Suatu kalimat pendek dan sederhana yang banyak dipakai orang kita Indonesia untuk menunjukkan bahwa dia mampu ! Bisa juga kalimat itu seperti ini : Lihat saja hasilnya !
Kenapa pak Wir ingin membahas tentang kalimat itu ? Apanya sih yang menarik, itu khan biasa aja dan cukup positip, nggak bertele-tele. Khan sudah benar pak !
Yah, saya kira nggak semudah itu menjawabnya. Ya atau tidak.
Kesan positip di kalangan kita tentang “yang penting hasilnya” memang bisa saya maklumi, tetapi karena peristiwa tadi sore di ujian Bahasa Pemrograman jadi bahan pemikiran lagi.
Ceritanya begini : Seperti biasa, kasus ujian kepada mahasiswaku adalah penyelesaian kasus. Soal multiple choice biasanya aku hindari. Dalam penyelesaian kasus tersebut, biasanya mahasiswa aku bebaskan untuk Open Books. Silahkan aja, tapi harus mandiri. Kasus yang aku pilih sederhana-sederhana saja, yang penting mahasiswa tahu basic-nya. Juga agar dapat diperiksa cepat. Jika demikian harapannya, murid-murid banyak yang lulus gitu.
Karena soalnya pemrograman, dan waktunya pendek (100′). Maka aku bantu dengan menampilkan rumus matematik yang akan digunakannya. Kasusnya hanya satu, tetapi pertanyaannya aku bagi menjadi tiga tahap, dengan maksud agar membantu mahasiswa berpikir sesuai maksud soal tersebut.
Pertanyaan pertama atau ke-1 (bobot 20%) , saya suruh mengaplikasikan rumus matematik dengan cara manual sehingga dapat dihasilkan jawaban numerik dari kasus tersebut.
Kemudian setelah itu, yaitu pertanyaan ke-2 (bobot 20%) saya suruh memikirkan cara-cara memindahkan kasus manual tersebut ke komputer. Untuk itu apa saja yang diperlukan langkah-langkahnya, tepatnya algoritma atau flow-chart yang diperlukan.
Akhirnya, pertanyaan utama atau pertanyaan ke-3 (terakhir) (bobot 60%) adalah implementasi pada pemrogramannya. Langsung di laptop mahasiswa tersebut. Jadi kalau mereka sudah banyak latihan, pasti laptopnya sudah siap.
Karena pertanyaannya juga komprehensif maka dengan demikian diharapkan ada benang merah pemikiran dalam penyelesaian tiap-tiap pertanyaan pada soal tersebut. Yah kelihatannya cukup ideal, dan pasti banyak yang bisa dong ?
Eh ternyata tidak, dari 24 mahasiswa hanya 5 yang jelas dapat menyelesaikan soal 1 dan 3. Jadi minimal dapat (80%) dan hanya 1 orang yang dapat menjawab soal 2 jadi dapat 100%. Yang lain ternyata nyerah. Jadi intinya yang lolos kualifikasi pemrogram hanya sekitar 20% saja, sisanya masih level operator (tukang ketik di komputer aja).
Terus terang kecewa berat. Padahal dalam pengajaran mata kuliah Bahasa Pemrograman aku udah bikin bukunya lho setebal 300 halaman memakai bahasa Visual Basic. Sudah cukup banyak bukti bahwa banyak yang bisa karena membaca buku itu saja. Selain itu dalam mata kuliah pemrograman ini sudah ada asisten dosen untuk sessi latihan. Dengan latar belakang pemikiran seperti itu, maka dalam pengajaran aku kasih materi yang beda dengan maksud melengkapi bukuku. Toh buku dapat dibaca sendiri.
Eh ternyata, kenyataannya nggak ada yang baca buku, hanya mengandalkan latihan yang umumnya sesuai dengan petunjuk. Jadi ketika dikasih contoh kasus yang harus mikir penyelesaiannya maka jadi mlempem.
