sukses meniti karir

Ini tulisan intermezo, tentang topik yang diharapkan banyak pihak. Hanya saja isinya bisa saja berbeda-beda tergantung cara pandang penulisnya. Penulisnya berlatar belakang praktisi (konstruksi) dan saat ini hidup sebagai dosen (juga expert di industri konstruksi), tentu bisa dipahami apa yang disampaikannya adalah didasari oleh pengalaman karirnya tersebut. Jangan berharap isinya tentang kesuksesan karir bagaimana menjadi pejabat atau juga pengusaha. Bisa berbeda strateginya.

Tulisan tentang karir, ini seakan-akan meloncat dari tulisan-tulisan sebelumnya, yang banyak membahas tentang penerbitan buku (warna cover buku, buku istimewa 2023). Progress buku yang dibahas sudah on the right track, sesuai rencana. Saat ini posisinya, buku sedang tahap naik cetak. Ternyata untuk mencetak sesuai spesifikasi, perlu waktu empat (4) minggu dari sekarang. Itu berarti tidak bisa diperkenalkan kepada publik pada acara Seminar HAKI di Medan (19 Mei 2023). Padahal saya menjadi salah satu pembicaranya (ada di panggung). Ini bukti poster seminarnya.

Suatu even yang cukup besar khan, sayang terlewatkan. Moga-moga rencana launching buku yang akan diadakan oleh Progdi Teknik Sipil UPH (2 Agustus 2023) dapat terlaksana. O ya, pihak LUMINA Press berencana membuka meja promosi dan penjualan buku di Seminar HAKI di Jakarta (22 Agustus 2023). Semoga ini juga bisa sukses terlaksana.

He, he kembali ke laptop, ke masalah sukses meniti karir.

Jujur, saya menulis ini karena terinspirasi oleh pertemuan kemarin dengan teman kerja lama, yang puluhan tahun tidak ketemu. Saya berpikir karena sudah sukses, maka jadi lupa. Eh ternyata tidak seperti itu halnya, bahkan kebalikan dari yang aku pikirkan. Orangnya datang secara tiba-tiba, terkesan kusut dan nampak tua (padahal umurnya di bawahku), ditemui bersama rekan kantor yang lain, obrol punya obrol, yang bersangkutan ternyata mencoba mencari peluang kerja. Ini tentu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ini sekedar petunjuk, ternyata ada orang yang belum tahu bagaimana cara meniti karir yang sukses.

Agar sukses dalam berkarir, sehingga bisa berdiri tegak penuh percaya diri dan mensyukuri hidup, maka ada dua faktor yang menentukan, yaitu [1] faktor di dalam diri kita; dan [2] faktor di luar diri kita. Jika ke dua faktor itu bisa bertemu dan cocok, maka kesuksesan adalah tinggal menunggu waktu. Oleh sebab itu kita harus menyadari, meskipun faktor di dalam diri kita sudah dianggap ideal, tetapi kalau belum ketemu atau tepatnya belum mendapatkan kesempatan yang baik atau pas dengan faktor di luar diri kita, maka tentu tidak ada rasa suka cita yang diperoleh . Agar sukses, dan akhirnya dapat bersuka-cita, bisa saja mencari faktor luar di tempat lain, yang pas.

Nah poin yang terakhir itu yang bisa memahami, mengapa ada teman kerja yang akhrinya perlu “keluar”. Ini sesuatu yang wajar , siapa tahu di luar akan menjadi semakin baik. Pertemuan kemarin menunjukkan bahwa ternyata tidak seperti itu adanya.

