gelar populer di negeri ini


Fakta-fakta menunjukkan bahwa gelar bagi masyarakat di negeri ini adalah penting. Saya ingat di jaman kecil dulu (di kota Yogyakarta tentunya), masyarakat sangat terkesima dengan gelar kebangsawanan. Gelar yang paling rendah (umum) adalah gelar RADEN, yang disingkat R dan ditempatkan di depan nama seseorang. Pada waktu itu gelar kebangsawanan menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya jalur hubungan (baik melalui keturunan atau kekuasaan) dengan raja-raja atau minimal kelas masyarakat atas (pegawai / pejabat pemerintahan), yang umumnya dianggap berpendidikan dan menjunjung tinggi tata krama pergaulan. Biasanya mereka hidup bukan mengandalkan otot dan keringat (petani atau tukang), tetapi otak (guru / ahli) atau kekuasaaan (pegawai atau tentara), atau minimal dengan berdagang. Posisi pedagang ini lebih tinggi dari petani atau tukang karena bisa menghubungkannya dengan penguasa (yang punya uang).

Atas latar belakang tersebut maka gelar kebangsawanan bisa dikaitkan dengan kondisi hidup yang terkesan wah (enak, tidak perlu bercucuran keringat untuk hidup). Hal-hal seperti itu akhirnya menjadi alasan para orang tua di jaman dulu untuk menilai calon menantunya. Gelar menjadi bahan pertimbangan penting bagi para orangtua di jaman itu untuk memastikan agar anak-anaknya nanti hidup mapan. Itu yang menyebabkan mengapa masyarakat dulu menghormati gelar kebangsawanan.

Dengan berjalannya waktu, sejak jaman kemerdekaan ternyata banyak dijumpai raja-raja yang kekayaannya pada hilang. Itu bisa terjadi karena raja-raja itu dulu dianggap bersekongkol dengan penjajah, sehingga ketika perebutan kemerdekaan sukses, maka kekayaannya diambil oleh pemenang karena dianggap milik penjajah. Ini adalah fakta bahwa meskipun mereka punya gelar raja-raja ternyata tidak berkuasa atas kekayaannya. Hal itu berdampak pada ekonomi kehidupannya, mereka tidak bisa lagi disebut kaya, kalau tidak mau disebut miskin. Bayangkan saja meskipun rumahnya (istananya) besar, tetapi ternyata tidak cukup dana untuk mengelolanya dengan layak. Catatan : para raja-raja itu ternyata penghasilannya dari pabrik-pabrik atau tanah yang dikelola oleh swasta (yang umumnya teman-teman penguasa sebelumnya / penjajah). Ini ibarat seperti orang punya mobil mewah, tetapi tidak punya cukup dana untuk operasional sehari-hari. Tentu seiring dengan berjalannya waktu, kemewahan itu akan hilang. Tidak ada lagi kehebatan dari orang dengan gelar raja-raja di mata masyarakat, bahkan bisa saja memberi kesan memprihatinkan jika tidak punya sumber pendapatan lain. Adapun gelar kebangsawanan yang dimiliki oleh orang bukan raja-raja, masih bisa eksis. Tetapi itu tentunya tidak seperti dulu lagi, maksudnya bukan gelar itu yang menyebabkan mereka eksis, tetapi karena keahlian atau pekerjaan profesional yang mereka miliki yang menyelamatkannya.

Kemerdekaan menyebabkan semua pihak yang mampu (otak dan duit) bisa mendapatkan akses yang sama di dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang baik tentunya akan mentranformasi pola pikir yang baik, dan mengarahkan untuk memiliki suatu keahlian profesional yang dibutuhkan masyarakat. Indikasi seseorang sudah lulus pendidikan adalah gelar akademis yang bisa juga disematkan di depan (belakang) namanya. Adanya gelar tersebut ternyata bisa menentukan pekerjaannya di masyarakat, dan di jaman saya dulu ternyata bisa berdampak pada ekonomi kehidupannya. Moga-moga sekarang juga demikian.

Pada era tahun 80-an, saya mulai merasa terjadi perubahan mindset di masyarakat bahwa gelar akademik lebih menjanjikan dibanding gelar kebangsawanan (yang level umum tentunya). Pada masa itu gelar akademik yang populer ketika saya duduk di SMA adalah insinyur (Ir) dan dokter (dr). Jika bisa punya gelar seperti itu maka ada harapan bahwa masa depannya nanti akan dimudahkan. Jujur, itu salah satu alasan mengapa mengambil bidang teknik sipil seperti sekarang ini.

