Transportasi memang bukan bidang kajianku, bahkan ilmunyapun yang aku pelajari dulu di S1 sudah hilang, entah menguap kemana. Nggak ada yang nyangkut sama sekali. Jadi kalau berbicara tentang transportasi sebenarnya omonganku seperti juga omongan orang biasa, awam. 🙂
Meskipun nggak punya ngelmu transporatasi teoritis formal, tetapi kalau berbicara tentang transportasi sedikit-sedikit juga tahu, yaitu mengandalkan ngelmu titen (jawa , titen adalah selalu memperhatikan perilaku yang ditangkap indera dan dicatat dalam pikiran) , yang kerennya disebut sebagai ilmu empiris. Bagaimana tidak, setiap pagi selalu saja melewatkan diri antar bekasi-jakarta-tangerang. Jadi yang namanya macet adalah tidak asing lagi. Meskipun demikian ketika tahu ada kejadian macet, maka diusahakan bila memungkinkan adalah menghindarinya, meskipun untuk itu jadi kehilangan event yang seharusnya dapat dikunjungi.
Mengeluh tentang macetnya Jakarta aku sudah sering tuliskan di blog ini. Jika dulu pertama kali ke Jakarta, yang namanya macet kadang-kadang diinterprestasikan berbeda, dianggap itulah kota metropolitan. Khan banyak mobilnya, jadi dapat dimaklumilah kondisinya. Setelah beberapa lama berlalu, setelah hampir 20 tahun hidup di jakarta dan juga kesempatan jalan-jalan ke luar negeri (meskipun sebentar doang) maka jadi tahu bahwa macet itu tidak identik dengan kota metropolitan. Bahkan macet yang terjadi dapat menjadi indikasi belum majunya negeri ini dalam mengelola kehidupan masyarakatnya. Itu terjadi karena infrastruktur yang ada tidak memadai.
Jadi kesimpulan yang dapat aku ambil dengan kondisi macet yang ada ini adalah bahwa pemimpin negeri ini harus berani mengambil keputusan bahwa agar negeri ini maju maka infrastruktur MRT (mass rapid transportation) harus dipilih dan dibangun. Adapun MRT yang telah terbukti tepat adalah kereta api, tidak bisa lain. Busway hanya untuk sementara saja, karena jelas itu bukan sebagai solusi untuk mengatasi macet yang ada.
Untuk memilih MRT kereta api, jelas tidak sederhana, perlu keberanian khususnya menghadapi orang-orang yang berpikiran kerdil, dan juga memerlukan dana yang besar. Tapi saya yakin kita bisa, bayangkan saja, kota Singapore yang kecil saja bisa mempunyainya maka kenapa kita tidak. Selama ini kita khan merasa sebagai bangsa besar, jadi kenapa takut.
Untuk mengajak memilih kereta api sebagai MRT aku sebenarnya ingin menceritakan pengalamanku di Stuttgart, atau di Singapore atau di Kuala Lumpur tempo hari sehingga rekan-rekan pembaca blog ini dapat memaklumi, mengapa aku memilih moda transporatasi tersebut. Terus terang belum sempat aku membuat artikel yang dimaksud, tak dinyana tak disangka, hari ini aku membaca tulisan di harian Kompas berjudul :
TRANSPORTASI – Mendamba “Subway” seperti di Tokyo…
Sabtu, 12 September 2009 | 05:09 WIB
HARYO DAMARDONO
Wah pas dengan apa yang ingin kusampaikan. Salute deh atas tulisan tersebut. Moga-moga itu dapat menginspirasi para pengambil keputusan negeri ini.
Yang tidak membacanya, rugi lho.
Betul Pak Wir…Aku juga setuju bgt dengan pendapat Pak.Wir..Suatu kota belum layak disebut kota Metropolitan kalau masi belum mampu memiliki sistem transportasi yang bagus..
Best Regards…
SukaSuka
jadi kapan ya kira-2 ada MRT di jakarta?
SukaSuka
semoga saja di jakarta yang jadi kota metropolis memiliki sistem transportasi yang bagus dan layak.
SukaSuka