Adanya dua faktor, diri kita dan dunia luar, menunjukkan bahwa tidak setiap keinginan kita, pasti akan mendapatkan kesuksesan. Baru ketika dua faktor tersebut, diri kita (kompetensi) dan dunia luar (kesempatan) itu pas, atau cocok, maka kesuksesan akan terjadi. Ingat apakah bisa pas, itu yang harus kita pikirkan. Tentang hal tersebut, ada narasumber yang berpendapat atau mungkin untuk menghibur, yaitu “cobalah terus, pantang menyerah, suatu saat pasti akan berhasil, selanjutnya menunjukkan bukti-bukti real yang mendukung ide tersebut“. Kapan saat berhasil itu, tidak ada yang tahu. Bagaimanapun juga, ketika mencoba, maka waktu terus berjalan, usia bertambah, dan tentu saja itu semua akan sangat mempengaruhi.

Kita harus realistis tentang hal tersebut. Kalau tidak, maka kejadian kemarin yang saya ceritakaan di atas, akan terjadi. Saya tentu saja merasa prihatin, hanya saja untuk suatu pekerjaan tertentu, tidak bisa sekedar dijadikan pelarian.

Langkah utama yang bisa dilakukan adalah menyiapkan bagian dari diri kita untuk sukses. Pertama adalah mengenal betul diri kita, mana kekuatan dan mana kelemahan. Ada tiga komponen di dalam diri kita yang menunjang kesuksesan dalam kehidupannya, yaitu : [1] ketrampilan yang dimiliki (pengalaman formal akademik atau non-andemik); [2] bakat (talent); dan [3] karakter, atau kebiasan dalam kehidupan kita.

Kecuali bakat, yang memang dari sononya, maka ketrampilan dan karakter biasanya dipengaruhi oleh proses pendidikan dan lingkungan kehidupannya di masa muda. Semakin tua umur seseorang, maka mengubah karakter atau menambah ketrampilan, menjadi sesuatu yang semakin berat. Itu pula alasannya, mengapa perusahaan mau menerima anak muda yang baru lulus untuk menjadi pegawai dan kemudian mendidiknya lagi. Jelas, nggak ada yang mau menerima yang sudah tua.

Oleh sebab itu, keterlambatan menyadari bagaimana mencapai kesuksesan dalam kehidupan saat sudah berumur, maka hanya penyesalan yang terjadi. Pada kasus seperti ini, banyak yang kemudian menyalahkan orang lain sebagai kambing hitam ketidak-suksesan tersebut. Jika ini terjadi, maka saya yakin, hanya akan kegetiran yang ditemui, dan kesuksesan akan menjadi semakin menjauh. Jadi kalau begitu bagaimana ?

Sukses adalah terwujudnya harapan, yang terkait dengan pihak lain. Pihak lain itu punya kriteria, jika kita tidak bisa memenuhi kriteria tersebut, maka tentu kesuksesan tidak akan tercapai. Jadi jika kasusnya sudah terjadi (sudah berumur), maka yang pertama adalah introspeksi diri terlebih dahulu. Mencari tahu ke tiga (3) point penunjang kesuksesan di atas, dari sana kita tawarkan ke pihak lain yang mempunyai kriteria yang bisa dipenuhi. Jika perlu, nggak usah takut untuk down-grade dibanding karir yang dulu. Nah di sini biasanya ego yang tidak memungkinkan.

Jujur menasehati orang muda itu lebih mudah daripada menasehati orang tua yang tidak sukses (gagal). Biasa kalau ketemu orang di atas usia 40 tahun, saya takut menasehati (kecuali tentu jika diminta pendapat). Karakternya sudah terbentuk.

Paling baik adalah menasehati anak-anak muda (yang mau), dan tentu saja anaknya sendiri. Ini tentu sangat penting, karena kalau sampai anak-anaknya sendiri di hari tua bermasalah, pasti tidak punya waktu juga untuk memikirkan orang tuanya. Jadi adalah kewajiban orang tua untuk memastikan anak-anaknya, minimal bisa mandiri, agar nanti minimal tidak menjadi bahan pemikiran orang tuanya di hari tua, dan bahkan bisa memikirkan balik.

