Pelaksanaan UN telah berakhir, yang lulus tentunya merasa lega (dan bangga) sehingga bisa memikirkan tindakan selanjutnya. Adapun yang tidak lulus, tentu menjadi pemikiran (nangis tidak bangga / prihatin ), tidak hanya bagi siswanya saja tetapi orang-orang lain disekitarnya juga.
Tidak lulus UN menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyelesaikan soal-soal dengan baik, tetapi juga kadang-kadang dapat dikaitkan dengan hal-hal lain yang dikaitkan dengan soal ‘kebanggaan dan keprihatian yang menyertainya‘.
Apa itu pak ?
Wah kamu itu kayak nggak tahu aja. Terlepas dari materi soal UN yang masih menjadi bahan perdebatan, tetapi tentang ini rasanya sudah dipahami bersama, bahwa jika seorang murid lulus UN maka orang-tua dan gurunya akan bangga. Jika itu dikembangkan, pada suatu sekolah dimana semua siswanya lulus UN maka dapat dipastikan tidak hanya gurunya tetapi juga kepala sekolahnya akan bangga. Jika banyak sekolah-sekolah pada suatu daerah, muridnya juga pada lulus semua, maka dapat dipastikan kepala daerahnya merasa bangga. Ada keyakinan, bahwa karena anak-anak di daerahnya padal lulus UN maka artinya sekolah-sekolah di daerahnya adalah sekolah baik, juga murid-muridnya pintar-pintar.
Kenapa bisa demikian, karena dirasa tidak setiap orang (murid) dapat mengerjakan soal UN tersebut.
Apa buktinya pak ?
Khan ada yang tidak lulus, bahwa ada bukti satu sekolah tidak lulus semua.
Jadi karena ada murid yang lulus dan ada yang tidak lulus itulah maka UN pada sebagian besar orang (yang lulus tentunya) menjadi simbol kebanggaan. Coba bayangkan, jika semua yang ikut UN merasa bahwa mereka pasti akan lulus, maka saya kira tidak ada itu yang namanya kebanggaan, seperti orang dengan SIM mengemudinya. Beberapa puluh tahun yang lalu, ketika mencari SIM harus mengikuti ujian yang benar-benar, maka punya SIM adalah suatu kebanggaan, sekarang kalau punya duit khan dapat dengan mudah punya SIM. Memangnya ada yang membanggakan sekarang jika punya SIM, paling-paling hanya merasa lega ketika bertemu polisi, khususnya bila ada rasia.
Jadi ketika ramai di koran-koran memberitakan ada murid-murid yang tidak lulus UN, dan bahkan diberitakan ada murid yang tidak lulus UN lalu minum racun serangga. Mengapa itu diherankan. Namanya saja ujian, pasti ada yang lulus dan ada yang tidak, tergantung dari kesiapan siswanya. Itu adalah suatu kewajaran.
Jika itu terjadi, ada yang tidak lulus, maka mestinya yang dipermasalahkan adalah bagaimana strategi menghadapi ujian UN itu agar lulus, dan bukannya mencemoh UN-nya yang salah. Jadi jika harapannya, bahwa UN ada, tetapi semua murid yang mengikutinya lulus, maka itu namanya buang-buang energi dan duit saja, yang dinamakan UJIAN pasti akan seperti itu.
yup bener pak.UN itu emang sangat berguna.supaya bisa mengukur kepintaran siswa2 di indonesia ini.
SukaSuka
Seandainya…
Seandainya fasilitas sekolah di pelosok daerah tidak bedanya dengan fasilitas sekolah di Jakarta…
Seandainya guru-guru di pelosok daerah mendapatkan kesejahteraan yang tidak ada bedanya dengan guru-guru di Jakarta..
Seandainya kualitas sekolah dan guru-guru di pelosok daerah mempuyai tingkat kualitas yang tidak ada bedanya dengan sekolah dan guru di Jakarta..
Seandainya tiap murid yang tak mampu namun merupakan murid berbakat di pelosok daerah mendapatkan perhatian dengan yang di Jakarta..
seandainya….
seandainya….
senadainya….
