuksesan dalam kehidupan saat sudah berumur, maka hanya penyesalan yang terjadi. Pada kasus seperti ini, banyak yang kemudian menyalahkan orang lain sebagai kambing hitam ketidak-suksesan tersebut. Jika ini terjadi, maka saya yakin, hanya akan kegetiran yang ditemui, dan kesuksesan akan menjadi semakin menjauh. Jadi kalau begitu bagaimana ?

Sukses adalah terwujudnya harapan, yang terkait dengan pihak lain. Pihak lain itu punya kriteria, jika kita tidak bisa memenuhi kriteria tersebut, maka tentu kesuksesan tidak akan tercapai. Jadi jika kasusnya sudah terjadi (sudah berumur), maka yang pertama adalah introspeksi diri terlebih dahulu. Mencari tahu ke tiga (3) point penunjang kesuksesan di atas, dari sana kita tawarkan ke pihak lain yang mempunyai kriteria yang bisa dipenuhi. Jika perlu, nggak usah takut untuk down-grade dibanding karir yang dulu. Nah di sini biasanya ego yang tidak memungkinkan.

Jujur menasehati orang muda itu lebih mudah daripada menasehati orang tua yang tidak sukses (gagal). Biasa kalau ketemu orang di atas usia 40 tahun, saya takut menasehati (kecuali tentu jika diminta pendapat). Karakternya sudah terbentuk.

Paling baik adalah menasehati anak-anak muda (yang mau), dan tentu saja anaknya sendiri. Ini tentu sangat penting, karena kalau sampai anak-anaknya sendiri di hari tua bermasalah, pasti tidak punya waktu juga untuk memikirkan orang tuanya. Jadi adalah kewajiban orang tua untuk memastikan anak-anaknya, minimal bisa mandiri, agar nanti minimal tidak menjadi bahan pemikiran orang tuanya di hari tua, dan bahkan bisa memikirkan balik.

Sebagai seorang yang berpengalaman berkeluarga sejak 1991 atau sudah 32 tahun, maka mendapatkan jodoh yang baik, adalah salah satu syarat untuk mendapatkan kesuksesan hidup. Untung saja saya dulu menikah relatif muda, sebelum pensiun, anak-anak sudah selesai kuliah, dan sudah ada yang berumah-tangga. Bisa dibayangkan, jika terlambat menikah, maka pada usia tua, harus kerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beruntung, jika terlambat menikah, tetapi di usia tua sudah bebas finansial. Nggak ada masalah itu. Tetapi apa ada jaminan jika menika terlambat itu kalau tua akan bebas finansial.

Oleh sebab itu, kepada anak-anak, aku menjelaskan agar segera ketika sudah mendapatkan kepastian karir agar segera mencari jodoh untuk mau bersama-sama menjalani kehidupan ini. Kepastian karir, biasanya sudah bisa terdeteksi ketika sudah lulus SLTA atau SMA. Ini tentu jika jalan kehidupan sesuai cita-citanya, misalnya ketika SLTP sudah bercita-cita jadi dokter. Akibatnya cari SLTA yang alumninya banyak ketrima di FK. Jadi ketika lulus SLTA dan bisa masuk FK, maka jelas itu karirnya sudah pasti. Upaya yang dilakukan sekedar belajar giat, dan mencari peluang mendapatkan jodoh. Saya yakin, hal seperti ini tidak setiap orang tua berani menyatakan kepada anaknya. Jika cewek, maka itu lebih aku tekankan lagi. Maklum usia prima seorang putri untuk menarik minat jodoh adalah di bawah 30 tahun. Ini ideal, meskipun setelah itu sah-sah saja, dengan catatan fisik masih prima.

Jujur, saya bilang ke anak-anak bahwa secara rasional cowok masih melihat fisik sebagai hal utama, sedangkan dari sisi cewek akan melihat cowon dari potensi kemapanan di masa depan. Oleh sebab itu wajar ditemui di lingkungan kerja saya, seorang cewek dengan karir yang bagus, ternyata masih melajang. Hal-hal ini aku identifikasi agar bisa dijadikan bahan renungan anak-anak muda (anak saya atau yang lain yang mau mendengar) dalam melangkah. Karir dan keluarga itu seperti dua hal yang paralel dalam kehidupan, bahkan bisa saling menopang.

