event dibanding-bandingkan di UPH


Artikel terakhirku adalah tentang pendidikan di India dan di Indonesia, suatu artikel yang mencoba menyusun suatu argumentasi untuk  membandingkan kondisi pendidikan di negara satu dengan negara yang lainnya. Memang sih, tidak terlalu dalam artikel yang aku susun, sepintas saja. Adapun tujuannya tentu dalam rangka memilih, mengevaluasi dan melakukan tindakan selanjutnya berdasarkan argumentasi yang diajukan tersebut. Jadi dengan cara membanding-bandingkan tersebut maka dapat dilakukan suatu tindakan dan  dapat dikatakan sebagai awal menuju sesuatu proses perubahan yang lebih baik.

Proses membanding-bandingkan adalah proses nature manusia dalam bertindak, bertumbuh dan mungkin itulah kunci kehidupan ini agar maju, yaitu berusaha relatif lebih baik dari yang lain.

Itu juga terjadi di UPH lho, kampus tempatku bekerja. Mau tahu ?

UPH tentu ingin maju.

Itu sih bukan pertanyaan, tetapi suatu pernyataan. Kalau mau hidup, ya harus bertumbuh. Tidak hanya sekedar bertumbuh, tetapi harus lebih baik dari yang lain, yaitu kampus-kampus disekitarnya. Apalagi banyak orang awam yang bilang, biaya berkuliah di kampusku tersebut relatif mahal.

Itu tidak akan aku pungkiri, sebagai orang yang pernah mengenal kampus-kampus di Indonesia, juga beberapa di negera lain, maka gedung dan fasilitas kampus UPH adalah tidak main-main. Cobalah jika anda berkunjung ke UPH, jangan lupa untuk mampir ke gedung perpustakaan pusat di Lippo Karawaci. Kalau belum pernah kesitu, rugi. Isinya juga tidak jelek lho, setiap tahun ada-ada saja buku baru. Buku lho, bukan jurnal. Tentu saja yang aku maksud buku dan jurnal adalah di bidang teknik sipil. Jangan salah, meskipun jurusan teknik sipil UPH, murid-muridnya relatif kecil dibanding jurusan-jurusan lain yang ada di UPH, tetapi koleksi buku-bukunya cukup wah. Bahkan banyak diantaranya belum sempat aku baca. 🙂

Karena buku adalah modal intelektual seseorang, maka jika anda berkunjung ke suatu kampus maka ada baiknya anda melihat koleksi-koleksi bukunya, yaitu di perpustakaan. Itu penting, karena dapat menjadi indikasi apakah para pengelola di kampus tersebut sadar untuk telah berinvestasi pada hal tersebut. Kalau hanya mengandalkan gedung, wah itu nggak terlalu utama, meskipun tentu saja itu juga perlu dan penting.

Ingat, belajar di tempat yang gerah, panas dan ramai tentu tidak enak, tentu akan lebih efektif belajar di tempat yang sejuk, tenang dan tidak ramai. 🙂

Tentang tempat yang tidak ramai ini ada yang pernah complaint. Tamuku. Kebetulan beliau sedang berdiskusi di meja  kerjaku, maklum tempatnya terbuka, hanya dipisah oleh rak buku dengan meja-meja yang lain. Kebetulan sedang ada mahasiswa-mahasiswa yang berkunjung ke dosen tetangga mejaku. Maklum banyak dosennya yang juga alumni, jadi suasananya  jadi ramai. Tamuku tersebut sempat bertanya, apakah ditempat kerja seperti ini (saya) bisa berpikir dengan baik. Aku langsung sadar, aku bilang ini tidak setiap saat, he, he, hanya sering, maklum dosen yang lain di sekitarku kebanyakan masih muda, alumni, jadi hubungannya dengan mahasiswa-mahasiswa relatif seru. He, he, jadi harap dimaklum saja. Tamuku tersenyum memaklumi.

Jadi faktor tempat untuk dapat belajar dengan baik memang penting. Itu tadi tamuku telah mengingatkannya.

