Dapat sms dari temen lama, isinya pendek :”Mau buku-buku teknik sipil ? “.
Tentu saja mau, namanya aja kutu buku. Oleh karena itu aku menindak lanjuti . “OK“, aku menjawabnya.
Temen lama menjawab : “Syukurlah, kalau tidak, saya ingin tawarkan ke rekan di kantor lama. Saya sudah tidak minat urusan sipil struktur!“.
Akur berpikir dan membalasnya: “Lho, lho, ada apa ini” .
Temenku menjawab lagi:” Benar berminat ? Tapi tolong kalau mau, ya diambil setumpuk tersebut semua. Kalau ada yang dobel berikan temen yang lain. Saya sudah tidak minat pegang sipil struktur. Lelah dan bosan. Terima kasih kalau anda mau. Saya senang sekali karena yang mengambil teman yang suka buku.”
Sederet percakapan, yang merupakan fakta, yang mengungkapkan sesuatu kekecewaan. Moga-moga di antara pembaca tidak ada yang mengalaminya.
Memang, kekecewaan yang apabila tidak disikapi dengan benar akan menjadi suatu awal bagi timbulnya suatu rasa frustasi, dan bila ditambah dengan stress akan sesuatu hal maka bisa-bisa menjadi depresi. Wah jelas, ini sesuatu yang harus dihindari.
Itulah mengapa aku ingin menulis ini, yaitu agar dapat berbagai pendapat, siapa tahu ini dapat menjadi jalan keluar maka kondisi di atas.
Untuk mendapatkan solusi di atas maka perlu didefinisikan masalah yang menyebabkan kekecewaan tersebut. Ini khan prosedur standar penelitian, jadi saya coba untuk kasus di manusia juga. 😉
Kata kuncinya adalah jenuh. Saya yakin bahwa teman lama saya ini mengalami kejenuhan. Bagaimana tidak, sejak mengenalnya lebih dari 20 tahun ini, temanku ini selalu disibukkan oleh pekerjaannya yang memang sama denganku yaitu structural engineer. Bahkan mungkin sudah lebih lama lagi, karena bagaimanapun dia lebih senior. Bayangkan, sudah puluhan tahun menggeluti bidang tersebut dan mau meninggalkannya. Itu khan luar biasa, jika tidak diawali dengan kekecewaan, mana mau dia. 😦
Masalahnya, ini tentu bermula dari keinginan untuk menggeluti sesuatu, secara terus menerus, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, yang mungkin telah menjadi suatu gaya hidup, workaholic. Tetapi apa yang terjadi, ketika apa yang dianggapnya “segalanya”, ternyata tidak memberi sesuatu yang membuatnya puas. Sesuatu itu sifatnya subyektif, tergantung dari beliaunya. Tetapi menurutku, yang disebut sesuatu itu adalah yang berkaitan dengan suatu pengakuan dari orang lain, bisa bersifat materiil maupun non-materiil.
Yah, bagaimana lagi, hidup itu khan pada dasarnya ingin dianggap ada khan.
Saya berharap lelah dan bosan itu adalah suatu bentuk kejenuhan, dimana meskipun semua pikiran telah mengarah ke “situ”, tetapi eh, koq hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Jadi itu mungkin juga karena sebagian besar orang melihat bahwa hidup itu adalah dilihat dari hasilnya. Jadi jika hasilnya tidak seperti yang dibayangkan maka kekecewaan terjadi.
Oleh karena fokusnya adalah hasil, maka prosesnya ‘diabaikan‘, maksudnya diabaikan disini adalah mau berkorban untuk proses tersebut, misalnya dengan kerja keras, ya betul-betul kerja keras dalam arti bahwa itu bertentangan dengan kata hati nurani sendiri, seperti misalnya hari sabtu dan minggu, yang mestinya bisa diarahkan untuk hal-hal yang lain, untuk dinikmati tetapi tetapi dipakai untuk kerja agar berhasil tujuannya.