Dalam perjalanan waktu, ternyata gelar insinyur tidak diberikan dari proses pendidikan, sebagai gantinya ST (Sarjana Teknik). Saya pada waktu lulus adalah dalam masa awal-awal gelar tersebut, karena pada waktu itu belum ada petunjuk undang-undang tentang gelar ST, maka untuk sehari-hari tetap pakai gelar Ir, mencontoh kakak-kakak kelas sebelumnya. Jujur pada waktu dulu ketika muda, dengan gelar tersebut memang dengan mudah mendapatkan pekerjaan dan juga jodoh. Oleh sebab itu wajar jika masyarakat “suka” dengan gelar-gelar seperti itu.

Dalam perjalanan waktu, ternyata di negeri ini banyak terdapat perguruan tinggi yang bisa meluluskan sarjana, mulai dari tingkat kota propinsi sampai tingkat kota kabupaten. Juga ada perubahan di dunia pendidikan tinggi, dimana salah satu indikasinya adalah menghilangkan apa yang disebut dosen killer. Dosen tidak lagi bisa seenaknya sendiri. Jika banyak mahasiswa yang tidak lulus di kelasnya, maka yang disalahkan adalah dosen, yang disebutnya sebagai dosen yang tidak bisa mengajar. Selanjutnya ada mindset bahwa mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu, dan lama, maka akreditasi mutu perguruan tinggi tersebut jelek. Oleh sebab itu para pimpinan perguruan tinggi melakukan reformasi besar-besaran dalam proses pendidikan, melakukan perbaikan kurikulum, menentukan bahan ajar dan bahkan dosennya sehingga memastikan mahasiswa dapat diterima dan diluluskan tepat waktu. Sesuatu yang ideal.

Akibatnya adalah bahwa semua mahasiswa pasti lulus, persis seperti di pendidikan dasar dan menengah. Jika sudah masuk, maka dipastikan punya gelar.

Dengan begitu banyaknya perguruan tinggi, tetapi kelangsungan hidupnya masih mengandalkan SPP dari mahasiswa, maka proses seleksi tidak serta merta dapat diterapkan. Pada titik ini maka perguruan tinggi yang sudah punya nama, akan mendapatkan keuntungan. Perguruan tinggi seperti itu tentu akan mendapat calon mahasiswa yang cukup banyak untuk dilakukan seleksi, dan akhirnya dapat dipilih bibit yang terbaik.

Nah untuk perguruan tinggi yang tidak sempat menyeleksi (bisa dapat murid saja sudah untung) maka adanya pameo bahwa setiap yang masuk pasti lulus dan mendapatkan gelar, pasti akan menimbulkan masalah. Apa itu, gelar akademik menjadi diobral, termasuk juga nilai. Jaman sekarang ini yang namanya IP > 3.0 itu sudah biasa, bahkan kalau kurang dari itu, para pengelola akan takut akreditasi perguruannya dinilai jelek. Nah bisa dibayangkan, punya gelar dan punya IP tinggi dari hasil proses belajar yang pasti lulus, maka tentu bukan sesuatu yang istimewa lagi. Apalagi ada pendapat bahwa bekerja bukan pada bidangnya adalah sesuatu keunggulan. Itu dianggap suatu kewajaran, yang penting halal, katanya.

Sekarang ini gelar sarjana, khususnya sarjana teknik, tidak bisa dijadikan jaminan. Para direktur konsultan atau kontraktor teman-teman saya, kadang masih perlu melihat selain gelar ST, IPK, juga asal perguruan tinggi-nya. Bahkan kadang masih perlu dilihat judul tugas akhirnya apa dan dosen pembimbing skripsinya siapa. Jika sesuai dengan harapannya maka baru bisa diterima.

Pada satu sisi, para orang tua yang mampu tentu berharap anaknya masuk perguruan tinggi dan mendapat gelar. Itu menjadi kriteria sukses keluarga di negeri ini (umumnya). Sisi lain, bahwa perguruan tinggi yang bermutu adalah perguruan tinggi yang bisa meluluskan mahasiswa sebanyak mungkin dan tepat waktu, bahkan jika banyak yang tidak lulus (DO) dianggap perguruan tinggi yang tidak baik. Jadi semua yang masuk diharapkan lulus dan mendapatkan gelar. Akibatnya gelar di level sarjana jadi pasaran.

