Jangan kaget, materi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan dunia teknik sipil. Sebagai anggota grup penulis Elex, maka tentunya aku tertarik pula menulis sisi-sisi lain dari kehidupanku, yang mungkin bagi sebagian orang cukup menarik. Tentang hal itu, rasanya belum banyak yang membahas tentang nyadran, meskipun dari google terdapat pula beberapa orang yang telah meng-up-load gambar-gambar dari acara nyadran, tetapi rasanya mereka masih terbatas pada rituil atau bahkan menjadi semacam perayaan rutin saja.
Banyak orang yang tahu bahwa nyadran adalah tradisi dari masyarakat Jawa, setahu saya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maklum, aku dibesarkan di kota Jogja (DIY dan Jawa Tengah), dan juga nenekku dulu berasal dan tinggal di kabupaten Blitar (Jawa Timur).
Nyadran ada kaitannya dengan tradisi ziarah kubur masyarakat jawa muslim menjelang bulan puasa. Meskipun demikian ternyata diikuti pula oleh masyarakat jawa non muslim yang lain, seperti keluarga besarku. Dalam hal ini, acara tersebut menjadi suatu tradisi atau budaya.
Perbedaan antara ziarah kubur dan nyadran adalah, bahwa nyadran adalah ziarah kubur yang dilakukan bersama-sama pada waktu-waktu tertentu oleh suatu komunitas atau keluarga yang mempunyai sanak-saudara yang makamnya ada dipemakaman tersebut (yang akan di ziarahi). Karena itu menjadi acara rutin, dan dilakukan atas dasar rasa keluargaan maka umumnya diambil pada suatu hari yang ditentukan bersama. Acara nyadran untuk keluargaku diadakan di pesarean Sireap, suatu makam khusus untuk keluarga besarku dan bukan pemakaman umum. Pemakaman tersebut terletak di daerah perbatasan antara Jogja-Kedu, daerah kaki pegunungan Menoreh, kabupaten Kulonprogo, Jogyakarta.
Adapun acara nyadrannya dipilih pada hari Minggu terakhir menjelang bulan puasa. Meskipun waktunya tanpa tanggal, tetapi karena waktu menjelang puasa adalah sudah pasti di penanggalan maka harinya dapat ditentukan jauh hari sebelumnya. Oleh karena itulah acara nyadran tersebut dapat dihadiri oleh anggota-anggotanya dari berbagai penjuru.
Komplek pemakaman tempat nyadran telah lama ada, bahkan salah satu sesepuh yang dimakamkan disitu disebutkan sebagai salah satu panglima perangnya Pangeran Diponegoro. Dengan demikian keberadaan kompleks pemakaman tersebut sudah cukup tua, sehingga anak turunnya yang dimakamkan disitu pasti sudah berkembang banyak, oleh karena itulah meskipun tempatnya terletak tinggi di lereng gunung Menoreh dan jauh dari tetangga sekitarnya tetapi acaranya sendiri cukup ramai. Jadi peserta nyadran di situ adalah bukan dari penduduk desa, tetapi dari anggota keluarga yang sebagian besar datang dari luar desa tersebut.
Apanya sih pak Wir koq bapak membahas tentang nyadran. Itu khan sisa-sisa jaman dulu ?
Itulah dik, dalam jaman modern ini banyak orang yang melihat semuanya serba materi. Jika tidak dihasilkan materi (duit) maka dianggapnya tidak berharga, membuang-buang waktu saja. Juga nyadran tersebut, sepintas orang (modern) akan menyepelekan, dianggapnya sudah kuno.
Tetapi jika mau direnungkan ke dalam, maka akan terlihat kebesaran falsafah hidup orang Jawa. Saya tidak tahu tentang suku-suku lain di Indonesia, tetapi ada baiknya coba bandingkan dengan esensi dari nyadran yang akan aku kupas pada tulisan ini.
Sebagai pengantar aku akan sampaikan beberapa perumpamaan (peribahasa) orang jawa yang dapat digunakan sebagai petunjuk tentang falsafah hidupnya.
