Selamat pagi semua, delapan hari menjelang HUT kemerdekaan ke-75 Indonesia. Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka !
Mas Mendikbud membuat keputusan yang membuat “heboh” para pengelola perguruan tinggi, yaitu ide Kurikulum Kampus Merdeka (ini sudah banyak yang menanggapi, ini ada panduannya oleh Unila, silahkan baca untuk dipahami). Pembahasan tentang ini adalah sangat relevan dengan hari kemerdekaan Indonesia ke-75 ini. Kita perlu meyakini apakah keputusan dengan kata merdeka tersebut adalah keputusan strategis bagi kemajuan bangsa ini atau bahkan ternyata sebaliknya.
Dalam membuat ulasan ini tentu perlu dilihat latar belakang pembahas. Beda latar belakang tentu akan berbeda pendapat. Jujur, saya ini tipe pendidik, yang meskipun dianggap senior tetapi pengalamannya di bidang birokrasi kampus adalah tidak banyak, tidak ada yang bisa dibanggakan. Saya ini lebih berpengalaman pada profesionalitas dalam penerapan ilmu dari mata kuliah yang diampunya. Saya ini lebih fokus atau tepatnya lebih senang untuk mengembangkan content mata-kuliah tersebut sehingga bisa dijadikan rujukan. Itu sebabnya dalam mengajar, saya jarang (kecuali pertama kali) untuk memakai materi orang lain. Saya punya keyakinan bahwa materi kuliah yang saya buat, adalah yang terbaik.
Oleh karena alasan itu pula, saya selalu menuliskannya jadi buku ajar, yang bersifat publik. Semua orang bisa mengakses dan mengevaluasinya. Itu mungkin yang menyebabkan saya banyak terlibat dengan dunia praktis konstruksi. Itu juga alasan, mengapa saya tidak punya banyak dana penelitian hibah DIKTI, yang menurut saya banyak birokrasi dan dananya terbatas. Penelitian saya lebih banyak memanfaatkan problem aktual lapangan sehingga bisa dikerjakan dan dibiayai oleh praktisi. Dari situ akhirnya bisa diangkat menjadi materi tulisan di jurnal international. Hal itu yang mendukung nilai kum saya sehingga bisa meraih gelar jabatan tertinggi di dunia akademisi, yaitu GB seperti sekarang ini.
Jadi jika dikaitkan dengan link-and-match kampus dan industri, maka posisi saya adalah bukan penanda-tangan MOU (ini biasanya para pejabat birokrasi kampus), tetapi saya ini yang memang benar-benar bertemu langsung dengan orang proyek untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan. Salah satu masalah yang berhasil ditangani dan bisa dijadikan tulisan ilmiah adalah publikasi di jurnal ASCE berikut, ini link-nya. Saat ini saja, juga baru saja sukses membuat evaluasi teoritis dan mengujinya di lapangan struktur angkur baja berkapasitas besar (lokasi di Surabaya), yang di SNI 2847-2019 ternyata tidak termasuk angkur yang ada pembahasannya. Semoga nantinya bisa dinaikkan jadi materi tulis di jurnal international. Semoga.
Nah dengan latar belakang seperti itulah saya mencoba merespon kebijakan mas Mendikbud. Jika saya berlatar belakang birokrasi pendidikan, maka pasti akan menjunjung tinggi kebijakan tersebut tanpa mempertanyakan lagi. Maklum, tugas utama dari para birokrat pendidikan adalah taat 100% keputusan pemerintah pusat agar karir cemerlang. Kalau tidak taat, bisa-bisa kampusnya tidak terakreditasi. Saya sebagai pendidik dan sekaligus praktisi konstruksi (ekspert yang memberikan solusi masalah) tentu melihat kebijakan yang ada lebih netral, jadi lebih kepada kualitas lulusan, atau kompetensi di bidang keilmuan itu sendiri.