Dari kaca mata lokasi, kampus UPH saya kira cukup istimewa. Lokasinya adalah khusus, berada di kompleks real-estate Lippo Karawaci, atau sekarang kembali disebut Lippo Village. Keberadaannya tidak ditengah-tengah perkampungan. Memang sih letak kampus UPH Karawaci cukup jauh dari Jakarta, harapannya tentu saja agar dapat diperoleh kampus yang relatif tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota besar Jakarta. Tentang letaknya cukup strategis juga lho, mudah di jangkau. Untuk hal itu sih tidak usah ditanya, lokasinya persis di dekat pintu gerbang masuk dari arah tol Jakarta-Merak. Itu pula yang menjawab, mengapa aku bisa kuat setiap hari pergi-pulang dari Bekasi ke kampus Karawaci tempatku bekerja. Tentu saja untuk itu jalannya via tol.

Itu cerita tentang sarana fisik, yang dapat dibandingkan secara mudah via indera. Bagaimana dengan infrastruktur didalamnya.

Ingat suatu kampus yang bermutu maka perlu didukung oleh unsur-unsur yang bermutu pula, yang paling utama tentulah adalah unsur guru-murid, selanjutnya didukung oleh materi penunjang pembelajaran (kurikulum dan pustaka) dan terakhir adalah prasarana belajar-mengajar. Agar efektif dan terjadi kesinambungan, khususnya dalam mempertahankan visi-misi yang diemban maka kesemuanya tersebut perlu didukung oleh sistem yang disiplin dan jelas, serta kepemimpinan yang visioner (berorientasi ke depan), maka akan hiduplah kampus tersebut.

Jika ingin hidup dan unggul juga maka diperlukan sinergi unsur-unsur tersebut dalam mewujudkan tri-dharma perguruan tinggi. Karena ada tiga unsur yaitu [1]pengajaran, [2]penelitian-publikasi dan [3]pengabdian pada masyarakat, maka jelaslah aagr dapat menjadi kampus unggul tidak boleh hanya berfokus pada masalah pengajaran saja. Jadi unsur kampus yang dapat diberi tanggung jawab penuh untuk mengembangkan tri-dharma perguruan tinggi adalah unsur guru / lecturer-nya.

Kesimpulan yang dapat diperoleh, agar suatu kampus dapat menjadi unggul, maka kualitas dosen-dosen yang mendukung keberadaan kampus tersebut adalah mutlak. Tanpa itu, meskipun fasilitas nomer satu, muridnya  juga ok, maka mencapai suatu keunggulan adalah tidak mudah.

Pemahaman seperti itu rasanya juga dimengerti dengan baik oleh para petinggi di kampus UPH. Jika sebelumnya lebih banyak berfokus tindakan-tindakan promosi untuk meningkatkan kuantitas penerimaan murid baru, maka belum lama ini baru saja diselenggarakan OFA, yaitu Outstanding Faculty Award. Yah semacam grammy award, tetapi khusus bagi dosen-dosen tetap di UPH, dari sekitar 14 fakultas dan 26 jurusan yang ada maka ada sekitar 300 – 400 dosen. Cukup banyak juga ya. Jadi dosen-dosen tersebut dibanding-bandingkan satu sama lain untuk diperoleh dosen yang karyanya selama di UPH dapat dianggap outstanding (istimewa).

Karya dosen itu apa sih pak, khan tugasnya hanya mengajar ?

Wah kamu itu tidak menyimak penjelasanku di depan. Dosen itu tidak hanya mengajar, memang sih di Indonesia ini yang namanya dosen maka orang awam akan menyebutnya sebagai staff mengajar, atau  karyawan yang hanya bertugas mengajar. Itu tidak benar. Itulah mengapa kampus di negeri kita ini masih kalah jauh dibanding kampus-kampus unggul di tempat lain, yang bahkan sampai ada pepatah yang menakutkan dikalangan dosennya yaitu publish or perish.

Wah-wah jadi itu menakutkan juga nggak pak di kampus ?

Ya enggak dong, maksudku itu dijadikan tolok ukur untuk proses membanding-mbandingkan dosen-dosen (tetap) di UPH. Jadi prosesnya bukan seperti idol yang di televisi itu, yang cukup membanding-bandingkan dari segi penampilan luar yang dapat diberikan, tetapi dari penampilan karya-karya desain maupun tulisnya yang dapat dianggap out-standing.

