curhat di awal 2023

Saya akan mengutip sekaligus merespons curhatan mas Kukuh Budi Utomo (mahasiswa kampus favorit) yang menulis di komentar blog ini, sebagai berikut :

Hallo Pak. Selamat Malam. Saya sangat suka membaca artikel bapak tentang skripsi.

Saya mau nanya Pak. Saya sedang mengerjakan skripsi. Tapi yang jadi masalahnya adalah dapat dosen pembimbing yang tidak pernah membimbing. Saya mengajukan proposal yang sudah jadi Bab 1 ke dosen pembimbing. Kemudian saya tanya bagaimana hasilnya. Malah nggak dikoreksi. Malah disuruh lanjut seterusnya. Padahal saya maunya dikoreksi, biar kalau ada yang kurang bisa diperbaiki atau ditambah. Setelah selesai Bab 2. Disuruh lanjut. Begitu lagi suruh lanjut terus. Saya kan jadi bingung, mau konsultasi kalau ada yang nggak tahu, mau tanya ke pembimbing tapi malah nggak pernah dibimbing. Saya jadi kesulitan nulis skripsinya.

Saya tanya pada kakak tingkat yang sudah-sudah, ternyata memang begitu karakternya. Suruh lanjut lanjut terus nggak dikoreksi sampai selesai. Eh tau-taunya nggak dikoreksi sampai ujian skripsi. Pas ujian skripsi kakak tingkat, yang saya tanyai, dapat banyak banget pertanyaan. Katanya sih dibantai gitu. Pas diuji ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Terus dapat revisian banyak. Saya membayangkan ke diri sendiri, saya jadi ngeri sendiri melihat saya besok gimana.

Padahal saya kuliah di salah satu universitas negeri di **sensor** lho Pak. Kok ada dosen yang kayak gitu. Nggak mencerminkan dengan visi kampus yang katanya mau masuk ke world class university. Saya cek latar belakang dosen tersebut dia S1 dan S2 nya di **sensor**. Sekarang lagi kuliah S3. Beliau termasuk dosen yang murah dalam ngasih nilai banyak yang dapat A kalau mata kuliah yang diampu sama beliau. Paling paling kalau banyak yang salah. Dapat A.

Saya jadi takut gimana nanti pas ujian skripsi jika dihadapkan sama dosen lain yang lebih kritis. Ya kalau ujian skripsi cuman satu orang alias dosen pembimbing nggak masalah sih. Ntar juga murah ngasih nilainya. Wkwkk. Lha tapi kan nanti dosen yang nguji ada 3.

Maaf pak jadi curhat.

Profesi dosen itu gampang-gampang sulit. Curhatan mas Kukuh Budi Utomo di atas menunjukkan bahwa dosen yang murah kasih nilai saja masih di-complaint, apalagi jika pelit nilai. Bisa-bisa akan lebih banyak curhatan dari muridnya.

Untuk kasus bimbingan skripsi, umumnya mahasiswa akan banyak complaint jika dosennya banyak ngasih koreksi untuk perbaikan. Jika tidak dikoreksi, umumnya mahasiswanya senang dan bahkan bangga. Ini mas Kukuh koq berbeda, kecewa karena nggak dikoreksi dan jadi curhatan. Maklum dikoreksi dan dibaca itu berbeda. Nggak dikoreksi tetapi sudah dibaca, maka rasanya tidak ada yang salah dengan dosen tersebut. Bermasalah, jika ternyata dosennya nggak mau membaca. Ini berarti dosennya nggak ada perhatian. Mahasiswa jika kecewa bisa dimaklumi karena merasa tidak diperhatikan.

Lanjutkan membaca “curhat di awal 2023”

gelar populer di negeri ini

Fakta-fakta menunjukkan bahwa gelar bagi masyarakat di negeri ini adalah penting. Saya ingat di jaman kecil dulu (di kota Yogyakarta tentunya), masyarakat sangat terkesima dengan gelar kebangsawanan. Gelar yang paling rendah (umum) adalah gelar RADEN, yang disingkat R dan ditempatkan di depan nama seseorang. Pada waktu itu gelar kebangsawanan menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya jalur hubungan (baik melalui keturunan atau kekuasaan) dengan raja-raja atau minimal kelas masyarakat atas (pegawai / pejabat pemerintahan), yang umumnya dianggap berpendidikan dan menjunjung tinggi tata krama pergaulan. Biasanya mereka hidup bukan mengandalkan otot dan keringat (petani atau tukang), tetapi otak (guru / ahli) atau kekuasaaan (pegawai atau tentara), atau minimal dengan berdagang. Posisi pedagang ini lebih tinggi dari petani atau tukang karena bisa menghubungkannya dengan penguasa (yang punya uang).

