Dua kata yang mungkin mempunyai interprestasi yang berbeda pada setiap orang, tergantung caranya memandang (apa keuntungan baginya).
Jika era sekarang dapat dikatakan demokrasinya lebih baik dibanding era orba, apakah itu ada korelasinya dengan kesejahteraan penduduk ? Mana yang lebih penting, kesejahteraan atau demokrasi ?
Bagi orang-orang yang diuntungkan dengan adanya demokrasi, jelas akan menyatakan bahwa demokrasi adalah sama dengan kesejahteraan ! Jadi yang penting adalah demokrasi dulu, baru setelah itu kesejahteraan akan ada. Pepatah tersebut tentu menjadi spirit utama bagi calon-calon yang mengikuti pilkada. Anda termasuk ?
Koq bisa gitu ? Jelas bisa ! Kalau nggak percaya kita baca kutipan pernyataan wapres :
dengan sistem pemilu nasional yang bisa sampai tiga kali, 33 pilkada untuk gubernur, 460 pilkada untuk bupati / walikota, setidaknya akan dikeluarkan biaya, baik untuk pemilu maupun kampanye para calon sekitar Rp 200 trilyun.
[Source: Kompas, Kamis 24 Januari 2008]
Itu khan angka yang menunjukkan dengan jelas harga sebuah demokrasi. Jelas itu tidak sedikit, jadi karena adanya demokrasi itulah maka ada perputaran ekonomi.
Lho pak, tapi kenapa dikoran-koran masih ada berita bahwa ‘masyarakat mulai ganti beras dengan umbi-umbian‘, ada cerita tentang ‘menggadai barang terakhir‘, dll.
Politikus: “Ha, ha, ha, itu mungkin karena mereka tidak tahu tentang demokrasi !” 🙂
Wir, si guru yang lugu dan yang nggak tahu menahu soal demokrasi : ?!? 😦
Wir mikir dalam hati. “Pantes di Bekasi ini, minggu-minggu ini ada-ada orang yang telanjang dada, diwarnai pewarna kuning-kuning, atau hijau-hijau, atau biru-biru, yang wira-wiri naik motor bawa bendera. Gimana lagi, karena memang ada ‘kesejahteraannya’ sih“. 😆
mahal juga ya pak “harga” sebuah demokrasi….
hiduplah Indonesia Raya 😦
SukaSuka
coba kalau duit segitu digunakan untuk membiayai sekolah, waahh… keren tuh….
SukaSuka
p wir,
kl sekarang aparat negara atau politisi nya berlomba2 untuk mengeruk duit rakyat sebanyak-banyaknya, ya jelas.. lah wong orangnya kebanyakan adalah muka2 lama yang dulu juga didikan sang jenderal besar.. salah satu kegagalan reformasi adalah : terhenti hanya sampai ketika terjadi pergantian presiden, namun tidak dilanjutkan dengan merombak total rejim yang berkuasa tersebut. makanya presiden sekarang tidak satupun berani membuka pengadilan atas Soeharto. Pengadilan yang dijalankan hanyalah abal-abal alias pura-pura. Akhirnya sejarah dibiaskan karena masyarakat tidak pernah tahu dengan fakta yang terjadi, semua di nina bobokan dengan jargon : bangsa kita kan pemaaf..(???). Memaafkan tetangga yang bawel dan ngeselin sih gampang, tapi lain ceritanya jika melibatkan pejabat publik dan anggaran negara. Tidak relevan bicara maaf-maafan sebagai alasan tidak adanya proses hukum. (Silahkan baca wawancara dengan Fadjroel Rahman, di Kompas Minggu kemaren).
saya bukan bicara dengan semangat ‘menuduh’, atau ‘mencari kesalahan’, dan juga bukan data kosong. Pembahasan mengenai ini sudah banyak sekali, terutama jika kita mengikuti opini di harian Kompas beberapa hari terakhir. Teman2 yang penasaran dengan ‘apa sih sebenarnya yang salah dari Soeharto’ mungkin bisa me-refer ke sana.