Dalam pelaksanaan OFA tahun ini yaitu 2010, yang merupakan pertama kalinya (dulu katanya juga ada, tetapi tidak diberi nama OFA dan sifatnya terbatas) maka proses membanding-bandingkan tersebut diberikan pada tingkat fakultas, dalam hal ini dekan diminta mengevaluasi dosen-dosen di fakultasnya untuk dapat memilih beberapa yang dapat diajukan ke tingkat universitas. Karena langkah pertama yang berperan aktif adalah dekanat, maka OFA tidak terlalu gembar-gembor beritanya di luar. Bahkan yang tidak ‘dekat’ dengan dekanat pasti tidak tahu jika ada OFA. Kebijakan ini diberikan dengan harapan ada partisipasi aktif dekan dalam memilih dosen tersebut. Jadi jika dosen oleh dekannya dianggap tidak outstanding, maka jelas tidak akan diajukan untuk dipilih. Dekan untuk itu tentu akan minta tolong ketua-ketua jurusan dibawahnya. Jadi anggapannya, karena dekan dan ketua jurusan adalah yang sehari-hari mengenal dan bertemu dengan dosen-dosen yang mengajar ditempatnya maka tentu pengetahuan ini valid. Jadi info dari bawah baru ke atas.

Dalam proses ini, ternyata tidak begitu gampang, karena ternyata dari 14 fakultas, hanya dapat terkumpul sekitar 10 kandindat dosen untuk dibanding-bandingkan di OFA 2010. Sedikit banget ya, padahal tadi di UPH ada sekitar 300-400 dosen. Kenapa itu ?

Wah secara tepat saya juga kurang tahu. Jumlah itu khan hanya sekitar 3%-nya saja dari populasi dosen di UPH. Kata kuncinya jelas di tingkat fakultas, alasannya kurang jelas, bisa karena dekannya sibuk sehingga tidak aktif memberi respon kegiatan yang diselenggarakan pimpinan universitas, atau memang dosennya tidak ada yang memenuhi kriteria outstanding dalam kacamata publish or perish tersebut. Jika demikian ini dapat dijadikan fakta, bahwa dosen di Indonesia, khususnya di UPH lebih banyak berfokus pada bidang pengajaran. Itu artinya dosen-dosennya belum dapat mengamalkan tri-dharma perguruan tinggi yang selama ini telah digembar-gemborkan lama. Padahal kriteria itu penting bagi dosen yang bercita-cita menjadi profesor.

Pak bagaimana jika dosennya memenuhi kriteria publish or perish, tetapi mengajarnya nggak bisa ?

O pertanyaan seperti itu rasanya telah disiapkan argumentasinya. Begini dik, tentang proses belajar dan mengajar di UPH maka ada penilaian yang diberikan murid kepada dosennya, dan itu telah menjadi tradisi lama. Dalam hal ini ada kuisioner yang diberikan pihak fakultas pada pertengahan semester untuk diisi mahasiswa, fokusnya adalah mencatat respon mereka terhadap kinerja pengajaran sekaligus fasilitas yang telah berlangsung selama pertengahan semester tersebut. Sengaja tidak diberikan di akhir semester untuk menghindari penilaian karena pengaruh hasil ujian yang keluar. Jadi dengan berbekal hasil kuisioner tersebut selama tiga tahun berturut-turut maka pimpinan universitas bisa menilai bahwa kandidat OFA pasti telah memenuhi syarat mengajar tersebut . 🙂

Baik untuk melihat bagaimana OFA 2010 di UPH berlangsung maka ada baiknya kita lihat foto-foto dokumentar yang ada.

Inilah segepok karya tulisdari  para kandidat OFA yang diunggulkan, yang hanya sekitar 10 orang dari beberapa ratus dosen UPH.

Jadi bagi dosen yang hanya mengandalkan ketrampilan atau kehebatan dalam mengajar maka sangat disayang sekali, karena nggak bisa diikut sertakan pada event ini. Jadi event OFA di UPH ini juga mencoba mengingatkan temen-temen dosen bahwa kita kalau memang mau jadi dosen yang outstanding maka kembangkan juga kamampuan dalam membuat karya-karya tulis seperti di atas.

