Bicara tentang kematian itu menakutkan. Ada pemimpin masyarakat yang bahkan melarang membicarakan pandemi jika dikaitkan kematian. Itu bisa membuat masyarakat takut, dan berdampak ekonomi terhenti, demikian argumentasinya. Tetapi adakah yang salah dengan ketakutan itu sendiri. Karena jika tidak ada ketakutan yang mendasar (akan kematian), dab hanya takut karena adanya rasia masker oleh petugas, maka pandemi akan tetap bercokol lama.
Saya termasuk yang tidak setuju dengan pernyataan pemimpin di atas. Daripada memberi komentar seperti itu maka lebih baik diam. Itu seperti pepatah “ngono yo ngono, nanging ojo ngono“. Ini ada video yang diunduh dari WA grup. Cukup relevan untuk kasus yang dibahas. Emak-emak di video adalah contoh anggota masyarakat yang tidak takut dengan Covid-19, yang dianggapnya hanya hoax. Ini bisa terjadi karena pemimpin masyarakatnya yang tidak seirama dengan hansip atau petugas di video tersebut, yang menurut emak-emak itu menakut-nakuti.
Pernyataan emak-emak di atas jangan ditiru. Bisa begitu karena mungkin belum membaca informasi tepat. Bisa juga karena lingkungan sekitar yang tidak mendukung. Lihat saja isi video tersebut, orang lain di sekitarnya juga tidak pakai masker. Apalagi jika mereka dengar pernyataan pemimpin masyarakat yang saya ceritakan di atas. Mereka bisa merasa mendapat pembenaran. Itu contoh sederhana orang-orang yang tidak mau berubah, risiko menuju kematian tentu akan tinggi dibanding yang berubah mengikuti aturan, yaitu memakai masker dan menjaga jarak.
Untuk pembaca blog ini, yang umumnya terkoneksi di WhatsApp grup yang baik, apalagi jika sering mendengar juga berita duka yang menyebut nama-nama yang dikenal. Itu semua tentu akan membuat kita bijak. Saya saja saat ini, ketika dari pihak pimpinan kampus memberi pilihan WFH atau datang maka langsung ambil yang WFH. Itu jelas pilihan yang paling konservatif, benar-benar bisa menjaga jarak dengan orang lain.
Tahu sendiri khan bagi pegawai seperti saya ini, maka hal yang paling ditakuti di masa pandemi ini adalah PHK atau kena pandemi. Dua-duanya bisa berisiko kematian. Kita tentu harus tarik ulur agar bisa melewati masa pandemi ini dan bertemu lagi dengan anak-cucu.
Jujur situasi sekarang ini memang memprihatinkan. Pada WhatsApp grup bisnis, banyak mendengar boss-boss pada berguguran. Ada yang tua, ada yang muda, sebagian besar katanya covid. Benar atau tidaknya tentu malas kita mencari tahu. Itu terjadinya di masa pandemi ini, dimana untuk orang selevel boss tentunya tidak bisa mengurung diri, harus mencari peluang bisnis terus. Karena kalau tidak pemasukan, perusahaan juga bisa collapsed. Untuk itu perlu banyak ketemu orang atau berpergian terus kemana-mana. Itu semua menyebabkan risiko untuk tertular covid-19 menjadi sangat besar. Akhirnya apa yang ditakuti terjadilah, yaitu kematian.
Kalau dihitung dengan angka statistik memang hanya 3%, tetapi kalau itu yang kena adalah anggota keluarga, maka biaya dan tenaga ekstra pasti akan berdampak nyata. Disyukuri jika lolos, tetapi kalau meninggal khan hanya masuk jadi data statistik saja.
Kembali pada ketakutan itu sendiri. Jujur, banyak tindakan yang dilakukan di dunia ini adalah karena dipicu oleh ketakutan. Misalnya saja, dulu kalau bepergian pakai pesawat terbang, maka tiga jam sebelumnya harus siap-siap berangkat dari rumah ke bandara. Takut macet di jalan, dan bisa ketinggalan pesawat. Juga pengurusan jenjang GB tempo hari. Itu dimotivasi oleh ketakutan akan usia pensiun yang segera datang. Jika tidak cepat-cepat diurus, maka usia akan membatasi. Adanya ketakutan-ketakutan yang bisa dipikirkan jauh hari sebelum itu terjadi maka menyebabkan kita bisa mempersiapkan diri dengan baik. Persiapan itu berupa upaya untuk melakukan sesuatu, merubah parameter-parameter pemicu ketakutan itu terjadi. Ketakutan menghasilkan adrenalin untuk melakukan perubahan. Adanya perubahan menyebabkan apa yang ditakuti tidak terjadi.
