karir profesional insinyur vs dokter


Bagaimana Bapak dulu memilih dan menentukan karir pekerjaan sehingga bisa menjadi dosen seperti sekarang ini ?“. Demikian awal mula percakapanku dengan anak muda yang baru saja lulus dari uji kompetensi profesi dokter.  Simpel, tetapi ternyata bisa membuka mata bahwa jalan karir pekerjaan seseorang itu berbeda-beda, tergantung profesinya.

Sarjana teknik sipil (saya tentunya) dan sarjana kedokteran (anak muda yang bertanya) ternyata berbeda dalam menempuh perjalanan karirnya. Bagaimana tidak, sarjana teknik sipil tidak dipaksa untuk menempuh ujian kompetensi sebelum masuk ke dunia kerja. Setelah wisuda, mereka bisa langsung melamar kerja kemana-mana, bahkan bukan di bidang teknik sekalipun (di bank misalnya). Adapun sarjana kedokteran (gelar S. Ked) meskipun sudah diwisuda, tetapi merasa belum selesai kuliah, masih masuk program kelas praktik dan belum merasa tuntas jika belum lulus uji kompetensi dokter-nya.  Perjuangan mereka memang lebih lama dibanding sarjana yang lain. Menurut cerita anak muda tersebut, teman-teman SMA-nya yang sekelas yang bukan mengambil jurusan kedokteran bahkan sudah ada yang terjun politik (jadi anggota partai) dan telah mencantumkan gelar S2-nya. Maklum di luar negeri khan ada program S2 yang hanya setahun tanpa thesis. Intinya, anak muda itu merasa karirnya untuk menjadi dokter terkesan lama sekali.

engineer-doctor

Meskipun pendidikan dokter lama, tetapi anak muda itu setelah lulus ujian kompetensi profesi dokter maka gelar kesarjanaan S. Ked. – nya yang diperoleh saat menerima ijazah dahulu dapat menggantinya dengan gelar yang lebih membanggakan, yaitu gelar dr. di depan namanya. Ini tentunya berbeda dengan sarjana teknik sipil dengan gelar S.T-nya.  Meskipun sudah punya gelar S.T tetapi menurut undang-undang yang berlaku saat ini mereka belum berhak menyandang gelar insinyur, sebelum lulus uji kompetensi profesinya.

Jadi profesi dokter lebih beruntung dari insinyur di Indonesia. Satu tahun setelah lulus S.Ked (Sarjana Kedokteran) langsung masuk program praktek (KOAS) terpadu. Mau tidak mau, sarjana kedokteran tersebut harus menempuhnya, dan jika berhasil melalui program tersebut lalu ditutup dengan pelaksanaan ujian kompetensi yang diselenggarakan oleh PNUKMPPD (Panitia Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter) yang dilakukan secara bersamaan di seluruh Indonesia. Sehingga ketika mereka lulus hal tersebut, maka dianggap mempunyai kompetensi dokter yang sama, dan tidak tergantung dari mana institusi pendidikannya berasal.

Ketika uji kompetensi selesai, dan telah mendapatkan hak secara sah untuk memakai gelar dr, maka mereka tidak langsung bisa bekerja, karena masih ada kewajiban bekerja pada pemerintah selama waktu tertentu, minimal satu tahun (kalau tidak salah itu untuk lokasi terpencil, untuk lokasi lain umumnya dua tahun). Ini memastikan bahwa semua lulusan kedokteran pastilah telah pernah praktek menjadi dokter. Ini terjadi karena kalau hanya punya gelar S.Ked bahkan kesannya gagal kuliah, nggak pintar atau tidak ada yang dibanggakan. Silahkan cari dokter yang masih pakai gelar tersebut, kelihatannya pasti tidak ada, kalaupun ada orang yang mencantumkannya pastilah kerjanya bukan dokter, tetapi sales obat. 😀

Nah kondisi berbeda terjadi pada pendidikan teknik, khususnya teknik sipil. Tidak ada program khusus dari pemerintah yang memaksa mereka harus lulus uji kompetensi. Kesannya enak, tidak ada ujian lagi dan dapat langsung bekerja. Tapi ini pula yang menyebabkan, hanya sedikit dari mereka yang akhirnya menggeluti bidang yang dipelajarinya secara profesional.

