sukses meniti karir

Ini tulisan intermezo, tentang topik yang diharapkan banyak pihak. Hanya saja isinya bisa saja berbeda-beda tergantung cara pandang penulisnya. Penulisnya berlatar belakang praktisi (konstruksi) dan saat ini hidup sebagai dosen (juga expert di industri konstruksi), tentu bisa dipahami apa yang disampaikannya adalah didasari oleh pengalaman karirnya tersebut. Jangan berharap isinya tentang kesuksesan karir bagaimana menjadi pejabat atau juga pengusaha. Bisa berbeda strateginya.

Tulisan tentang karir, ini seakan-akan meloncat dari tulisan-tulisan sebelumnya, yang banyak membahas tentang penerbitan buku (warna cover buku, buku istimewa 2023). Progress buku yang dibahas sudah on the right track, sesuai rencana. Saat ini posisinya, buku sedang tahap naik cetak. Ternyata untuk mencetak sesuai spesifikasi, perlu waktu empat (4) minggu dari sekarang. Itu berarti tidak bisa diperkenalkan kepada publik pada acara Seminar HAKI di Medan (19 Mei 2023). Padahal saya menjadi salah satu pembicaranya (ada di panggung). Ini bukti poster seminarnya.

Suatu even yang cukup besar khan, sayang terlewatkan. Moga-moga rencana launching buku yang akan diadakan oleh Progdi Teknik Sipil UPH (2 Agustus 2023) dapat terlaksana. O ya, pihak LUMINA Press berencana membuka meja promosi dan penjualan buku di Seminar HAKI di Jakarta (22 Agustus 2023). Semoga ini juga bisa sukses terlaksana.

He, he kembali ke laptop, ke masalah sukses meniti karir.

Jujur, saya menulis ini karena terinspirasi oleh pertemuan kemarin dengan teman kerja lama, yang puluhan tahun tidak ketemu. Saya berpikir karena sudah sukses, maka jadi lupa. Eh ternyata tidak seperti itu halnya, bahkan kebalikan dari yang aku pikirkan. Orangnya datang secara tiba-tiba, terkesan kusut dan nampak tua (padahal umurnya di bawahku), ditemui bersama rekan kantor yang lain, obrol punya obrol, yang bersangkutan ternyata mencoba mencari peluang kerja. Ini tentu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ini sekedar petunjuk, ternyata ada orang yang belum tahu bagaimana cara meniti karir yang sukses.

Agar sukses dalam berkarir, sehingga bisa berdiri tegak penuh percaya diri dan mensyukuri hidup, maka ada dua faktor yang menentukan, yaitu [1] faktor di dalam diri kita; dan [2] faktor di luar diri kita. Jika ke dua faktor itu bisa bertemu dan cocok, maka kesuksesan adalah tinggal menunggu waktu. Oleh sebab itu kita harus menyadari, meskipun faktor di dalam diri kita sudah dianggap ideal, tetapi kalau belum ketemu atau tepatnya belum mendapatkan kesempatan yang baik atau pas dengan faktor di luar diri kita, maka tentu tidak ada rasa suka cita yang diperoleh . Agar sukses, dan akhirnya dapat bersuka-cita, bisa saja mencari faktor luar di tempat lain, yang pas.

Nah poin yang terakhir itu yang bisa memahami, mengapa ada teman kerja yang akhrinya perlu “keluar”. Ini sesuatu yang wajar , siapa tahu di luar akan menjadi semakin baik. Pertemuan kemarin menunjukkan bahwa ternyata tidak seperti itu adanya.

Adanya dua faktor, diri kita dan dunia luar, menunjukkan bahwa tidak setiap keinginan kita, pasti akan mendapatkan kesuksesan. Baru ketika dua faktor tersebut, diri kita (kompetensi) dan dunia luar (kesempatan) itu pas, atau cocok, maka kesuksesan akan terjadi. Ingat apakah bisa pas, itu yang harus kita pikirkan. Tentang hal tersebut, ada narasumber yang berpendapat atau mungkin untuk menghibur, yaitu “cobalah terus, pantang menyerah, suatu saat pasti akan berhasil, selanjutnya menunjukkan bukti-bukti real yang mendukung ide tersebut“. Kapan saat berhasil itu, tidak ada yang tahu. Bagaimanapun juga, ketika mencoba, maka waktu terus berjalan, usia bertambah, dan tentu saja itu semua akan sangat mempengaruhi.