Pagi ini ada berita menarik, mula-mula dari WhatsApp grup. Lalu saya cari berita aslinya ternyata ketemu di twitter sebagai berikut.

Jika pandemi menyebabkan kematian fisik, yang bisa terjadi pada semua orang. Maka berita di atas adalah bentuk kematian yang bersifat lokal, hanya di kantor berita tersebut. Para karyawannya tentu tidak bisa hidup lagi dari sana. Mati mata pencahariannya. Jika tidak melakukan perubahan dan hanya mengeluh saja maka akibatnya bisa mati betulan.
Untuk teman-teman yang bekerja di kantor berita, kekuatiran seperti di atas tentunya sudah diketahui lama. Itu dampak teknologi internet. Itu saya rasakan juga, maklum sudah bertahun-tahun ini tidak pernah membaca koran secara fisik. Kalaupun ada maka dipastikan ketika sedang di stasiun, sekedar menghabiskan waktu dan membeli kertas koran untuk bungkus atau alas tempat duduk.
Bagaimana dengan profesi dosen seperti saya ini, apakah akan terdampak juga ?
Suatu pertanyaan menarik, yang jelas pandemi ini juga memicu terjadinya era digital yang menjadi semakin luas jangkauannya. Buktinya, sudah hampir satu tahun ini tidak pernah mengajar langsung via tatap muka. Semuanya via on-line dengan dukungan jaringan internet. Siapa-siapa yang tidak terjamah internet, tentu akan ketinggalan. Itu pertanda nyata bahwa di dunia kampus atau pengajaran juga telah terjadi perubahan.
Situasi seperti itu tentu tidak mudah bagi dosen-dosen senior, yang hanya mengandalkan pengalaman perkuliahan tatap muka. Pengalaman seperti itu tentu tidak mudah untuk diterapkan masa on-line sekarang ini. Jika tidak siap dengan perubahan, maka tentu dosen-dosen seperti itu akan digantikan oleh dosen muda yang lebih mudah menyesuaikan diri.
Perubahan tentang cara pembelajaran di era on-line tergambarkan dengan baik pada video ini (sumber dari WA grup). Nggak tahu siapa yang buat. Tapi ini bisa terjadi termasuk yang bikin video seperti itu. Bagi dosen senior tentu akan kesulitan, meskipun bagi orang muda itu semudah bikin joke di WA grup.
Tidak hanya itu risikonya, adanya kuliah on-line maka kampus-kampus kecil yang tidak mempunyai fasilitas internet dan belum punya reputasi, tentu akan kesulitan menerima murid baru. On-line menyebabkan jarak tidak lagi jadi kendala. Mahasiswa bisa memilih kampus di mana saja dengan mudah. Mereka tentu akan mendaftar kampus yang bereputasi dan punya nama dibanding yang tidak dikenal. Selain itu, dengan issue on-line, tentunya pembatasan jumlah mahasiswa di kelas tidak menjadi masalah lagi. Itu berarti daya tampung menjadi bertambah banyak. Ini tentu peluang bisnis bagi kampus bereputasi.
Meskipun terjadi perubahan situasi off-line menjadi on-line , dan informasi mudah didapat di internet, tetapi kampus tetap diperlukan. Minimal untuk dapat ijazah. Ini cara sederhana untuk mengevaluasi pegawai baru. Bagi yang tahu, maka orang tua mahasiswa tentunya memilih kampus dengan nama besar, atau minimal kampus yang memberi kemudahan belajar. Jika tidak pintar-pintar bersikap maka akan terjadi devaluasi mutu proses pembelajaran. Lihat saja sekarang ini, sangat mudah untuk ikut seminar. Tetapi apakah benar-benar diikuti atau tidak, tentunya akan bisa mendapatkan sertifikat yang sama. Apakah itu berarti punya banyak sertifikat berarti punya banyak kompetensi. Itu tentu adalah masalah yang lain lagi.
