bangunan berlogo SNI


Mungkin agak bingung dengan judul di atas, tetapi jika kata “bangunan” diganti dengan “helm” tentunya bisa dipahami  apa maksudnya. Istilah tersebut timbul tentunya dilatar-belakangi adanya produk-produk “helm” yang tampilannya bagus dan mentereng tetapi ketika ada yang memakai dan ketika kecelakaan ternyata jatuh korban juga. Helm-nya pecah. Itu berarti ada helm yang tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Oleh sebab itulah maka pemerintah mengambil tindakan dengan cara memfilter helm-helm yang beredar. Helm yang produknya dianggap memenuhi kriteria minimum, diberi label atau logo SNI. Harapannya masyarakat dapat mengenal mana helm yang sebaiknya diberli, tidak hanya dari segi keindahan atau murahnya saja tetapi juga mutu kekuatannya sehingga jika dipakai nanti dapat terhindar dari kecelakaan akibat helm yang pecah.

Adanya logo (SNI = Standar Nasional Indonesia) memudahkan masyarakat awam menentukan pilihan produk yang akan digunakan. Ada logo berarti telah memenuhi mutu tertentu (kekuatan) yang hanya orang berpengalaman yang memahaminya.

Ide ini tidak sekedar menjadi jawaban atas terjadinya kegagalan bangunan di sekitar Jabodetabek ini saja, tetapi juga bisa diberlakukan di seluruh Indonesia. Ini penting agar jangan sampai di kemudian hari bisa terjadi kegagalan serupa. Bayangkan saja, di Jabodetabek itu khan dekat dengan ibukota. Di sana khan banyak dijumpai para ahli bangunan, juga para tukang yang berpengalaman. Tentunya akan lebih mudah membuat bangunan dengan mutu yang tinggi dibandingkan dengan di daerah. Nyata-nyatanya nggak seperti itu, apalagi kalau bangunannya dibuat di daerah, yang terbatas sumber daya manusianya.

Saat ini ide tersebut tentunya sangat relevan, maklum proyek milyaran rupiah bahkan trilyunan rupiah untuk pembangunan gedung dan infrastruktur ada di mana-mana, bahkan yang sepuluh tahun yang lalu tidak terbayang.

Ide Prof Wir itu kelihatannya lebay. Serahkan saja pada ahlinya. Apalagi sekarang ini para ahli tersebut sudah tergabung di whatsapp grup, jadi mengapa harus mencantumkan logo-logo segala. Toh mereka semua khan bekerja pasti mengacu pada SNI atau yang lebih baik.

Suatu argumentasi yang bagus. Nggak salah juga. Karena jika sudah dipegang oleh para ahlinya, maka tentu permasalahan tidak akan timbul. Ahli gitu lho.

Secara teori memang seperti itu (diserahkan pada ahlinya), pasti beres. Kompetensi para ahli Indonesia yang aku kenal di grup tersebut, nggak perlu diragukan, aku juga anggota dari grup-grup tersebut. Mereka berpendidikan (dalam dan luar), juga berpengalaman, serta aktif berdiskusi, yang didukung oleh literatur terkini. Hanya masalahnya antara keterlibatan ahli yang tepat dengan proyek yang sedang berlangsung, kadang-kadang nggak seperti yang dibayangkan. Tepatnya, tidak setiap ahli tersebut menjangkau (ada) di proyek yang berlangsung.

Pada proyek gedung, apresiasi bagi para ahli teknik tersebut relatif kurang dibanding arsiteknya. Orang awam bahkan melihatnya yang penting adalah siapa arsiteknya, dibanding siapa ahli tekniknya. Ahli teknik dianggapnya seperti tukang, siapa saja asal bisa bekerja sama dengan arsitek. Tepatnya asalkan apa yang diminta arsitek, bisa dipenuhi oleh ahli teknik.

Nah di sinilah timbul masalah. Kalau di Jepang, yang namanya arsitek juga paham risiko terhadap bahaya gempa. Mereka juga belajar tentang kekuatan. Adapun di sini, saya dengar sendiri dari rekan-rekan yang lain, fokus utama mereka adalah membuat gedung yang megah, nyaman, indah, bagus, menarik, dan lain-lain sejenisnya, tanpa mempedulikan hal-hal terkait risiko gempa dan lain sebagainya.