Dengan cara pikir seperti itu, maka tahun 1991 saya melangkah dalam perkawinan. Istri saya empat (4) tahun di bawah saya, menurut kepercayaan Tionghoa, itu seperti kaki meja, cocok. Ini aku ingat betul, sekedar motivasi dalam berkeluarga. Setelah 32 dalam kehidupan perkawinan ternyata ok-ok saja. Apakah karena kepercayaan kaki meja atau bukan, aku nggak tahu. Intinya, hal-hal yang positip, selalu aku ingat, yang tidak mendukung, buang.

Agar keluarga bisa saling menopang, maka anggota keluarga dibebaskan berkarir atau meraih prestasi, pengikatnya adalah saling kepercayaan dan komitmen untuk membentuk keluarga untuk kebaikan bersama dan untuk kemuliaan Tuhan. Ini memang visi jauh, itu pula alasannya mengapa harus memilih istri yang seiman, agar tujuan di atas bisa tercapai. Jika berbeda agama, tentu akan ada pertanyaan terkait Tuhan. Ini bisa jadi masalah, dan biasanya jika aku amati mereka ada salah satu yang mengalah, atau bahkan bersifat universal, tidak condong salah satu.

Bagi anak muda, modal pendidikan adalah sangat penting. Ini akan menambah komponen ketrampilan, yang dalam perjalanannya akan mempengaruhi karakter pribadinya. Meskipun praktiknya, hasil pendidikan yang baik, selain membekali dengan ketrampilan juga akan merubah mindset dan kemandirian. Dua hal ini, yang sebenarnya paling penting. Itu pula alasannya, mengapa pendidikan anak-anak tidak ada yang sama dengan kampus papanya. Agar diperoleh kemandirian.

Salah satu indikator kesuksesan adalah mampu hidup mandiri, meskipun ketika dalam proses pendidikan, masih dibiayai oleh orang tua. Ini penting, karena saya menjumpai masih banyak orang tua yang enggan anak-anaknya jauh darinya selama proses pendidikan. Maunya di dekap terus, jika ada masalah anak, maka orang tuanya yang maju. Sampai kapan orang tua bisa selalu bersama anak-anak.

Wah panjang juga, karena sukses itu biasanya telah menjadi karakter. Banyak bukti, jika seorang anak sukses di bagian tertentu, maka di bagian lain juga sukses, dan jika tidak sukses maka di mana-mana juga gagal. Ini biasanya harus ada perubahan dari sisi karakternya. Rejeki itu ibarat seperti kita akan memilih restoran untuk makan siang / malam. Kita cenderung memilih restoran yang ramai, dan bukan yang sepi. kalau hal seperti itu khan ada kesan tidak adil. Ini juga berlaku pada karir dosen, ada dosen yang selalu bisa dengan mudah menerbitkan artikel di jurnal international terindeks Scopus, adapun saya perlu kerja keras sekedar memenuhi syarat satu jurnal bereputasi tiap tiga tahun sekali. Juga menjawab mengapa setiap semester selalu mendapat undangan sebagai pembicara seminar, adapun yang lain tidak seperti itu. Hidup itu aneh, tidak bisa diukur dengan adil atau tidak. Mindset kita harus berubah yang positip.

