Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, . . .
Rasanya tepat benar nash di atas, ribuan tahun yang lalu orang sudah memahaminya, dan pada hari Senin tepatnya tanggal 17 Mei 2010 itu terjadilah, saudara kami terkasih biasa kami keluarga Jogya memanggilnya sebagai budhe Pudjo, telah dipanggil menghadap Tuhan yang maha Esa.
Budhe Pudjo, di keluarga kami juga sering disebut sebagai budhe Kalitan, karena beliau tinggalnya di daerah Kalitan, Solo. Beliau merupakan satu-satunya kakak dari ayah yang masih tinggal, sehingga dengan kepergiannya tersebut maka sekarang hanya tinggal ayah dan adiknya saja, yaitu bapak Paul Sri Laksono atau sering dipanggil om Son yang tinggal di Jakarta. Ayah kami, Leonardus Sri Hardjono adalah anak nomer delapan dari sembilan bersaudara, sedangkan budhe Pudjo adalah kakaknya yang nomer dua. Saudara-saudara ayah yang lain sudah lama meninggalnya dan sekarang hanya tinggal generasi anak-anaknya.
Budhe Pudjo dikaruniai usia panjang dan kesehatan yang relatif prima sebelumnya, sehingga memungkinkan keluarga besar kami dapat saling terus berkomunikasi. Secara pribadi, ayah dan budhe relatif dekat, bahkan sebelum beliau sakitpun masih sering bertelpon-telponan, bernostalgia sebagai adik kakak. Bayangkan mereka pada usia-usia yang lanjut, saat meninggal kemarin, budhe berusia mendekati 90 tahun, suatu usia yang hanya dinikmati oleh segelitir manusia, tepatnya adalah lahir 10 Agustus 1920 dan meninggal kemarin hari Senin 17 Mei 2010. Sedangkan, ayah sebagai anak nomer delapan baru saja April kemarin merayakan ulang tahun yang ke 72.
Adapun kontak pribadi saya dan budhe secara fisik tidaklah terlalu dekat, maklum saya kecil tinggal di Jogyakarta, sedangkan budhe dan keluarganya di Solo, Jawatengah. Jadi ketemunya hanya pada acara-acara keluarga dan ketika mengantar ayah dan ibu menengoknya di Kalitan, rumah beliau.
Meskipun secara fisik jarang bertemu, tetapi karena keluarga kami, khususnya ayah sering bercerita tentang beliau, maka tentunya kami sekeluarga merasa dekat. Selain karena status budhe sebagai kakak kandung dari ayah dengan jarak yang cukup senior, ada hal yang menarik antara ayah dan budhe. Bagaimanapun budhe Pudjo di mata ayah saya telah dianggap sebagai panutan, khususnya dibidang rohani keagamaan. Maklum, mungkin karena budhe dahulu adalah alumni sekolah Mendut, sekolah Katolik pribumi di jaman Belanda atau era kemerdekaan dahulu yang terkenal khususnya bagi umat Katolik pribumi Jawa Tengah. Ayah, merupakan generasi pertama Katolik di keluarga besarku, jadi satu generasi dengan Budhe, sedangkan eyang (orang tua ayah) menjadi Katolik ketika aku sudah besar. Jadi waktu itu aku juga ikut merayakannya. Tidak secara jelas bagaimana generasi pertama Katolik di keluargaku tersebut memulai, tetapi saya yakin peranan Budhe Pudjo sangatlah besar.
Tentang hal itu (peranan budhe dalam membentuk generasi pertama Katolik di keluarga besarku), terus terang aku tidak tahu jelas, tetapi yang jelas aku sering mendengar ayah mengatakan:
Mbakyu Kalitan itu gentur doanya. Bapakmu ini kalau dinilai tentang ke-katolikan-nya, maka kira-kira mungkin hanya dapat nilai lima setengah (5.5) atau paling besar cuma dapat enam (6), pokoknya katut (asal lolos). 🙂
Ucapnya sambil bercanda.
Sedangkan budhemu itu kalau dinilai pasti 8 lebih lho. Jadi kamu patut mencontohnya (menjadi Katolik itu).
Pernyataan itu sering diucapkan beberapa kali bila ada kesempatan. Sebagai anak yang juga belum mengetahui bagaimana itu katolik yang sebenar-benarnya tentu mengiyakan saja.