Karena pada gedung, para ahli teknik tersebut posisi tawarnya lebih rendah dari para arsitek, dan apabila owner-nya tidak memahami peran para ahli teknik bagi keandalan gedung mereka, dan hanya berorientasi pada harga. Maka banyak terjadi, para ahli teknik yang tadi mengumpul di whataap tadi tidak dilibatkan pada proyek-proyek tersebut.

Wah masa Prof, bisa seperti itu. Mereka selalu dapat proyek-proyek hebat dan selalu ada bahan untuk didiskusikan di grup whatsapp. Mengapa Prof menduga mereka tidak dilibatkan. Prof kuper nih, jangan di kampus doang dong. Ke lapangan.

Syukurlah kalau begitu. Bukan aku mau ngomong mereka pada pengangguran, bukan itu. Saya percaya mereka sudah sibuk dan sudah bekerja yang terbaik yang mereka bisa lakukan.  Hanya saja dengan posisiku ini, yang kadang bekerja sebagai anggota K2K Kementrian PUPR, juga menjadi problem solver masalah-masalah yang timbul di lapangan, khususnya terkait struktur baja. Aku menemukan fakta-fakta yang kadang terlihat terlalu sederhana, tetapi berdampak luar biasa, yaitu ketidak-taatan dalam menggunakan SNI.

Itu terjadi biasanya dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan. Pada kasus proyek design-built, maka kontraktor ambil peran besar. Apalagi jika dari segi pembiayaan mereka yang pegang. Bagi mereka komponen perencanaan dianggap minimalis. Cara pikir mereka seperti tadi, tentukan arsitek (karena hasilnya terlihat jelas oleh owner) adapun tenaga ahli tekniknya adalah siapa saja, asalkan budget-nya masuk. Toh hasilnya tidak terlihat oleh awam.

Jadi kasusnya adalah bangunan bentang lebar dari baja. Kebetulan ada salah satu pihak mengkontak aku untuk alasan metode erection yang akan mereka lakukan. Ini menunjukkan bahwa mereka mengkontak para ahli teknik jika mereka kuatir dengan apa yang akan mereka kerjakan, yang berisiko tinggi. Karena rangkanya bentang besar, dan tidak biasa maka mereka jadi memerlukan saya untuk diskusi. Ini pula yang menyebabkan saya tidak pernah ketemu kasus-kasus sederhana.

Awalnya tugas saya akan dijadikan reviewer ahli untuk menyakinkan owner dan pelaksana, bahwa apa yang akan mereka kerjakan adalah sudah benar. Meyakinkan semua pihak bahwa proyek akan berjalan ok-ok saja.

Pihak proyek memanggil saya sebagai reviewer jelas sesuatu yang positip. Itu juga menunjukkan pengakuan akan pentingnya ahli teknik dibanding arsitek. Saya kira ini perlu diapreasi, ada keterlibatan ahli.

Ah, itu pasti proyek kecil Prof, emangnya tidak ada ahli yang terlihat untuk proyek bangunan dengan bentang besar. Jangan mengecilkan arti kami lho Prof.

Itu juga menjadi pertanyaan bagiku. Ini proyeknya sudah mau jalan, koq baru tanya saya. Emangnya tidak ada ahli lain. Tetapi faktanya memang seperti itu. Jadi proyeknya semacam design-built dengan waktu yang terbatas. Ini proyek publik, jadi anggaran sudah ada untuk diberikan ke daerah. Dengan cara pikir seperti di atas, maka mereka menentukan arsitek dan ahli teknik (insinyur) dari kalangan individu. Ujung-ujungnya proyek berjalan dengan “baik”. Nggak tahu kenapa, ada yang komentar bahwa budgetnya bengkak (dibandingkan dengan lain). Akibatnya ada ahli lain yang masuk, yang memberi harapan bahwa desain dapat dioptimalkan lagi. Optimal, keuntungan naik. Maka diubahlah apa yang sudah ada. Detailnya saya tidak tahu persis, tetapi ternyata desain-nya sudah mengalami perubahan, dan karena ada kesan membingungkan maka mereka memanggil saya sebagai penengah untuk memberi masukan.

Komentar saya setelah melihat desain awal maka jadi tahu bahwa apa yang dianggap ahli struktur pada perencanaan yang pertama, ternyata nggak terlalu terbukti. Maklum prinsip dasar struktur yang dipilihnya, memang tidak solid. Ini tentu suatu pendapat subyektif. Hanya saja, saya jadi paham mengapa sistem struktur yang dipilih dapat diacak-acak oleh ahli teknik kedua yang mengatakan bahwa desainnya boros. Hal-hal seperti ini kalau dikerjakan langsung oleh ahli teknik yang benar-benar ahli, tentunya tidak akan jadi masalah. Hanya memang bentuk bangunannya adalah tidak standar, berbeda dari yang pernah dikerjakan. Jadi untuk tahu yang benar-benar ahli, memang tidak gampang.