Saya kira cukup dulu, sekedar untuk uneg-uneg akan keprihatinan saya pada seseorang, yang sebenarnya hal itu bisa dihindari jika puluhan tahun lalu yang bersangkutan mau mendengarnya. Waktu telah berlalu, usia bertambah, semoga yang bersangkutan menemukan jalan yang pas untuk hidupnya, dan bisa mensyukurinya. Tuhan memberkati kita semua.

renungan receh 14 Des 2022

Lama tidak menulis di blog, tidak berarti sudah tidak suka menulis lagi. Maklum banyak waktu habis sekedar untuk buku “Jembatan Gantung Infrastruktur Kemakmuran”. Judul khusus yang belum pernah ada dan semoga nantinya bermanfaat. Nggak tahu kenapa, meskipun sudah berbulan-bulan menulis, ternyata progress kemajuan tidak terlalu cepat. Hari ini baru mencapai halaman ke 260. Siapa tahu menulis receh di blog ini, berikutnya semakin lancar. Untuk BKD GB, besok Feb 2023 harus sudah terbit. 🙂

Tulisanku hari ini sekedar mencoba memaknai apa yang saat ini sedang menjadi tren, yaitu pesta mantu pak Jokowi, dan apa makna positip yang dapat kita ambil hikmatnya.

Saat ini usia saya sudah lebih 1/2 abad, ketika melihat berita TV tentang pesta mantunya pak Jokowi, maka yang yang terbersit dalam pikiran saya adalah begitu dimuliakannya keluarga beliau dengan acara tersebut. Sangat santun beliau memberikan komentar bahwa ini adalah pesta budaya, melestarikan warisan leluhur.

Sebagai orang Jogja, saya merasa juga tersanjung, koq ya bisa-bisanya pak Jokowi yang orang Solo mendapatkan besan orang Jogja. Dengan demikian kebudayaan ke dua kota tua tersebut dapat terangkat nyata ke permukaan lagi. Dengan adanya pesta mantu pak Jokowi, maka kota Jogja dan kota Solo menjadi mulia.

Jujur, saya adalah salah satu orang yang sejak dulu mengidolakan sosok Jokowi. Terlepas dari komentar iri banyak pihak, saya sampai sekarang masih melihat beliau sebagai sosok panutan. Tidak sekedar sebagai sosok presiden, tetapi juga sebagai sosok ayah, pemimpin di keluarganya.

Saya ini penganut, bahwa yang namanya KARIR dan KELUARGA itu dua hal yang tidak bisa diperbandingkan, harus dibina bersama-sama agar mendapatkan keseimbangan dan bisa berjalan berdua secara seimbang. Kalau saya menjelaskannya kepada anggota keluarga, anak-anak saya, maka suami dan istri itu dalam berkeluarga ibarat seperti naik tangga, bekerja bersama-sama secara sederjat, menaiki tangga menuju cita-cita bersama kebahagiaan. Kesuksesan KARIR akan menjadi enerji baru dan prasarana dalam menempuh kehidupan. Kesuksesan KELUARGA akan mengisinya dengan perasaan kasih dan suka-cita, serta ketulusan dalam kehidupan ini. Karena pemahaman itu pula, maka saya tidak melakukan dikotomi antara keduanya, seperti kamu harus sekolah dulu, baru mikiran untuk berkeluarga. Tetapi dari awal, saya selalu menekankan, bahwa keduanya penting.

Adanya pemikiran di atas, maka ketika pada acara wisuda UPH kemarin, dimana salah satu bapa pendiri kampus tersebut berpidato, yaitu bapak James Riadi tentang jodoh untuk membentuk KELUARGA bagi para alumni UPH, maka saya terkesan sekali. Jujur saja, nasehat-nasehat seperti itu pada masa sekarang kelihatannya tidak mudah. Saya lebih mudah untuk bercerita tentang esensi struktur baja, dan pernak-perniknya, dibanding harus menggurui anak-anak muda yang lain tentang jodoh. Pasti banyak yang mencibir. Siapa anda, yang tidak mempunyai sertifikasi tentang keluarga, koq berani-beraninya mengajar tentang hal tersebut.

Nah daripada saya bercerita tentang hal tersebut, dan tidak didengar. Ada baiknya saya mencoba mengungkapkannya menjadi pemikiran tertulis tentang keduanya di blog ini. Jelas saja, materinya tidak ditujukan bagi orang seumuran saya (1/2 abad lebih). Nggak ada gunanya, kecuali tentu saja bagi anak-anaknya, atau anak muda lain, yang masih muda dan belum berkeluarga. Agar menjadi bahan pemikiran dalam merencanakan hidup ber KARIR dan ber KELUARGA nantinya.

