Bagi seorang selibriti atau yang sejenisnya, tentu tahu sekali arti pentingnya publisitas. Jika perlu, bahkan untuk hal-hal yang terkait dengan moral, yang mungkin bagi kebanyakan orang dianggap negatif, kadang-kadang bukan sesuatu yang dipermasalahkan, yang penting mendapat publisitas. Titik !
Hal-hal seperti itu dapat dengan mudah diketahui oleh masyarakat luas, khususnya dengan begitu banyaknya media yang meliputnya, dalam hal ini adalah televisi. Media ini menjadi penting karena penetrasinya adalah yang paling luas. Bandingkan dengan koran, rasanya hanya masyarakat level menengah saja yang membaca (berlangganan) koran secara rutin. Tetapi kalau televisi, gelandanganpun ’mungkin’ bisa mengasesnya (nonton di emperan toko misalnya). Bahkan untuk televisi, tanpa disertai kemampuan membacapun kadang orang masih dapat memahami maksud tayangan yang ditampilkan.
Publisitas di atas umumnya bertujuan untuk menjadi terkenal. Mungkin yang dimaksud mereka dengan publisitas tersebut adalah dapat menjadi terkenal dalam arti yang baik, meskipun kita, sebagai anggota masyarakat pemirsa dapat melihatnya secara lain, mungkin dengan nada minor (sinis).
Itu terjadi, karena publisitas mempunyai fungsi dua arah, untuk kepentingan selibriti maupun untuk kepentingan medianya itu sendiri (konsumsi pemirsa). Jadi bisa saja sang selibriti hanya dijadikan objek saja bagi kepentingan media yang meliputnya. Itu bisa terjadi karena masyarakat pemirsanya sendiri suka sensasi. Ini biasanya digunakan oleh mereka (pemirsa) untuk membebaskan diri secara sementara dari realitas kehidupannya, yang mungkin kalau diliput oleh media itu sendiri sudah cukup menarik untuk dijadikan tayangan karena menggugah emosi. Tentang hal ini, beberapa media telah membuatnya juga, lihat saja itu acara “bedah rumah” atau semacamnya.
Bagaimanapun (a) menjadi dikenal dan (b) dilihat oleh banyak pemirsa adalah modal penting yang dapat memberi pengaruh kepada sebagian orang, jika semakin banyak yang mengenal maka tentu pengaruhnya semakin luas. Inilah yang dimanfaatkan oleh produsen atau pabrik dalam menjual produknya. Dari sinilah media mendapatkan masukan berupa iklan yang berujung pada keuntungan finansial, hal real yang menjadi tujuan utama bisnisnya.
Jadi di jaman sekarang ini, menjadi “orang berpengaruh” tidak hanya karena jabatan atau kekuasaannya saja, tetapi juga karena faktor publisitas tersebut.
Kondisi tersebut juga terjadi atau tepatnya ingin ditiru oleh calon politisi-politisi kita. Itu dapat diamati dalam suasana pemilu kemarin dalam memilih caleg-caleg. Dapat dilihat khan, dimana-mana ada foto-foto diri dalam bentuk baliho besar yang terpampang, baik dipinggir jalan raya yang mudah dilihat, maupun tempat yang agak tersembunyi, seperti dinding luar WC umum. Pokoknya tempat-tempat yang sering dilihat orang. Tujuannya publisitas bagi calon politisi tersebut juga sama yaitu dengan maksud agar DIKENAL. Jika telah dikenal maka harapannya mereka mau memilih (mencoblos) yang pada akhirnya dapat mengantarkannya ke kursi PARLEMEN. Baru di sinilah maka hal real yang ingin dicapai akan terpenuhi.
Untuk menjadi terkenal seperti para politisi tersebut memerlukan modal duit yang cukup besar. Bayangkan untuk mencetak spanduk bergambar foto diri pada media plastik yang tahan air, dan yang dipasang setiap jarak 100 m sampai 200 m untuk beberapa kilometer panjangnya. Tentang hal itu, ada fakta, pernah saya lihat ada baliho yang dimaksud ada terus disepanjang jalan dari Bekasi sampai Depok. Berapa ya duit yang harus dikeluarkan untuk itu ?
Jadi kalau nggak punya duit, maka jangan berharap banyak untuk menjadi TERKENAL. Betul nggak.