Dalam kurikulum lama (sebelum Kurikulum Kampus Merdeka) maka kurikulum pengajaran di program studi teknik sipil sudah dapat dibedakan menjadi kurikulum universitas (umum) dan kurikulum program studi (khusus kompetensi keilmuan). Di kampus saya, kurikulum universitas itu bisa sampai hampir 30%-nya. Orang bilang itu sebagai soft-skill, atau pendidikan karakter. Itu pula alasannya mengapa lulusan di program studi kami telah pintar-pintar untuk melakukan presentasi atau omong di depan publik. Cocok sekali untuk jadi marketer, begitu katanya. Meskipun yang diomongkan belum tentu sesuai dengan yang kita harapkan (ini pengalaman ketika mereka presentasi KP atau TA). Intinya mereka penuh percaya diri tampil.
Bagi saya soft skill itu penting, tetapi lebih penting materi atau kompetensi teknik sipil untuk terjun ke dunia kerja. Itu menurut saya lho. Maklum kalau hanya bisa omong nggak ada isinya, itu seperti politikus saja. Itu nggak berlaku di dunia konstruksi, di proyek yang real. Sudah punya gelar GB saja nggak bisa dijadikan jaminan. Coba check, para GB yang benar-benar terlibat di proyek dan memberikan solusi. Hanya itu-itu saja. Itu pula alasannya mengapa sering orang di lapangan sinis dengan dunia kampus, dengan sebutan “ah itu teori”.
Karakter kerja di kampus dan di lapangan adalah berbeda sama sekali. Jika di kampus maka proses adalah penting. Itulah maka perlu disusun kurikulum agar prosesnya tertata. Adapun di proyek, yang penting hasil, proses nggak terlalu perduli, yang penting mengikuti kebiasaannya bagaimana, atau telah mengikuti SOP yang ada. Proses yang detail dan rigorous baru diperhatikan jika itu membawa manfaat. Pada scope ini saya biasanya banyak dilibatkan. Umumnya itu terjadi jika sudah ada masalah, baru mereka mendengar orang yang dianggap ahli. Informasi tentang ahli itu biasanya datang dari mulut ke mulut, bukan dari gelar yang nongol di depan namanya. Itu pula alasannya mengapa aku suka menampilkan namaku saja tanpa gelar jabatan tertinggi. Namaku itu spesifik, adapun gelar GB itu semua kampus punya. Aku yakin nama itu saja cukup, bahkan tanpa nama kampus.
Jujur tentang pernyataan yang terakhir ini tentu mengherankan bukan. Koq kesannya nggak tahu diri. Dulu pertama kali ketika mengelola blog ini, sebelum aku “jadi”. Aku percaya diri untuk menampilkan nama kampus tempatku bekerja. Dalam hati kecilku, karena aku digaji dengan baik, maka wajib bagiku sebagai seorang dosen ini untuk mengangkat nama kampus tersebut. Itu sempat beberapa tahun berlangsung. Pokoknya saya merasa itu bagian tugasku juga. Tetapi apa yang aku maksud baik, ternyata tidak seperti itu adanya. Pada suatu kasus, ketika aku sedang diwawancarai dalam kaitan dosen berprestasi ada pertanyaan demikian yang datang : “apakah anda sudah punya ijin mencantumkan nama kampus di blog pribadi anda“.
Pertanyaannya sepele, tetapi sebagai orang Jawa yang jarang mendapat kritikan langsung, langsung tahu diri. Apa yang saya pikir, bahwa itu adalah usaha seorang dosen yang ingin mengangkat tinggi nama kampusnya. Eh, ternyata menurut birokrat pengelolanya adalah tindakan sebaliknya, saya dianggapnya numpang nama besar kampus tersebut. Sebagai orang Jawa, saya diam, tapi ingat akan hal terus bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Sejak itu semua tulisan di blog ini saya coba hapus namanya. Meskipun di satu sisi, saya secara pribadi menghormatinya, karena bagaimanapun juga ditempat itu saya bertumbuh dan menjadi. Sejak itu hanya nama saya saja yang saya tuliskan, tanpa ada tambahan nama yang lain-lain. O ya, namanya adalah Wiryanto Dewobroto. Ini penting disampaikan agar tidak dianggap tidak tahu diri.
Ok kembali ke laptop. Kembali membahas kebijakan Kurikulum Kampus Merdeka-nya mas Mendikbud.