Tentang membuat karya tulis ini memang menarik. Saya ketemu seorang dosen, yang karena pengalaman pekerjaannya dahulu, serta bidang yang mengajarnya yang berbeda dari yang lain maka kita menyebutnya pakar. Hal tersebut juga didukung oleh keyakinan beliau ketika menceritakan pengalaman-pengalaman memakai ilmunya, kesannya memang meyakinkan. Tetapi ketika beliau diminta untuk membuat makalah ilmiah, untuk sharing keilmuannya secara tertulis, beliau menolak halus, belum saatnya. Begitu alasannya. Jadi intinya, meskipun sudah dikatakan sebagai dosen senior dan dibuktikan dengan pernyataan lesan, tetapi jika dikaitkan dengan pernyataan tertulis, ternyata tidak sama. Padahal yang bisa dinilai untuk perhitungan kum , untuk mencapai jenjang profesor misalnya, maka hanya karya tulis, dan bukan ucapan lesan.

Jadi adanya OFA di atas adalah penting untuk mengingatkan kembali fakta tersebut, bahwa menjadi dosen maka sebaiknya tingkatkan juga kemampuan menulis.

Berkas-berkas tertulis di atas dapat dengan mudah dikumpulkan karena pada dasarnya copy-nya sudah disimpan oleh LPPM UPH. Inilah keuntungan jika ada reward dari universitas bagi karya tulis dosen yang dipublikasikan. Jadi kalau ada event-event seperti ini maka tidak harus meminta-minta lagi ke dosen yang bersangkutan. Jadi untuk melihat karya-karya tulis dosen UPH maka berkunjung saja ke kantor LPPM UPH di gedung Tower A  di kampus UPH Karawaci.

Selanjutnya dari 10 kandindat OFA yang dikirim Dekan Fakultas dilakukan desk review, berdasarkan portofolio yang dibuat oleh para kandindat tersebut. Pada portofolio tersebut para kandindat menyampaikan apa-apa yang mereka anggap sebagai outstanding-nya. Jadi cara-caranya persis seperti yang dikerjakan pemerintah dalam memeriksa akreditasi perguruan tinggi, atau juga seperti mengevaluasi sertifikasi dosen. Apa yang disebut outstanding tersebut kemudian direview oleh para reviewer yang dipilih dari dosen senior maupun pejabat-pejabat di UPH. Jadi ini tidak main-main. Di cocokan antara pernyataan yang ada di portofolio dan fakta atau bukti yang dapat diajukan. Jadi nggak bisa omong doang.

Disinilah pentingnya mendokumentasikan prestasi yang pernah dikerjakan. Menulis blog seperti yang aku kerjakan ini juga dapat dijadikan sarana mendokumentasikan prestasi. He, he, jika punya prestasi lho. 🙂

Selanjutnya dari 10 kandindat tersebut dipilih 4 orang yang patut dianggap outstanding, untuk selanjutnya dilakukan evaluasi oral didepan penguji. Jadi 4 orang yang terakhir itu nantinya dapat disebut sebagai FINALIST event OFA. Cukup istimewa juga lho, empat orang dosen dari sekitar 300-400 dosen di UPH. Nggak jelek-jelek gitu lho.

Inilah para reviewer yang bertugas memilih finalis OFA 2010, membanding-bandingkan portofolio antara kandindat satu dengan kandindat yang lain. Apakah benar-benar portofolio mereka dapat disebut sebagai outstanding. Para reviewer tersebut tiga bergelar profesor, satu doktor dan dua master dan telah banyak asam garam pengalamannya dalam memandang apa itu istilah outstanding.

Akhirnya empat orang finalis dapat ditentukan. Selanjutnya dilakukan uji lesan. Adapun ujian lesan yang dimaksud ada tiga tahap, yaitu :

  1. Empat orang tersebut dikumpulkan, kemudian ada seorang moderator membuka diskusi dengan memberi suatu pertanyaan atau tema. Keempat orang tersebut kemudian diminta untuk menyampaikan tanggapan atau usulan atau pernyataan begitu. Pada sisi lain, ada satu kelompok review yang mendengarkan diskusi tersebut dan melakukan penilaian. Jadi omongan para kandindat tersebut ada isinya nggak.
  2. Para kandindat maju satu persatu untuk menyampaikan presentasi tentang apa yang menjadi outstanding-nya. Jadi semacam seminar kecil karena hanya dihadiri oleh para penguji.
  3. Yang terkahir, juga masih satu persatu, yaitu dilakukan tanya jawab. Wawancara begitu tepatnya, tetapi penanya banyak, para reviewer tadi.

