kompeten dan profesional


Lama tidak bertemu, untuk itu perkenankan saya mengucapkan “Selamat Tahun Baru 2020”. Semoga tahun ini membawa berkah, dan semoga kita semua diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tetap berkarya di sepanjang tahun tersebut. GBU

Ini tulisan pertama di tahun 2020. Ada yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Perbedaannya adalah sekarang dan selanjutnya, tulisan-tulisan di blog ini adalah mencerminkan pemikiran seorang guru besar Indonesia.

Suka tidak suka, formal maupun informal, setiap tulisan: sedikit atau banyak, adalah mencerminkan isi pikiran seseorang. SK guru besar bagi saya telah keluar sejak 1 Agustus 2019 dan telah dikukuhkan resmi pada tanggal 4 November 2019 lalu. Jadi apapun yang saya lakukan tentunya akan mencerminkan perilaku seorang guru besar Indonesia. Bisa mengangkat atau menjatuhkan derajat guru besar Indonesia. Tentang hal itu maka tentunya anda pernah dengar pepatah “diam adalah emas” atau “tong kosong bunyinya nyaring”. Pada kondisi seperti itu, maka menulis sesuatu adalah tentu berisiko tinggi.

Bagi saya, pengangkatan menjadi guru besar adalah anugrah dan sekaligus tanggung-jawab. Keduanya harus dipikul secara seimbang, agar tidak menjatuhkan. Di sisi lain, saya sudah terbiasa untuk menulis hal-hal yang bukan hoax, tetapi adalah berdasarkan kebenaran dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik. Oleh sebab itu bagiku, apakah aku ini guru besar atau awam, adalah sama saja. Tulisan adalah sumbang sih pemikiran untuk kebaikan bersama.

Jujur saja aku tergelitik untuk menulis hari ini karena mengingat wawancara Metro TV kemarin, yaitu ketika dua orang bergelar doktor, alumni PTN terkenal, menjawab wawancara reporter tentang kejadian banjir di Jakarta.

Kedua orang yang bergelar doktor tersebut cukup familiar bagiku, yang seorang petinggi PUPR yang pernah berfoto denganku ketika pelantikan anggota K2K dan ISSC. Ini tentunya alumni yang berlatar belakang teknik, sama dengan aku. Adapun yang satunya lagi adalah alumni non teknik, adik kelasku di sekolah menengah, yang kata istriku adalah ketua osis di jamannya. Saat ini yang bersangkutan sedang punya kuasa di ibukota. Jadi mereka berdua ini adalah orang TOP, begitulah.

Kebetulan aku juga alumni PTN yang sama. Oleh sebab itu aku merasa, mereka tentunya sepemikiran denganku terkait kompetensi dan profesionalitas. Pada umumnya, alumni PTN tersebut banyak dikenal orang sebagai low-profile. Jadi terkait dengan kompetensi dan profesionalitas maka tentunya mereka akan tahu diri. Nggak suka nyombong, dan apa adanya begitu. Berani karena memang benar dan tahu, dan akan mempersilahkan orang lain jika memang itu bukan kompetensinya.

Itu yang ada di benakku. Jadi ketika melihat wawancara Metro TV terhadap keduanya. Aku terhenyak dan kaget : ketika alumni berlatar belakang teknik menjelaskan ke reporter TV tentang penyebab dan solusi banjir Jakarta secara teknis, ternyata dibantah oleh alumni yang berlatar belakang non-teknis. Herannya lagi, alumni yang berlatar non-teknis menyatakan pendapatnya tentang apa yang menjadi penyebab masalah secara teknis, dan aku tahu itu bukan kompetensinya.