Sebagai seorang yang berpengalaman berkeluarga sejak 1991 atau sudah 32 tahun, maka mendapatkan jodoh yang baik, adalah salah satu syarat untuk mendapatkan kesuksesan hidup. Untung saja saya dulu menikah relatif muda, sebelum pensiun, anak-anak sudah selesai kuliah, dan sudah ada yang berumah-tangga. Bisa dibayangkan, jika terlambat menikah, maka pada usia tua, harus kerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beruntung, jika terlambat menikah, tetapi di usia tua sudah bebas finansial. Nggak ada masalah itu. Tetapi apa ada jaminan jika menika terlambat itu kalau tua akan bebas finansial.

Oleh sebab itu, kepada anak-anak, aku menjelaskan agar segera ketika sudah mendapatkan kepastian karir agar segera mencari jodoh untuk mau bersama-sama menjalani kehidupan ini. Kepastian karir, biasanya sudah bisa terdeteksi ketika sudah lulus SLTA atau SMA. Ini tentu jika jalan kehidupan sesuai cita-citanya, misalnya ketika SLTP sudah bercita-cita jadi dokter. Akibatnya cari SLTA yang alumninya banyak ketrima di FK. Jadi ketika lulus SLTA dan bisa masuk FK, maka jelas itu karirnya sudah pasti. Upaya yang dilakukan sekedar belajar giat, dan mencari peluang mendapatkan jodoh. Saya yakin, hal seperti ini tidak setiap orang tua berani menyatakan kepada anaknya. Jika cewek, maka itu lebih aku tekankan lagi. Maklum usia prima seorang putri untuk menarik minat jodoh adalah di bawah 30 tahun. Ini ideal, meskipun setelah itu sah-sah saja, dengan catatan fisik masih prima.

Jujur, saya bilang ke anak-anak bahwa secara rasional cowok masih melihat fisik sebagai hal utama, sedangkan dari sisi cewek akan melihat cowon dari potensi kemapanan di masa depan. Oleh sebab itu wajar ditemui di lingkungan kerja saya, seorang cewek dengan karir yang bagus, ternyata masih melajang. Hal-hal ini aku identifikasi agar bisa dijadikan bahan renungan anak-anak muda (anak saya atau yang lain yang mau mendengar) dalam melangkah. Karir dan keluarga itu seperti dua hal yang paralel dalam kehidupan, bahkan bisa saling menopang.

Dengan cara pikir seperti itu, maka tahun 1991 saya melangkah dalam perkawinan. Istri saya empat (4) tahun di bawah saya, menurut kepercayaan Tionghoa, itu seperti kaki meja, cocok. Ini aku ingat betul, sekedar motivasi dalam berkeluarga. Setelah 32 dalam kehidupan perkawinan ternyata ok-ok saja. Apakah karena kepercayaan kaki meja atau bukan, aku nggak tahu. Intinya, hal-hal yang positip, selalu aku ingat, yang tidak mendukung, buang.

Agar keluarga bisa saling menopang, maka anggota keluarga dibebaskan berkarir atau meraih prestasi, pengikatnya adalah saling kepercayaan dan komitmen untuk membentuk keluarga untuk kebaikan bersama dan untuk kemuliaan Tuhan. Ini memang visi jauh, itu pula alasannya mengapa harus memilih istri yang seiman, agar tujuan di atas bisa tercapai. Jika berbeda agama, tentu akan ada pertanyaan terkait Tuhan. Ini bisa jadi masalah, dan biasanya jika aku amati mereka ada salah satu yang mengalah, atau bahkan bersifat universal, tidak condong salah satu.

Bagi anak muda, modal pendidikan adalah sangat penting. Ini akan menambah komponen ketrampilan, yang dalam perjalanannya akan mempengaruhi karakter pribadinya. Meskipun praktiknya, hasil pendidikan yang baik, selain membekali dengan ketrampilan juga akan merubah mindset dan kemandirian. Dua hal ini, yang sebenarnya paling penting. Itu pula alasannya, mengapa pendidikan anak-anak tidak ada yang sama dengan kampus papanya. Agar diperoleh kemandirian.