Kita harus realistis tentang hal tersebut. Kalau tidak, maka kejadian kemarin yang saya ceritakaan di atas, akan terjadi. Saya tentu saja merasa prihatin, hanya saja untuk suatu pekerjaan tertentu, tidak bisa sekedar dijadikan pelarian.

Langkah utama yang bisa dilakukan adalah menyiapkan bagian dari diri kita untuk sukses. Pertama adalah mengenal betul diri kita, mana kekuatan dan mana kelemahan. Ada tiga komponen di dalam diri kita yang menunjang kesuksesan dalam kehidupannya, yaitu : [1] ketrampilan yang dimiliki (pengalaman formal akademik atau non-andemik); [2] bakat (talent); dan [3] karakter, atau kebiasan dalam kehidupan kita.

Kecuali bakat, yang memang dari sononya, maka ketrampilan dan karakter biasanya dipengaruhi oleh proses pendidikan dan lingkungan kehidupannya di masa muda. Semakin tua umur seseorang, maka mengubah karakter atau menambah ketrampilan, menjadi sesuatu yang semakin berat. Itu pula alasannya, mengapa perusahaan mau menerima anak muda yang baru lulus untuk menjadi pegawai dan kemudian mendidiknya lagi. Jelas, nggak ada yang mau menerima yang sudah tua.

Oleh sebab itu, keterlambatan menyadari bagaimana mencapai kesuksesan dalam kehidupan saat sudah berumur, maka hanya penyesalan yang terjadi. Pada kasus seperti ini, banyak yang kemudian menyalahkan orang lain sebagai kambing hitam ketidak-suksesan tersebut. Jika ini terjadi, maka saya yakin, hanya akan kegetiran yang ditemui, dan kesuksesan akan menjadi semakin menjauh. Jadi kalau begitu bagaimana ?

Sukses adalah terwujudnya harapan, yang terkait dengan pihak lain. Pihak lain itu punya kriteria, jika kita tidak bisa memenuhi kriteria tersebut, maka tentu kesuksesan tidak akan tercapai. Jadi jika kasusnya sudah terjadi (sudah berumur), maka yang pertama adalah introspeksi diri terlebih dahulu. Mencari tahu ke tiga (3) point penunjang kesuksesan di atas, dari sana kita tawarkan ke pihak lain yang mempunyai kriteria yang bisa dipenuhi. Jika perlu, nggak usah takut untuk down-grade dibanding karir yang dulu. Nah di sini biasanya ego yang tidak memungkinkan.

Jujur menasehati orang muda itu lebih mudah daripada menasehati orang tua yang tidak sukses (gagal). Biasa kalau ketemu orang di atas usia 40 tahun, saya takut menasehati (kecuali tentu jika diminta pendapat). Karakternya sudah terbentuk.

Paling baik adalah menasehati anak-anak muda (yang mau), dan tentu saja anaknya sendiri. Ini tentu sangat penting, karena kalau sampai anak-anaknya sendiri di hari tua bermasalah, pasti tidak punya waktu juga untuk memikirkan orang tuanya. Jadi adalah kewajiban orang tua untuk memastikan anak-anaknya, minimal bisa mandiri, agar nanti minimal tidak menjadi bahan pemikiran orang tuanya di hari tua, dan bahkan bisa memikirkan balik.

Sebagai seorang yang berpengalaman berkeluarga sejak 1991 atau sudah 32 tahun, maka mendapatkan jodoh yang baik, adalah salah satu syarat untuk mendapatkan kesuksesan hidup. Untung saja saya dulu menikah relatif muda, sebelum pensiun, anak-anak sudah selesai kuliah, dan sudah ada yang berumah-tangga. Bisa dibayangkan, jika terlambat menikah, maka pada usia tua, harus kerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beruntung, jika terlambat menikah, tetapi di usia tua sudah bebas finansial. Nggak ada masalah itu. Tetapi apa ada jaminan jika menika terlambat itu kalau tua akan bebas finansial.