Lanjutkan membaca “renungan receh 14 Des 2022”

gelar populer di negeri ini

Fakta-fakta menunjukkan bahwa gelar bagi masyarakat di negeri ini adalah penting. Saya ingat di jaman kecil dulu (di kota Yogyakarta tentunya), masyarakat sangat terkesima dengan gelar kebangsawanan. Gelar yang paling rendah (umum) adalah gelar RADEN, yang disingkat R dan ditempatkan di depan nama seseorang. Pada waktu itu gelar kebangsawanan menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya jalur hubungan (baik melalui keturunan atau kekuasaan) dengan raja-raja atau minimal kelas masyarakat atas (pegawai / pejabat pemerintahan), yang umumnya dianggap berpendidikan dan menjunjung tinggi tata krama pergaulan. Biasanya mereka hidup bukan mengandalkan otot dan keringat (petani atau tukang), tetapi otak (guru / ahli) atau kekuasaaan (pegawai atau tentara), atau minimal dengan berdagang. Posisi pedagang ini lebih tinggi dari petani atau tukang karena bisa menghubungkannya dengan penguasa (yang punya uang).

Atas latar belakang tersebut maka gelar kebangsawanan bisa dikaitkan dengan kondisi hidup yang terkesan wah (enak, tidak perlu bercucuran keringat untuk hidup). Hal-hal seperti itu akhirnya menjadi alasan para orang tua di jaman dulu untuk menilai calon menantunya. Gelar menjadi bahan pertimbangan penting bagi para orangtua di jaman itu untuk memastikan agar anak-anaknya nanti hidup mapan. Itu yang menyebabkan mengapa masyarakat dulu menghormati gelar kebangsawanan.

Lanjutkan membaca “gelar populer di negeri ini”

progress kemajuan iptek Indonesia

Kemajuan iptek suatu negara umumnya selaras dengan produktifitas masyarakat ilmiahnya dalam menulis jurnal atau paper ilmiah. Itu pula yang menjadi alasan, mengapa penilaian kenaikan pangkat dosen untuk guru besar (GB) adalah didasarkan dari jurnal ilmiah international bereputasi yang ditulisnya. Bereputasi adalah jurnal ilmiah yang terindeks oleh lembaga pengindeks yang diakui DIKTI. Salah satu lembaga pengindeks yang sangat terkenal di Indonesia adalah SCOPUS.

Lembaga pengindeks lain adalah Web of Science, bahkan banyak pakar bilang ini levelnya lebih tinggi (sulit) dari Scopus. Ada juga yang namanya DOAJ (Directory of Open Access Journals), ini banyak juga digunakan tetapi kesannya agak di bawah Scopus. Maklum, ini akan mengindeks jurnal berbahasa Indonesia juga, jadi terkesan tidak eksklusif. Nah kita juga tidak mau kalah, pemerintah mencoba membuat juga pengindeks khusus versi Indonesia yang dinamakan Sinta (Science and Technology Index), dibawah pengelolaan Dikti. Kehebatan Sinta adalah mengindeks dosen-dosen Indonesia yang ber-INDN, seberapa produktif dosen tersebut. Ini link indeks saya. Masih kalah produktif dibanding dosen-dosen lain.

Selanjutnya kita membahas data berdasarkan pengindeks SCOPUS ya.

Tahun-tahun sebelum adanya kebijakan memakai indeks SCOPUS tersebut, maka selain jurnal international, karya tulis buku juga dianggap sebagai alat ukur kedalaman ilmu seorang. Apakah pantas menjadi GB atau tidak. Saat ini yang dianggap valid untuk menjadi GB, hanya jurnal international bereputasi. Menurutku itu terjadi karena kualitas buku yang diterbitkan, bahkan oleh seorang profesor, sangat beragam. Buku bisa diterbitkan, tanpa harus melalui peer-reviewer, suka-suka sendiri penulisnya. Karena sangat subyektif isinya, maka akhirnya sekarang ini yang dipakai alat ukur adalah jurnal international bereputasi, yang proses peer reviewer-nya terjaga.