Kenapa UN tidak dipegang (selenggarakan) oleh masing2 Pemda (Gubernur) dan kantor Depdikbud tiap Propinsi?
Karena mereka lebih tau kekurangan yg ada dalam penerapan sistem pendidikan nasional untuk daerah mereka masing2..
Kalo hendak membandingkan keseluruhan murid2 sekolah dengan ditentukan oleh lulus UN, maka sebelumnya semua mimpi (“seandainya”) diatas harus diwujudkan secara merata di seluruh pelosok negeri ini..
Budaya Sistem Pendidikan kita baru sekadar sistem coba2 dan menerapkan sistem baru lagi setelah ganti Menteri Pendidikan nya..
Benar-benar Indonesai ini adalah negara yang menyedihkan…
Syallom..
SukaSuka
Mungkin memang banyak yang harus kita benahi untuk masalah pendidikan di negeri ini. Kita harus terus mencari solusi yang tepat yang sesuai dengan kondisi kita. Bagi mereka yang tidak lulus UN, jangan berputus asa. Banyak peluang terbuka untuk sukses.
SukaSuka
Kalau ada sekolah yang murid-nya tidak lulus UN 100%… kemungkinan besar karena mereka tidak pede untuk mengerjakan soalnya sendiri (baik murid maupun guru)…. sehingga beredar luar kunci jawaban…. yang sialnya kuci jawaban tersebut salah semua…..
heran hari gini masih banyak yang percaya sama kunci jawaban…… kalo gak pede sama soal2 UN harusnya dibahas soal2 UN tahun2 lalu…. bukan cari kunci jawaban……..
SukaSuka
saya setuju dengan bang Mark …… kegagalan adalah awal dari keberhasilan…..
klo mau cari lowongan berkujung kesini yak… 😀
http://bursa-lowongan-kita.blogspot.com/
SukaSuka
Numpang Comment pak wir..
UN boleh2 sj,..tp kyknya kurang bijak klo menstandarisasi kemampuan masing2 siswa di seluruh indonesia,alasannya,.:
1. Kualitas pendidikan di setiap daerah gak sama,dan itu bukan salah siswanya,tp pemerintahnya.
2. Saya kira membandingkan siswa SMK/STM dengan SMU adalah tidak bijak,..siswa SMK kan sehari2nya di fokuskan pada pendidikan keterampilan,..masa` diberikan materi ujian yang sama dengan siswa SMU yg notebene setiap hari kerjanya hanya menghapal dan “makan” rumus”,..
SukaSuka
Satu waktu, saya ngobrol sepintas mengenai masalah UN ini dengan ayah mertua dan seorang adik istri saya.
Ada beberapa pendapat adik saya ini yang cukup menarik bagi saya.
Di antaranya, UN ini membuat peran guru selama 3 tahun belajar menjadi kecil atau bahkan tidak ada artinya sama sekali. (Lho kok?)
Dia membandingkan masa saat ini dengan masa sebelum UN, dimana peran guru/wali kelas masih cukup menentukan kelulusan muridnya.
Dimana bisa terjadi kondisi nilai ujian (dulu NEM) jeblok, tapi masih bisa lulus (atau diluluskan) karena dibantu nilai sehari-hari.
Sedangkan saat ini, seorang anak yang sehari-harinya selama 3 tahun berperilaku baik dan mempunyai nilai akademik bagus, bisa saja menjadi tidak lulus UN karena berbagai alasan.
Di sisi lain, seorang anak yang sehari-harinya selama 3 tahun -katakanlah- brengsek dan sama sekali tidak mempunyai nilai akademik yang bagus, bisa saja dia lulus karena belajar sungguh-sungguh menjelang UN.
Singkatnya, jerih payah tiga tahun kalah oleh kesungguhan dalam satu hari.
SukaSuka
mas Saiful, itulah kehidupan. Jadi harus selalu “eling lan waspadha”, bahkan siap setiap saat.
Anda ingat prof yang di Bandung tempo hari yang dituduh plagiat. Bayangkan, semua karir dan pendidikannya jadi seperti sia-sia dan harus angkat kaki dari universitasnya, hanya karena perbuatannya yang mungkin relatif sesaat dibanding lama prestasi yang telah dicapainya.
SukaSuka