Itu memang cara pandang politisi baliho tersebut. Meskipun pada kenyataannya, cara yang digunakannya tersebut belum tentu efektif. Hal tersebut diketahui dari berita harian kemarin, yang menyatakan bahwa si anu, yang balihonya telah dipasang sepanjang jalan tersebut , ternyata tidak terpilih menduduki kursi parlemennya lagi. Kasihan betul ya. 😦
Bayangkan karena faktor publisitas tersebut, maka meskipun menghadiri suatu acara di tempat terbuka, yang panas sekalipun maka memakai topi atau payung besar yang menutupi wajah itu perlu dihindari. Kalau wajahnya tertutup, nggak terliput kamera dong. 🙂
Itu arti publisitas bagi seorang selibriti atau politikus.
Publisitas ternyata tidak hanya penting bagi seorang selibriti atau politikus, tetapi juga bagi setiap orang normal. Karena pada dasarnya orang itu mau diakui keberadaannya. Seorang yang dilupakan, atau tidak diperhatikan atau dianggap tidak ada, tentu akan merasa sedih. Khususnya apabila orang tersebut merasa telah berada pada lingkungannya. Kondisi ini tentu berbeda dengan orang asing yang datang pada suatu tempat. Kalau tidak dikenal memang wajar.
Hal itulah yang menjawab mengapa pada era internet seperti ini maka facebook dan blog menjadi sesuatu yang populer. Karena keduanya dapat menjadi fasilitas untuk publisitas diri tersebut.
Dengan asumsi bahwa blog dan facebook adalah suatu sarana publisitas diri, maka cukup mengherankan juga jika ternyata banyak juga dari mereka yang memanfaatkan fasilitas tersebut kemudian menampilkan diri sebagai ANONIM, alias tidak diketahui siapa dia. Jadi jika demikian, maka fungsi publisitas menjadi tidak bermakna.
So, untuk apa kalau begitu mereka menulis.
Mungkin banyak juga yang mempunyai alasan “kalau memberi harus iklas, jangan pamrih. Apa yang diberikan tangan kirimu jangan sampai diketahui tangan kananmu“. Ya itu kalau yang diberikan adalah baik, seperti permata dalam lumpurpun bisa bersinar. Mungkin bisa-bisa seperti itu. Tetapi bisa juga berarti bahwa orang tersebut berperilaku seperti pepatah “lempar batu sembunyi tangan“. Tidak mau bertanggung jawab, atau lebih tepatnya lagi tidak bisa menjadi panutan atau teladan. Padahal hal itu penting untuk saat ini, dimana semua orang pikirannya hanya berorientasi pada materiil jangka pendek.
Kalau begitu bapak menulis di blog ini agar menjadi terkenal ya ?
Wah ini pertanyaan yang gampang-gampang sulit. Setiap jawaban yang sederhana akan menimbulkan suatu interprestasi yang mungkin berbeda jauh dari yang sebenarnya ingin disampaikan.
Jika pertanyaan di atas lebih spesifik, misalnya menulis blog untuk memberi pengaruh, maka rasanya saya setuju. Jadi tujuan utama dari menulis di blog ini adalah untuk memberi pengaruh positip bagi pembacanya. Jadi terkenal dalam arti bahwa blog ini dapat memberi pengaruh positip maka secara tegas saya akan menjawab. Ya.
Ingat pada dasarnya orang hidup adalah untuk dapat memberi pengaruh positip kepada manusia lainnya. Jika tidak kuat dalam materi, maka bisa juga melalui pikiran positip, yang terakhir tersebut yang cocok yang dapat aku lakukan. Maklum hanya guru. Untuk itulah mengapa menulisnya tidak boleh sembarangan, yang asal bisa terkenal.
Tentang terkenal atau tidak, memang tidak bisa diabaikan. Karena jika bisa terkenal maka pengaruh positip tersebut akan tersebar semakin cepat dan semakin luas. Kalaupun sekarang belum, maka tidak ada masalah, masih ada faktor waktu yang dapat dipertimbangkan. Jadi jika kita merasa bahwa apa yang ditulis adalah baik, maka jangan kuatir, akhirnya akan terlihat juga koq hasilnya.
Kalau begitu bapak tidak ada bedanya dong dengan si selibriti atau politikus tersebut, yaitu doyan publisitas ?
Apa iya begitu. Yang jelas secara tujuan adalah berbeda, mereka (tidak semua sih) yang penting adalah dikenal. Baik sebagai objek media atau subyek media. Harapannya tentu adalah menjadi subyek, tetapi karena medianya juga ada orang lain dibelakangnya, maka itu berarti tidak bisa mengendalikan. Bukan subyek.
Adapun saya sebagai penulis blog ini berbeda. Dari tujuannya saja sudah beda yaitu ingin memberikan pengaruh. Oleh karena itu, maka media hanya digunakan sebagai alat, dalam hal ini penulis harus menjadi subyek yang mengendalikan alat. Penulis tidak menjadi objek publisitas, karena hanya buah pikirannya saja yang dipublikasi. Agar dapat memberi pengaruh positip maka tentu saja buah pikiran tadi diskenario, dikendalikan.