Lanjutkan membaca “progress kemajuan iptek Indonesia”

menyambut Kurikulum Kampus Merdeka

Selamat pagi semua, delapan hari menjelang HUT kemerdekaan ke-75 Indonesia. Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka !

Mas Mendikbud membuat keputusan yang membuat “heboh” para pengelola perguruan tinggi, yaitu ide Kurikulum Kampus Merdeka (ini sudah banyak yang menanggapi, ini ada panduannya oleh Unila, silahkan baca untuk dipahami). Pembahasan tentang ini adalah sangat relevan dengan hari kemerdekaan Indonesia ke-75 ini. Kita perlu meyakini apakah keputusan dengan kata merdeka tersebut adalah keputusan strategis bagi kemajuan bangsa ini atau bahkan ternyata sebaliknya.

Dalam membuat ulasan ini tentu perlu dilihat latar belakang pembahas. Beda latar belakang tentu akan berbeda pendapat. Jujur, saya ini tipe pendidik, yang meskipun dianggap senior tetapi pengalamannya di bidang birokrasi kampus adalah tidak banyak, tidak ada yang bisa dibanggakan. Saya ini lebih berpengalaman pada profesionalitas dalam penerapan ilmu dari mata kuliah yang diampunya. Saya ini lebih fokus atau tepatnya lebih senang untuk mengembangkan content mata-kuliah tersebut sehingga bisa dijadikan rujukan. Itu sebabnya dalam mengajar, saya jarang (kecuali pertama kali) untuk memakai materi orang lain. Saya punya keyakinan bahwa materi kuliah yang saya buat, adalah yang terbaik.

Oleh karena alasan itu pula, saya selalu menuliskannya jadi buku ajar, yang bersifat publik. Semua orang bisa mengakses dan mengevaluasinya. Itu mungkin yang menyebabkan saya banyak terlibat dengan dunia praktis konstruksi. Itu juga alasan, mengapa saya tidak punya banyak dana penelitian hibah DIKTI, yang menurut saya banyak birokrasi dan dananya terbatas. Penelitian saya lebih banyak memanfaatkan problem aktual lapangan sehingga bisa dikerjakan dan dibiayai oleh praktisi. Dari situ akhirnya bisa diangkat menjadi materi tulisan di jurnal international. Hal itu yang mendukung nilai kum saya sehingga bisa meraih gelar jabatan tertinggi di dunia akademisi, yaitu GB seperti sekarang ini.

Lanjutkan membaca “menyambut Kurikulum Kampus Merdeka”

berinovasi atau hilang

Istilah inovasi jika mengacu wikipedia, yaitu reka baru, ditujukan pada proses atau sistem baru yang bisa memberi nilai tambah. Pendapat saya, istilah tersebut juga cocok diaplikasikan pada cara kita bekerja. Tentu tidak semua pekerjaan, hanya cocok untuk pekerja profesional yang mandiri, yang bekerja mengandalkan otak (kompetensi keilmuan). Dosen pada batasan tertentu bisa juga disebut profesional mandiri, tentunya selama memenuhi kewajiban dari kampusnya.

Note : saya punya teman dosen yang sangat inovasi. Tetapi karena inovasinya tersebut yang bersangkutan sering meninggalkan kampus dan tidak mengajar. Akibatnya yang bersangkutan harus berhenti, tetapi karena tetap berinovasi maka tetaplah jadi pengusaha sukses. Itu artinya karena inovasi maka tetap eksis dan tidak hilang. Maklum, dosen pada titik tertentu masih juga seperti pegawai. Harus tunduk pada peraturan yang berlaku, termasuk juga para Profesor.