Oleh sebab itu, kepada anak-anak, aku menjelaskan agar segera ketika sudah mendapatkan kepastian karir agar segera mencari jodoh untuk mau bersama-sama menjalani kehidupan ini. Kepastian karir, biasanya sudah bisa terdeteksi ketika sudah lulus SLTA atau SMA. Ini tentu jika jalan kehidupan sesuai cita-citanya, misalnya ketika SLTP sudah bercita-cita jadi dokter. Akibatnya cari SLTA yang alumninya banyak ketrima di FK. Jadi ketika lulus SLTA dan bisa masuk FK, maka jelas itu karirnya sudah pasti. Upaya yang dilakukan sekedar belajar giat, dan mencari peluang mendapatkan jodoh. Saya yakin, hal seperti ini tidak setiap orang tua berani menyatakan kepada anaknya. Jika cewek, maka itu lebih aku tekankan lagi. Maklum usia prima seorang putri untuk menarik minat jodoh adalah di bawah 30 tahun. Ini ideal, meskipun setelah itu sah-sah saja, dengan catatan fisik masih prima.

Jujur, saya bilang ke anak-anak bahwa secara rasional cowok masih melihat fisik sebagai hal utama, sedangkan dari sisi cewek akan melihat cowon dari potensi kemapanan di masa depan. Oleh sebab itu wajar ditemui di lingkungan kerja saya, seorang cewek dengan karir yang bagus, ternyata masih melajang. Hal-hal ini aku identifikasi agar bisa dijadikan bahan renungan anak-anak muda (anak saya atau yang lain yang mau mendengar) dalam melangkah. Karir dan keluarga itu seperti dua hal yang paralel dalam kehidupan, bahkan bisa saling menopang.

Dengan cara pikir seperti itu, maka tahun 1991 saya melangkah dalam perkawinan. Istri saya empat (4) tahun di bawah saya, menurut kepercayaan Tionghoa, itu seperti kaki meja, cocok. Ini aku ingat betul, sekedar motivasi dalam berkeluarga. Setelah 32 dalam kehidupan perkawinan ternyata ok-ok saja. Apakah karena kepercayaan kaki meja atau bukan, aku nggak tahu. Intinya, hal-hal yang positip, selalu aku ingat, yang tidak mendukung, buang.

Agar keluarga bisa saling menopang, maka anggota keluarga dibebaskan berkarir atau meraih prestasi, pengikatnya adalah saling kepercayaan dan komitmen untuk membentuk keluarga untuk kebaikan bersama dan untuk kemuliaan Tuhan. Ini memang visi jauh, itu pula alasannya mengapa harus memilih istri yang seiman, agar tujuan di atas bisa tercapai. Jika berbeda agama, tentu akan ada pertanyaan terkait Tuhan. Ini bisa jadi masalah, dan biasanya jika aku amati mereka ada salah satu yang mengalah, atau bahkan bersifat universal, tidak condong salah satu.

Bagi anak muda, modal pendidikan adalah sangat penting. Ini akan menambah komponen ketrampilan, yang dalam perjalanannya akan mempengaruhi karakter pribadinya. Meskipun praktiknya, hasil pendidikan yang baik, selain membekali dengan ketrampilan juga akan merubah mindset dan kemandirian. Dua hal ini, yang sebenarnya paling penting. Itu pula alasannya, mengapa pendidikan anak-anak tidak ada yang sama dengan kampus papanya. Agar diperoleh kemandirian.

Salah satu indikator kesuksesan adalah mampu hidup mandiri, meskipun ketika dalam proses pendidikan, masih dibiayai oleh orang tua. Ini penting, karena saya menjumpai masih banyak orang tua yang enggan anak-anaknya jauh darinya selama proses pendidikan. Maunya di dekap terus, jika ada masalah anak, maka orang tuanya yang maju. Sampai kapan orang tua bisa selalu bersama anak-anak.

