Sudah lama saya tidak menulis. Hal itu bukan disebabkan karena materi yang ditulisnya tidak ada atau lagi mandek kreativitasnya, tapi memang karena waktunya yang cukup terbatas.
Bayangkan saja, saat tulisanku terakhir yaitu “kabar dari langkawi” yang aku tulis sesaat setelah kedatanganku dari Malaysia beberapa hari yang lalu, sebenarnya keesokan harinya aku juga ikut seminar HAKI. Dari situ khan tentu cukup banyak yang dapat diceritakan dan di up-load-kan dokumentasi atau file nya.
Selanjutnya di hari berikutnya, yaitu hari jumatnya sudah ada di jalan menuju kota Jogja, yaitu untuk acara keluarga sekaligus ikut kegiatan ‘nyadran’, kegiatan tradisi masyarakat jawa (tengah) menjelang datangnya bulan puasa.
Hari Selasa sudah masuk kerja kembali, yang mana disaat yang bersamaan tahun ajaran baru dengan mahasiswa baru telah tiba. Jadi PA (pembimbing akademik) lagi. Wah jadi maklum, habis waktunya. 🙂
He, he, ternyata untuk menulis itu memang perlu waktu luang, waktu kosong untuk merenung.
Eh, omong-omong ada satu hal yang menarik yang perlu diungkapkan kepada para pembaca sekalian, yaitu untuk tahun ajaran baru ini jumlah mahasiswa yang masuk di jurusan teknik sipil UPH meningkat, bayangkan selama ini yang masuk khan hanya sekitar 20 orang, jadi ketika pada tahun ini menjadi 34 orang atau sekitar 170% . Puji Tuhan, itu khan namanya luar biasa.
Bagi teman-teman daerah jumlah mahasiswa teknik sipil sekitar itu mungkin dapat dianggap kecil, saya tahu itu, tapi bagi teman-teman yang tahu kondisi jurusan teknik sipil PTS di Jakarta, adanya peningkatan sebesar itu maka pastilah luar biasa. Bayangkan ada lho jurusan teknik sipil PTS di Jabotabek yang sampai menutup program studinya karena nggak ada murid.
Moga-moga kondisi itu bukan anomali sesaat, tetapi dapat menjadi awalan yang baik untuk terus tumbuh dan berkembang, karena dengan tetap eksisnya jurusan teknik sipil UPH maka saya masih dapat tetap ada di situ, karena ada disitu maka saya masih tetap dapat menulis. Bagi UPH ternyata menulis juga diapresiasikan sebagai bekerja juga, padahal menulis bagiku khan hobby. Jadi hobby yang dibayar. 🙂
Selanjutnya aku akan mencoba menjawab pertanyaan saudara Hendra Ginting, mahasiswa tingkat akhir yang katanya ‘lagi dalam keadaan bingung’ , ini masalah yang disampaikan kepada saya :
Selamat malam pak….
Saya mahasiswa tingkat akhir Teknik Sipil di Jakarta
dan lagi dalam keadaan bingung nih pak Wir.
saya punya pertanyaan yang saya belum ketemu solusinya…untuk lebih singkatnya pertanyaan saya adalah:
- Bagaimana cara menghitung panjang debonded pada beton pratekan pratarik ?
- Kenapa jurnal-jurnal di internet lebih banyak menyediakan masalah postensioning dibanding pretensioning, apa kelebihan postensioning pak?
dan untuk pertanyaan nomor 1. dosen saya bilang fungsi debonded itu untuk mengurangi momen negatif tumpuan, tapi tidak dikasih tau cara menghitungnya pak.
ada gak pak file e-book yang membahas tentang mencari panjang debonded ??
banyak jurnal2 telah saya download dan banyak juga buku2 beton prategang yang saya punya, tidak ada yang membahasnya pak…termasuk referensi jurnal dari bapak hampir semua dah saya download….terima kasih pak atas jurnalnya.
saya sangat berharap bapak dan para engineer lainya dapat mencerahkan otak saya yang emang dah buntu……
atas tanggapan dan jawaban bapak saya ucapkan terima kasih.
Bayangkan sdr Hendra Ginting telah mengulik semua buku-buku pra-tegang, termasuk referensi jurnal-jurnal di internet ini juga telah di down-load. Itu khan standar kerja seorang ilmuwan. Tetapi sayang yang bersangkutan belum menemukan jawabannya.
Nggak tahu mengapa tidak tanya langsung ke dosennya aja, mungkin takut mungkin sungkan, tetapi ternyata tidak takut bertanya kepada saya via blog ini. Itu berarti blog ini lebih user-friendly dibanding dosen pembimbingnya saudara Hendra. Betul nggak ! 🙂
Baiklah Hendra, tetapi saya juga bertanya-tanya, jika semua buku pra-tegang dan jurnal telah kamu baca, berarti semua sumber ilmu telah kamu tahu, kalau begitu apa yang aku sampaikan ini dari mana ya sumbernya. 🙂
Meskipun ada keraguan seperti itu, saya akan tetap berusaha menjawabnya. Moga-moga masih bisa memberikan pencerahan.
Kenapa jurnal-jurnal di internet lebih banyak menyediakan masalah postensioning dibanding pretensioning, apa kelebihan postensioning pak?
Ini aku jawab dulu ya, maklum pengetahuan ini harusnya di awal terlebih dahulu. Nah untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita harus tahu terlebih dahulu definisi dari pretensioning dan posttensioning.
Pretensioning
Pretensioning mengacu pada suatu sistem, dimana kabel di stressing dengan bantuan suatu alat bantu khusus yang mandiri, disebut pretensioning bed atau casting bed. Pada casting bed tersebut di bagian ujung ada yang disebut end abutment, yang dapat dipasang kaku atau menempel pada pondasi pretensioning bed.Adapun end-abutment sendiri bisa diatur penempatannya, minimal salah satu ujug, untuk disesuaikan dengan panjang balok atau pelat yang akan dibuat.
Jadi yang di stressing itu bukan balok betonnya, tetapi ujung-ujung strand (kabel) yang masuk ke bagian end-abutment . Untuk memahaminya maka ada baiknya melihat illustrasi berikut yang diambil dari https://id.pinterest.com.