Dosen bisa disebut profesional mandiri jika apa-apa yang diajarkannya adalah buatannya sendiri, dan hanya mengajarkan hal-hal yang jadi kompetensinya. Maklum bisa saja seorang dosen mengajarkan ilmu yang bukan topik kompetensinya, hanya karena ketersediaan slot mengajar. Kalau kondisinya seperti itu, yang bersangkutan hanya dosen atau staff pengajar, yang dilakukan sekedar agar rutin dapat gaji bulanan.

Nah dalam era pasca covid-19, dimana proses mengajar-belajar akan lebih banyak tergantung pada teknologi, akibatnya kebutuhan tenaga pengajar akan berkurang. Media-media pembelajaran akan banyak digantikan oleh content-content pembelajaran digital, yang bisa dipilih dari yang terbaik dari berbagai content yang ada. Akibatnya dosen yang sekedar mengandalkan ketrampilan mengajar, maka sedikit demi sedikit tentunya akan tersisih (hilang).

Cara sederhana untuk melihat bahwa hal itu akan terjadi adalah sangat gampang. Lihat saja sekarang ini, adanya peralihan media pembelajaran dari off-line ke on-line maka banyak dosen-dosen senior (tua) yang “kesulitan”. Padahal dosen-dosen seperti itu di hirarki administrasi pendidikan mempunyai gaji lebih tinggi dari dosen-dosen yunior (maklum karena lama pengabdian di institusi). Akibat adanya kesulitan beralih ke on-line, kedepannya tentu pihak kampus akan lebih mudah mengangkat dosen muda saja, yang tentunya gajinya juga bisa lebih “murah”. Ini khan keputusan yang rasional dari pengurus kampus.

Dosen-dosen senior akan tetap eksis jika yang bersangkutan tidak sekedar mengandalkan segi pengajaran saja. Dosen-dosen senior harus unggul dalam memproduksi content-content khusus, yang dalam era on-line ini tetap diperlukan. Apalagi dengan semakin kuatnya undang-undang hak-cipta bahwa karya-karya unik orang tidak boleh diambil sembarangan.

Agar mampu menghasilkan content-content khusus maka inovasi adalah faktor yang sangat penting. Jika tidak maka siap-siap saja untuk hilang. Kalau tidak percaya maka lihat saja video berikut, tentang perlunya inovasi agar perusahaan-perusahan tetap bertahan. Jika tidak, maka betapapun besar dan terkenalnya perusahaan maka akhirnya bisa hilang dan digantikan yang lain.

Jika perusahaan yang begitu besar dan terkenal di seluruh dunia saja bisa hilang, maka tentunya pribadi-pribadi yang lemah seperti kita akan lebih mudah terjadi untuk hilang tak berbekas.

Lanjutkan membaca “berinovasi atau hilang”

New normal, dalam prespektif pribadi

Kehidupan manusia memang unik, tidak mudah diprediksi. Meskipun telah dilakukan banyak penelitian, ditemukan begitu banyak ilmu pengetahuan di berbagai jurnal ilmiah atau buku untuk bisa dipelajari, juga banyaknya teknologi baru yang muncul, tetapi menurutku : masa depan masih sesuatu yang belum bisa dipastikan dengan baik. Cuma bisa diduga, bisa ya tetapi bisa juga tidak.

Lanjutkan membaca “New normal, dalam prespektif pribadi”

bangunan berlogo SNI

Mungkin agak bingung dengan judul di atas, tetapi jika kata “bangunan” diganti dengan “helm” tentunya bisa dipahami  apa maksudnya. Istilah tersebut timbul tentunya dilatar-belakangi adanya produk-produk “helm” yang tampilannya bagus dan mentereng tetapi ketika ada yang memakai dan ketika kecelakaan ternyata jatuh korban juga. Helm-nya pecah. Itu berarti ada helm yang tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Oleh sebab itulah maka pemerintah mengambil tindakan dengan cara memfilter helm-helm yang beredar. Helm yang produknya dianggap memenuhi kriteria minimum, diberi label atau logo SNI. Harapannya masyarakat dapat mengenal mana helm yang sebaiknya diberli, tidak hanya dari segi keindahan atau murahnya saja tetapi juga mutu kekuatannya sehingga jika dipakai nanti dapat terhindar dari kecelakaan akibat helm yang pecah.