Hal itu tentu berbeda, jika selain hasil, maka prosesnyapun juga dinikmati. Artinya, selama proses mencapai hasil tersebut, maka kita juga mendapat sisi-sisi yang menarik yang membuat kita mendapatkan kesenangan.
Terus terang, aku termasuk orang yang menganggap bahwa hidup itu adalah untuk mencari kesenangan. Tepatnya bahwa apa-apa yang kita kerjakan adalah apa-apa yang kita senangi. Jika tidak disenangi maka malas mengerjakannya.
Lho pak Wir ini pemalas ya ?
Mungkin begitu, oleh karena itu kadang-kadang aku bekerja dengan mengandalkan mood. Jika tidak sedang mood, jadi males, karena takut hasilnya tidak maksimal.
Dengan cara berpikir seperti itulah, maka meskipun aku ini introvet, tidak suka berkumpul dengan orang banyak, tetapi banyak sekali yang dapat dikerjakan. Dan ingat, apa-apa yang aku kerjakan itu aku nikmati sendiri, jadi jika ada satu atau dua sisi pekerjaan tersebut ternyata membuat kecewa, maka masih ada sisi lain yang membuatku senang, jadi ada pelariannya. Oleh karena itulah maka jika aku bilang, bahwa selain sebagai dosen di bidang structural engineer, aku juga seorang kutu buku, penulis, programmer, dll itu memang benar adanya. Itu memang strategi dalam hidupku ini yaitu untuk menghindari rasa JENUH.
Ok. Hari ini misalnya, baiklah kalau peranku sebagai dosen atau yang lain-lain aku tanggalkan dulu, hari ini baru saja berperan sebagai photographer. He, he, he, mungkin amatiran kali. Meskipun amatiran, tetapi untuk beli gear-nya ternyata dipelotin istriku juga. Ha, ha, itu kalau dibelikan motor khan bisa untuk jalan-jalan. 😉
Gear untuk foto memang tidak terasa, ternyata mahal dan menguras tabungan, apalagi kalau SLR. Mula-mula saya tidak senang dengan foto memfoto, apalagi ketika jamannya masih pakai kamera film. Repot.
Tetapi ketika jaman kamera digital, maka arah angin berubah. Sejak itu aku tertarik, bahkan hobby memotret. Itulah mengapa aku menyebutkannya sebagai digital photographer.
Mula-mula modal kamera yang aku pakai adalah yang otomatis yaitu Canon Power Shot S-50, cukup hebat lho. Banyak dari tulisanku di blog ini dilengkapi dengan gambar dari kamera tersebut. Bahkan kemarin, gambar-gambar pada saat promosi doktor tersebut dihasilkan oleh kamera tersebut. Itu lho yang di artikel blogku yang di sini, atau juga yang aku up-load ke facebook.
Dalam perkembangan lebih lanjut, ketahuan, bahwa kamera tersebut memang unggul untuk memotret obyek diam, apalagi jika cukup cahaya. Tetapi meskipun tidak cukup cahaya, kalau jaraknya relatif dekat, maka blitz yang tersedia sudah cukup memberi gambar yang baik, bahkan saya bilang sangat baik, meskipun ukuran piksel gambar cuma 5 Mb piksel. Tetapi ketika harus memotret anakku yang menari di panggung, dengan suasana bergerak dalam temparam cahaya, dan juga tidak bisa terlalu dekat maka ketahuan kalau kamera pocket tersebut angkat tangan. Karena alasan seperti itulah maka akhirnya mencoba kamera yang lebih kuat, yaitu Canon 350D, suatu kamera SLR Canon papan bawah.
Ini hasil-hasilnya




Ya itu semua adalah hasil jepretan tadi, kelihatannya sederhana ya. Tapi coba deh pakai kamera pocket otomatis standard. Lalu bandingin, akan ternyata bahwa memotret itu perlu “sesuatu”. Itu khan salah satu cara mengatasi kejenuhan dalam hidup. Betul khan. Coba aja.
Data-data gear yang digunakan :
- kamera SLR Canon EOS 350D
- lensa fix Canon EF85mm
- blitz Canon 430EX







Tinggalkan komentar