Salah satu indikator kesuksesan adalah mampu hidup mandiri, meskipun ketika dalam proses pendidikan, masih dibiayai oleh orang tua. Ini penting, karena saya menjumpai masih banyak orang tua yang enggan anak-anaknya jauh darinya selama proses pendidikan. Maunya di dekap terus, jika ada masalah anak, maka orang tuanya yang maju. Sampai kapan orang tua bisa selalu bersama anak-anak.

Wah panjang juga, karena sukses itu biasanya telah menjadi karakter. Banyak bukti, jika seorang anak sukses di bagian tertentu, maka di bagian lain juga sukses, dan jika tidak sukses maka di mana-mana juga gagal. Ini biasanya harus ada perubahan dari sisi karakternya. Rejeki itu ibarat seperti kita akan memilih restoran untuk makan siang / malam. Kita cenderung memilih restoran yang ramai, dan bukan yang sepi. kalau hal seperti itu khan ada kesan tidak adil. Ini juga berlaku pada karir dosen, ada dosen yang selalu bisa dengan mudah menerbitkan artikel di jurnal international terindeks Scopus, adapun saya perlu kerja keras sekedar memenuhi syarat satu jurnal bereputasi tiap tiga tahun sekali. Juga menjawab mengapa setiap semester selalu mendapat undangan sebagai pembicara seminar, adapun yang lain tidak seperti itu. Hidup itu aneh, tidak bisa diukur dengan adil atau tidak. Mindset kita harus berubah yang positip.

Saya kira cukup dulu, sekedar untuk uneg-uneg akan keprihatinan saya pada seseorang, yang sebenarnya hal itu bisa dihindari jika puluhan tahun lalu yang bersangkutan mau mendengarnya. Waktu telah berlalu, usia bertambah, semoga yang bersangkutan menemukan jalan yang pas untuk hidupnya, dan bisa mensyukurinya. Tuhan memberkati kita semua.

video pengukuhan Prof WD di UPH

Kemarin menerima WA dari seorang anak muda yang sedang studi doktoral. Untuk menambah inspirasi ingin membaca disertasiku. Terkesan oleh semangat dan pertemanan yang lama, aku tanggapi dengan mengirim softcopynya via cloud. Semoga bisa bermanfaat. Jika banyak anak muda seperti itu, tentunya bangsa ini akan semakin maju. Semoga.

Lanjutkan membaca “video pengukuhan Prof WD di UPH”

Jembatan dan Kesejahteraan

Pendahuluan

Kondisi geografi wilayah yang dipisah sungai atau jurang yang dalam dan lebar menyebabkan penduduk jadi terisolasi. Padahal kesejahteraan masyarakat tergantung interaksi diantara mereka, di sekolah, di rumah peribadatan, di pasar di pusat perputaran ekonomi setempat, di lapangan olahraga atau tempat perkumpulan sosial lainnya dan tempat kerja tentunya.

Untuk wilayah dengan kondisi geografi seperti itu, maka pembangunan jembatan penghubung menjadi solusi efektif untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat penduduknya.

Lanjutkan membaca “Jembatan dan Kesejahteraan”

keberpihakan

Kata “keberpihakan” menurut kamus kbbi termasuk kata benda (noun) yang berarti “hal berpihak“. Itu maksud dari tulisan saya kali ini.