Ok, jadi kembali ke hasil.
Jadi inti dari soal yang aku berikan untuk ujian kemarin adalah agar mahasiswa dapat menerjemahkan rumus matematik ke komputer. Untuk itu sebenarnya udah pernah dipakai untuk latihan, hanya saja jelas nggak sama persis. Ada algoritma tertentu yang harus diikuti memakai keyword FOR-NEXT.
Agar menjadi suatu kasus maka algoritma di atas aku kaitkan dengan masalah analisa struktur, dan agar dapat dihitung manual maka bentuknya sederhana. Intinya agar masalah analisa struktur tersebut dapat dibuat dengan algoritma yang aku maksud dengan for-next tadi. Jadi jawaban no.1 nanti pasti ada hubungannya dengan no.3, tidak hanya hasil yang menjadi acuanku tetapi proses untuk mencapai hasil tersebut.
Eh, ternyata ada yang bisa menerjemahkan rumus yang kuberikan, lalu mencari hitungan analisa struktur dengan caranya sendiri (tidak sesuai dengan algoritma yang aku harapkan). Hasilnya sih sama. Jadi waktu aku terangkan bahwa jawaban tidak sesuai dengan algoritma seperti jawaban soal no.1 dianya nggak terima.
Catatan : aku memang memberi strateji khusus dalam penilaian, yaitu langsung dinilai ditempat, karena ini praktek langsung di depan komputer.
Intinya mahasiswa nggak terima, nggak masalah apakah jawaban no.1 dan no.3 nggak ada hubungannya khan yang penting hasilnya sama ! Titik.
Pokoknya hasilnya SAMA. Titik. Gimana sih pak Wir ini. Ini khan kreativitas pak.
Wah susah dengan orang seperti itu. Nggak bisa, tapi ngotot.
Akhirnya aku bertanya. Ini sudah baca soal ? Ya pak, sudah.
Lalu ini di soal ada rumus matematik petunjukkanya bukan ? Ya pak.
Lalu sudah kamu buat implemantasi manualnya bukan ? Ya pak. Di Soal no.1
Lalu apakah soal no.1 itu sudah kamu terjemahkan ke aplikasi pemrograman ? Wah, tapi yang penting hasilnya SAMA pak.
Jadi anak ini memang benar-benar : manusia yang berorientasi pada hasil. Nggak peduli proses yang ditempuhnya, apakah sudah sesuai spek yang diminta atau belum.
Akhirnya jawabanku adalah, memang benar sih nilai angka yang keluar sama, tetapi anda tidak mengaplikasikan rumus pada soal 1 pada pemrograman tersebut bukan. Kalau begitu anda tidak menjawab soal dari saya. Anda membikin jawaban dari pertanyaan anda sendiri yang kebetulan nilai numeriknya sama dengan soal yang aku berikan.
Jadi aku tolak jawabannya.
Terus terang dalam proses pengajaran, aku lebih mementingkan proses pengerjaannya, dari situ aku bisa menarik kesimpulan mengenai proses pemikiran yang dilakukan. Karena dalam konsep “yang penting hasilnya” itu kadang-kadang sangat berbahaya. Lho koq begitu pak ?
Orang-orang kita itu khan seperti itu, dalam satu sisi, kita dikenal mahluk relijius, yang taat pada Tuhannya, selalu tepat waktu dalam berdoa (bersembahyang) dll. Tapi kenyataan apa yang terjadi, kadang-kadang apa yang dilakukan dalam prakteknya nggak ada hubungannya. Itu mungkin juga akibat budaya “yang penting hasilnya”. Banyak peristiwa yang menyertainya, misal :
- Beragama, yang penting khan hasilnya yaitu setiap minggu aku ke gereja.
- Sekolah, yang penting hasilnya, yaitu GELAR. Kalau bisa beli aja gelar tersebut.