Selanjutnya di antara kabel yang terentang tersebut tentunya telah disediakan bekisting dari product precast (misalnya untuk pile, atau balok). Berikut diperlihatkan beberapa macam casting bed sebagai implementasi proses di atas.


Kemudian setelah siap maka dapat dilakukan pengecoran.

Pada sistem prestressing tidak dijumpai adanya device khusus yang diperlukan untuk pengangkuran kabel. Untuk itu hanya mengandalkan kekuatan lekatan (bounding) antara kabel dan beton. Oleh sebab itu untuk pembuatannya perlu menunggu umur beton tertentu agar kekuatan beton mencapai kekuatan rencana. Pada gambar dibawah ditunjukkan berbagai kondisi casting bed ketika menunggu umur beton yang sesuai.


Setelah itu maka kabel dapat dipotong.

Untuk balok prestressing maka perhatikan bagian ujung baloknya. Tidak terlihat adanya pembesaran. Ukuran penampangnya sama seperti di bagian tengah, juga ujung kabel prestressed (strand) terlihat polos dan nongol begitu saja. Bagian strand yang nongol itu nantinya dipotong dan bagian ujung diaci lagi sehingga tampilan bisa mulus. Ini tentunya akan berbeda untuk sistem post-tensioning yang memerlukan pembesaran penampang karena perlu tempat untuk sistem angkurnya.


Kalau sudah seperti ini, maka girder siap digunakan, diangkat dan dibawa ke proyek.