Jika pasaran maka tentu tidak istimewa lagi. Ini sudah disadari di level pendidikan tinggi. Saat ini tidak boleh ada dosen yang bergelar S1, harus minimum S2. Seorang yang berpengalaman puluhan tahun tetapi masih S1 akan kalah oleh anak muda lulusan S2 yang nol pengalaman. Setelah masa transisi, maka dapat dipastikan orang yang berpengalaman tersebut akan digantikan oleh anak muda yang lulus S2 ini. Itu pasti karena didukung oleh peraturan tertulis di negeri ini yang “melarang” dosen bergelar S1 mengajar di level S1 (apalagi level lebih tinggi). Itu berarti gelar S2 lebih tinggi dari S1 yang pengalaman sekalipun.

Kondisi di atas tentu menakutkan bagi seseorang yang berkarir menjadi dosen (bisa-bisa nanti nggak ada yang mau jadi dosen). Untuk mengatasi hal tersebut maka sistem pendidikan di negeri ini membuat jenjang karir agar para pengajar di perguruan tinggi bisa mendapatkan kepastian berkarir. Untuk itu ditetapkan selain jenjang akademis (S1, S2 dan S3), juga dikenal istilah jabatan akademis. Orang yang berpengalaman di dunia pendidikan tinggi akan terlihat dari jabatan akademis yang dipunyainya. Jabatan akademis yang dimaksud adalah Lektor, Lektor Kepala dan paling tinggi adalah Guru Besar atau Profesor. Ini seperti Jenderal di dunia kemiliteran. Untuk mendapatkan jabatan akademis maka para dosen harus melengkapi syarat-syarat yang diperlukan, seperti misalnya jenjang akademis S2 (Magister) misalnya, kemudian untuk naik tingkat yang lebih tinggi diperlukan gelar S3 (Doktor). Akhirnya jika sudah cukup waktu, dan dianggap ilmunya bisa menjadi rujukan, yang ditunjukkan dari tulisan-tulisannya di jurnal-jurnal international dan buku, maka seseorang dosen yang bergelar S3 dapat diusulkan untuk mendapatkan gelar Guru Besar atau Profesor.

Saat ini gelar S1 dan S2 sudah menjadi syarat orang untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, oleh sebab itu dua gelar tersebut sudah menjadi umum untuk diraih oleh anak-anak muda negeri ini. Dengan kriteria mutu akreditasi bahwa perguruan tinggi yang bermutu adalah yang bisa meluluskan mahasiswa tepat waktu, maka para pengelola perguruan tinggi tentu akan mengusahakan sekali. Akibatnya ada kesan, jika bisa masuk S2 maka dapat dipastikan lulus, jika rajin tentunya. Dengan kondisi mutu mahasiswa yang berbeda-beda, bahkan ada yang bersyukur asal ada mahasiswanya, maka strategi untuk meluluskan bisa dijalankan dengan sistem seperti bimbel. Mahasiswa di drill terus-menerus suatu materi, dan yang diujikan adalah materi tersebut, maka tentu saja tingkat kelulusannya akan meningkat drastis. Cara pendidikan seperti itu tentu cocok dengan keahlian yang bersifat rutin, atau bisa karena biasa.

Program S2 menjadi salah satu program untuk kelangsungan hidup perguruan tinggi, akibatnya banyak sekali perguruan tinggi yang dibuka, bahkan di tingkat kabupaten. Selain ada kelas tradisional, juga ada kelas malam, bahkan ada kelas Sabtu dan Minggu. Dengan banyak yang buka, dan kualitas didasarkan kriteria akreditasi seperti di atas, maka tentu saja jangan terlalu berharap lulusannya benar-benar seperti master. Akhirnya yang membuat sukses di karirnya nanti, tidak sekedar gelar S2, tetapi pribadi orang yang memiliki gelar tersebut. Akibatnya ada kesan bahwa gelar S1 dan S2 di negeri ini sesuatu yang biasa-biasa, bukan sesuatu yang wow. Memang punya dua gelar itu lebih baik, daripada gelar kebangsawanan, yang sekarang tidak ada maknanya jika yang bersangkutan tidak punya apa-apa lainnya.

Dengan kondisi seperti di atas, maka gelar yang saat ini masih dianggap prestise adalah gelar S3 atau doktor. Masalahnya, gelar ini terlalu berlebihan untuk pekerjaan pertama kali. Jadi kalau belum pernah kerja, maka tentu itu belum jadi pemikiran untuk diraih. Kecuali tentunya bagi anak muda yang diberi beasiswa, yang berarti ada orang lain yang melihat potensi anak muda tersebut. Ini tentunya sesuatu yang istimewa.