Dengan menyatakan keberpihakan, ada kesan bahwa kita sependapat, sepemikiran, atau minimal setuju dengan tindakan-tindakan pihak yang kita pilih. Pihak yang dimaksud bisa berupa tokoh (orang), sekelompok, segolongan, sepemahaman, atau sesuatu apapun yang bisa dijadikan rujukan. Menyatakan keberpihakan untuk saat ini sangat mudah dilakukan. Meskipun mudah tetapi dampak dengan menyatakan keberpihakan tersebut tidaklah dapat dianggap sepele. Kasus ini misalnya :

Lanjutkan membaca “keberpihakan”

progress kemajuan iptek Indonesia

Kemajuan iptek suatu negara umumnya selaras dengan produktifitas masyarakat ilmiahnya dalam menulis jurnal atau paper ilmiah. Itu pula yang menjadi alasan, mengapa penilaian kenaikan pangkat dosen untuk guru besar (GB) adalah didasarkan dari jurnal ilmiah international bereputasi yang ditulisnya. Bereputasi adalah jurnal ilmiah yang terindeks oleh lembaga pengindeks yang diakui DIKTI. Salah satu lembaga pengindeks yang sangat terkenal di Indonesia adalah SCOPUS.

Lembaga pengindeks lain adalah Web of Science, bahkan banyak pakar bilang ini levelnya lebih tinggi (sulit) dari Scopus. Ada juga yang namanya DOAJ (Directory of Open Access Journals), ini banyak juga digunakan tetapi kesannya agak di bawah Scopus. Maklum, ini akan mengindeks jurnal berbahasa Indonesia juga, jadi terkesan tidak eksklusif. Nah kita juga tidak mau kalah, pemerintah mencoba membuat juga pengindeks khusus versi Indonesia yang dinamakan Sinta (Science and Technology Index), dibawah pengelolaan Dikti. Kehebatan Sinta adalah mengindeks dosen-dosen Indonesia yang ber-INDN, seberapa produktif dosen tersebut. Ini link indeks saya. Masih kalah produktif dibanding dosen-dosen lain.

Selanjutnya kita membahas data berdasarkan pengindeks SCOPUS ya.

Tahun-tahun sebelum adanya kebijakan memakai indeks SCOPUS tersebut, maka selain jurnal international, karya tulis buku juga dianggap sebagai alat ukur kedalaman ilmu seorang. Apakah pantas menjadi GB atau tidak. Saat ini yang dianggap valid untuk menjadi GB, hanya jurnal international bereputasi. Menurutku itu terjadi karena kualitas buku yang diterbitkan, bahkan oleh seorang profesor, sangat beragam. Buku bisa diterbitkan, tanpa harus melalui peer-reviewer, suka-suka sendiri penulisnya. Karena sangat subyektif isinya, maka akhirnya sekarang ini yang dipakai alat ukur adalah jurnal international bereputasi, yang proses peer reviewer-nya terjaga.

Lanjutkan membaca “progress kemajuan iptek Indonesia”

bangunan berlogo SNI

Mungkin agak bingung dengan judul di atas, tetapi jika kata “bangunan” diganti dengan “helm” tentunya bisa dipahami  apa maksudnya. Istilah tersebut timbul tentunya dilatar-belakangi adanya produk-produk “helm” yang tampilannya bagus dan mentereng tetapi ketika ada yang memakai dan ketika kecelakaan ternyata jatuh korban juga. Helm-nya pecah. Itu berarti ada helm yang tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Oleh sebab itulah maka pemerintah mengambil tindakan dengan cara memfilter helm-helm yang beredar. Helm yang produknya dianggap memenuhi kriteria minimum, diberi label atau logo SNI. Harapannya masyarakat dapat mengenal mana helm yang sebaiknya diberli, tidak hanya dari segi keindahan atau murahnya saja tetapi juga mutu kekuatannya sehingga jika dipakai nanti dapat terhindar dari kecelakaan akibat helm yang pecah.