Adanya logo (SNI = Standar Nasional Indonesia) memudahkan masyarakat awam menentukan pilihan produk yang akan digunakan. Ada logo berarti telah memenuhi mutu tertentu (kekuatan) yang hanya orang berpengalaman yang memahaminya. Lanjutkan membaca “bangunan berlogo SNI”

kompeten dan profesional

Lama tidak bertemu, untuk itu perkenankan saya mengucapkan “Selamat Tahun Baru 2020”. Semoga tahun ini membawa berkah, dan semoga kita semua diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tetap berkarya di sepanjang tahun tersebut. GBU

Ini tulisan pertama di tahun 2020. Ada yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Perbedaannya adalah sekarang dan selanjutnya, tulisan-tulisan di blog ini adalah mencerminkan pemikiran seorang guru besar Indonesia.

Suka tidak suka, formal maupun informal, setiap tulisan: sedikit atau banyak, adalah mencerminkan isi pikiran seseorang. SK guru besar bagi saya telah keluar sejak 1 Agustus 2019 dan telah dikukuhkan resmi pada tanggal 4 November 2019 lalu. Jadi apapun yang saya lakukan tentunya akan mencerminkan perilaku seorang guru besar Indonesia. Bisa mengangkat atau menjatuhkan derajat guru besar Indonesia. Tentang hal itu maka tentunya anda pernah dengar pepatah “diam adalah emas” atau “tong kosong bunyinya nyaring”. Pada kondisi seperti itu, maka menulis sesuatu adalah tentu berisiko tinggi.

Bagi saya, pengangkatan menjadi guru besar adalah anugrah dan sekaligus tanggung-jawab. Keduanya harus dipikul secara seimbang, agar tidak menjatuhkan. Di sisi lain, saya sudah terbiasa untuk menulis hal-hal yang bukan hoax, tetapi adalah berdasarkan kebenaran dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik. Oleh sebab itu bagiku, apakah aku ini guru besar atau awam, adalah sama saja. Tulisan adalah sumbang sih pemikiran untuk kebaikan bersama.

Lanjutkan membaca “kompeten dan profesional”

karir profesional insinyur vs dokter

Bagaimana Bapak dulu memilih dan menentukan karir pekerjaan sehingga bisa menjadi dosen seperti sekarang ini ?“. Demikian awal mula percakapanku dengan anak muda yang baru saja lulus dari uji kompetensi profesi dokter.  Simpel, tetapi ternyata bisa membuka mata bahwa jalan karir pekerjaan seseorang itu berbeda-beda, tergantung profesinya.

Sarjana teknik sipil (saya tentunya) dan sarjana kedokteran (anak muda yang bertanya) ternyata berbeda dalam menempuh perjalanan karirnya. Bagaimana tidak, sarjana teknik sipil tidak dipaksa untuk menempuh ujian kompetensi sebelum masuk ke dunia kerja. Setelah wisuda, mereka bisa langsung melamar kerja kemana-mana, bahkan bukan di bidang teknik sekalipun (di bank misalnya). Adapun sarjana kedokteran (gelar S. Ked) meskipun sudah diwisuda, tetapi merasa belum selesai kuliah, masih masuk program kelas praktik dan belum merasa tuntas jika belum lulus uji kompetensi dokter-nya.  Perjuangan mereka memang lebih lama dibanding sarjana yang lain. Menurut cerita anak muda tersebut, teman-teman SMA-nya yang sekelas yang bukan mengambil jurusan kedokteran bahkan sudah ada yang terjun politik (jadi anggota partai) dan telah mencantumkan gelar S2-nya. Maklum di luar negeri khan ada program S2 yang hanya setahun tanpa thesis. Intinya, anak muda itu merasa karirnya untuk menjadi dokter terkesan lama sekali.

engineer-doctor

Lanjutkan membaca “karir profesional insinyur vs dokter”