- Kaya, yang penting hasilnya yaitu kaya, punya rumah, punya mobil baru. Jadi korupsi juga nggak masalah (kalau bisa). Nggak perlu malu, lebih malu kalau miskin atau bekerja keras dari bawah sehingga pulang pergi ke tempat kerja harus pakai bis.
- Lulus ujian, nggak perlu itu belajar yang penting khan hasilnya. Nyontek juga boleh asal tidak ketahuan. Nyontek atau nggak nyontek kalau hasilnya jawabannya sama, gimana? Khan lulus bukan? Asal nggak ketahuan.
O ya, ada cerita menarik di ujian tersebut.
Karena ujian praktek langsung di komputer, ada anak yang aku amati selama ujian tersebut hanya nengok kanan-kiri dan komputernya kosong (nggak ada yang dia kerjakan).
Ketika selesai karena waktu udah habis maka pada rubung-rubung mengumpulkan jawaban. Eh si anak ini dengan tanpa dosa maju ke depan bawa laptopnya mau menunjukkan bahwa dia bisa mengerjakan soal tersebut.
Heran juga, eh tapi terlihat ada juga usb nempel. Ketika aku copot usb-nya lalu aku suruh dia tunjukkin hasilnya. Dia berlagak pilon. Nggak bisa dan nggak jadi nunjukkin hasilnya.
Wah sudah ketemu satu mahasiswa yang punya attitude perlu pengawasan. 😦
Padahal sebelum aku cabut usb-nya, aku bertanya dulu : Ini betul pekerjaanmu sendiri. Tolong jawab sejujurnya. Dianya mengangguk mantap.
Aku hanya bisa geleng-geleng. Ini di UPH lho, gimana ditempat lain. Moga-moga lebih baik ya.
Angkatan 2007 Jurusan Teknik Sipil UPH saat UTS di Lab Komputer, meskipun demikian komputer gedenya nggak dipakai ! Kenapa ? Karena para mahasiswa UPH udah punya pc-tablet semua. 😀
Catatan : laptop dosennya saja kalah canggih dengan punya mahasiswa. 😦
Bukankah ini masih proses, hasilnya tercipta manusia yang bermanfaat bagi sesama dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari apa yang ada di kitab dan dalam khotbah.
SukaSuka
Betapa sayang sekali !!!!
Melihat sharing dari Pak Wir, sangat menyayangkan ya anak UPH, dah punya laptop super tapi cuman dipakai ngenet ama ngegame macam DOTA or Ragnarok, he5.
Tapi ternyata, di kampus saya juga sama.
Pak Wir, mau sharing juga apakah generasi baru Indonesia akhir2 ini sudah jenuh sehingga agak kurang mau berusaha. Jika dilihat dari yunior2 saya, jujur kemampuan mereka untuk berkembang sangat kurang. Mereka terlalu berpatokan pada modul dan catatan kuliah dari dosen (termasuk contoh2 soal). Susah sekali jika meminta mereka untuk mencari atau membaca buku2 literatur yang lain. Alhasil, jika diberi soal yang berbeda dengan contoh soal di modul pasti pada kelabakan.
Ironis bagi saya, apalagi bila melihat kondisi ekonomi mereka yang jauh lebih baik dari teman2 angkatan saya ke atas. (Jadi ingat ketika dulu harus berburu buku bekas bahkan sampai ke Malang). Apalagi sebenarnya raw material mereka cukup bagus, lha wong pakai saringan SPMB.
Apakah ini juga terjadi di kampus2 lainnya, semoga tidak lebih parah, sebab bagaimana masa depan keteknik-sipilan di Indonesia jika semua engineer cuman mencontoh yang telah ada tanpa mau menelaah lebih jauh apalagi mengembangkannya.
Salam damai,
SukaSuka
Wah, saya salah satu mahasiswa yang ikut ujian tersebut, dan masuk kategori yang masih level operator 😦
Tadi saya mencoba lagi membuat pemograman tsb di rumah, ternyata jawaban dari soal tersebut sangat simpel (hanya butuh 3 baris), namun apabila tidak memahami konsepnya akan terlihat sangat sulit (seperti yang terjadi pada saya di ruang ujian).