Adanya logo (SNI = Standar Nasional Indonesia) memudahkan masyarakat awam menentukan pilihan produk yang akan digunakan. Ada logo berarti telah memenuhi mutu tertentu (kekuatan) yang hanya orang berpengalaman yang memahaminya. Lanjutkan membaca “bangunan berlogo SNI”

Prosentasi Guru Besar di Indonesia

Panggilan Jendral adalah sesuatu yang istimewa. Maklum, semua orang tahu bahwa itu adalah gelar kepangkatan tertinggi di dunia militer. Pada dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi ada juga yang mirip, kepangkatan tertinggi disebut Guru Besar atau jaman dulu disebut juga Maha Guru (sekarang tidak lagi digunakan).  Hanya saja istilah kepangkatan tersebut tidak digunakan sekaligus sebagai gelar panggilan di depan nama seseorang. Adapun gelar panggilannya adalah Profesor.

Dunia militer dikenal masyarakat karena keberadaannya dijumpai di setiap pelosok tanah air, bahkan daerah terpencilpun. Adapun dunia perguruan tinggi tidak demikian, mayoritas masih berkumpul di pulau Jawa. Info grafis dari PDDikti berikut sangat membantu.

Oleh sebab itu, masyarakat di pulau Jawa lebih mengenal istilah Guru Besar atau Profesor dibanding masyarakat pulau-pulau lain di Indonesia. Maklum mayoritas kampus-kampus perguruan tinggi berada di pulau Jawa. Selain di perguruan tinggi, maka gelar profesor juga dipakai pada lembaga riset non-perguruan tinggi. Untuk itu sebutannya adalah profesor riset atau Prof (R)  diikuti huruf R dalam tanda kurung untuk membedakannya.   Untuk selanjutnya akan dibahas guru besar berbasis perguruan tinggi saja.

Lanjutkan membaca “Prosentasi Guru Besar di Indonesia”

beban hidup atap “konstruksi pabrik”

Meskipun nama Wiryanto Dewobroto tidak disertai gelar akademik lengkap, juga tidak dikaitkan dengan adanya SKA profesi tertentu, tetapi ketika nama tersebut terbaca pada tumpukan buku seperti foto di bawah ini, khususnya buku yang paling tebal.

Gambar 1. Tumpukan buku-buku di meja kerjaku

maka tentunya banyak orang yang percaya bahwa nama penulis buku tebal tersebut adalah ahli / pakar. Beberapa senior menyandingkan nama saya tersebut dengan keahlian struktur baja (steel structure). Padahal sejatinya, yang punya nama tersebut hanyalah seorang penulis, yang memang secara spesifik memilih genre khusus engineering. Kebetulan buku yang diterbitkan tahun 2015 dan tahun 2016 yang laris manis adalah struktur baja. Itu bisa terjadi karena kehidupan sehari-harinya adalah guru atau dosen di bidang rekayasa atau engineering , khususnya mata kuliah struktur baja. Jadi yang ditulisnya adalah keseharian yang dijumpainya.

Banyaknya orang yang mempercayai bahwa saya adalah seorang ahli dibanding sekedar dosen di perguruan tinggi, ternyata menghasilkan persepsi positip, yang kadang tidak terduga dampaknya. Sering kujumpa kenalan baru, yang mengenal nama tersebut tetapi belum pernah bertemu langsung dengan diriku. Jadi tulisan-tulisan yang aku buat  bekerja membantuku mengembangkan jejaring pertemanan dalam kehidupanku. Sering aku mendapatkan undangan dari orang-orang yang tertarik untuk untuk hadir di acara yang mereka selenggarakan. Padahal mereka mengenalku hanya berdasarkan nama yang tertulis di tulisan-tulisan yang kubuat. Ini bukti adanya dampak positip dari hobby menulis. Jujur, kondisi seperti ini, aku nikmati saja. Aku menganggapnya sebagai rejeki dan kehormatan bagi seorang penulis.

Bagiku kompetensi menulis lebih tinggi dari seorang yang disebut pakar atau tenaga ahli. Seorang pakar memang bisa memberikan solusi bagi suatu masalah rekayasa, tetapi seorang penulis yang juga seorang ahli atau pakar bahkan bisa menginspirasi orang-orang lain yang biasa-biasa untuk nantinya menjadi pakar. Itulah mengapa aku bangga menyebut diriku seorang penulis dan menampilkan karya-karyanya. Maklum SKA atau sertifikasi profesi seorang penulis adalah karya-karyanya. Masyarakat pembaca sendirilah yang menilai.