Wawancara tersebut kelihatannya sepele, dan bagi banyak orang tentu tidak menjadi perhatian. Tetapi menurutku, itu masalah besar. Pertama adalah tidak seharusnya seorang penguasa, yang tidak punya latar belakang pendidikan dan pengalaman terkait teknis solusi masalah yang dimaksud, membantah orang yang dianggap berwewenang (punya otoritas) dan berpengalaman teknis (didukung tenaga ahli di belakangnya) mengatasi masalah yang dibahas. Kedua, tidak hanya membatah, tetapi bahkan menyatakan hal-hal lain yang menjadi penyebabnya. Jelas ini bukan dari pemikiran profesionalitas yang dilatar-belakangi pendidikan dan pengalaman, karena jelas tidak sesuai.

Dialog yang seperti itu tentu bisa membingungkan orang awam, dan membuat kabur permasalahan. Karena ketika dapat diyakinkan bahwa penyebab masalah adanya di luar wilayah DKI maka tentunya tidak ada apa-apa yang bisa dikerjakan DKI. Akhirnya orang-orang yang kebanjiran hanya bisa berdoa dan pasrah saja.

Awam bingung, siapa yang benar. Apalagi yang menyampaikan pendapat tersebut terlihat pede sekali dan logis karena di dukung data. Hanya saja datanya adalah di luar wilayah DKI yang menjadi kekuasaannya. Artinya tidak perlu ada tindakan teknis di wilayah DKI karena sumber masalahnya adalah di luar wilayah tersebut.

Anda paham ?

Kalau tidak paham tentang apa yang saya maksud, maka tidak heran jika banyak masalah akan terjadi karena tidak ditangani secara kompeten dan profesional.

Kasus yang mirip juga telah terjadi kemarin. Ada kasus bangunan infrastuktur yang belum diresmikan, ternyata rubuh. Aku heran, karena bangunan tersebut terbuat dari baja, koq bisa rubuh. Sebagai dosen struktur baja, tentang hal tersebut tentu aku jadi tertarik sekali. Kebetulan aku juga merangkap anggota K2K, jadi ada kesempatan untuk bertemu dengan konsultan perencananya. Pada rapat pertemuan, yang bersangkutan pede sekali menjelaskan bahwa gambar-gambar perencanaan telah direview dan hasilnya tidak ada masalah. Ini persis seperti penjelasan orang yang diwawancarai Metro TV di atas. Pede sekali menyatakan bahwa perencanaannya OK.

Karena ini terkait dengan kompetensiku, maka tentu aku melakukan analisis terlebih dahulu. Ujung-ujungnya aku sampaikan bahwa perencanaan yang mereka maksud, aku ragukan. Tentang ini bahkan aku agak nyinyir, jika gambar perencanaan itu berhasil dibangun, maka aku akan belajar lagi. Diskusi jadi nggak enak. Sorry, itu aku kesal sekali. Maklum dari hasil analisis sederhana dapat diketahui bahwa perencanaan itu tidak layak, tetapi mengapa masih dikerjakan.

Ujung-ujungnya ketahuan, bahwa perencana yang begitu pede menyatakan bahwa gambar perencanaannya itu sudah OK, ternyata berlatar belakang pendidikan arsitek, bukan engineer. Ini jelas sesuatu yang tidak kompeten dan tidak profesional.

Hal-hal teknis jika tidak dikerjakan oleh orang yang kompeten dan profesional, maka pastilah berisiko tinggi untuk gagal. Jadi dua hal yang menurutku penting sekali adalah : kompeten dan profesional. Ini tidak hanya berlaku untuk Indonesia, tetapi juga dunia.

Jadi asbun mengenai dunia teknik, itu tidak baik dan membahayakan.