Atas latar belakang tersebut maka gelar kebangsawanan bisa dikaitkan dengan kondisi hidup yang terkesan wah (enak, tidak perlu bercucuran keringat untuk hidup). Hal-hal seperti itu akhirnya menjadi alasan para orang tua di jaman dulu untuk menilai calon menantunya. Gelar menjadi bahan pertimbangan penting bagi para orangtua di jaman itu untuk memastikan agar anak-anaknya nanti hidup mapan. Itu yang menyebabkan mengapa masyarakat dulu menghormati gelar kebangsawanan.

Lanjutkan membaca “gelar populer di negeri ini”

berubah atau mati !

Bicara tentang kematian itu menakutkan. Ada pemimpin masyarakat yang bahkan melarang membicarakan pandemi jika dikaitkan kematian. Itu bisa membuat masyarakat takut, dan berdampak ekonomi terhenti, demikian argumentasinya. Tetapi adakah yang salah dengan ketakutan itu sendiri. Karena jika tidak ada ketakutan yang mendasar (akan kematian), dab hanya takut karena adanya rasia masker oleh petugas, maka pandemi akan tetap bercokol lama.

Lanjutkan membaca “berubah atau mati !”

progress kemajuan iptek Indonesia

Kemajuan iptek suatu negara umumnya selaras dengan produktifitas masyarakat ilmiahnya dalam menulis jurnal atau paper ilmiah. Itu pula yang menjadi alasan, mengapa penilaian kenaikan pangkat dosen untuk guru besar (GB) adalah didasarkan dari jurnal ilmiah international bereputasi yang ditulisnya. Bereputasi adalah jurnal ilmiah yang terindeks oleh lembaga pengindeks yang diakui DIKTI. Salah satu lembaga pengindeks yang sangat terkenal di Indonesia adalah SCOPUS.

Lembaga pengindeks lain adalah Web of Science, bahkan banyak pakar bilang ini levelnya lebih tinggi (sulit) dari Scopus. Ada juga yang namanya DOAJ (Directory of Open Access Journals), ini banyak juga digunakan tetapi kesannya agak di bawah Scopus. Maklum, ini akan mengindeks jurnal berbahasa Indonesia juga, jadi terkesan tidak eksklusif. Nah kita juga tidak mau kalah, pemerintah mencoba membuat juga pengindeks khusus versi Indonesia yang dinamakan Sinta (Science and Technology Index), dibawah pengelolaan Dikti. Kehebatan Sinta adalah mengindeks dosen-dosen Indonesia yang ber-INDN, seberapa produktif dosen tersebut. Ini link indeks saya. Masih kalah produktif dibanding dosen-dosen lain.

Selanjutnya kita membahas data berdasarkan pengindeks SCOPUS ya.

Tahun-tahun sebelum adanya kebijakan memakai indeks SCOPUS tersebut, maka selain jurnal international, karya tulis buku juga dianggap sebagai alat ukur kedalaman ilmu seorang. Apakah pantas menjadi GB atau tidak. Saat ini yang dianggap valid untuk menjadi GB, hanya jurnal international bereputasi. Menurutku itu terjadi karena kualitas buku yang diterbitkan, bahkan oleh seorang profesor, sangat beragam. Buku bisa diterbitkan, tanpa harus melalui peer-reviewer, suka-suka sendiri penulisnya. Karena sangat subyektif isinya, maka akhirnya sekarang ini yang dipakai alat ukur adalah jurnal international bereputasi, yang proses peer reviewer-nya terjaga.

Lanjutkan membaca “progress kemajuan iptek Indonesia”

UTS Str Baja II – Okt. 2020

Hari ini periksa jawaban murid yang ambil mata kuliah Struktur Baja 2, Semester Ganjil 2020/2021 di Progdi Teknik Sipil UPH. Ini sudah UTS ke dua kalinya yang benar-benar pakai sistem on-line. Nggak pernah ketemu langsung, dan sudah tidak ada lagi kertas yang bertumpuk-tumpuk seperti dulu. Hasil pembelajaran sekarang semua tersimpan di data Cloud. Aksesnya dari Ipad dan corat-coretnya pakai digital Pencil. Sudah benar-benar paperless.