Wah seru juga ya. Suasananya seperti ujian tertutup. Ini dokumentasi yang dapat aku peroleh.

Inilah suasana menjalang diskusi dimulai, di paling depan adalah moderator, yang duduk di samping adalah para finalis, dan yang membelakangi foto adalah para evaluator, penguji. Ini namanya bener-bener dibanding-bandingkan, mana yang omongannya berbobot menurut kaca mata juri atau reviewer tersebut.

Kalau para finalis sendiri merasa berbobot nggak pak ?

Wah, kelihatannya memang begitu, merasa paling berbobot sendiri. He, he, katanya begitu sih.

Kalau melihat ekspresi para juri di atas, maka dapat dipastikan diskusi berlangsung meriah.

Selanjutnya tahap ke-2 ujian oralnya, yaitu presentasi dan wawancara, dokumentasinya sbb:

Ekspresi juri pada sesi presentasi dan wawancara, pada tahapan ini bapak rektor UPH sempat bergabung sesaat dan memberikan komentar sekaligus pertanyaan pada salah satu kandindat.

Salah satu finalis OFA 2010 dalam tahap evaluasi dengan cara wawancara. Suasananya seperti sidang tertutup ya. Sepertinya tegang juga. 🙂

Untunglah ujian lesan (oral) dalam tiga tahap dapat diselesaikan juga, selanjutnya para kadindat Finalis OFA diundang makan bersama dengan para juri. Suasana kembali rileks.

Suasana makan siang bersama, antara finalis OFA 2010 dan para juri di ruang LPPM UPH.

<<up-dated 8 Mei 2010 — deklarasi finalis dan pemenangnya  >>

Panggung disiapkan khusus untuk menampilkan para finalis OFA sekaligus pemenangnya kepada rekan-rekan komunitas sejawat di kampus UPH Karawaci.

Pejabat pimpinan Universitas Pelita Harapan terlihat duduk di depan dengan tenang menunggu acara dimulai.


Rektor UPH, bapak Jonathan L. Parapak memberi sambutan pembukaan.


Inilah empat (4) dari sekitar 300-400 dosen di UPH yang dianggap patut untuk dilihat tingkat outstanding yang dimilikinya. Ada yang kenal ?


Pemberian sertifikat finalis OFA 2010 bagi empat orang dosen UPH yang dianggap outstanding.

Menunggu dengan tenang pemenang OFA untuk diumumkan.


Berfoto bersama pimpinan UPH dengan finalis dan pemenang OFA 2010.


Foto bersama antara para finalis dan pemenang OFA dengan rekan pembawa acara.

Intinya bahwa UPH sudah mulai melakukan banding-membandingkan kinerja dosennya dalam rangka menuju kampus yang bermutu. Di tempat anda sudah ada belum ?

5 pemikiran pada “event dibanding-bandingkan di UPH

  1. Perbandingan dengan kondisi lain sering kita butuhkan untuk mengevaluasi kondisi kita sendiri. Kita dapat menggunakan hasil perbandingan untuk kebaikan kita. Selamat dan sukses untuk kita semua.

    Suka

  2. Aidil Rahmat

    kayanya kemarin yang ngisi seminar tentang ultra high performance concrete di unpar hari jumat bapak yg di foto itu deh..hihii

    prof. Harianto kalo ga salah namanya

    Suka

  3. adi

    siang pak. saya mau tanya pak mengenai:
    1. berapa “kg” biasanya produktivitas/kapasitas group pekerja untuk pekerjaan pemasangan rangka atap baja dan berapa jumlah group yang digunakan?
    2. bagaimana cara kita membaca kurva S sehingga kita mengetahui durasi masing-masing sub0sub aktivitas?
    3. dalam pelaksanaan pekerjaan pemasangan instalasi kabel penerangan, panel distribusi, berapa kapasitas yang mampu dikerjakan oleh satu group pekerja per hari dan berapa jumlah group yang biasanya digunakan?
    trimakasih pak, tolong dibalas. balas ke email adi_its@yahoo.com.

    Suka

  4. monita

    Apakah semua yang menguji sudah pernah menulis karya ilmiah ? Kenalan saya yang ada di foto penguji.Yg saya tahu, dia buat skripsi dan thesis aja. Apa itu cukup untuk membuat pengurus UPH memilih dia jadi penguji dosen ?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s