Jika membaca tentang kebijakan Kurikulum Kampus Merdeka, ada kesan bahwa itu hanya alternatif ide dari pak Mendikbub, hasil akhir sepenuhnya adalah tanggung jawab dari kampus itu sendiri. Oleh sebab itu di awal diberikan catatan sebagai berikut “bahwa penyusunan kurikulum adalah hak perguruan tinggi, tetapi selanjutnya dinyatakan harus mengacu kepada standar nasional (Pasal 35 ayat 1)“.
Tetapi tahu sendiri, meskipun ada pernyataan opsi seperti itu, tetapi di kalangan birokrat kampus, mereka berupaya dengan cepat dan tanggap untuk langsung mengimplementasikan kebijakan tersebut. Motivasinya jelas, agar ada kesan bahwa kampusnya cepat dan tanggap dengan kebijakan pemerintah pusat. Ujung-ujungnya agar tetap terakreditasi dan bisa berjalan tanpa takut ditutup.
Apa esensi dari Kurikulum Kampus Merdeka ?
Ini saya copy-paste dari petunjuk yang dibuat oleh kampus UNILA, yang link-nya ditemukan di list Google paling atas.
Merdeka Belajar / kemerdekaan belajar-kampus merdeka adalah upaya memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai.
Pelajari dengan baik-baik paragraf di atas. Bagi orang awam maka adanya kata-kata kebebasan dan otonomi penuh dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan positip. Itu yang sekarang ini digembar-gemborkan oleh para birokrasi kampus untuk segera ditindak-lanjuti. Maklum seperti biasa, bagi para birokrat yang penting adalah sudah sesuai dengan Dikti. Agar akreditasi kampusnya tidak menjadi masalah. Apakah itu sudah sesuai dengan kondisi lapangan yang dibutuhkan. Itu lain persoalan. Kalaupun nanti ada masalah, mereka dengan gampang akan memanggil ahli lapangan yang mendukung ide tersebut, lalu membuat pertemuan serta melaporkan bahwa kurikulum mereka sudah dikonsultasikan dengan praktisi yang diundang, dan sudah ok. Titik.
Jika sudah ok, mengapa pak Wir nulis lagi, khan tinggal ditindak-lanjuti.
Pertanyaan yang menarik, saya nulis ini pasti ada yang beda dengan mas Mendikbud dan juga para birokrasi kampus. Baik kita lanjut dulu ya. Tindak lanjut dari adanya kebijakan Kurikulum Kampus Merdeka tersebut maka dihasilkan implementasi kebijakan real sebagai berikut.
Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka meliputi empat kebijakan utama yaitu: [1] kemudahan pembukaan program studi baru, [2] perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, [3] kemudahan perguruan tinggi menjadi badan hukum, dan [4] hak belajar tiga semester di luar program studi. Mahasiswa diberikan kebebasan mengambil SKS di luar program studi, tiga semester yang di maksud dapat diambil untuk pembelajaran di luar prodi dalam PT dan atau pembelajaran di Luar PT.
Menurut anda, menarik nggak itu. Positip atau tidak. Saya yakin, bagi kampus dimana para alumninya ternyata banyak bekerja di bidang yang berbeda dengan topik yang ditekuninya selama belajar dulu, maka itu ide menarik. Ini idenya mas Mendikbud banget. Maklum beliau belajarnya sekolah bisnis, dan usahanya adalah startup, yang menuntut variasi produk yang bisa beda-beda (kalau sama dengan yang lama maka namanya follower, iya khan). Dianggapnya dengan mahasiswa yang bisa mendapatkan ilmu dari berbeda-beda program studi, maka diperoleh wawasan yang positip. Ini pasti argumentasi yang digunakan mas Mendikbud di depan para birokrasi kampus, dan saya yakin nggak ada yang salah dengan hal itu. Betul khan.
Nah sekarang saya mau bertanya. Apakah kurikulum tersebut bisa diterapkan di Fakultas Kedokteran. Coba minta sekarang dengan kurikulum FK yang ada, suruh ambil 3 semester agar mahasiswanya kuliah di fakultas non-medis misalnya. Untuk kondisi seperti itu, apakah nanti lulusannya mau anda jadikan dokter keluarga. Pasti anda ragu khan. Bisa-bisa anda akan menganggapnya belum kompeten.
Itu berarti untuk Fakultas Kedokteran adalah tidak ada untungnya dengan adanya ide Kurikulum Kampus Merdeka.
