Pada mulanya berita tentang ibu Prita tidak terlalu kutahu, bahkan cenderung terabaikan. Maklum, aku mula-mula menganggapnya seperti berita tentang ‘facebook haram’. Nggak perlu ditanggapi, itu khan ibarat seperti halnya ‘melarang pisau tajam di rumah, karena bisa melukai bahkan membunuh seorang manusia yang tidak berdosa’. Artinya apa, tergantung dari cara memandangnya. Jika di awal sudah dianggap negatif maka hasilnya ya negatif, tetapi jika dianggap positip maka bisa juga dihasilkan hal yang positip. Teknologi itu netral, tergantung orangnya. Gitu aja koq pusing. 🙂
Tetapi ternyata kasus ibu Prita memang agak berbeda, ada kesan yang seakan-akan terlalu berkelebihan. Hanya bermula dari tulisan di email ternyata dapat dilanjutkan ke hukuman badan di penjara. Kalau benar, itu luar biasa.
Kalau hanya dipandang dari sudut akademik, maka jelas itu tidak ada penjelasannya. Jika ada perbedaan pendapat, itu biasa saja, beberapa tanggapan tertulis yang negatif diblog ini juga ada, tetapi sebagian besar ketika kita bisa membikin argumentasi dari sudut pandang kita, maka yang semula negatif bisa ketahuan, bahwa yang sebenarnya negatif itu siapa. Jadi mestinya yang benar (menurut kaca mata akademik) maka jika ada pendapat tertulis maka sanggahannya juga tertulis. Masyarakatlah yang akhirnya menilai.
Toh apa sih yang ditakutkan dari sebuah email ?
Nama baik pak !
Ha, ha, nama baik ya. Mungkin benar juga. Saya mencoba mencari tahu tentang hal tersebut, untuk itu aku baca bukunya Robert Greene, tentang “48 Hukum Kekuasaan”, di situ dijelaskan bahwa pada hukum ke-5 menuju kekuasaan bahwa REPUTASI adalah suatu hal penting. Disebutkannya bahwa
BEGITU BANYAK HAL TERGANTUNG DARI REPUTASI – JAGALAH REPUTASI ANDA DENGAN NYAWA ANDA !
Mungkin hal inilah yang mendorong pihak lawan ibu Prita untuk memperkarakannya di pengadilan, yaitu untuk menjaga reputasi institusi.
Apakah untuk menjaga reputasi tersebut harus ke pengadilan. Ini masalahnya, kelihatannya mereka pada tidak tahu bahwa reputasi itu terkumpul tidak hanya dari prestasi pekerjaannya saja tetapi juga dari hal-hal seperti bagaimana mereka menyelesaikan masalah yang timbul. Masalah itu ada-ada saja khan selama ada kehidupan ini.
Kasus email bu Prita itu khan sebenarnya dapat juga dianggap sebagai salah satu masalah saja. Mungkin yang ditakutkan bahwa informasi tentang masalah tersebut sudah tersebar luas. Tetapi saya kira itu tidak perlu ditakuti, bahkan jika tepat maka ketenaran dari meluasnya berita tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Coba bikin solusi yang saling memuaskan kedua belah pihak, jika itu dapat terjadi maka pada akhirnya informasi kepuasan itu juga akan tersebar luas. Reputasi akan menjadi baik.
Bahkan yang kudengar bahwa pihak yang menjadi lawan adalah institusi pemberi jasa, yaitu rumah sakit.
Wah ini lebih gawat lagi, reputasi bagi lembaga atau institusi pemberi jasa adalah sesuatu hal yang penting, bahkan penting sekali. Rumah sakit, seperti halnya institusi pendidikan atau sekolah, keberlanjutannya tergantung dari reputasi yang diperolehnya. Bayangkan saja, mungkin ada saja sekolah yang gedung hebat, tetapi ternyata didalamnya terkenal bahwa murid-muridnya bereputasi buruk, “banyak yang ngobat lho”, lalu kalau lulus banyak yang nganggur. Jika demikian mana ada orang tua murid yang peduli yang mau menyekolahkan anak-anaknya disana. Demikian juga rumah sakit, jika tersebar disana bahwa pasien yang dirawat disana, bukannya cepat sembuh, tetapi bahkan ketularan penyakit lain. Pasti calon pasien lain jadi mikir seribu kali untuk kesana, kecuali memang tidak ada alternatif lain, misalnya bahwa di situ ada alat kedokteran yang canggih yang ditempat lainnya tidak ada dan gratis misalnya.
Jadi sebenarnya aku heran juga, mengapa sih institusi yang besar seperti pihak lawan bu Prita itu mau-maunya menanggapi tulisan sebuah email untuk jadi diperkarakan ke pengadilan. Ibu Prita itu siapa sih ? Jadi jika institusi tadi menang, ya wajar saja. Tapi jika sampai akhirnya kalah. Apa itu tidak berisiko tinggi untuk hancur reputasinya. Padahal untuk bermasalah di pengadilan itu kalau aku dengar diperlukan juga uang.