Gambaran di atas adalah tahapan-tahapan dalam pembuatan struktur pretensioned. Adanya casting bed yang mampu menahan gaya jacking yang besar menyebabkan sistem tersebut hanya ekonomis jika digunakan untuk membuat produk yang banyak dan berulang, karena kalau casting bed hanya digunakan sekali saja maka harganya jelas akan beberapa kali lipat dibanding struktur pretensioned yang dibuat. Boros / mahal. Ini tentu saja tidak terjadi pada struktur dengan sistem posttensioned. Jadi tepatnya sistem pretensioned hanya cocok digunakan pada product massal, di Indonesia ada beberapa perusahaan misalnya :
- PT. Wijaya Karya Beton
- PT. Pasific Prestress Indonesia
Saya kira mereka sudah ahli-ahli dalam menceritakan strategi membuat product precast pretensioned system. Jika kamu masih pusing atau bingung datang aja ke mereka, atau minta jurusan untuk mengadakan studi visit ke perusahaan tersebut.
Posttensioning
Adalah sistem lain dari cara prestressing yang mana tidak diperlukan casting bead, yang mana untuk itu struktur dicor kemudian jalur kabel diberikan terlebih dahulu duct (pipa alumunium) sehingga menyisakan lobang yang dapat dimasukin kabel. Jadi ketika struktur betonnya sudah mengeras maka kabel bisa dimasukkan di duct tersebut selanjutnya pada ujung-ujung diberikan angkur (angkur mati-angkur hidup, atau angkur hidup-angkur hidup) . Dari angkur hidup tersebut kabel di tarik.



Pembahasan pre dan post serta publikasinya di jurnal ilmiah
Sudah dijelaskan secara detail perbedaan antara pre dan post tensioined, pada pre tidak diperlukan angkur yang merupakan patent (mahal) tapi perlu casting bead, sedangkan post perlu angkur tapi tidak perlu casting bed. Jadi struktur prestressing dengan sistem post lebih fleksibel pemakaiannya, dan ekonomis untuk suatu sistem struktur yang tidak bersifat massal. Struktur yang tidak massal (kodian) umumnya unik, artinya hanya sistem struktur post-tensioned yang mengakomodasi digunakan pada suatu konstruksi yang unik, yang dapat dengan mudah mengikuti kemauan imanjinasi engineernya secara ekonomis.
Karena lebih banyak variasi yang dapat diterapkan dengan sistem post-tensioned maka tentunya akan lebih banyak artikel yang dapat dibuat dengan memakai sistem tersebut. Itulah yang menjawab mengapa artikel di jurnal banyak berbicara tentang post-tensioned dibanding pre-tensioned.
Ada juga jurnal yang berbicara tentang pre-tensioned tetapi itu umumnya untuk mengenalkan suatu sistem atau penampang baru yang akan diproduct yang umumnya untuk menunjukkan bahwa yang baru ini lebih baik atau punya suatu keunggulan dibanding yang lama.
Moga-moga puas, karena jawaban di atas aku lupa buku rujukannya. Maklum banyak sekali yang aku baca. Jadi kadang-kadang lupa, apakah yang aku tuliskan tersebut adalah pikiran orang lain atau pikiranku sendiri. Jadi aku nggak kasih buku rujukannya, kecuali sumber dari gambar yang aku gunakan di atas.
Masalah debounding
Menuju pertanyaan yang ke-2, yaitu :
Bagaimana cara menghitung panjang debonded pada beton pratekan pratarik ?
Sebelum menjawab hal tersebut tentu perlu dijawab terlebih dahulu, untuk apa debonded diperlukan pada struktur pratekan pratarik. Tul nggak ?
Hal itu timbul karena kondisi nature dari penarikan kabel pada casting bed. Dari gambar sebelumnya tentu dapat dipahami hanya kabel yang lurus saja yang paling mudah ditarik, padahal jika strukturnya adalah balok maka agar efisien pemasangan kabelnya harus ditempatkan eksentrik pada sisi yang nantinya akan terjadi tarik dari balok tersebut.
Untuk melihat dampak pemberian eksentritias, maka ada baiknya melihat Gambar 14 berikut. Pada Gambar 14a diperlihat kondisi tegangan pada penampang balok, yang mengalami tegangan tarik (sisi bawah) dan tegangan tekan (sisi atas) akibat berat sendiri.
Pada Gambar 14b diberikan gaya aktif berupa gaya prestressing P pada titik berat penampang. Gaya prestressing P tersebut menghasilkan gaya internal penampang berupa gaya aksial tekan. Super posisi tegangan akibat berat sendiri (tekan dan tarik) ditambah tegangan akibat prestressing (tekan semua) maka tegangan tarik akan hilang, disuperposisi oleh tekan. Sedang untuk kondisi tegangan tekan akan berlipat dua kali. Ini adalah tegangan tekan maksimum yang diperbolehkan oleh mutu beton.
Selanjutnya Gambar 14c memperlihatkan jika gaya P diberikan eksentritas, yang berlawanan dengan beban gravitasi. Untuk balok biasa, maka gaya tarik akibat berat sendiri adalah di sisi bawah. Pada bagian tersebut beton tidak bisa bekerja, harus ada tulangan (kalau beton bertulang biasa). Nah untuk PC ditempatkan gaya prategang yang mengakibatkan tegangan tekan. Akibat eksentris tegangan menjadi tidak merata, akan terjadi tegangan gradien dengan bagian tekan di bagian bawah. Karena tegangannya tidak merata itulah, maka jika digunakan mutu beton yang sama (Tegangan maksimumnya sama dengan sebelumnya) maka gaya berat sendiri yang dapat dipikul akan meningkat. Demikian juga dengan beban hidup yang berupa Q , dapat meningkat juga.