artinya, tolong dipilah mana yang sebagai kesalahan demokrasi dan mana yang sebagai demokrasi disalahgunakan. Kelakuan politisi yang carut-marut sekarang adalah buah dari pemerintahan yang keliru selama ini, tidak hanya 32 tahun pemerintahan Soeharto, namun juga sejak Soekarno, dimulai ketika Dekrit Presiden yg membubarkan parlemen tahun 1959. Terlepas dari apakah parlemennya ngaco (kayak sekarang nih), tapi tetap saja tindakan seorang presiden membubarkan parlemen adalah salah, karena akhirnya timbul kekuasaan absolut, dan sekali lagi : power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.
Lantas solusi nya apa dong?
sistem masyarakat Indonesia, memang butuh waktu untuk ber-demokrasi. Demokrasi atau masyarakat madani membutuhkan partisipasi yang besar dari masyarakat dalam kehidupan politik. Padahal masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbiasa tidak berpartisipasi dalam pemerintahan (ratusan tahun dijajah Belanda, kemudian Jepang, kemudian di bawah demokrasi terpimpin, dan terakhir di bawah Soeharto), atau bahasa lugasnya : bangsa Indonesia terbiasa dengan mental bangsa terjajah!
nah, sekarang jalan untuk berdemokrasi sudah ada, namun masalahnya jalan tersebut masih dikuasai oleh elite yang agendanya cuma untuk kesenangan pribadi aja. Makanya pendidikan politik adalah penting bagi masyarakat awam, agar benar2 tahu dengan hak dan kewajibannya, benar2 tahu bahwa jangan memilih partai atau calon bupati/gubernur/presiden yang track recordnya jelek. Para elite politik yang sudah ‘nyaman’ di atas tidak akan memberikan jalan secara cuma2 kepada pihak2 yang masih ‘lurus’ dan idealis, namun jalan tersebut harus direbut. dan memang dibutuhkan perjuangan yang sangaaaat paaaanjaaaang. Jika di tengah perjuangan ini kita frustrasi, dan mengharapkan munculnya figur2 kuat baru yang bisa menjaga stabilitas secara absolut, maka kita sebenarnya sedang memberikan jalan untuk dijajah lagi…
sekarang banyak pihak memuji Vladimir putin, karena dianggap contoh yang berhasil memajukan negaranya dengan membungkam demokrasi. ok, let see, berapa lama eforia ini bertahan sampai akhirnya Putin memunculkan diktator baru di Rusia. dalam sejarah dunia modern, hanya ada satu pemimpin yang berpotensi menjadi diktator karena besarnya legitimasi kekuasaan, namun memilih untuk tetap berdemokrasi, yaitu : Nelson Mandela. namun rasanya jika kita terbuai dengan mimpi hadirnya Nelson mandela di Indonesia, sama saja dengan mimpi ratu adil atau satria piningit..
kok jadi ngelantur ya. 🙂
hehehe, habis p wir sih, ngajak2 ngomong politik lagi, jadinya kebablasan deh saya… maaf deh..
mungkin gak ada salahnya diingat2 lagi kutipan dari Soekarno berikut (ketika indonesia baru merdeka) :
“Kemerdekaan tidak menyelesaikan soal-soal, malah dia memunculkan banyak soal-soal baru. namun kemerdekaan juga memberikan jalan kepada kita untuk menyelesaikan soal-soal itu.”
maaf kalo tulisannya kurang berkenan, tapi ini kan bagian dari berdemokrasi.. 🙂 hehehe
-Rp-
SukaSuka
Rob bukannya mau ngomongin sipil aja nih..hehehe gatel ya..
Pilkada bekasi bakal ribut gak ya??? kalo denger2 berita di radio sih kayanya 50-50 pak Wir hehe. Semoga aja gak deh. Ribut cukup pas sepak bola aja :p
SukaSuka
Insinyur ngomongin politik saya kira sah-sah aja. Itu Soekarno dan Habibie, presiden kita khan latar belakang pendidikannya juga insinyur. Ahmadinejad presiden Iran juga insinyur teknik sipil.