Ingat petuah Robert Green:
. . . jangan pernah melakukan serangan dengan keterlaluan, karena tindakan itu hanya akan menarik lebih banyak perhatian kepada niat dendam anda ketimbang kepada orang yang anda serang. . . . pergunakanlah taktik-taktik yang lebih halus. seperti sindiran dan olok-olok, untuk memperlemah lawan anda selagi anda memberi kesan bahwa diri anda adalah sipenjahat yang mempesona. Si singa yang kuat mempermainkan tikus yang lewat di depannya – reaksi lain pasti merusak reputasinya yang menakutkan.
Jadi bisa saja dalam hal ini bu Prita kalah , lalu mendapatkan hukuman, pihak penggugat menang, maka tersebarlah berita bahwa reputasinya memang hebat yaitu “dapat memukul hancur wong cilik”.
Apa untungnya itu, padahal duit sudah keluar berjuta-juta.
Lalu bagaimana pak ?
Ya, sebenarnya kata kuncinya adalah pemberi nasehat pihak penggugat bu Prita tersebut. Mestinya penasehatnya orang yang berkepala dingin. Jika mendapat email seperti itu, maka tentunya perlu dipikir lebih mendalam dan ditanggapi dengan tidak penuh emosi, tetapi agar bisa seperti ini maka diperlukan persyaratan khusus.
Apa itu pak persyaratannya, apa harus terakreditasi international ?
Ah nggak dik, kata kuncinya bukan masalah internasional atau tidak, tetapi yang penting harus bersandarkan kepada kejujuran, dengan berpegang kepada kebenaran, kemudian juga menyadari bahwa diri kita ini juga lemah, bisa saja berbuat kesalahan dan juga taqwa ke yang di ATAS. Artinya apa, bahwa apa yang diperjuangkan itu adalah benar adanya dan berani dipertanggung-jawabkan ke atas, setelah kematiannya.
Wah filosofi betul pak ?
Bukan filosofi itu dik, tapi hakekat hidup. Dengan latar belakang tersebut maka dibedahlah email bu prita tersebut.Ada apa ini ?
Jadi jangan seperti buruk rupa cermin dibelah. Itu lho pepatah lama. Isi email itu khan berfungsi sebagai cermin tentang isi pelayanan institusi tersebut kepada pelanggannya.
Jadi yang perlu dipermasalahkan adalah apa benar isi email tersebut. Jadi disini pihak yang menerima email perlu jujur, dan perlu menelaah tiap rincian materi yang diungkapkan, perlu cross chek.
Wah kalau benar, salah ! Bagaimana pak ?
Kalau benar itu khan seperti halnya hasil ujian pembelajaran khan, jika rapotnya merah ya berarti perlu belajar lagi. Jadi jika benar ada kesalahan, ya akui saja dan berani bertanggung jawab serta minta maaf, bahkan beri kompensasi. Kemudian nyatakan bahwa itu menjadi pembelajaran bagi manajemen untuk tidak terulang lagi. Jadi mereka harus menganggap bu prita sebagai konsumen, dan konsumen adalah raja. Saya yakin kalaupun ada kompensasi yang diberikan nggak sebesar biaya yang diperlukan untuk proses pengadilan yang sekarang ini sedang terjadi. Tetapi yang jelas dengan adanya proses pengadilan yang berlarut-larut ini maka saya yang sebelumnya tidak mengenal insitusi tersebut sekarang jadi tahu. O begitu to reputasinya.
Tetapi kalau tidak benar pak ?
Wah ini lebih gampang, setiap ada keluhan harus ditanggapi atau tepatnya diluruskan jadi jangan ada kesalahpahaman.
Kalau ngotot pak ?
Ya tentang itu khan ada kebenaran sepihak maupun ada kebenaran umum. Jadi yang perlu diperjuangkan adalah buktikan bahwa itu kebenaran umumnya sudah tepat. Toh akhirnya masyarakat yang menilai.
Intinya kalau benar, nggak usah takutlah !
.
.
Link berita-berita yang terkait :
- KASUS PRITA MULYASARI – PB IDI Bentuk Tim Khusus
Kompas – Selasa, 9 Juni 2009 | 02:57 WIB - Lemah, Mekanisme Pengawasan RS
Layanan Kesehatan Diserahkan kepada Mekanisme Pasar
Kompas – Selasa, 9 Juni 2009 | 03:40 WIB - Rabu, 10/06/2009 07:14 WIB
Kasus Prita – Pengumuman Servis Gratis RS Omni untuk Jaksa yang Menggemparkan Itu
Nograhany Widhi K – detikNews
Beginilah kisah Indonesiaku… 😦
Salurkan opini anda ke forum: http://www.seruu.com untuk menambah dukungan dari dunia maya buat kasus yang dialami Ibu Prita…
SukaSuka
Ini namanya baru jaman gila, cari rejeki dari memeras orang yang sakit dan kesusahan. Memang susah berurusan dengan orang gila, tidak punya cinta kasih dan kasih sayang, padahal setiap hari dia berdoa ke Tuhan, apa sholat, sembayang, kebaktian dsb. Bagaimana mau dekat dengan Tuhan, kalau tidak ada kasih sayang? Frekuensi getarannya sangat jauh berbeda dengan frekuensi Tuhan yang Maha pengasih dan Penyayang.
Kita dukung ibu Prita
SukaSuka