Bagi pihak kampus, untuk antisipasi keuangan memburuk, mengurangi pegawai yang harus dibayar gajinya, adalah langkah rasional. Maklum situasi seperti di Suara Pembaruan tentu bisa juga menimpa kampus. Itu sesuatu yang logis. Ini tentu berita buruk, yang menakutkan pekerja kampus. Apakah itu benar atau tidak, hanya waktu yang akan membuktikan. Terus terang saat ini banyak hal yang sebelumnya terkesan tidak masuk akal untuk terjadi, ternyata terjadi juga.
Situasi sekarang ini telah mematikan banyak bisnis penyerta kampus, banyak kost-kostan yang sepi. Bisnis foto copy juga terimbas, bayangkan saja, jika dulu Laporan Kerja Praktik itu harus dicopy rangkap dua, cetak hardcover lagi. Sekarang dalam setahun ini, cukup dikirim versi PDF-nya saja. Dengan tidak adanya mahasiswa yang datang di kampus, maka tempat foto copy kampus yang dulunya ramai menjadi sepi. Cashflow keuangan mereka darimana itu. Pasti lama-lama bangkrut. Juga kantin mahasiswa, pasti langsung drop omset-nya. Itu baru di kampusku, bagaimana dengan kampus-kampus lain. Pasti sudah banyak yang banting setir, harus berubah, kalau tidak berubah, ya bisa mati betulan.
Staf pegawai non-pengajar tentu akan terdampak. Sudah setahun ini kampus sepi. Bila jumlahnya banyak, tentu dulu karena untuk melayani mahasiswa. Ketika mahasiswanya tidak ada, maka mau tidak mau harus dikurangi. Lagi-lagi cash flow.
Jika staf non-pengajar sudah efisien, maka selanjutnya tentu staf pengajar. Selama mahasiswanya ada, tentu itu masih diperlukan.
Menjadi dosen itu sekarang sudah spesifik, sudah menjadi suatu profesi tertentu yang diakui pemerintah. Untuk itu pertama-tama adalah harus punya NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional). Itu terkunci pada suatu kampus tertentu. Oleh sebab itu dosen tidak tetap (dosen terbang) yang hanya datang saat mengajar, yang umumnya praktisi, menjadi tidak sebanyak dulu lagi. Terlalu banyak dosen tidak tetap, dianggap sesuatu yang kurang baik berdasarkan akreditasi. Sekarang ini yang disebut bermutu adalah yang bisa diukur selama akrediatasi. Seperti misalnya jika banyak murid yang tidak lulus, itu berarti dosennya tidak baik. Dosen bisa ditegur. Padahal tahu sendiri, mutu mahasiswa tiap kampus itu berbeda. Ada yang masuknya saja pilihan, dipilih yang terbaik, tetapi ada juga yang asal masuk. Kalau nggak diterima takut tidak ada mahasiswa. Murid-murid seperti itu kalau dikasih materi yang sulit sedikit, akan mengeluh di kuisioner : disebutnya dosennya tidak bermutu, sulit dsb. Jika sudah demikian maka dosennya akan ditegur. Nah kalau kondisinya seperti itu, padahal dosennya adalah memang hidup di pengajaran, bisa berabe. Itu ibarat makan buah simala-kama. Ingin memberikan idealisme tinggi, tetapi tersandung “sesuatu”. Jujur, saya ini termasuk dosen yang di kuisioner dianggap tidak bisa mengajar, karena ada satu komentar yang menyebutkan demikian. Meskipun hanya satu komentar, yang mungkin dari mahasiswa yang memang tidak lulus, tetapi itu bisa dibawa ke rapat, disebut-sebut. Pada tahap ini tentunya tergantung ketuanya, bisa berlaku bijak atau hanya bertindak sesuai data kuisioner yang ada .
Saya sudah menemukan dosen-dosen yang menurut saya bagus, kenapa koq tiba-tiba tidak mengajar lagi. Informasi yang didapat ternyata di pensiun dini. Mengapa demikian, bisa-bisa karena adanya data seperti itu. Murid yang belum tahu pentingnya (dan sulitnya) materi, diminta berpendapat tentang bagaimana dosennya mengajar. Mereka tahunya kalau sulit itu khan dosennya nggak pintar mengajar. Menghadapi kondisi seperti ini maka dosennya harus berubah, kalau tidak maka nantinya akan bisa “mati” juga, dipensiun dini.