O ya, ketika krismon kemarin, ya gara-gara politik maka yang dampaknya paling banyak khan sektor konstruksi tempat para insinyur sipil cari makan.
Jadi kesimpulannya, insinyur sipil dengan politik berteman dekat. Kalau politiknya bagus, banyak orderan proyek dan juga sebaliknya.
Jadi kalau engineer kuper politik, wah gawat itu, paling-paling cocoknya jadi dosen aja itu. 🙂
Tapi kalau engineer bisa merayu politik, wah dapet proyek banyak. Coba aja lihat, engineer yang bisa sukses dengan banyak proyek khan gitu semua.
SukaSuka
Kalau berbicara demokrasi, banyak orang mengatakan, “Kita ikut jalan India atau jalan Cina“, untuk mencapai kesejahteraan dalam demokrasi.
Saat ini, kedua negara mencapai pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Para pecinta demokrasi di negeri ini pasti memilih jalan India. Kenapa India bisa, kita tidak. Ada konsep India yang sangat saya kagumi, mereka tidak malu dengan kemiskinan (lihat film mereka, mendunia bukan ?) dan tidak malu menggunakan produk dalam negeri (lihat buku2 textbook India sangat murah), mereka sangat mandiri dalam segala hal.
Cinapun demikian, mereka sangat mandiri dalam segala hal.
Republik ini tidak pernah mau berpikir untuk bisa mandiri (tdk percaya, lihat di sekitar kita) . Beras, kedelai sebagian masih diimpor, kita semua tahu kita pasti bisa menanamnya. Semua berfikir demokrasi bisa mensejahterakan (sepeti India), maaf sampai saat ini saya tidak pernah akan percaya demokrasi membawa kesejahteraan.
Kenapa kita tidak mencontoh yang dekat saja Singapore atau Malaysia, Tokoh politik mereka cuma bilang “aman dulu, baru makmur, baru sejahtera”. Cobalah lihat bagaimana perdebatan di parlemen Singapore, seperti sidang tesis, santun dalam tutur kata berpakaian sederhana (tidak pakai jas), begitu pula dengan Malaysia. (Maaf Saya suka mengambil contoh mereka karena saya tinggal di Batam).
Kita yang berkecimpung di proyek konstruksi pasti mengalami bagaimana korupnya Republik ini sekarang, sampai2 pimpro menjadi sapi perahan, inikah demokrasi ? (dulu yang saya alami juga ada korupsi, tapi sekarang sudah kurang punya etika).
Kalau Republik ini mau sejahtera, kunci hanya satu “Kemandirian dalam segala hal dan tidak malu menggunakan produk dalam negri“.
Bukan Demokrasi. Maaf, kalau ada salah kata.
SukaSuka
@Santanu
Saya setuju sekali, kata kuncinya adalah MANDIRI, dan itu harus dimulai dari yang atas. Kalau yang dibawah mandiri, itu biasa, karena terpaksa. 😦
Coba deh, sekarang teman-teman yang sedang hidup di negara maju, begitu khan. Lagi-lagi soal mandiri, saya jadi ingat waktu di Stuttgart dulu, dari kulkas, sendok-garpu, jendela, juga mobil atau kereta api, jarang tuh yang made-in di luar jerman. Juga sewaktu ada pesta semacam karnaval di alun-alun, mereka pada bangga ngeluarin produk lokal, seperti sosis, anggur, alat-alat musik juga alat-alat dapur (solingen itu khan sana juga).
Kalau kita, gimana ini, itu pejabat atau istri pejabat kalau keluar negeri khan terkenal mborong. Bangga kalau bisa beli dari luar, padahal kadang-kadang itu produk indo juga yang diberi merk asing.
Saya kelihatannya koq sepikiran dengan sdr Santanu khususnya dengan hal “aman dulu, baru makmur dan lalu sejahtera” . Kata demokrasi kelupaan juga nggak masalah, kelihatannya kata demokrasi khan komoditinya orang politik, kalau kayak guru atau engineer gitu rasanya nggak terlalu ngaruh.