Jika itu di FK, bagaimana dengan fakultas teknik, teknik sipil khususnya. Ini bisa berbeda-beda pendapat, bagi yang berlatar belakang manajemen konstruksi misalnya, maka adanya Kurikulum Kampus Merdeka adalah sangat bagus sekali. “Bagus sekali ide mas Mendikbud, jadi nanti kita bisa bekerja sama dengan fakultas bisnis dan fakultas hukum, agar mahasiswanya bisa mendapat banyak hal di sana“. Itu kata salah satu kolega saya. Nggak salah juga, bagi kontraktor maka ilmu manajemen keuangan dan kontrak bisnis konstruksi adalah penting.
Bagi seorang generalis seperti manajemen konstruksi maka bisa betul itu ide mas Mendikbud. Tetapi bagi seorang spesialis seperti saya ini, maka cara berpikir seperti di fakultas kedokteran akan lebih dominan. Jujur, saya ini berkecipung lama di dunia teknik sipil. Sebelum masuk kampus, saya ini adalah seorang praktisi, sebagai konsultan rekayasa hampir 10 tahun. Apa yang saya rasakan, bahwa untuk menjadi kompeten pada bidang tersebut maka yang penting adalah fokus dan menggelutinya secara intens.
Dari lima bidang ilmu teknik sipil, yaitu [1] geoteknik; [2] hidro; [3] transportasi; [4] manajemen konstruksi; [5] struktur. Saya hanya sanggup menguasai bidang ilmu struktur dan yang terkait. Itupun saya pikir belum tuntas, dan masih banyak yang harus saya gali lagi. Jadi kalau ketemu kasus permasalahan teknik sipil yang bukan bidang saya tersebut, maka saya arahkan ke ahlinya. Itu masih dalam scope ilmu teknik sipil lho.
Dalam kapasitas otak, saya ini termasuk golongan biasa, umumnya mahasiswa, nggak bawah dan nggak atas juga. Kalaupun saya bisa nulis yang aneh-aneh (yang orang lain tidak menuliskannya) maka biasanya saya harus bersikap holistik. Saya ini harus bersatu dengan alam, dan memintanya hanya sebagai medium untuk menyampaikannya ke masyarakat lain. Jadi isinya sebenarnya tidak hanya saya sendiri, tetapi ada hal lain. Itu alasannya mengapa saya berani menulis apapun yang saya anggap baik, bahkan sebelum saya punya gelar GB seperti sekarang ini. Dengan cara pikir orang biasa, dan selama ini bagaimana saya bisa menggeluti teknik sipil secara utuh saja ternyata tidak gampang. Lalu bagaimana jika dari awal belajarnya saja sudah disuruh untuk mempelajari hal-hal lain di luar bidang ilmu utamanya. Itu berarti tidak fokus dan saya yakin itu hasilnya bisa ambyar.
Dengan kata kunci tidak fokus tersebut maka saya ini termasuk orang yang yakin sekali bahwa kebijakan mas Mendikbud di atas akan membuat ambyar kompetensi s.d.m Indonesia di masa mendatang.
Salah satu nya juga ini. Bayangkan, keputusan untuk mengambil mata kuliah diserahkan pada mahasiswa, yang notabene sedang mencari bentuk. Mereka tentu akan cari yang populis dan mudah. Ini terjadi pada mata kuliah yang saya asuh. Saya yakin sekali bahwa mata kuliah yang saya asuh, misalnya Struktur Baja adalah relevan di dunia kerja. Nyatanya karena materinya sulit, itu tidak populer di kampus tempat saya mengajar. Sangat sedikit yang mau ambil skripsi ke saya. Saya sih senang-senang aja. Jujur saya sih bukan tipe dosen yang suka merayu mahasiswa untuk ambil topik yang jadi keahliannya.
Jika pak Wir tidak setuju, apakah ada ide yang sebaliknya dilakukan.
