Pelan tapi pasti, itu mungkin yang sedang terjadi. Dari sisi luar, orang akan melihat bahwa UPH sebagai perguruan tinggi swasta yang relatif muda sangat gencar dalam beriklan. Memang sih, itu karena ada divisi pemasaran tersendiri yang memang tugasnya adalah seperti itu.
Dari sisi lain, di bagian dalam, para staf pengajarnya juga tidak tinggal diam. Ya seperti di industri pada umumnya, agar laku maka ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, bagian produksi dan bagian pemasaran. Bagian produksi yaitu kami, para staf pengajar, atau dikenal juga dengan istilah yang berkesan elite yaitu dosen, juga berupaya meningkatkan kualitas. Tahu sendiri khan meskipun pemasaran selangit tetapi kalau produknya mengecewakan, tentu tidak ada yang beli.
Lho pak emangnya UPH jual komoditas. Benar, kita ini disini menyebutnya industri nobel, itu kira-kira yang disampaikan oleh pendirinya bapak Johanes Oentoro, Ph.D. Tapi jangan diartikan semata-mata cari duit gitu. Itu maksudnya bahwa kita harus kerja profesional, ada target yang dapat diukur.
Gimana ngukurnya pak, wah menarik lho. Pendidikan koq bisa diukur, emangnya bisa pak ?
Ya jelas, wong NEM aja bisa, apalagi yang lain. Kalau dosen ngukurnya gimana hayo ?
Wah nggak gampang lho, jangan terkecoh dengan tampilan yang wah, atau gelarnya berjubel, kadang-kadang itu bisa menipu. Untuk yang bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi maka di Indonesia sudah ada mekanisme resmi, yaitu yang ditentukan oleh DIKTI. Itu lho yang berkaitan dengan jenjang akademik. Pokoknya ujung-ujungnya jika seseorang telah mengabdikan diri di dunia pendidikan dan pengajaran dan selalu bertekun mengembangkan materi guna memajukan ilmu dan pengetahuan yang menjadi fokus pengajarannya maka akhirnya yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk menjadi Guru Besar atau Profesor gitu lho. Jadi itu merupakan gelar jabatan tertinggi dari seorang guru.
Jadi secara gampangnya, dapat dikatakan bahwa gelar Profesor dapat digunakan sebagai petunjuk mengenai mutu staf pengajar institusi tersebut. Wong pemerintahnya aja mengakui, apalagi yang awam tentunya. Nggak perlu ragu lha. ![]()
Berkaitan dengan hal itu maka pada hari ini, Kamis 14 Februari 2008, UPH dalam hal ini adalah Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan telah menambah guru besar baru, yaitu
Prof. Drs. Yongky Safanayong
Pidato pengukuhannya berjudul
INTEGRASI TEMPAT – WAKTU – KONDISI – SIKAP: sebagai PRESPEKTIF BARU dalam DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
Ini merupakan suatu keistimewaan lho, guru besar di bidang Desain Komunikasi Visual (DKV) rasanya masih sangat jarang di Indonesia, mungkin masih bisa dihitung dengan jari.
Catatan : menurut pidato rektor pada acara tersebut, guru besar DKV, ya baru pak Yongki tersebut di Indonesia. Pak Yongki adalah guru besar ke-7 yang diangkat oleh UPH sehingga menjadi salah satu dari 30 guru besar yang secara aktif mengajar di UPH. Hebat khan.
Dengan diberinya hak oleh DIKTI untuk diangkat sebagai Guru Besar maka secara tidak langsung menunjukkan bahwa UPH diakui keberadaannya dalam mengembangkan tumbuhkan bidang ilmu tersebut.
Ingat, suatu institusi itu besar tidak ditentukan oleh besarnya gedung atau prasarana fisik, tapi oleh orang-orang ‘besar’-nya juga lho.
Profisiat Prof. Yongky, Profisiat UPH, semoga dapat menjadi terang dunia. Amin.

Prof Yongki diberi ucapan selamat oleh Rektor UPH, Jonathan L. Parapak.
**up-dated**
Reportasi : Etos Akademik Perguruan Tinggi Sangat Rendah.
[harian Suara Pembaruan 15/2/2008]







Tinggalkan Balasan ke wir Batalkan balasan