Untuk kasus-kasus yang membuat bingung seperti di atas itulah maka kadang saya sering dijawil untuk sekedar urun rembug.

Hati-hati lho Prof, bisa-bisa Bapak yang diminta untuk sekedar ngayem-ngayem, menghibur atau bahkan menjadi penjamin. Bisa-bisa nanti jadi kambing hitam kalau masalah itu meledak jadi bencana.

Aku juga tahu itu. Aku diundang ke pertemuan besar, ada perencana, ada owner, ada kontraktor lalu saya diminta jadi komentator terhadap presentasi yang mereka bawakan. Ini khan tentu sesuatu yang gampang-gampang susah. Kalau nggak ada komentar (karena tidak menemukan sesuatu dalam waktu yang singkat tersebut) maka bagi mereka itu khan bisa dianggap bahwa proyek mereka sudah siap, toh Prof Wir, yang pengarang buku tentang struktur baja saja tidak memberi komentar apa-apa. Begitu pikirku jika aku diam, kalau aku komentar dan ternyata mereka sudah siap, maka aku bisa kelihatan bloon-nya. Ujung-ujungnya juga bisa menunjukkan bahwa mereka ok. Pusing juga akunya. Maju kena, mundur kena.

Jadi gimana Prof akhirnya.

Pada posisi seperti aku sekarang memang serba salah. Maju kena dan mundur juga kena. Hanya saja aku mencoba fokus. Dalam hal ini aku diundang karena dikaitkan dengan kompetensi yang aku miliki, yaitu sebagai dosen dan guru besar di bidang ilmu teknik sipil khususnya struktur baja. Nggak salah mereka mengundang. Masalahnya hanya waktunya yang begitu singkat untuk mengevaluasi suatu hasil perencanaan yang dikerjakan berjam-jam kerja lamanya. Jadi undangan seperti itu pada satu sisi juga membuat bangga karena juga berarti suatu pengakuan, tetapi di sisi lain efeknya seperti ikut ujian. Setiap komentar yang aku buat tentu juga dievaluasi. Kalau positip tentu tidak masalah, tetapi kalau negatif tentu bisa seperti perang. Jika kalah khan membuat malu juga. Alih-alih bangga karena diundang, bisa-bisa malu kalau setiap kata tidak dianggap.

Kalau sudah seperti itu, maka yang namanya gelar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa mengandalkan kompetensi dan kepercayaan diri yang kita punyai. Ini situasinya tentu berbeda dengan di dunia akademis. Siatuasi ini pula yang membuatku harus selalu banyak belajar dan belajar. Kemampuan mengenal diri, dimana kekuatan dan kelemahan yang kita miliki adalah sangat membantu.  Tanpa itu, bisa-bisa kita hanya menjadi bulan-bulanan orang. Itu pula yang aku kadang heran, ada orang ngomong ngawur koq ya bisa.

Ceritanya tentu cukup banyak, saya batasi yang terkait dengan pentingnya SNI. Adanya waktu yang begitu sempit untuk melakukan evaluasi atas kerja konsultan, tentu perlu ke hati-hatian. Langkah pertama adalah saya cari pertanyaan yang sederhana, yang orang awam juga bisa memahami. Pertanyaan berikutnya tentu bisa menyesuaikan, apalagi jika dari pertanyaan pertanyaan tersebut kita bisa di atas angin.

Untuk bisa menemukan pertanyaan tersebut tentu kita harus punya wawasan yang mencukupi, karena ini terkait dengan struktur baja dengan bentang besar untuk bangunan gedung, maka tentu harus di sekitar-sekitar itu. Dari interaksiku selama ini (langsung atau membaca whatsapp grup, maka aku bisa mengetahui bahwa kompetensi struktur baja bagi ahli teknik di Indonesia dianggap jarang. Mereka lebih banyak membahas dan belajar tentang struktur beton. Kalaupun dapat proyek terkait struktur baja, maka mereka lebih mengandalkan pada penyelesaian komputer. Selain itu mereka juga tidak terlalu updated dengan perkembangan SNI yang ada. Nah di sini saya akan coba buktikan, seberapa jauh perencana yang bertanggung-jawab pada revisi ini dengan situasi terkini.