Tidak hanya itu saja, ketika mereka benar-benar terjun pada bidang teknik sipil, dan akhirnya perlu memperjuangkan untuk mendapatkan sertifikasi keahlian, maka mereka akan menemukan berbagai perkumpulan profesi, yang berbeda-beda syarat dan ketentuannya. Ada yang menentukan syarat tinggi untuk bisa lulus, tetapi ada yang sangat gampang. Itu menunjukkan mutu profesi yang diharapkan tidak merata atau bervariasi. Bahkan ada kecenderungan antara masing-masing perkumpulan tersebut berdiri sendiri-sendiri dan bahkan bisa bersaing untuk mendapatkan anggota. Itu berarti bisa saja yang satu berusaha menetapkan standar tinggi untuk suatu kualifiasi, sedangkan yang satu lagi asalnya bisa memberikan persyaratan administrasi yang cukup pastilah sertifikasi itu didapat.

Jadi dari adanya perkumpulan profesi, dimana dokter hanya ada satu, sedangkan untuk insinyur itu banyak kumpulan menyebabkan perkumpulan dokter itu lebih solid dibanding insinyur. Dokter nggak akan berani main-main dengan perkumpulan profesinya, bisa-bisa didepak dan tidak bisa praktek. Adapun bagi insinyur, bisa nggak peduli. Satu nggak diterima, maka bisa pindah yang lain. Artinya sang insinyur bisa mengambil keputusan personal, suka-suka dirinya saja dan mencari yang cocok. Ini juga berarti profesi insinyur lebih susah diatur dalam hal standardisasi mutunya.

Mengacu hal tersebut, maka kedepannya dapat dipahami, bahwa meskipun perguruan tinggi kita mencetak banyak sarjana teknik, tetapi nantinya yang benar-benar dapat bekerja secara profesional di bidang ilmunya itu pastilah prosentasinya akan lebih kecil dari yang terdaftar punya gelar sarjana teknik (ST). Adapun bagi dokter, sudah terseleksi dengan adanya program profesi di awal karir dan penempatan paksa untuk bekerja.

Jadi mahasiswa kedokteran di Indonesia telah mempunyai jalan yang jelas dalam menempuh karir profesional untuk menjadi dokter. Adapun mahasiswa teknik di Indonesia belum tentu berhasil menggeluti bidangnya secara profesional, tergantung kesempatan dan minat serta kemampuan setelah mereka lulus. Jadi jangan kaget ketika mahasiswa dulu sangat bangga menyebut diri mahasiswa teknik sipil, tetapi ketika berpuluh-puluh tahun kemudian, eh ternyata jadi pedagang, jadi tentara, jadi entertain.

Pendidikan teknik hanya digunakan sebagai awalan untuk dapat berpikir kritis dan rasional, adapun sarjana teknik yang benar-benar menggeluti ilmu teknik seperti yang pernah dipelajari di bangku kuliah dulu, jumlah relatif sedikit. Nah saya ini termasuk yang sedikit itu. 😀

 

 

 

Satu pemikiran pada “karir profesional insinyur vs dokter

  1. demy yc

    Salam Pak Wir,

    Sangat inspiratif tulisannya terkait profesi para sarjana teknik sipil yang seperti tidak menentu ini. Kami dilapangan kadang susah juga mencari sarjana sipil yang punya mindset “Profesi” seperti yang disampaikan di tulisan bapak. Betuk sekali kalau dibilang mindsetnya profesi insinyur hanya sebagai batu loncatan ke arah profesi-profesi lain yang secara ekonomi lebih menjanjikan hehe…

    Kalau terhadap rencana negara dan pemerintah mengatur profesi insinyur di UU No. 11 tahun 2014 dan PP No. 25 tahun 2019 bagaimana tanggapan bapak? Apakah cita-cita agar profesi insinyur menjadi minimal setara dengan profesi lain akan bisa terwujud?

    Terima kasih atas tulisannya pak

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s