Wah panjang juga, karena sukses itu biasanya telah menjadi karakter. Banyak bukti, jika seorang anak sukses di bagian tertentu, maka di bagian lain juga sukses, dan jika tidak sukses maka di mana-mana juga gagal. Ini biasanya harus ada perubahan dari sisi karakternya. Rejeki itu ibarat seperti kita akan memilih restoran untuk makan siang / malam. Kita cenderung memilih restoran yang ramai, dan bukan yang sepi. kalau hal seperti itu khan ada kesan tidak adil. Ini juga berlaku pada karir dosen, ada dosen yang selalu bisa dengan mudah menerbitkan artikel di jurnal international terindeks Scopus, adapun saya perlu kerja keras sekedar memenuhi syarat satu jurnal bereputasi tiap tiga tahun sekali. Juga menjawab mengapa setiap semester selalu mendapat undangan sebagai pembicara seminar, adapun yang lain tidak seperti itu. Hidup itu aneh, tidak bisa diukur dengan adil atau tidak. Mindset kita harus berubah yang positip.

Saya kira cukup dulu, sekedar untuk uneg-uneg akan keprihatinan saya pada seseorang, yang sebenarnya hal itu bisa dihindari jika puluhan tahun lalu yang bersangkutan mau mendengarnya. Waktu telah berlalu, usia bertambah, semoga yang bersangkutan menemukan jalan yang pas untuk hidupnya, dan bisa mensyukurinya. Tuhan memberkati kita semua.

curhat di awal 2023

Saya akan mengutip sekaligus merespons curhatan mas Kukuh Budi Utomo (mahasiswa kampus favorit) yang menulis di komentar blog ini, sebagai berikut :

Hallo Pak. Selamat Malam. Saya sangat suka membaca artikel bapak tentang skripsi.

Saya mau nanya Pak. Saya sedang mengerjakan skripsi. Tapi yang jadi masalahnya adalah dapat dosen pembimbing yang tidak pernah membimbing. Saya mengajukan proposal yang sudah jadi Bab 1 ke dosen pembimbing. Kemudian saya tanya bagaimana hasilnya. Malah nggak dikoreksi. Malah disuruh lanjut seterusnya. Padahal saya maunya dikoreksi, biar kalau ada yang kurang bisa diperbaiki atau ditambah. Setelah selesai Bab 2. Disuruh lanjut. Begitu lagi suruh lanjut terus. Saya kan jadi bingung, mau konsultasi kalau ada yang nggak tahu, mau tanya ke pembimbing tapi malah nggak pernah dibimbing. Saya jadi kesulitan nulis skripsinya.

Saya tanya pada kakak tingkat yang sudah-sudah, ternyata memang begitu karakternya. Suruh lanjut lanjut terus nggak dikoreksi sampai selesai. Eh tau-taunya nggak dikoreksi sampai ujian skripsi. Pas ujian skripsi kakak tingkat, yang saya tanyai, dapat banyak banget pertanyaan. Katanya sih dibantai gitu. Pas diuji ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Terus dapat revisian banyak. Saya membayangkan ke diri sendiri, saya jadi ngeri sendiri melihat saya besok gimana.

Padahal saya kuliah di salah satu universitas negeri di **sensor** lho Pak. Kok ada dosen yang kayak gitu. Nggak mencerminkan dengan visi kampus yang katanya mau masuk ke world class university. Saya cek latar belakang dosen tersebut dia S1 dan S2 nya di **sensor**. Sekarang lagi kuliah S3. Beliau termasuk dosen yang murah dalam ngasih nilai banyak yang dapat A kalau mata kuliah yang diampu sama beliau. Paling paling kalau banyak yang salah. Dapat A.

Saya jadi takut gimana nanti pas ujian skripsi jika dihadapkan sama dosen lain yang lebih kritis. Ya kalau ujian skripsi cuman satu orang alias dosen pembimbing nggak masalah sih. Ntar juga murah ngasih nilainya. Wkwkk. Lha tapi kan nanti dosen yang nguji ada 3.

Maaf pak jadi curhat.

