Kembali suci, merupakan inti pentingnya lebaran bagi teman-teman kita muslim. Bahwa itu patut dirayakan karena diperlukan usaha dan tekad yang keras, serta disiplin selama satu bulan penuh dengan melakukan puasa. Jika berhasil bahkan banyak yang menyebutkannya sebagai suatu ‘kemenangan’, yaitu menang melawan hawa nafsu.
Dampak positip adanya lebaran adalah adanya budaya halal-bihalal, yaitu acara maaf-memaafkan pada hari tersebut atau juga sesudahnya. Itu menjadi media ampuh untuk selalu melestarikan silaturahmi antar sesama, apalagi ditambah dengan konsep zakat fitrah. Silaturahmi juga dapat berarti sebagai bakti kepada orang tua (sesepuh) pada acara lebaran karena biasanya dilanjutkan dengan tradisi sungkem (ini pengalamanku sewaktu kecil dulu di Yogyakarta). Hal-hal seperti itu menurut saya hebat sekali dan merupakan bukti praktis mengetrapkan konsep kasih yang telah Tuhan Yesus Kristus perintahkan kepada kita.
Aku memberikan perintah baru ke pada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi. (Yohanes 13:34-35)
Sedangkan konsep sungkem kepada orang tua atau sesepuh yang ditunjukkan oleh masyarakat muslim di Indonesia yaitu dengan acara mudik, juga merupakan bukti praktis bagaimana mereka ‘memberikan waktu khususnya‘ kepada orang tua. Bisa datang secara mandiri menengok (sungkem) ke orang tua sekaligus bersilahturahmi dengan sesama saudara merupakan ‘bukti nyata dampak positip‘ adanya lebaran tersebut. Itu juga merupakan sarana nyata untuk melaksanakan perintah Tuhan juga.
Hormatlah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu. (Keluaran 20:12)
Hal-hal seperti itulah yang memotivasi kami sekeluarga setiap menyambut lebaran. H-3 sampai H+3 kami khususnya juga untuk meluangkan waktu mengikuti tradisi mudik, yaitu ke Yogyakarta bertemu dengan saudara-saudara dan tentu saja orang tua secara khusus.

monumen khas Yogyakarta, di ujung Malioboro, depan kantor pos besar Yogyakarta, foto mudik lebaran 2007
Terima kasih kepada teman-teman muslim yang mengadakan acara lebaran, sehingga kami sekeluarga juga dapat menikmati makna positip yang ada.
Untuk itu juga diucapkan mohon maaf lahir batin semoga Tuhan memberi rahmat dan berkatnya.
Amin.
<up-dated>
Hari Minggu atau hari ke-2 Lebaran , kami sekeluarga besar juga merayakannya bersama-sama di Gereja Katolik Kotabaru, Yogyakarta. Nostalgia masa kecil, jika dulu hanya dengan orang tua saja tetapi sekarang bisa bersama-sama dengan istri, anak dan ponakan-ponakan, tidak lupa juga pakde dan budenya anak-anak.
Tidak terasa, eyangnya anak-anak yaitu eyang R.A Kresman (berkaca mata berbaju hitam) sudah berusia lanjut (79 tahun), hidup rasanya sekejap saja.
Ini foto keluarga kami saat pulang gereja, anakku menyebutnya bahwa ada bude Ganik, eyang kakung Kresman (papi), eyang putri Kresman (mami) membungkuk, bude Yuli, Agatha-Harry (anak-anakku), Putri (anak kecil baju pink) dan bapaknya pakde Totok (memegangi kepala), nggak kelihatan Alin ponakanku (putrinya bude Ganik) yang barusan masuk kuliah di FK Unair (tertutup pakde Totok).

Foto diambil ketika mereka terpaku di depan pintu selatan Gereja Kotabaru pada sesosok tua mbok-mbok. Sebelumnya, seperti biasa anak-anak minta uang receh, dikiranya pengemis tua, yang biasa juga ada selepas misa di gerejaku di Bekasi. Eh ternyata ini lain, meskipun sama-sama tua dan renta tetapi ternyata ibu tersebut tidak mengemis, tetapi berjualan Bawang merah (Brambang). Jadi pada mborong dagangannya, meskipun lebih mahal dari biasanya. 😀
Meskipun sudah renta, tetapi semangat mandirinya hebat. Tegar dan punya harga diri. Itukah profil sejati orang Jogja ?







Tinggalkan komentar