 

 

5 pemikiran pada “kompeten dan profesional

  1. EKO WALUJODJATI

    Selamat tahun baru juga prof. Mudah2an tdk bosen sharing ilmu pengetahuan ke teknik sipil an. Sy eko dr jogja tinggal di garut. Sy bersukur indonesia memiliki prof teknik sipil struktur yg sangat langka…

    Suka

  2. Robby

    Pak Wir,
    Selamat tahun baru 2020. Saya juga baru-baru ini mengalami kasus yang mirip. Seorang arsitek yang bukan berlatar belakang engineer bahkan dengan arogan memberikan statement bahwa gedung tidak perlu didesain dengan gempa. Memasukkan pengaruh gempa menurutnya hanya membuat gedung semakin boros. Bahkan terkesan meremehkan SNI dengan mengeluarkan statement bahwa peraturan SNI hanya asumsi jadi tidak perlu diikuti khususnya menyangkut nilai pembebanan minimum yang tercantum dalam SNI. Bagaimana cara menghadapi orang seperti ini pak Wir? Apalagi umurnya lebih tua jadi nya apa pun yang disampaikan kesannya seperti “saya ini lebih tua dan pengalaman dari kamu”. Mungkin pak Wir punya saran dan masukan bagaimana menghadapi orang seperti itu. Terima kasih.

    Suka

    1. Hallo pak Robby,
      Untuk gedung > 8 lantai dan di Jakarta tentunya sang arsitek tidak bisa memberi pernyataan yang sama. Maklum di sana untuk perijinannya melalui TPKB, yaitu sekelompok orang yang dianggap ahli tentang bangunan yang bertugas mengevaluasi hasil perencanaan strukturnya apakah sudah memenuhi kriteria teknik minimum (termasuk ketahanan terhadap gempa).

      Jadi adanya TPKB tersebut yang memaksa suatu bangunan sudah layak perencanaannya atau tidak. Tanpa itu, dan juga tidak ada kesadaran owner (pemilik) bahwa investasinya adalah sangat berisiko jika terjadi bencana maka tentu tidak mudah. Apalagi profesional lain, dalam hal ini arsitek punya pendapat sendiri yang berbeda dengan insinyur. Jadi adanya kesadaran dari pemilik (owner) tentang perlunya bangunan tahan gempa adalah sangat penting untuk “melawan” arsitek tersebut.

      Kalau langsung adu argument dengan arsitek, dan dianya merasa lebih pinter atau keminter dibanding kita, maka hasilnya akan sia-sia.

      Jadi intinya pengaruhi orang tersebut berdasarkan siapa yang ditakutinya. Kalau dengan engineer dianya tidak takut dan bahkan merasa pinter, maka kecuali bisa menunjukkan fakta bahwa omongannya tidak benar, maka akan sangat sulit untuk memberi pengaruh. Tadi saya minta ke owner, karena kalau arsitek tidak mengikuti kemauan owner maka tentunya akan arsitek bisa takut tidak dibayar.

      Jika owner membela arsitek, dengan alasan budget bisa minim, maka selanjutnya yang bisa mencegah adalah otoritas pemerintah, seperti mekanisme TPKB di Jakarta tersebut. Saya lihat sekarang di kota-kota besar sudah mulai dibuat semacam TPKB, yang memeriksa perencanaan struktur.

      Karena mekanisme pemeriksaan TPKB di Jakarta umumnya masih terbatas pada bangunan tinggi atau bangunan > 8 lantai, maka bangunan dengan lantai rendah menjadi tidak terawasi. Itu makanya kalau ada bangunan rubuh, sebagaimana terjadi baru-baru ini bisa dimaklumi. Bisa-bisa itu tidak ada perencanaan yang baku, adanya hanya sekedar laporan perencanaan asal-asalan agar keluar IMB.

      Saya kira peran birokrat sangat perlu, Saya di PUPR diminta sebagai salah satu anggota K2K, tugas memeriksa strategi kontraktor terhadap pekerjaan yang bersiko tinggi untuk menghindari kegagalan konstruksi. Ketemunya memang bukan arsitek, tetapi juga engineer. Itupun tidak jaminan bahwa metode yang diusulkan memang sudah baik. Kadang-kadang ada yang perlu dikoreksi. Bayangkan itu, yang mengusulkan saja insinyur, bisa berbeda pendapat soal keselamatan . Apalagi yang berlatar belakang arsitek.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s