SukaSuka
hehehe..
buat p wir dan p santanu, beda pendapat kan bagian dari demokrasi.. jadi sah sah saja.. 🙂
-Rp-
SukaSuka
tapi pak, kalau menurut saya.. kita tidak bisa menyalahkan demokrasi itu sendiri..
Democracy : free and equal representation of people, the free and equal right of every person to participate in a system of government, often practiced by electing representatives of the people by the people .
bisa dibilang kita mungkin masih dalam proses demokrasi. atau malah kita belum benar benar menjalankan demokrasi melainkan demontrasi.
atau juga karena kita belum siap.
kan demokrasi kebebasan dan persamaan hak setiap individu untuk ikut serta, dan mungkin individunya belum siap..
mungkin… =p
SukaSuka
Koq jadi pada berdebat tentang demokrasi.
Pada prinsipnya saya nggak ada masalah dengan demokrasi, bagaimanapun hal tersebut bersama-sama dengan hukum adalah sarana untuk mencapai suatu tujuan, yaitu aman, damai, adil, makmur dan sejahtera.
Jadi demokrasi dan hukum itu bukan tujuan.
Kalau umpamanya, tujuan tercapai, apa ngotot harus itu. Sekarang khan semuanya ngotot menjadikan demokrasi dan hukum sebagai tujuan. Sehingga akhirnya tujuan yang sebenarnya terlupakan. Kesejahteraan masyarakat kecil.
Kenapa saya ngotot omong, ya karena merasa bersalah kemarin sewaktu ke Cikarang melewati seorang gelandangan yang terlihat berguling-guling di pinggir jalan, sekarat, teriakannya masih teringat sampai sekarang. Tapi ya mungkin karena penakut, nggak berani ngapa-ngapain. Orang-orang lain yang lalu-lalang, juga pada nggak peduli. Akhirnya jadi kepikiran, sebenarnya negara ini untuk siapa sih. Pajak yang selama ini dibayarkan, juga untuk apa sih. Padahal nyata-nyata di pasal 34 UUD 45 bahwa fakir miskin menjadi tanggung jawab negara.
Silahkan untuk ngotot demokrasi, tapi orang-orang itu tadi boleh kan mendapatkan kesamaan hak-nya juga.
Terus terang dengan melihat fakta di kanan-kiri banyak terlihat gelandangan berlalu-lalang. Eh atas nama demokrasi pemerintah dengan bangganya mengeluarkan duit 200 trilyun untuk keperluan pilkada. Busyet dah ! 😦
SukaSuka
Bener pak… apalagi kalo ada pemilihan ulang.. Wih. .. tambah banyak itu.
Demokrasi ? Democrazy kalik…
SukaSuka
Indonesia semakin demokratis semakin miskin. Kapan titik baliknya?
SukaSuka
Ping-balik: Maksud baik. Hasil baik ? « The works of Wiryanto Dewobroto
Salam kenal Pak Wir..
Saya amati anggaran pemilu itu banyak terbuang untuk ‘pemutakhiran data pemilih’.
Kita punya masalah yang sangat mendasar dalam Administrasi Kependudukan : Infrastruktur Adminduk (Jaringan Komputer dan Sistem Informasi) tidak ada.
SukaSuka
to : P wir & P Santanu
keluar dari topik demokrasi dikit ya.. 🙂
kalo soal kemandirian bangsa, saya sepakat boss… berikut ini ada website P Triharyo Soesilo atau lebih akrab dengan panggilan Hengki (saat ini dirut PT. Rekayasa Industri) : http://www.triharyo.com.
Beliau adalah alumni Teknik Kimia ITB angkatan 77, dan punya visi yang sangat bagus dalam konteks peran engineer di Indonesia saat ini. Dan yang membuat saya salut, beliau sudah sampai ke level menjalankan visinya tersebut, salah satunya mendukung pendirian berbagai perusahaan/pabrik yang berbasis teknologi. Mungkin detailnya bisa dibaca di web tsb.
yah, ini hanya berbagi info supaya kita gak pesimis2 banget…. hehehe.. 🙂
-Rp-
SukaSuka