Lanjutkan membaca “UTS Str Baja II – Okt. 2020”

menyambut Kurikulum Kampus Merdeka

Selamat pagi semua, delapan hari menjelang HUT kemerdekaan ke-75 Indonesia. Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka !

Mas Mendikbud membuat keputusan yang membuat “heboh” para pengelola perguruan tinggi, yaitu ide Kurikulum Kampus Merdeka (ini sudah banyak yang menanggapi, ini ada panduannya oleh Unila, silahkan baca untuk dipahami). Pembahasan tentang ini adalah sangat relevan dengan hari kemerdekaan Indonesia ke-75 ini. Kita perlu meyakini apakah keputusan dengan kata merdeka tersebut adalah keputusan strategis bagi kemajuan bangsa ini atau bahkan ternyata sebaliknya.

Dalam membuat ulasan ini tentu perlu dilihat latar belakang pembahas. Beda latar belakang tentu akan berbeda pendapat. Jujur, saya ini tipe pendidik, yang meskipun dianggap senior tetapi pengalamannya di bidang birokrasi kampus adalah tidak banyak, tidak ada yang bisa dibanggakan. Saya ini lebih berpengalaman pada profesionalitas dalam penerapan ilmu dari mata kuliah yang diampunya. Saya ini lebih fokus atau tepatnya lebih senang untuk mengembangkan content mata-kuliah tersebut sehingga bisa dijadikan rujukan. Itu sebabnya dalam mengajar, saya jarang (kecuali pertama kali) untuk memakai materi orang lain. Saya punya keyakinan bahwa materi kuliah yang saya buat, adalah yang terbaik.

Oleh karena alasan itu pula, saya selalu menuliskannya jadi buku ajar, yang bersifat publik. Semua orang bisa mengakses dan mengevaluasinya. Itu mungkin yang menyebabkan saya banyak terlibat dengan dunia praktis konstruksi. Itu juga alasan, mengapa saya tidak punya banyak dana penelitian hibah DIKTI, yang menurut saya banyak birokrasi dan dananya terbatas. Penelitian saya lebih banyak memanfaatkan problem aktual lapangan sehingga bisa dikerjakan dan dibiayai oleh praktisi. Dari situ akhirnya bisa diangkat menjadi materi tulisan di jurnal international. Hal itu yang mendukung nilai kum saya sehingga bisa meraih gelar jabatan tertinggi di dunia akademisi, yaitu GB seperti sekarang ini.

Lanjutkan membaca “menyambut Kurikulum Kampus Merdeka”

karir profesional insinyur vs dokter

Bagaimana Bapak dulu memilih dan menentukan karir pekerjaan sehingga bisa menjadi dosen seperti sekarang ini ?“. Demikian awal mula percakapanku dengan anak muda yang baru saja lulus dari uji kompetensi profesi dokter.  Simpel, tetapi ternyata bisa membuka mata bahwa jalan karir pekerjaan seseorang itu berbeda-beda, tergantung profesinya.

Sarjana teknik sipil (saya tentunya) dan sarjana kedokteran (anak muda yang bertanya) ternyata berbeda dalam menempuh perjalanan karirnya. Bagaimana tidak, sarjana teknik sipil tidak dipaksa untuk menempuh ujian kompetensi sebelum masuk ke dunia kerja. Setelah wisuda, mereka bisa langsung melamar kerja kemana-mana, bahkan bukan di bidang teknik sekalipun (di bank misalnya). Adapun sarjana kedokteran (gelar S. Ked) meskipun sudah diwisuda, tetapi merasa belum selesai kuliah, masih masuk program kelas praktik dan belum merasa tuntas jika belum lulus uji kompetensi dokter-nya.  Perjuangan mereka memang lebih lama dibanding sarjana yang lain. Menurut cerita anak muda tersebut, teman-teman SMA-nya yang sekelas yang bukan mengambil jurusan kedokteran bahkan sudah ada yang terjun politik (jadi anggota partai) dan telah mencantumkan gelar S2-nya. Maklum di luar negeri khan ada program S2 yang hanya setahun tanpa thesis. Intinya, anak muda itu merasa karirnya untuk menjadi dokter terkesan lama sekali.

engineer-doctor

Lanjutkan membaca “karir profesional insinyur vs dokter”

DISRUPTIF konstruksi kayu dan penelitiannya

Berbicara tentang penelitian di Indonesia memang gampang-gampang susah. Teorinya bisa saja segunung. Bayangkan saja, setiap dosen yang bergelar doktor kalau ditanya tentang penelitian pastilah bisa menjawab mantap dan panjang lebar. Hanya saja implementasinya di lapangan, kadang tidak sesuai seperti yang dibayangkan.