Oleh karena itu, maka aku lebih suka menyebut diriku sebagai PENULIS.
Memberi pengaruh positip, baik dari sisi kompetensi juga hal-hal yang lain. Saya kira itu sifat natural seorang pendidik atau guru. Tetapi kalau hanya sekedar mengandalkan proses belajar dan mengajar, seperti tatap muka misalnya, maka pengaruh yang diberikan relatif kecil. Tergantung dari jumlah siswa dan waktu yang diberikan. Selain itu sifatnya adalah seri, berurutan. Bisa juga berkembang yaitu dengan konsep anak-beranak, itu terjadi jika si murid menularkan lagi pengaruh baik yang diterimanya kepada orang lain. Itu cara tradisionil seorang guru untuk mendidik bangsa. Perlu waktu puluhan tahun untuk mengubah masyarakat secara luas.
Tentang hal ini maka ada baiknya membaca salah seorang muridku, alumni UPH yang berasal dari PAPUA dan sekarang telah kembali ke daerahnya lagi untuk menyebarkan apa-apa yang dulu pernah diperolehnya di Lippo Karawaci, di Jurusan Teknik Sipil UPH.
Firman Setiawan on 21 Apr 2009 at 11:06 pm
Maaf Pak. Ketemu lagi. Udah lama yah Pak. Mudah2an masih ingat saya.
Sebelumnya terima kasih atas banyak ilmu yang Bapak berikan dan tularkan kepada kami. Sekarang saya di Jayapura Papua, selain menjadi kontraktor, saya juga tetap berusaha mengabdi dengan menjadi dosen luar, di UNCEN Papua. Kebetulan saat ini saya mengajar SAP 2000, maaf sebelumnya banyak metode pengajaran termasuk salah satu buku panduan, memakai buku Bapak (Aplikasi Rek. Kons. dgn SAP 2000). Buku ini juga saya rekomendasikan kepada mahasiswa saya.
Ok pak, saya rasa sementara begitu dulu.
Lama tak berjumpa, baru terasa makna saat bersua.
Terima kasih Pak atas banyak kesabaran dan ilmunyaTolong sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada yang spesial Pak Har, Pak David, Bu Minawaty, dan Dosen-dosen lain.
NB: bisa minta email langsung Bapak ? Kebetulan ada pertanyaan yang sedikit membingungkan sy, mengenai SAP 2000.
Sekali lagi Terima Kasih Pak Wir…
He, he, itu sekedar feedback, bahwa ternyata ada yang menularkan juga pengaruh dari Karawaci ke ujung timur sana, yaitu PAPUA. Pengaruh seperti di atas, ada karena memang sdr Firman pernah berinteraksi langsung dengan gurunya di Karawaci ini.
Tetapi itu akan berbeda jika kemampuan sebagai GURU dapat digabung dengan kemampuan seorang PENULIS, karena dengan menulis maka idealisme guru dapat dituangkan dalam bentuk tulisan yang sifatnya adalah abadi dan mandiri. Apalagi jika digabung dengan fasilitas INTERNET. Dampaknya bisa luar biasa.
Kata kunci agar menjadi luar biasa adalah PUBLIKASI , yaitu karya tulis yang dihasilkan. Jadi itu tidak sekedar PUBLISITAS. Karena dalam membuat publikasi maka PENULIS adalah SUBYEK yang mengendalikan materi yang menjadi topik publisitas tersebut. Jadi dalam hal ini nilainya lebih tinggi dibanding si selebriti di atas yang mungkin sebagian besar hanya menjadi objek media saja.
Itulah mengapa dalam tulisanku sebelumnya, keberadaan seorang PROFESOR di sebuah perguruan tinggi, khususnya di UPH ini oleh direktur LPPM-nya dinilai atau dihargai dari PUBLIKASI yang dihasilkannya.
Itulah maka ada pepatah PUBLISH or PERISH.
Ini firman 2000 ya? wah. salute!
SukaSuka
Hhmm…Iyah Pak, publisitas ini juga dalam rangka untuk memperkenalkan bahwa hal itu merupakan hasil buah karya kita…..
SukaSuka
Tulisan lama yg mungkin bisa jadi masukan
Celebrity intellectuals
http://uow.edu.au/arts/sts/bmartin/pubs/98il/il09.html
Dan tentu saja the Third Culture
http://www.edge.org/3rd_culture/
SukaSuka
Kalau begitu sudah on the track ya.
Moga-moga bisa seperti pak Made di bidang IT. 🙂
SukaSuka