Urip iku mung mampir ngombe, yang artinya hidup itu hanya sekedar numpang minum. Suatu ungkapan yang biasa diperdengarkan oleh orang dalam khasanah budaya jawa tentang lama kehidupan manusia ini, yaitu relatif pendek. Juga mungkin pernah dengar ungkapan mikul duwur mendhem jero, yang cocok diartikan sebagai menjunjung tinggi nama orang yang kita hormat, misalnya orang tua (leluhur), atas jasa-jasanya dan melupakan hal-hal negatif yang mungkin ada. Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan penting, seperti misalnya perjodohan maka orang jawa selalu mengingat tentang bibit, bobot, bebet, yaitu faktor keturunan, faktor orangnya pribadi (fisik, sekolah, pangkat), dan faktor lingkungan kehidupannya. Hal-hal itu menunjukkan bahwa asal-usul seseorang itu adalah faktor penting dalam pengambilan keputusan hidup ini bagi orang Jawa.
Perhatian terhadap asal-usul seseorang, apalagi yang berdarah biru (keraton atau yang dianggap mempunyai darah bangsawan) pada masa lalu ditunjukkan dengan gelar-gelar di depan namanya, misalnya R (raden) atau RM (raden mas) dan sebagainya. Orang-orang (tua) yang masih mencantumkan gelar tersebut maka jika ditanya akan dapat menjelaskan asal turunannya dari mana, misal dari Kulon Kali, yaitu untuk menunjukkan dari alur keluarga bangsawan Pakualaman, atau Wetan Kali untuk menunjuk alur keluarga bangsawan Hamengkobuwono.
Bagi yang tidak berdarah biru, masyarakat biasa, maka dalam usaha mempertahankan asal-usul maka pada umumnya mereka akan merujuk pada pemakaman orang yang dianggap menjadi cikal bakal silsilah keluarganya. Tentunya yang dirujuk adalah orang dulu yang dianggap bercitra, punya pengaruh. Jadi misalnya dapat saja dikatakan bahwa aku adalah orang jawa asli, yang mana kakek buyutku dulu adalah salah satu panglima perang P. Diponegoro, yang mana makamnya ada di pesarean Sireyap, Kulon Progo.
Kemampuan mempertahankan alur, silsilah keluarga dari berbagai generasi secara jelas dan masih terus merawat pemakamannya setiap tahun tentulah tidak mudah. Saya yakin tidak semua suku di Indonesia mempunyai kebiasaan atau bahkan kemampuan seperti itu. Bayangkan saja, bagi masyarakat modern yang sifatnya nomaden, bisa menunjukkan dan secara rutin merawat makam orang tua dari nenek atau kakek kita saja maka saya kira sudah hebat. Biasanya mungkin karena keterbatasan waktu, biaya atau kesehatan maka umumnya yang masih diperhatikan adalah makam dari anggota keluarga, orang tua atau sampai kakek/nenek. Di atas alur silsilah tersebut rasanya sudah jarang. Apalagi jika lokasi makamnya tidak menjadi satu, tetapi bertebaran di tempat-tempat yang berbeda. Hilang deh jalurnya.
Jadi nyadran adalah salah satu sarana yang telah ada berpuluh-puluh tahun atau beratus-ratus tahun yang lalu yang telah dipergunakan oleh masyarakat Jawa dalam usahanya mempertahankan atau mengingat alur silsilah keluarganya. Bandingkan dengan saudara kita dari daerah Sumatera yang mencoba mempertahankan silsilah keluarga besarnya dengan menyandang nama marga.