Profesi dosen itu gampang-gampang sulit. Curhatan mas Kukuh Budi Utomo di atas menunjukkan bahwa dosen yang murah kasih nilai saja masih di-complaint, apalagi jika pelit nilai. Bisa-bisa akan lebih banyak curhatan dari muridnya.

Untuk kasus bimbingan skripsi, umumnya mahasiswa akan banyak complaint jika dosennya banyak ngasih koreksi untuk perbaikan. Jika tidak dikoreksi, umumnya mahasiswanya senang dan bahkan bangga. Ini mas Kukuh koq berbeda, kecewa karena nggak dikoreksi dan jadi curhatan. Maklum dikoreksi dan dibaca itu berbeda. Nggak dikoreksi tetapi sudah dibaca, maka rasanya tidak ada yang salah dengan dosen tersebut. Bermasalah, jika ternyata dosennya nggak mau membaca. Ini berarti dosennya nggak ada perhatian. Mahasiswa jika kecewa bisa dimaklumi karena merasa tidak diperhatikan.

Lanjutkan membaca “curhat di awal 2023”

renungan receh 14 Des 2022

Lama tidak menulis di blog, tidak berarti sudah tidak suka menulis lagi. Maklum banyak waktu habis sekedar untuk buku “Jembatan Gantung Infrastruktur Kemakmuran”. Judul khusus yang belum pernah ada dan semoga nantinya bermanfaat. Nggak tahu kenapa, meskipun sudah berbulan-bulan menulis, ternyata progress kemajuan tidak terlalu cepat. Hari ini baru mencapai halaman ke 260. Siapa tahu menulis receh di blog ini, berikutnya semakin lancar. Untuk BKD GB, besok Feb 2023 harus sudah terbit. 🙂

Tulisanku hari ini sekedar mencoba memaknai apa yang saat ini sedang menjadi tren, yaitu pesta mantu pak Jokowi, dan apa makna positip yang dapat kita ambil hikmatnya.

Saat ini usia saya sudah lebih 1/2 abad, ketika melihat berita TV tentang pesta mantunya pak Jokowi, maka yang yang terbersit dalam pikiran saya adalah begitu dimuliakannya keluarga beliau dengan acara tersebut. Sangat santun beliau memberikan komentar bahwa ini adalah pesta budaya, melestarikan warisan leluhur.

Sebagai orang Jogja, saya merasa juga tersanjung, koq ya bisa-bisanya pak Jokowi yang orang Solo mendapatkan besan orang Jogja. Dengan demikian kebudayaan ke dua kota tua tersebut dapat terangkat nyata ke permukaan lagi. Dengan adanya pesta mantu pak Jokowi, maka kota Jogja dan kota Solo menjadi mulia.

Jujur, saya adalah salah satu orang yang sejak dulu mengidolakan sosok Jokowi. Terlepas dari komentar iri banyak pihak, saya sampai sekarang masih melihat beliau sebagai sosok panutan. Tidak sekedar sebagai sosok presiden, tetapi juga sebagai sosok ayah, pemimpin di keluarganya.

Saya ini penganut, bahwa yang namanya KARIR dan KELUARGA itu dua hal yang tidak bisa diperbandingkan, harus dibina bersama-sama agar mendapatkan keseimbangan dan bisa berjalan berdua secara seimbang. Kalau saya menjelaskannya kepada anggota keluarga, anak-anak saya, maka suami dan istri itu dalam berkeluarga ibarat seperti naik tangga, bekerja bersama-sama secara sederjat, menaiki tangga menuju cita-cita bersama kebahagiaan. Kesuksesan KARIR akan menjadi enerji baru dan prasarana dalam menempuh kehidupan. Kesuksesan KELUARGA akan mengisinya dengan perasaan kasih dan suka-cita, serta ketulusan dalam kehidupan ini. Karena pemahaman itu pula, maka saya tidak melakukan dikotomi antara keduanya, seperti kamu harus sekolah dulu, baru mikiran untuk berkeluarga. Tetapi dari awal, saya selalu menekankan, bahwa keduanya penting.