Untuk itu akan saya tanya, rujukan SNI mana yang telah mereka gunakan, yang lama yaitu PPUG 1983 menetapkan bahwa untuk atap gedung yang tidak bisa dilalui orang maka beban hidup rencana tidak perlu diambil lebih besar dari 20 kg/m2. Ini kutipannya :

peraturan-pembebanan-indonesia-1983-13

Ini paragraf kecil, tetapi kelihatannya ini yang selalu digunakan. Para perencanaan bangunan baja bentang besar tidak pernah up-dated dengan perkembangan terbaru dunia rekaya dunia. Saya sudah coba survey banyak ahli teknik di Indonesia, mereka pakai itu. Padahal sejak era 90-an dimana code atau peraturan kita telah mengalami pembaharuan, yaitu berkiblat ke Amerika. Jadi semua perencanaan gedung tinggi di Jakarta yang telah lolos evaluasi TPKB pasti akan mengacu code SNI terbaru.

Untuk ketetapan yang sama, yaitu untuk atap tidak bisa dilewati orang (atap baja misalnya) maka sesuai SNI 1727-2013 yang merupakan adopsi dari ASCE 7-2010 ternyata spesifikasi beban lima (5) kali lebih besar dari ketentuan lama, yaitu kira-kira 0.96 kN/m2 atau sekitar 100 kg/m2.

SNI-2013

Terjadi peningkatan beban rencana dari 20 kg/m2 ke 100 keg/m2 atau lima (5) kali lipat. Memang ada klausul reduksi, itupun paling kecil tidak kurang dari 60 kg/m2 atau tiga (3) kali lipat dari peraturan lama.

Jadi dengan spesifikasi beban yang lebih besar maka tentu logikanya untuk kondisi struktur yang sama maka bangunan baru yang mengikuti code terbaru (dalam hal ini SNI 2013 dan bukan PPUG-1983) maka tentunya strukturnya akan lebih kuat (aman).

Jadi atas dasar pengetahuan seperti itu saya coba jadikan itu pertanyaan pertama ke konsultan yang bangunan atap bajanya perlu saya review, hari itu.  Untuk bangunan anda, untuk mendefinisikan beban hidup apakah anda sudah mengikuti ketentuan perencanaan yang terbaru, yaitu SNI tahun 2013 tersebut.

Ternyata betul juga, yang mereka bangga-banggakan dapat melakukan optimasi struktur sehingga menjadi lebih murah ternyata mengacu pada peraturan lama yang memang lebih kecil dari yang baru. Dari sini saja saya bisa bilang bahwa konsultan perencana tidak up-dated terhadap ketentuan terkini. Ini juga menunjukkan bahwa bangunan bapak (kepada owner) punya risiko lebih tinggi dibanding jika digunakan peraturan baru.  Jika sampai ada apa-apa, maka jelas konsultan akan menjadi tertuduh pertama karena tidak memenuhi kriteria SNI yang berlaku.

Sudah deh, setelah itu pertemuan jadi serius. Setiap apa yang kusampaikan, didengar. Terlepas dari apa yang terjadi, juga karena sudah terikat kontrak, apalagi saya datang karena diundang pelaksana maka tentu saja untuk ditingkatkan sesuai SNI yang terbaru ternyata tidak mudah.

Atas dasar itulah, saya berpikir bahwa ngitungnya pakai cara apapun jika ternyata spesifikasi beban yang digunakan tidak mengacu SNI terbaru, maka tentu kualitasnya tidak akan bisa menyamai ketentuan mutu yang baru tersebut. Pada kasus ini tentu bisa dibayangkan, untuk kondisi bangunan baja bentang baja yang sama, satu mengacu spesifkasi beban PPUG-1983 dan satunya mengacu SNI 1727-2013 yang minimal tiga kali lebih besar maka jelas-jelas yang pakai SNI adalah yang paling kuat (dan mahal biasanya).

O ya, proyek yang saya review itu nilainya milyaran lho. Bayangkan saja. Jadi bangunan yang berlogo SNI itu kualitasnya lebih baik, persis seperti helm berlogo SNI.

Jadi begitulah, di satu sisi saya melihat sendiri para ahli di grup whatsapp yang berusaha keras untuk mengikuti dan mempelajari SNI terbaru, tetapi dalam prakteknya itu diabaikan karena dianggapnya itu berdampak biaya yang mahal.

Jadi siapa yang sekarang harus bertanggung-jawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Satu pemikiran pada “bangunan berlogo SNI

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s