Karena masih prestise itulah, maka bagi orang-orang yang sudah mapan, maka mereka berusaha untuk meraih gelar S3. Itu tentu akan menambah prestise hidupnya. Bagi dosen, seperti saya, maka meraih gelar S3 adalah bagian dari meningkatkan karir pekerjaannya. Karena ada kebutuhan orang akan prestise, dan tidak sekedar keilmuan saja, maka ada-ada saja kampus yang memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk uang. Dulu khan pernah ditemukan program S3 bagi para pejabat. Tahu sendiri bagaimana hasilnya. Untuk level S3 pemberian gelar masih terbatas ranah perguruan tinggi (level lokal). Oleh sebab itu asal perguruan tinggi tentu sangat menentukan.

Gelar S3 (Doktor) adalah jenjang akademik tertinggi, adapun gelar Profesor adalah jabatan akademik tertinggi. Pada dunia akademik di era saat ini, hanya dosen dengan gelar S3 yang bisa diangkat jadi Profesor. Itupun jika diusulkan oleh perguruan tinggi ke pemerintah (level nasional). Ini kelebihan dan kekurangannya. Jadi bisa saja ada orang yang hebat keilmuannya, tetapi tidak ada perguruan tinggi yang mengusulkannya, maka tidak bisa jadi Profesor. Bisa juga terjadi, ada dosen yang hebat di keilmuannya, tetapi dengan koleganya sering konflik, maka tentu institusinya tidak mau mengusulkan (kena klasul etik). Jadi untuk bisa jadi Profesor, maka selain diakui keilmuannya, maka perlu mendapat pengakuan dari teman sejawat di kampus (mengusulkan) dan juga di pemerintahan (penerbitan SK guru besar). Tanpa pengakuan itu, maka mustahil mendapatkan gelar tersebut.

Sampai di sini dapat dipahami, bahwa gelar-gelar yang timbul di masyarakat di atas itu terjadi sebagai suatu bentuk pengakuan bahwa orang-orang yang bergelar itu memang mempunyai sesuatu yang berbeda dari yang lain. Jika sesuatu yang lain itu membuat baik, maka orang tentu akan menghargai. Jika ternyata gelar-gelar itu tidak berdampak apa-apa, tidak memberi nilai tambah, bahkan diragukan, maka tentu gelar tersebut tidak bermanfaat. Tentu saja dengan mempunyai gelar, maka orang tersebut tentu akan dipilih dan diberikan kesempatan pertama. Jika kesempatan itu dapat diselesaikan dengan baik, maka gelar itu bermanfaat karena berikutnya untuk masalah yang mirip, tentu orang akan memilihnya lagi. Padahal bisa saja hal itu dikerjakan oleh orang lain yang tidak punya gelar. Tetapi jika ternyata tidak bisa berbuat seperti yang diharapkan, maka bisa-bisa gelar itu tidak bermanfaat, bahkan membuat orang jadi curiga (takut tertipu lagi).

Dengan situasi seperti di atas, maka di negeri ini jumlah orang bergelar Doktor tentu lebih banyak dari jumlah orang bergelar Profesor. Itu berati gelar Profesor adalah paling prestise di dunia akademisi di negeri ini.

Bagaimana dengan pemberian gelar Profesor kepada ibu Megawati Sukarnoputri ?

Tokoh di Sidang Pengukuhan Profesor Kehormatan Megawati, Ridwan Kamil hingga Sejumlah Menteri Kompas.com – 12/06/2021, 12:01 WIB

Terkait hal tersebut, tentu saya perlu mengucapkan selamat kepada Ibu Megawati. Sebagai seorang mantan Presiden RI dan ketua partai pemenang pemilu, ternyata beliau mau menerima gelar tersebut. Itu juga menjadi bukti, bahwa gelar Profesor adalah gelar yang prestise saat ini.

Ada juga sih gelar lain yang lebih power-full, yaitu gelar Jenderal. Hanya saja dalam gelar tersebut melekat juga kekuasaan. Konsekuensinya waktu pakai gelar tersebut terbatas, sesuai dengan arah angin di pemerintahan. Adapun gelar Profesor, meskipun kurang power-full dibanding gelar Jenderal, tetapi waktu pakainya bisa lama, yaitu selama orang tersebut produktif. Catatan : secara formal gelar Profesor dibatasi hanya selama masa kerja di perguruan tinggi, faktanya yang sudah pensiun ketika memberi gagasan yang bermutu juga masih layak disebut Profesor.

