Meskipun kata orang, kebijakan pak Daoed dulu ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978 – 1983), banyak yang tidak menyukai. Tetapi dengan berjalannya waktu, yaitu setelah beberapa kali membaca tulisan-tulisan beliau di buku maupun artikel koran, aku merasa bahwa pendapat itu tidak benar. Kalaupun ada yang tidak menyukai, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah orang-orang yang merasa rugi secara langsung dengan adanya kebijakan yang dibuat.
Dari setiap ungkapan tulisan yang beliau buat, aku dapat berkesimpulan bahwa keputusannya waktu itu (ketika jadi Menteri) tentulah karena suatu maksud yang mulia, dan hanya bisa diterapkan jika kebijakan tersebut dibuat.
Kalau tidak salah, kebijakan beliau yang kontroversial adalah pelarangan organisasi politik di dalam organisasi kampus. Jadi sejak itu, yang namanya HMI, GMNI, PMKRI berada di luar kampus. Meskipun mahasiswa sebagai pribadi tidak dilarang ikut organisasi tersebut, tetapi tidak boleh secara terang-terangan organisasi tersebut terlibat langsung dalam kegiatan kampus. Oleh karena itulah, maka dapat dimaklumi jika orang-orang yang berkepentingan dengan adanya organisasi-organisasi tersebut pasti tidak menyukainya.
Kasus di atas juga dapat dijadikan bukti, bahwa untuk berani mengambil sikap maka harus berani pula menerima kenyataan bahwa tidak semua orang akan suka dengan sikap yang diambil tersebut.
Dari sering-seringnya membaca tulisan beliau dan juga sering-seringnya mendapatkan suatu wawasan berpikir yang baru, maka jika ada tulisan beliau yang baru maka pastilah aku usahakan untuk membacanya secara cermat. Maklum bukunya “Emak” serta “Dia-dan-Aku” telah menjadi penghuni perpustakaanku. Menurutku buku “Emak” tidak kalah dahyatnya dibanding buku “Laskar Pelanginya Andrea Hirata”. Buku tersebut juga mengandung nilai-nilai luhur yang diperlukan untuk pencerahan bagi anak-anak muda. Sayang, waktu muda dulu aku tidak sempat membaca buku tersebut, coba kalau aku baca, pasti jalannya akan lain.
Dengan latar belakang berpikir seperti itu, maka ketika tanggal 1 Juni 2011 kemarin, ketika ada artikel karangan beliau di Harian Kompas berjudul “Pancasila di Zaman Edan” maka langsung aku koleksi. Tidak sekedar dibaca, tetapi perlu aku lestarikan melalui blog ini. Sayang sekarang kompas.on-line-nya berbayar sehingga kita tidak bisa membaca via internet. Ini ada potongan kecil artikel tersebut.
Ulasan beliau tentang sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang maha Esa, benar-benar luar biasa. Terus terang kalimat-kalimat yang beliau susun mirip benar dengan pemikiranku selama ini, meskipun demikian aku berpikir seribu kali untuk menuliskannya. Maklum nanti bisa dikatakan SARA, karena itu menyangkut agama masyarakat banyak. Hebatnya tulisan pak Daoed adalah meskipun beliau adalah muslim dan dari Aceh lagi, yang dulu sampai-sampai disebut sebagai daerah serambi Mekah, tetapi uraian yang beliau ungkapkan tidak ada perbedaan dengan pemikiranku tentang agama yang tentu berlatar belakang kristiani.
Inilah tulisan beliau yang dimaksud :
. . . Kalau kita meragukan Pancasila, tak percaya pada “vertu” ini sebagai pegangan individual dan kolektif dalam menempuh kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, mengapa ia tidak “dibuang” saja ? Ternyata tidak dan inilah kemunafikan kita. Kemunafikan ini yang selama ini menodai pesan-pesan idiil Pancasila.
Silanya yang pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, kita biarkan direduksi menjadi Keagamaan Yang Maha Esa dan ukuran “keesaan” itu adalah besarnya jumlah penganut. Kita biarkan penguasa negara melakukan pembiaran terhadap pemaksaan dari kelompok-kelompok yang mengklaim berstatus mayoritas. Tidak sedikit kebijakan pusat dan daerah yang diskriminatif dan melanggar kebebasan beragama, bahkan lebih-lebih, hak asasi manusia, seperti perda-perda syariah. Pengesahan qanun jinayat di Aceh bahkan bersifat inskontitusional.
Padahal, Ketuhanan YME adalah nilai final, sementara agama, dalam konteks ini, merupakan nilai instrumental, yaitu jalan/cara menyadari keberadaan Ilahiah. Sedangkan agama bukan satu-satunya jalan/cara tersebut. Uraian ilmiah dari astrofisika bisa juga menjelaskan hal itu melalui nalar (akal, reason). Ilmu pengetahuan, termasuk astrofisika, adalah hasil dari penerapan nalar. Berhubung nalar ini adalah nalar human, ia adalah satu nilai yang ternyata bisa berfungsi instrumental bagi usaha penyadaran kehadiran Ilahiah dalam kehidupan di alam semesta.
Dengan kata lain, penggunaan nalar dalam konteks penegakan iman tak kalah efektif, bahkan jauh lebih mencerminkan kemanusiaan yang beradab, daripada penggunaan cambuk dan alat-alat kekejaman lain. Penggunaan ilmu pengetahuan dan pengaktifan nalar (akal) jelas tersirat dalam kelima ayat Surat Al-‘Alaq yang merupakan rangkaian wahyu Ilahiah pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Begitu penting sampai 33 kali dalam keseluruhan Al Quran dan kata-kata yang diturunkan dari akal sampai 30 kali tersebar dalam berbagai ayat.
Luar biasa. Dari uraian beliau di atas, saya bisa melihat keagungan dari agama yang dianut oleh bapak Daoed Joesoef. Saya yakin sekali, bahwa jika banyak orang-orang lain yang mengaku beragama sama dengan pak Daoed mempunyai persepsi yang sama dengan beliau, maka benar-benar agama tersebut akan menjadi rahmat di dunia ini. Jika itu terjadi maka tidak ada bedanya dengan agama atau cara yang aku yakini, yaitu untuk menjadi berkat bagi sesama dan kemuliaan nama Tuhan Allah Bapa di Surga.







Tinggalkan komentar