Menarik sekali judul di atas, menjadi pertanyaan (?) atau pernyataan (!) . Menurut anda bagaimana. Anda pilih yang (?) = tidak setuju ; atau yang (!) = setuju. Tentu ada argument yang mendasari setiap jawaban tersebut. Meskipun nuansa di atas tentu saja sangat politis, tetapi karena ada kaitannya dengan ‘sarjana’ yaitu produk dari pekerjaan formalku sehari-hari yaitu dosen, maka tentu topik tersebut relevan untuk dibahas.
Siapa sih yang ngusulin. Terus terang koq, pertama kali sebenarnya aku tidak tertarik membaca lebih lanjut topik tersebut (nggak bermutu 😦 ), tetapi karena beberapa kali topik tersebut muncul di koran, maka aku jadi ingat, khususnya judulnya itu, yaitu “president harus sarjana”.
Tapi untung, tadi pagi koran Kompas menyatakan bahwa ketua MK (bapak Jimly A.) tidak mendukung persyaratan tersebut, juga bapak president sendiri. Syukurlah, aku juga sependapat. 🙂
Memang aneh, tetapi usulan tersebut dapat menjadi bukti bahwa bangsa ini hanya menekankan pada yang nampak dari luar saja. Embel-embelnya saja. Seperti identik dengan kriteria orang sukses saat ini yaitu orang yang tampilannya wah, punya rumah besar, mobil mewah (plus sopir dan lebih dari satu lagi) dll yang kelihatan dari luarnya saja, tanpa melihat darimana atau bagaimana itu semua dapat diperoleh. Nyuap sana, nyuap sini, atau korupsi, nggak perduli, nggak malu. Apalagi kalau orang itu udah nyumbang ‘sesuatu’ ketempat ibadat atau orang-orang lain.
Lho, sarjana koq dibandingin dengan rumah mewah, mana kesamaannya ?
Ya, ya, sebentar-sebentar. Prinsipnya, pembuat syarat tadi tentu ingin atau berharap bahwa president terpilih ini adalah orang yang ‘mampu’ , yang ‘lebih’, yang ‘tidak biasa’ atau ‘istimewa’. Fenomena punya rumah besar dan punya mobil mewah khan juga menunjukkan ‘mampu’ dsb-nya itu khan. Jadi dalam hal ini, sarjana adalah orang yang ‘mampu’ , orang yang ‘istimewa’. Nggak peduli sarjana apa dia, dari mana sarjananya, lulusnya gimana, ip-nya juga, yang penting ‘sarjana’.
Perusahaan saja, sewaktu membuka lowongan pekerjaan bagi sarjana, perlu melihat sarjana apa yang diminta. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan bidangnya, misalnya perusahaan konstruksi : perlu orang di lapangan, maka dicari lulusan S1 teknik sipil, sedangkan jika S1 sastra yg nglamar tentu nggak ditengok, kecuali jika mereka perlu penerjemahan dsb. Artinya, sarjana jika dikaitkan dengan ‘mampu’ atau lebih tepatnya kompetensi, maka harus dilihat bidang ilmu yang ditekuninya.
Kalaupun ada yang berpendapat bahwa sarjana bisa dimana saja, atau lebih siap dari pada non-sarjana tentu dengan asumsi bahwa yang bersangkutan terbukti (dengan ijazah) mempunyai kemampuan belajar dan menguasai sesuatu.
Tapi, kalau soal itu sih tergantung individu. Nggak sekolahan (karena nggak punya duit misalnya anak orang miskin kecil di daerah), tetapi cerdas dan mau belajar lagi, juga bisa koq. Nggak perlu sarjana !.
Dengan analogi di atas, dan juga tidak adanya S1 bidang ilmu ‘president’ maka tidak relevanlah persyaratan president harus SARJANA.
Menurut saya, Presiden haruslah seorang Engineer dan berjiwa Engineer..
Syallom..
SukaSuka
Presiden itu haruslah orang yang TAKUT AKAN TUHAN, biarpun tidak sarjana , tapi HIKMAT TUHANlah yang akan membimbing sang Presiden untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
SukaSuka