Moga” hal tersebut tidak terulang lagi di UAS.
Untuk Pak Andreas Bambang, hanya ingin meluruskan saja, anak UPH yang menggunakan laptop hanya untuk main game sangat kecil persentasenya, penggunaan laptop dalam pembelajaran cukup efektif koq, jadi jangan di generalisasi. 🙂
Thx
SukaSuka
Di dunia kerja banyak juga yang berprinsip “yang penting hasil akhirnya”.
Akhirnya jika ada suatu kegagalan di hasil akhir, mereka akan kebingungan tahap-an mana yang membikin gagal.
Hal ini tidak berlaku jika perusahaan tsb mempunyai SOP yang baik (misalnya ISO ).
Ibaratnya orang buat roti, perlu dipersiapkan dapurnya, resepnya, kebersihannya, dll, sehingga rasa roti yang dihasilkan akan konsisten selalu enak.
SukaSuka
Salam kenal.
http://www.alatsurveycenter.com/
SukaSuka
Salam Pak Wir..
Mau urun pendapat masalah ini.
Terlebih dahulu saya permisi sama Pak Wir, yang sudah master di bidang pemrograman.
Saya sendiri juga aktif di bidang pemrograman sebagai salah satu anggota professional vba excel developer.
Memang spesialisasi saya hanya sebatas macro – macro di VBA Excel, tapi sepertinya setiap bahasa pemrograman mempunyai
basic yang tidak terlalu berbeda.
Saya ada sedikit perbedaan pendapat dengan Pak Wir.
“Ada algoritma tertentu yang harus diikuti memakai keyword FOR-NEXT”
Kalau saya pikir tidak ada suatu keharusan mengikuti suatu statement tertentu dalam pemrograman,walaupun ada yang
disarankan untuk digunakan,khususnya dalam kasus looping. Apalagi dengan perkembangan bahasa pemrograman yang sangat cepat.
Saya sendiri seringkali mereview ulang program yang saya buat sambil nyalain timer digital di komputer untuk tau seberapa cepat
program saya berjalan sampai ketemu hasil yang diinginkan dengan tingkat ketelitian yang cukup.
Untuk itu kadang looping yang saya buat bisa berubah agar lebih efektif dan efisien (atau malah ga perlu looping?)
Mungkin maksud Pak Wir untuk kasus mahasiswa Pak Wir ini, memang sangat tidak efisien dalam menulis programnya ya?
Saya memang tidak mengetahui kasus soalnya seperti apa..Apa memang harus pake For- Next?Mungkin juga..
“tidak hanya hasil yang menjadi acuanku tetapi proses untuk mencapai hasil tersebut”
Nah..Kalo ini saya setuju buangettt sama Bapak!!
Kalo hasilnya sama tapi selesainya besok ya sama juga ga kepake dong programnya..
Tidak bermaksud menggurui lho Pak Wir.. 🙂
Hanya ada perbedaan pendapat
Terima Kasih..
Wassalam
Wisnu Kusumoaji
SukaSuka
Ah asyik ada banyak peminat pemrograman Macro VB di blog ini. Memang VB memberikan banyak fungsi-fungsi yang berguna cuma kalau sudah masuk numerik saya sendiri kembali belajar metoda2 yang ada yang rata2 dibuat di FORTRAN dan diterjemahin ke VB..sayangnya sering gagal hehehe. Untuk Looping memang paling bener kita susun sendiri sedetail mungkin dengan semua kondisi yang ada atau ngikutin algoritma yang udah dibuat org, di jurnal2 banyak juga tuh dan menurut saya efektif cuma belajarnya aja mumet..
Kebanyakan masalah numerik struktur ini fungsinya eksplisit sih jadi trial and error atau iterasi..disinilah gunanya belajar metoda numerik.