Adanya pemikiran di atas, maka ketika pada acara wisuda UPH kemarin, dimana salah satu bapa pendiri kampus tersebut berpidato, yaitu bapak James Riadi tentang jodoh untuk membentuk KELUARGA bagi para alumni UPH, maka saya terkesan sekali. Jujur saja, nasehat-nasehat seperti itu pada masa sekarang kelihatannya tidak mudah. Saya lebih mudah untuk bercerita tentang esensi struktur baja, dan pernak-perniknya, dibanding harus menggurui anak-anak muda yang lain tentang jodoh. Pasti banyak yang mencibir. Siapa anda, yang tidak mempunyai sertifikasi tentang keluarga, koq berani-beraninya mengajar tentang hal tersebut.

Nah daripada saya bercerita tentang hal tersebut, dan tidak didengar. Ada baiknya saya mencoba mengungkapkannya menjadi pemikiran tertulis tentang keduanya di blog ini. Jelas saja, materinya tidak ditujukan bagi orang seumuran saya (1/2 abad lebih). Nggak ada gunanya, kecuali tentu saja bagi anak-anaknya, atau anak muda lain, yang masih muda dan belum berkeluarga. Agar menjadi bahan pemikiran dalam merencanakan hidup ber KARIR dan ber KELUARGA nantinya.

Lanjutkan membaca “renungan receh 14 Des 2022”

apakah memodelkan pelat beton sudah dianggap mengekang secara penuh balok ?

Ada pertanyaan dari salah satu pengunduh program di thread-ku yang ini. Saya pikir pertanyaannya terkait program gratis tersebut. Eh, ternyata bukan, ini tentang permasalahan desain struktur baja dengan program ETABS. Jujur saya sudah lama tidak memegang langsung program tersebut, lebih banyak sekedar memberi petunjuk, baik ke mahasiswa S2 (tesis) atau insinyur (client kontraktor/konsultan).

Saya kira pertanyaan via email ini menarik, sekedar untuk menunjukkan bagaimana petunjuk itu biasa saya berikan. Esensinya sederhana, yaitu membantu mengatasi masalah. Jika terbantu tentu mereka akan senang dan bisa merasakan petunjuk yang aku berikan itu berharga. Ini penting, karena ada kesan bahwa dosen itu sekedar bisa mengajar saja. Ini pertanyaan (via email) yang akan kita bahas .

Lanjutkan membaca “apakah memodelkan pelat beton sudah dianggap mengekang secara penuh balok ?”

berubah atau mati !

Bicara tentang kematian itu menakutkan. Ada pemimpin masyarakat yang bahkan melarang membicarakan pandemi jika dikaitkan kematian. Itu bisa membuat masyarakat takut, dan berdampak ekonomi terhenti, demikian argumentasinya. Tetapi adakah yang salah dengan ketakutan itu sendiri. Karena jika tidak ada ketakutan yang mendasar (akan kematian), dab hanya takut karena adanya rasia masker oleh petugas, maka pandemi akan tetap bercokol lama.

Lanjutkan membaca “berubah atau mati !”

video pengukuhan Prof WD di UPH

Kemarin menerima WA dari seorang anak muda yang sedang studi doktoral. Untuk menambah inspirasi ingin membaca disertasiku. Terkesan oleh semangat dan pertemanan yang lama, aku tanggapi dengan mengirim softcopynya via cloud. Semoga bisa bermanfaat. Jika banyak anak muda seperti itu, tentunya bangsa ini akan semakin maju. Semoga.

Lanjutkan membaca “video pengukuhan Prof WD di UPH”

Jembatan dan Kesejahteraan

Pendahuluan

Kondisi geografi wilayah yang dipisah sungai atau jurang yang dalam dan lebar menyebabkan penduduk jadi terisolasi. Padahal kesejahteraan masyarakat tergantung interaksi diantara mereka, di sekolah, di rumah peribadatan, di pasar di pusat perputaran ekonomi setempat, di lapangan olahraga atau tempat perkumpulan sosial lainnya dan tempat kerja tentunya.

Untuk wilayah dengan kondisi geografi seperti itu, maka pembangunan jembatan penghubung menjadi solusi efektif untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat penduduknya.