Topik dan hasil penelitian hanya ramai di ruang sidang kampus-kampus, menjadi bahan diskusi dan debat antara tim penguji dan mahasiswa. Ujung-ujungnya penelitian hanya sekedar prasyarat lulus untuk meraih gelar akademik. Maklum dari banyaknya laporan penelitian yang dibuat, hanya sedikit yang bisa dipublikasikan ke luar untuk terbit di jurnal ilmiah bermutu atau terimplementasi menjadi inovasi bisnis. Terkait dengan publikasi, bahkan ada bukti bahwa laporan penelitian berbentuk skripsi (persyaratan akademik), akhirnya hanya dibuang karena memakan tempat di ruang perpustakaan.

1499702381-skripsi-dibuang
Gambar 1. Skripsi-skripsi yang jadi sampah (www.rempong.net)

Kelihatannya sepele, tetapi adanya skripsi-skripsi dengan kondisi seperti di atas menunjukkan bahwa hasil pemikiran akademisi terbukti tidak bermanfaat, kecuali sekedar persyaratan kelulusan belaka.

Lanjutkan membaca “DISRUPTIF konstruksi kayu dan penelitiannya”

proses review menuju GB

Profesi saya adalah structural engineer, yang mulai ditekuni sejak lulus sarjana teknik dari UGM (1989) dan bekerja pertama kali di kantor konsultan rekayasa, PT. Wiratman & Associates. Kantor konsultan rekayasa struktur yang didirikan Prof Dr. Ir. Wiratman Wangsadinata (almarhum). Waktu saya bekerja saat itu, beliau belum meraih gelar Doktor dan Profesor, tetapi setahu saya saat itu sudah terkenal. Itulah yang menyebabkan saya tertarik dan melamar bekerja kantor beliau. Saya ingat waktu itu saya menyampaikan amplop lamaran sendiri ke kantor PT W&A di tepian sungai di area Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, yang saat ini gedungnnya sudah digantikan oleh gedung bertingkat tinggi. Maklu, waktu masih kuliah dulu saya punya cita-cita seperti almarhum, yaitu pakar di bidang struktur dan dikenal banyak orang.

Saat ini 2018 atau hampir 30 tahun lamanya sejak menekuni profesi structural engineer. Cita-cita sebagai pimpinan perusahaan konsultan terkenal seperti PT W&A jelas tidak kesampaian, maklum pekerjaan utama yang digeluti adalah mengajar, sebagai dosen di perguruan tinggi dan bukan pimpinan perusahan atau direktur. Hanya saja yang masih bisa disyukuri adalah masih tetap berkecipung dipermasalahan structural engineering. Bahkan diberi kesempatan untuk lebih mendalami, mengajarkan, meneliti permasalahan dan menemukan solusi serta mampu mempublikasikannya  untuk dijadikan bahan pembelajaran dan perenungan lebih lanjut bagi para engineer lain. Saya bersyukur, apa yang saya bayangkan 30 tahun lalu, terlihat mendapatkan jalan. Hanya soal kesehatan dan waktu tentunya jika Tuhan berkenan tentu dapat diwujudkan. Semoga.

Lanjutkan membaca “proses review menuju GB”

curhat mahasiswa

Lama sudah saya tidak menyentuh blog ini, tetapi itu tidak berarti saya tidak suka menulis. Bukan itu penyebabnya,  waktunya saja yang ternyata sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya tulisan lain yang harus dibuat, yang hasilnya dianggap lebih nyata atau realistis bagi seorang dosen.

Apa itu ?

Menulis di blog, apresiasinya adalah dari pembaca. Jika pembaca suka maka penulis juga suka, kalaupun ternyata tidak ada yang membaca. Anggap saja tulisan blog sekedar curhat penulisnya.

Hal berbeda jika menulis untuk jurnal ilmiah international. Ini dampaknya nyata, karena bisa membawa penulisnya ke jenjang Profesor dan diakui oleh komunitasnya. Juga menulis untuk presentasi atau workshop. Itu jelas ada pendengar (peserta), ada panggung dan sekaligus ada amplopnya. 😀

Lanjutkan membaca “curhat mahasiswa”