SukaSuka
Salam,
Mau berbagi sedikit pengalaman. Dulu waktu masih sebagai mahasiswa tahun pertama, yang benar2 baru dengan dunia programming (waktu SMU hanya kenal Word, itupun karena ada tugas makalah) sempat iri dengan anak2 lain yg sudah lancar menggunakan komputer maupun programming.
Untungnya dosen yang mengajarkan Algoritma Pemrograman 1 (Dasar2 pemrograman, dimulai dr logika, pengenalan flowchart, dll) sabar dan pandai dalam mengajar. Awalnya kita nga langsung di ajarin bahasa pemrograman ttn, tetapi dikenalkan dengan logika penghitungan, pembuatan flowchart, pseudo code, barulah diperkenalkan dengan bahasa pemrograman (Pascal waktu itu).
Waktu itu, banyak perhitungan2 sederhana yang dijadikan contoh untuk dibuatkan flowchart dan pseudo code nya, seperti mencetak bilangan ganjil atau genap, bilangan fibonacci, perhitungan keliling dan luas suatu bentuk, dll.
Saya bersyukur, penjelasannya yang diberikan disampaikan dengan baik, dan banyak contoh yang diberikan (baik di kelas maupun di lab), yang ternyata membantu sampai saat ini. Maksud saya, jika basicnya (logika) kuat, akan sangat membantu di tingkatan atas.
Sebagai mahasiswa, sering ngalamin dimana waktu terasa nga cukup untuk menyelesaikan ujian (tekanan, perlu konsentrasi tinggi, dan kalau sudah memilih 1 cara harus dituruti sampai selesai, karena kalau mengubah caranya bisa-bisa nga selesai tepat waktu). Padahal selama prakteknya (praktikum, pr, latihan), seringnya saya mengubah metode di tengah2 jalan, karena baru terpikir metode yang lebih baik.
Jadinya, saya menganut paham “banyak cara menuju Roma” dalam programming. Menurut saya, nga ada cara yang benar2 BENAR dlm pemrograman. Entah mau menggunakan if, repeat.. until, while.. do.., for.. do.., selama logikanya benar (walaupun agak sedikit berputar) karena mungkin hanya itu yang terpikir saat itu (terbatasnya waktu, kurang pengalaman, dll).
Namun untuk kasus seperti, sim salabim, hasilnya keluar, jawabannya sama, tapi cara mendapatkannya nga jelas, itu baru masalah… 😀
Atau untuk kasus mencontek program teman dan cuma mengganti nama variabel (bahkan ada yg nga mau susah mengganti apapun, sama persis) itu masalah juga…
Yah pokoknya pesan saya, selagi masih jadi mahasiswa, banyak2 belajar & mencoba. Sudah menjadi rahasia umum, kalo ada kesenjangan antara apa yang di pelajari selama kuliah dengan apa yang dikerjakan di lapangan (di dunia IT, nga tahu dengan yg lain)
GBU
— “If you can’t beat your computer at chess, try kickboxing.” (Anonim) —
SukaSuka
saya mo koment dikit, walau pun ga nyambung…… OOT…
bagi saya kuliah itu perlu perjuangan yang sangat berat, Saya mahasiswa Teknik Elektro, karyawan di perusahaan swasta, bapak dari seorang anak dan suami dari seorang istri. Untuk datang mengikuti proses perkuliahan, Ujian atau mengerjakan tugas-tugas selalu berbenturan waktu dengan kepentingan pekerjaan dan keluarga, belum lagi masalah dana.
Walau hasil ujian saya Nol besar dan banyak yang tidak lulus, tapi buat saya, itu hasil yang optimal. yang gagal akan saya ulangi lagi prosesnya di waktu yang akan datang, yang penting tetap berusaha dan tetap semangat
SukaSuka
anak bawang, cuma pengen tau lebih banyak, tolong kirimin artikel2 IT yang baru, makasih
SukaSuka
isinya belum sempat baca semua, tapi kayaknya bagus.
SukaSuka