Lanjutkan membaca “Jembatan dan Kesejahteraan”

saya ini programmer lho !

Jika anda memperhatikan, saya suka memperkenalkan diri sebagai engineer, guru besar, penulis dan programmer atau pemrogram. Untuk engineer mudah diidentifikasi, yaitu gelar yang terpasang di depan nama saya, yaitu Ir. Hanya saja pemakaian gelar itu sekarang lagi jadi permasalahan dengan adanya undang-undang insinyur yang baru. Padahal saya sudah pakai itu sejak tahun 1989. Kalau saya menyebut diri saya, guru besar atau profesor maka tentu tidak ada yang meragukan, ada acara pengukuhannya yang meriah. Juga untuk sebutan penulis, tidak perlu diragukan karena sudah ada buku yang diterbitkan dan sampai sekarang masih bisa dibeli di Bukalapak atau di Tokopedia atau sumber langsung di http://lumina-press.com.

Untuk profesi saya sebagai programmer, maka bagi yang baru-baru kenal saya, tentu akan banyak bertanya-tanya. Apa betul saya ini seorang programmer. Jawaban tentang hal itu hanya bisa diketahui jika telah membaca buku saya, yang terbitan PT. Elexmedia tahun 2002 atau 18 tahun yang lalu. Tentu saja buku tersebut sudah susah dicari dan sudah banyak yang melupakannya. Sejak buku itu terbit, rasanya produktifitas saya sebagai programmer hanya diaplikasikan pada struktur beton, dan belum struktur baja. Padahal setelah itu, saya lebih banyak fokus mendalami struktur baja, yang akhirnya terkulminasi dengan terbitnya buku struktur baja di tahun 2015 dan 2016 yang lalu. Akibatnya di kalangan profesional, saya ini dikenal sebagai ahli struktur baja. Nggak salah deh.

Lanjutkan membaca “saya ini programmer lho !”

progress kemajuan iptek Indonesia

Kemajuan iptek suatu negara umumnya selaras dengan produktifitas masyarakat ilmiahnya dalam menulis jurnal atau paper ilmiah. Itu pula yang menjadi alasan, mengapa penilaian kenaikan pangkat dosen untuk guru besar (GB) adalah didasarkan dari jurnal ilmiah international bereputasi yang ditulisnya. Bereputasi adalah jurnal ilmiah yang terindeks oleh lembaga pengindeks yang diakui DIKTI. Salah satu lembaga pengindeks yang sangat terkenal di Indonesia adalah SCOPUS.

Lembaga pengindeks lain adalah Web of Science, bahkan banyak pakar bilang ini levelnya lebih tinggi (sulit) dari Scopus. Ada juga yang namanya DOAJ (Directory of Open Access Journals), ini banyak juga digunakan tetapi kesannya agak di bawah Scopus. Maklum, ini akan mengindeks jurnal berbahasa Indonesia juga, jadi terkesan tidak eksklusif. Nah kita juga tidak mau kalah, pemerintah mencoba membuat juga pengindeks khusus versi Indonesia yang dinamakan Sinta (Science and Technology Index), dibawah pengelolaan Dikti. Kehebatan Sinta adalah mengindeks dosen-dosen Indonesia yang ber-INDN, seberapa produktif dosen tersebut. Ini link indeks saya. Masih kalah produktif dibanding dosen-dosen lain.

Selanjutnya kita membahas data berdasarkan pengindeks SCOPUS ya.

Tahun-tahun sebelum adanya kebijakan memakai indeks SCOPUS tersebut, maka selain jurnal international, karya tulis buku juga dianggap sebagai alat ukur kedalaman ilmu seorang. Apakah pantas menjadi GB atau tidak. Saat ini yang dianggap valid untuk menjadi GB, hanya jurnal international bereputasi. Menurutku itu terjadi karena kualitas buku yang diterbitkan, bahkan oleh seorang profesor, sangat beragam. Buku bisa diterbitkan, tanpa harus melalui peer-reviewer, suka-suka sendiri penulisnya. Karena sangat subyektif isinya, maka akhirnya sekarang ini yang dipakai alat ukur adalah jurnal international bereputasi, yang proses peer reviewer-nya terjaga.