Saya bisa memahami, bahwa setiap ide tentu ada latar belakang yang membuatnya memang begitu. Mungkin bagi sebagian besar program studi, yang bersifat tanggung. Sori, saya tidak bisa menyebutkan hal tersebut. Tetapi kalau fakultas kedokteran adalah contoh program studi yang mantap dan tidak tanggung. Artinya mampu mandiri tanpa keilmuan lain. Teknik sipil juga menurut saya cukup mandiri, bahkan dengan ilmu struktur saja (belum semua ilmu teknik sipil) saya bisa bekerja secara profesional dan bisa berinteraksi dengan dunia akademisi maupun praktisi.
Untuk menjawabnya kita perlu tahu tujuan dari dibuatnya kurikulum kampus merdeka, yaitu:
Kampus merdeka diharapkan dapat memberikan pengalaman kontekstual lapangan yang akan meningkatkan kompetensi mahasiswa secara utuh dan siap kerja.
Proses pembelajaran dalam Kampus Merdeka merupakan salah satu perwujudan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning) yang sangat esensial. Pembelajaran dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan ril, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya.
Tujuannya bagus di atas kertas. Mahasiswa fakultas kedokteran tujuannya jelas, adalah praktik dokter. Oleh sebab itu program koskap setelah lulus teori adalah tepat. Itu juga karena dukungan semua rumah sakit, yang prosedurnya relatif standar.
Jika itu mau diterapkan di dunia teknik sipil. Apakah anda yakin praktik yang diterima mahasiswa (teknik sipil) akan sama disemua tempat. Saya sebagai dosen pembimbing Kerja Praktik, akan bilang “tidak”. Tiap-tiap proyek konstruksi ternyata berbeda. Oleh sebab itu jika kurikulum kampus merdeka akan diterapkan maka dipastikan pengalaman mahasiswa praktik di daerah dan di pusat (jakarta) pasti akan berbeda.
Juga alih-alih untuk mengambil tiga semester agar belajar di luar kampus, maka lebih baik dipersingkat saja kurikulum tersebut dan luluskan saja (jika dianggap sudah bisa terjun ke lapangan). Biarkan alumni tersebut memilih sendiri karirnya, apakah mau di dunia yang sama dengan tempat belajarnya dulu (dunia konstruksi) atau yang lain (jualan cofee, misalnya). Banyak lho alumni yang ternyata bekerja di luar bidang utamanya. Jika dikunci bahwa ada tiga semester yang harus dibebaskan, saya yakin sekali hanya PTN atau PTS tertentu yang bisa, dan banyak yang nggak bisa.
Dengan konsep tersebut kampus tidak dibebani oleh ide di luar kampus, yang banyak dari mereka sendiri tidak tahu. Siapa sekarang yang bisa menjamin situasi kerja proyek konstruksi bersifat standar seperti halnya situasi kerja di rumah sakit. Jangan berpikir, jika di FK bisa, lalu bisa juga diterapkan di FT. Ini pasti hanya orang yang tahu teori saja, tidak melihat praktik yang terjadi di lapangan.
Saya kira cukup dulu pembahasan ini. Jika tidak setuju dengan saya, janganlah dibuat serius. Ini hanya sekedar implementasi kemerdekaan dosen untuk berpikir. Iya khan.
Setuju banget pak Wir bahkan dengan kondisi sekarang yang sudah di fokuskan, ketika mahasiswa terjun ke dunia lapangan kerja maka masih banyak hal baru yang harus dipelajari dan diasah skillnya. Apabila dibuat tidak fokus seperti itu maka akan menghasilkan banyak lulusan yang kesannya kurang matang secara fundamental.
Kalau sudah seperti itu bagaimana dengan SDM teknik sipil kedepannya dimana dalam dunia proyek dituntut untuk SDM yang kompeten dan persaingan dengan engineers luar negeri yang secara teknologi dan pengetahuan lebih matang.
Salam kenal pak WIr saya pembaca dan pengagum karia bapak. Sangat membantu dalam proses perencanaan struktur.
SukaSuka
Terima kasih atas tanggapannya pak Kenny.
Saya di awal banyak berharap, dengan adanya kepemimpinan baru dari “luar” maka diharapkan dapat memberikan nafas segar dan gebrakan positip bagi kemajuan pendidikan kita. Ternyata gebrakan tersebut memang mengejutkan, saya saya sendiri tidak memahami mengapa itu bisa diusulkan.
Que sera sera
Whatever will be will be
SukaSuka