Dengan nyadran kita juga diingatkan bahwa hidup itu adalah relatif sebentar, setelah itu kematian adalah suatu kepastian. Oleh karena itu untuk mengantisipasinya orang jawa harus mempersiapkan, dengan nyadran kita juga saling mengingatkan jika ada yang meninggal maka di makam itulah akan dibaringkan. Dengan sekaligus pada satu makam, maka kita yang relatif tua akan ketemu dengan sesepuh, yang sekaligus mengingatkan kita siapa-siapa saja yang ada di makam tersebut dan relasi apa dengan kita. Karena kita diingatkan oleh sesepuh kita tentang makam-makam generasi sebelumnya, maka makam-makam tersebut akan relatif terjaga karena kita menganggapnya sebagai bagian kita juga. Bayangkan jika itu terjadi pada pemakaman umum, jika sudah lewat empat generasi maka biasanya sudah tidak terawat lagi. Bisa-bisa makamnya dibongkar, untuk dipakai orang lain lagi. Ingat, kita cenderung berziarah pada orang yang pernah kita kenal semasa hidupnya. Betul nggak.
Jadi acara nyadran tidak hanya sekedar upacara, tetapi juga bagian dari kehidupan kita, lahir-besar-mati. Hidup ini tidak sekedar untuk mencari makan, tetapi lebih dari itu, kita adalah bagian dari suatu generasi, dimana generasi berikutnya juga akan mengingatnya bilamana kita dianggap bercitra atau berpengaruh.
Nisan eyang kakung dan putri Pudjomartono, di pesarean Sireap, Kulonprogo.
Jangan takut, gambar di atas adalah foto batu nisan dari kakek dan nenekku, eyang Pudjomartono, yang dimasa mudanya menjabat lurah di salah satu desa di Kab. Kulon Progo. Perhatikan, yang hijau dan biru di atasnya itu adalah pantai selatan jawa. Itu bisa terlihat jika makam tersebut di atas adalah berada di ketinggian perbukitan menoreh. Kalau dipikir-pikir, yaitu ketika membaca buku fengshui maka ini adalah salah satu bentuk makam yang idealis menurut kepercayaan tionghoa, membawa hoki bagi anak turunya begitu katanya . Percaya atau tidak, tetapi memang rasanya hidupku dan keluarga besarku penuh dengan keberuntungan. 🙂
Ini posisinya sekitar 1/3 dari ketinggian pemakaman tersebut, dan yang putih itu tangga menuju pemakaman, di samping kiri, yang terlihat ada tenda coklat, terdapat rumah panggung terbuka dimana acara nyadran diadakan. Adapun ibu yang duduk memakai topi putih adalah ibuku, yang kecapaian setelah menaiki tangga yang lebih dari 200 anak tangga, bayangkan itu. Jadi bagi orang tua yang sudah tidak kuat tetapi masih punya keinginan kuat untuk nyekar maka diperlukan tandu khusus yang diangkut masyarakat desa setempat. Perhatikan pada foto di atas, terlihat seorang ibu yang sudah sepuh duduk di atas tandu.
Dengan ikut nyadran di atas, maka aku diingatkan bahwa keluarga besarku adalah keluarga jawa yang istimewa. He, he, he, jadi akupun harus istimewa dalam hidupku. Aku harus bermakna dan harus dapat menjadi kebanggaan anak turunku nanti.
Semoga Tuhan berkenan.
Amin.
Selamat malam Pak Wir…
Saya tungguin lo tulisan Bapak yang lain..
Banyak menambah wawasan dan juga motivasi belajar..
Lanjutkan Pak..hehe…
SukaSuka
ditempatnya saya di lahirkan nyadran dilakukan untuk memperingati hari jadi desa. bisanya ada wayang semalam suntuk 🙂 aih jadi kangen desa 😀
SukaSuka
mas, bagus bgt artikelnya ..
salam kenal ya mas ..
SukaSuka
Nyadran adalah warisan tradisi luhur, semenjak walisanga mengislamkan jawa, nyadran menjadi alat yang sangat ampuh untuk memasukkan ajaran-ajaran dalam budaya jawa. Meskipun fenomena yang ada sekarang keluarga-keluarga besar yang disebut TRAH itu tidak hanya yang beragama Islam saja. Sebuah balutan multi religi ke dalam mono budaya, mengagungkan nilai-nilai luhur para pendahulu.
FILOSOFI yang luar biasa. Angkat topi kagem mas WIRYANTO DEWOBROTO salam kenal.
SukaSuka
asik…simple, sederhana sekali, g dibuat2
SukaSuka