Jadi adanya eksentritas kabel pada balok dapat meningkatkan kapasitasnya secara optimal. Jadi untuk mutu beton yang sama, yang berarti tegangan maksimum ijin yang sama, dapat memikul beban luar lebih banyak.
Penempatan kabel pada sisi luar (bagian bawah) akan menimbulkan momen yang menimbulkan camber (melengkung ke atas) dari balok. Kondisi tersebut nantinya akan dilawan oleh berat sendiri. Oleh sebab itu penampangnya tidak boleh terbalik.

Berat sendiri balok menjadi unsur penting untuk melawan adanya tegangan tarik pada beton akibat diberikan eksentritas pada kabel. Pada sistem pretensioning kondisi yang paling berisiko adalah pada saat pemotongan strand dari casting bed. Pada saat itu terjadi transfer gaya kabel yang sebelumnya ditahan oleh end-abutment akan dialihkan menjadi gaya-gaya aktif pada penampang.
Jika tidak ada eksentritas, gaya-gaya internal prestressing akan menjadi gaya tekan merata di balok. Material beton kuat terhadap hal itu. Oleh karena itu tidak ada permasalahan khusus. Tetapi jika kabel prestressing balok ditempatkan eksentris terhadap titik berat penampang maka akan terjadi momen yang menyebabkan camber di atas, lihat Gambar 15b. Jika baloknya diberikan tumpuan di ujung-ujung (lihat Gambar 7), maka akibat berat sendiri ditengah bentang terjadi momen yang berlawanan dengan momen akibat prestressing. Tegangan yang terjadi saling mengisi Gambar 14c. Hasilnya aman.
Masalah timbul jika eksentris tetapi tetap digunakannya orientasi kabel yang lurus, yang artinya eksentrisitas adalah sama sepanjang kabel, atau momen lawan lendut besarnya sama sepanjang balok tersebut, padahal momen lendut akibat berat sendiri hanya maksimum pada tengah bentang. Artinya load-stres pada Gambar 14c di atas, hanya valid untuk kondisi tengah bentang saja. Adapun kondisi di tumpuan dimana akibat berat sendiri momennya nol maka jelas load-stress-nya juga tidak ada. Hal itu menyebabkan kondisi tegangan tidak balans, momen akibat gaya prestressing akan terjadi pada bagian ujung (tidak terlalu ujung, tetapi sejarak panjang penjangkaran dari tepi). Momen ujung tersebut bisa menimbulkan tegangan tarik pada penampang beton, yang jika tidak diantasipasi dengan baik dapat menimbulkan retak. Ingat beton tidak kuat menahan tarik.
Jadi untuk balok prestressing sangat berisiko tinggi untuk terjadinya retak di ujung balok ketika dilakukan pemotongna strand. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 16 berikut.

Banyak usaha dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut, misalnya digunakan sistem harping tendon.