Nah ke depan, dosen akan bekerja sesuai rating, di era digital itu tentu akan mudah sekali. Dengan situasi seperti itu maka dosen yang sekedar mengandalkan ketrampilan mengajar, tetapi tidak mendapat rating positip dari mahasiswanya. Pasti pasti akan dilibas pertama kali.
Sisi lain dengan adanya dosen ber NIDN maka mereka punya kepangkatan yang berlaku nasional. Adanya staf dosen yang punya kepangkatan ini menjadi nilai lebih bagi institusi dimata pemerintah saat akreditasi. Jadi dosen yang punya kepangkatan tersebut tentu mempunyai risiko lebih kecil untuk didepak bila dirating jelek oleh mahasiswanya.
Oleh sebab itu, langkah nyata untuk menghindari risiko buruk di masa depan, maka yang berprofesi dosen wajib mengurus kepangkatannya dalam mengajar. Kepangkatan tertinggi dosen adalah menjadi Guru Besar, tunjangannya lumayan juga. Saya punya dosen, seumuran eh lebih tua sedikit. Beliaunya sudah punya gelar doktor. Ini tentu istimewa, tetapi masalahnya beliau tidak ngurus kepangkatan Dikti. Akibatnya usia pensiun dianggap sama seperti staf non-pengajar, yaitu 55. Kalau punya pangkat level Lektor atau Lektor Kepala maka usia pensiun 60. Profesor lebih tinggi lagi 65, beda 5 tahun dengan usia pensiun yang ditetapkan pemerintah, yaitu 70.
Untuk pengurusan kepangkatan seperti itu, sekarang paper ilmiah di jurnal ter-Scopus menjadi syarat penting. Pengalaman mengajar puluhan tahun, tidak mendukung hal tersebut. Jadi untuk menjadi dosen yang baik, maka selain mengajar perlu menekuni bidang lain yaitu penelitian & publikasi ilmiah serta pengabdian masyarakat. Untuk memahami itu maka diperlukan pendidikan lanjut ke level doktoral.
Itu juga berarti jika belum punya pendidikan lanjut, maka harus mendapatkan hal tersebut. Jika tidak, maka level guru besar tidak akan bisa diraih. Itu prasyarat utama.
Pada situasi perubahan di era digital yang tidak menentu seperti sekarang ini, untuk mengatasi ketakutan tersingkir karirnya di dunia pendidikan, maka para dosen harus bekerja keras untuk berkembang. Tidak sekedar puas dengan bisa menjadi staf pengajar saja, harus ada upaya untuk meningkatkan diri menjadi selevel pakar. Anggap saja hidup di kampus, adalah cara untuk bermesu diri, pengembangan diri.
Langkah nyata para dosen agar survive di kemudian hari adalah: [1] raihlah jenjang pendidikan sampai yang tertinggi, pada bidang ilmu yang memang ingin didalami. Jangan sekedar cari ijazah; [2] uruslah jenjang kepangkatan yang diakui pemerintah, yaitu asisten lektor- lektor – lektor kepala – sampai jenjang Guru Besar.; [3] banyak-banyaklah menjalin relasi di dunia real, baik melalui rekanan, atau promosi keilmuan memakai tulisan. Jika dapat kasus di lapangan, segeralah buat tulisannya untuk sekaligus mempromosikan ilmu yang anda kuasai.
Jika semua itu akhrinya dapat diperoleh, yang berarti terjadi perubahan dari semula, maka jangan takut. Anda pasti akan hidup, dan tidak berkekurangan. Ilmu dan reputasi yang anda kumpulkan pasti akan segera membantu anda. Dunia memang berubah, tetapi selama anda juga berubah, dan tidak statis, maka tidak perlu ada yang dikuatirkan dengan perubahan tersebut.
Hanya orang-orang yang cepat merasa puas, dan merasa semuanya telah berjalan dengan baik, serta tidak mau memikirkan adanya perubahan itu maka ketika tersasar nantinya mereka akan terkaget-kaget. Berubah karena ada kesadaran untuk itu, maka anda akan hidup lebih baik lagi.