Lanjutkan membaca “progress kemajuan iptek Indonesia”

berinovasi atau hilang

Istilah inovasi jika mengacu wikipedia, yaitu reka baru, ditujukan pada proses atau sistem baru yang bisa memberi nilai tambah. Pendapat saya, istilah tersebut juga cocok diaplikasikan pada cara kita bekerja. Tentu tidak semua pekerjaan, hanya cocok untuk pekerja profesional yang mandiri, yang bekerja mengandalkan otak (kompetensi keilmuan). Dosen pada batasan tertentu bisa juga disebut profesional mandiri, tentunya selama memenuhi kewajiban dari kampusnya.

Note : saya punya teman dosen yang sangat inovasi. Tetapi karena inovasinya tersebut yang bersangkutan sering meninggalkan kampus dan tidak mengajar. Akibatnya yang bersangkutan harus berhenti, tetapi karena tetap berinovasi maka tetaplah jadi pengusaha sukses. Itu artinya karena inovasi maka tetap eksis dan tidak hilang. Maklum, dosen pada titik tertentu masih juga seperti pegawai. Harus tunduk pada peraturan yang berlaku, termasuk juga para Profesor.

Dosen bisa disebut profesional mandiri jika apa-apa yang diajarkannya adalah buatannya sendiri, dan hanya mengajarkan hal-hal yang jadi kompetensinya. Maklum bisa saja seorang dosen mengajarkan ilmu yang bukan topik kompetensinya, hanya karena ketersediaan slot mengajar. Kalau kondisinya seperti itu, yang bersangkutan hanya dosen atau staff pengajar, yang dilakukan sekedar agar rutin dapat gaji bulanan.

Nah dalam era pasca covid-19, dimana proses mengajar-belajar akan lebih banyak tergantung pada teknologi, akibatnya kebutuhan tenaga pengajar akan berkurang. Media-media pembelajaran akan banyak digantikan oleh content-content pembelajaran digital, yang bisa dipilih dari yang terbaik dari berbagai content yang ada. Akibatnya dosen yang sekedar mengandalkan ketrampilan mengajar, maka sedikit demi sedikit tentunya akan tersisih (hilang).

Cara sederhana untuk melihat bahwa hal itu akan terjadi adalah sangat gampang. Lihat saja sekarang ini, adanya peralihan media pembelajaran dari off-line ke on-line maka banyak dosen-dosen senior (tua) yang “kesulitan”. Padahal dosen-dosen seperti itu di hirarki administrasi pendidikan mempunyai gaji lebih tinggi dari dosen-dosen yunior (maklum karena lama pengabdian di institusi). Akibat adanya kesulitan beralih ke on-line, kedepannya tentu pihak kampus akan lebih mudah mengangkat dosen muda saja, yang tentunya gajinya juga bisa lebih “murah”. Ini khan keputusan yang rasional dari pengurus kampus.

Dosen-dosen senior akan tetap eksis jika yang bersangkutan tidak sekedar mengandalkan segi pengajaran saja. Dosen-dosen senior harus unggul dalam memproduksi content-content khusus, yang dalam era on-line ini tetap diperlukan. Apalagi dengan semakin kuatnya undang-undang hak-cipta bahwa karya-karya unik orang tidak boleh diambil sembarangan.

Agar mampu menghasilkan content-content khusus maka inovasi adalah faktor yang sangat penting. Jika tidak maka siap-siap saja untuk hilang. Kalau tidak percaya maka lihat saja video berikut, tentang perlunya inovasi agar perusahaan-perusahan tetap bertahan. Jika tidak, maka betapapun besar dan terkenalnya perusahaan maka akhirnya bisa hilang dan digantikan yang lain.

Jika perusahaan yang begitu besar dan terkenal di seluruh dunia saja bisa hilang, maka tentunya pribadi-pribadi yang lemah seperti kita akan lebih mudah terjadi untuk hilang tak berbekas.

Lanjutkan membaca “berinovasi atau hilang”