Idenya sendiri cukup sederhana, kabel tendon di ‘pegang’ sehingga ketika ditarik dapat membentuk orientasi sedemikian sehingga terlihat pada tumpuan posisinya terletak pada garis netral, sehingga tidak ada eksentrisitas. Prakteknya tentu tidak mudah, gaya reaksi pada casting bed untuk membuat kabel berkontur tentu memerlukan casting bed yang luar biasa kuat, jika tidak maka bisa-bisa jebol sewaktu ditarik. Coba lihat detail ‘pegangan’ kabelnya.
Hold-down achor (Naaman 2004)
Rumit khan, nggak sesederhana ide di atas bukan. Hal seperti di atas diperoleh Naaman berdasarkan materi jurnal PTI (Post Tensioned Institute). Jadi hal-hal seperti inilah yang masuk di jurnal, karena uniknya. Sudah ada belum ya orang Indonesia yang mempublikasikan hal-hal seperti di atas, kalau dapat mencipta hal-hal yang unik maka saya sih percaya, pasti ada di Indonesia. Tetapi kalau mempublikaskan, wah itu luar biasa.
Jadi ide membuat orientasi tendon untuk kabel pretensioned adalah tidak mudah (mahal). Oleh karena itu timbul ide lain yaitu debounding, materi yang menjadi pertanyaan saudara Hendra Ginting. Seperti apa sih maksudnya, lihat gambar berikut :

Inilah yang dimaksud dengan debounding, idenya sederhana bahwa kabel bekerja bersama-sama dengan beton mengandalkan lekatan antara permukaan kabel dan beton, jadi dengan membungkus dengan tabung plastik yang mencegah terjadinya proses lekatan maka gaya prestressed juga tidak dialihkan ke beton pada bagian tersebut. Jadi dengan membungkus kabel pada bagian dekat tumpuan maka gaya prestressed pada bagian tersebut juga berkurang. Idenya seperti panjang pengangkuran tulangan. Jadi dengan memeriksa momen akibat gravitasi yang perlu diantisipasi oleh kabel maka dapat ditentukan daerah kabel yang perlu dibungkus. Untuk itu tentu perlu diketahui panjang penyaluran pada kabel yang ternyata ada ditampilkan secara lengkap rumusnya di bukunya Naaman (2004), dan ada juga dalam bentuk grafik yang tentu lebih mudah dipahami sbb:

Buku rujukan yang dapat digunakan adalah Naaman (2004).”Prestressed Concrete Analysis and Desaign – Fundamenta”l atau Edward G. Nawy. (1996).”Prestressed Concrete – A Fundamental Approach 2nd Ed.” , Prentice Hall Int.
Saya kira materinya sudah lengkap, jika belum, baca lagi bukunya Naaman atau Nawy di atas. Sekarang gantian aku istirahat, hari Sabtu, awal berpuasa. O ya bagi yang menunaikan ibadah puasa, selamat berpuasa.
Salam
ow, matur nuwun pak. wacana posttensioning nya membuka wawasan. slama ini sy juga ndak paham beda diantara keduanya.
slm hangat, kuli proyek
SukaSuka
Terima kasih artikel yang bapak berikan
SukaSuka
Pak Wir, mungkin pertanyaannya agak aneh.. apakah bisa mendisain balok prategang dengan diagram interaksi?
knp slalu menggunakan diagram tegangan? klo dilperhatikan balok prategang kan mirip kolom, cm direbahkan sj.. just my opinion. Klo bs gmn caranya pak? klo g bs knp?
Thx for your attention.
SukaSuka
terima kasih atas jawabannya pak….
jawaban bapak sangat memuaskan..dan telah membuka kebuntuan otak saya…
dan doa saya semoga semakin banyak para engineer indonesia menerbitkan jurnal-jurnal prestress sehingga kami para mahasiswa ini lebih mengerti dan lebih paham masalah prestress dan semoga bukan saya aja yang tercerahkan ilmunya……hehehe..hehehe
GBU…
SukaSuka
sangat membuka wawasan pak, oiya pak, agak sedikit melenceng pak. untuk sistem core slab dengan sistem prestessing apakah juga memperhitungkan kern batas pak, mengingat jika pada kondisi aktual, pcore slab berupa plat berongga mempunyai decking beton yg kecil. atau bagaimana pak sistem tersebut?trima kasih
GBU
SukaSuka
Mantap Pak Wir..
Izin Reblog yaa
SukaSuka