Gelar Profesor di dunia pendidikan sekarang ini menjadi tujuan karir karena ada tunjangan dari pemerintah, yang relatif cukup besar dibanding dosen profesional yang biasa. Karena adanya tunjangan tersebut, yang bisa dikaitkan dengan kesejahteraan, maka banyak dosen berbondong-bondong ingin jadi Profesor. Nah, karena tunjangan dari pemerintah terbatas, tentunya dengan begitu banyaknya usulan jadi GB, maka pemerintah menjadi selektif menerimanya. Ini wajar saja, itu hak pemerintah. Itu rasional untuk memastikan yang punya gelar Profesor mendapatkan tunjangan profesional sesuai undang-undang.

Untuk Profesor kehormatan kepada ibu Megawati, tentu itu kondisi di luar scope yang saya sampaikan. Tidak setiap orang tahu, apa itu Profesor kehormatan, bahkan di level kementrian sekalipun. Lihat saja artikel berikut:

https://www.tagar.id/ditjen-dikti-nizam-tak-ada-gelar-profesor-kehormatan

Prof Nizam adalah salah satu Profesor di negeri ini, beliau tahu betul dengan isi paparan yang saya tulis, yaitu profesor-profesor yang biasa ditemui di perguruan tinggi. Adapun Profesor Kehormatan ini tentu sesuatu yang lain, sesuatu yang sangat istimewa. Dalam hal ini ibu Megawati mendapatkan pengakuan dari perguruan tinggi yang mengusulkan, dan tentu saja dari pemerintah yang menyetujui usulan gelar tersebut. Bisa-bisa ini memang idenya dari atas, yaitu dalam rangka memberikan sesuatu hadiah berupa pengakuan istimewa kepada ibu Megawati. Maklum karena beliau mantan Presiden, maka jika sekedar tanda penghargaan dari Presiden, tentu ibu Megawati tidak lagi melihat hal itu sebagai sesuatu yang istimewa. Jika diberikan gelar Jenderal, maka ada konsekuensi kekuasaan yang berisiko tinggi jika diberikan. Nah, dengan gelar Profesor maka tentu tidak berisiko tinggi. Paling-paling komentar iri dari para dosen yang sedang kerepotan menyusun usulan GB saja. Jadi kalau ada dosen yang ngotot, maka jika diusulkan GB ditolak saja. Belum jadi GB saja sudah bikin ribet. Ya khan.

Lah nggak bisa begitu dong pak. Itu nggak adil. Saya protes keras.

Lha kamu siapa, dosen atau bukan. Jika dosen, maka susun saja persyaratan GB agar dapat diajukan kampus. Syaratnya khan relatif mudah, ijazah S3, pengalaman mengajar dan beberapa tulisan berupa buku dan jurnal international. Jika berhasil khan lumayan dapat tunjangan GB. Coba kalau kamu jadi pemimpin partai dan menerima peristiwa-peristiwa seperti yang ibu Megawati terima, belum tentu kamu survive. Itu sekarang saja ada profesor yang sampai keluar dari partai yang didirikannya. Mengelola partai itu tidak gampang lho.

Lha bekerja di politik praktis itu berbeda pak dengan dunia akademis.

Itu betul sekali. Dunia politik praktis itu dekat dengan kekuasaan, dan kalau lagi jadi pemenang maka tidak dekat lagi, tapi punya kuasa. Adapun dunia akademis itu hanya kuat pada ide dan pemikiran, syukur-syukur jika ide itu bisa sukses dilaksanakan di dunia praktis. Maka akademisi itu mendapatkan apresiasi. Jika tidak, maka banyak orang awam melihat ke akademisi itu sebagai teoritis (istilah awam ngomong doang). Jadi daripada para akademisi bersungut-sungut, lebih baik fokus untuk memperbaiki diri sendiri.

Lho maksudnya bagaimana pak ?

Ya jika kamu dosen, berusahalah dengan sekuat tenaga meraih gelar prestise tersebut. Adapun untuk ibu Megawati maka anggap saja itu suatu bentuk penghargaan dari penguasa kepada beliau. Namanya penghargaan khan bisa dalam bentuk apa saja, yang penting orang yang diberi mau menerima. Nah seperti argumentasiku di depan, saat ini yang paling aman bagi penguasa dan prestise adalah gelar Profesor Kehormatan. Ini tentu tidak bisa disamakan dengan Profesor yang ditempuh melalui jalur biasa.

Gitu saja koq repot.

Satu pemikiran pada “gelar populer di negeri ini

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s