Gambar 2. IASTAR Short Talk 2018, Ballroom D’Cost VIP, Jakarta Pusat (Sabtu, 8 Des.2018)

Oleh sebab itu jangan kaget jika kemudian aku bisa berfoto bersama-sama dengan para pakar yang sesungguhnya, misalnya foto di atas dalam acara IASTAR Short Talk 2018 yang hadir sebagai invited speaker adalah bapak Hadi J. Yap, Ph.d, PE, GE (Vice President / Senior Consultant  – Langan Engineering & Enviromental Services USA) dan Ir. Y. P. Chandra M.Eng. (General Manager / Senior Technical Advisor –  PT. Pondasi Kisocon Raya), pakar dan praktisi geoteknik yang terlibat pada perencanaan pondasi pada gedung tertinggi nantinya di Indonesia, yaitu Jakarta Signature Tower.

Lanjutkan membaca “beban hidup atap “konstruksi pabrik””

karir profesional insinyur vs dokter

Bagaimana Bapak dulu memilih dan menentukan karir pekerjaan sehingga bisa menjadi dosen seperti sekarang ini ?“. Demikian awal mula percakapanku dengan anak muda yang baru saja lulus dari uji kompetensi profesi dokter.  Simpel, tetapi ternyata bisa membuka mata bahwa jalan karir pekerjaan seseorang itu berbeda-beda, tergantung profesinya.

Sarjana teknik sipil (saya tentunya) dan sarjana kedokteran (anak muda yang bertanya) ternyata berbeda dalam menempuh perjalanan karirnya. Bagaimana tidak, sarjana teknik sipil tidak dipaksa untuk menempuh ujian kompetensi sebelum masuk ke dunia kerja. Setelah wisuda, mereka bisa langsung melamar kerja kemana-mana, bahkan bukan di bidang teknik sekalipun (di bank misalnya). Adapun sarjana kedokteran (gelar S. Ked) meskipun sudah diwisuda, tetapi merasa belum selesai kuliah, masih masuk program kelas praktik dan belum merasa tuntas jika belum lulus uji kompetensi dokter-nya.  Perjuangan mereka memang lebih lama dibanding sarjana yang lain. Menurut cerita anak muda tersebut, teman-teman SMA-nya yang sekelas yang bukan mengambil jurusan kedokteran bahkan sudah ada yang terjun politik (jadi anggota partai) dan telah mencantumkan gelar S2-nya. Maklum di luar negeri khan ada program S2 yang hanya setahun tanpa thesis. Intinya, anak muda itu merasa karirnya untuk menjadi dokter terkesan lama sekali.

engineer-doctor

Lanjutkan membaca “karir profesional insinyur vs dokter”

curhat mahasiswa

Lama sudah saya tidak menyentuh blog ini, tetapi itu tidak berarti saya tidak suka menulis. Bukan itu penyebabnya,  waktunya saja yang ternyata sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya tulisan lain yang harus dibuat, yang hasilnya dianggap lebih nyata atau realistis bagi seorang dosen.

Apa itu ?

Menulis di blog, apresiasinya adalah dari pembaca. Jika pembaca suka maka penulis juga suka, kalaupun ternyata tidak ada yang membaca. Anggap saja tulisan blog sekedar curhat penulisnya.

Hal berbeda jika menulis untuk jurnal ilmiah international. Ini dampaknya nyata, karena bisa membawa penulisnya ke jenjang Profesor dan diakui oleh komunitasnya. Juga menulis untuk presentasi atau workshop. Itu jelas ada pendengar (peserta), ada panggung dan sekaligus ada amplopnya. 😀

Lanjutkan membaca “curhat mahasiswa”