Bude Pudjo atau nama lengkapnya Ibu R.Ay. Agnes Sukarti Pudjosumarto merupakan sosok yang religius di mata keluarga besarnya, bahkan di dompetku inipun masih tersimpan kertas lusuh berisi rapalan doa-doa yang pernah budhe berikan pada keluarga besar kami. Lusuh, karena telah bertahun-tahun tersimpan di dalam dompet, bahkan sejak saya belum kawin dulu. Rapalan doa tersebut sepintas juga sama dengan rapalan doa-doa yang sering aku temui di gereja, tersebar pada lembaran kecil ketika ada orang bersyukur atas terkabulnya doa-doanya. Sepintas sama, tetapi jelas tidak sama. Aku tidak mempermasalahkan itu, tetapi itu aku simpan dengan keyakinan penuh karena doa ini merupakan pilihan doa dari budheku tersebut. Bahkan keluarga besar kami menyebutnya sebagai doa wasiat.
Itu pemahaman yang aku terima sejak aku kecil dulu. Aku tidak peduli, apakah yang dikatakan ayahku benar atau tidak, tetapi yang saya rasakan itulah salah satu penghormatan yang dapat diberikan seorang adik (ayahku) kepada kakaknya (budheku tadi).
Waktu terus berjalan, hari berganti hari, demikian juga tahun berganti tahun, umurku menginjak kepala empat, pendidikan yang kuraih juga bertambah. Bahkan secara formal aku telah mencapai gelar pendidikan tertinggi di bidang engineering, sehingga wajar jika aku mengatakan nalar dan logikaku semakin meningkat. Meskipun demikian ketika ayahku pada suatu kesempatan masih mengulang perumpamaan nilai di atas, aku masih saja mengamini. Aneh bukan. Tingkat kerohaniawan seseorang koq bisa dinilai. 🙂
Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri.
Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, . . .
Tingkat kerohanian seseorang memang tidak gampang untuk dinilai, hanya waktu yang akan membuktikannya. Itu pula yang menyebabkan aku tetap meng-amini perkataan ayahku, karena sulit juga bagiku membatahnya. Apalagi jika mengingat putra-putra budhe yang juga bertekun dalam bidang kerohanian juga. Siapa sih orang-orang Katolik di Jawa tengah yang tidak mengenal mas Yanto, putra budhe yang sekarang bergelar Mgr. Pujasumarta, dan yang saat ini diberi tugas dari Roma untuk memimpin keuskupan Bandung. Juga mas Is, yang sekarang panggilannya romo Ismartono, yang dekat dengan kalangan mahasiswa Katolik di Jakarta pada suatu era tertentu. Tentu saja panggilan mas Yanto dan mas Is adalah panggilan-panggilan akrab ketika aku kecil dulu, sekarang jelas aku sudah tidak memakainya.
Yah begitulah budhe Pudjo yang mendapat nilai 8 atau lebih menurut kaca mata orang tuaku. Suatu penilaian yang subyektif, tetapi aku sendiri dapat mengamininya.
Jadi adalah suatu kehormatan ketika aku bersama mas Mahi (adikku ipar) diberi kesempatan meluangkan waktu untuk dapat ke Solo mengantarkan Budhe ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Bersyukurlah sekarang jaman digital, sehingga dengan berbekal Canon Ixus 860 IS dapat kuabadikan apa-apa yang kujumpai menjelang penghormatan terakhir budheku terkasih, budhe Pudjo.
Dokumentasinya adalah sebagai berikut :
Jenazah budhe terbaring di ruang keluarga, dengan latar belakang foto salah satu putra kebanggaannya.
Tiga putri-putri dari budhe Suryo (kakak sulung dari budhe Pudjo) yang tinggal di Jakarta, juga berkenan hadir. Tampak mereka kecapaian karena nggak bisa tidur di kereta api. Dari kiri ke kanan mbak Wasti, mbak Hesti dan mbak nDani, sedangkan paling kanan mbak Rien, putri budhe Pudjo.
Terlihat romo Is, Maslakun, dan mas Ja, Dira (yang sedang menengok) dan dikejauhan mas Mahi dan mas Reza (adikku).
Ini karangan bunga yang masih tersisa, tadi di depan terlihat satu truk kecil telah membawanya ke makam. Kelihatannya sudah tidak ada tempat memajangnya disepanjang gang dari depan rumah Budhe sampai jalan besar.
Seorang cucu membawa foto Budhe, dan mbak Ety siap melakukan upacara tlusupan.
Tlusupan tradisi tradional Jawa untuk mengatar peti jenazah Budhe. Ini mungkin hanya Katolik Jawa yang melakukannya secara penuh keyakinan, Katolik di Roma saya kira tidak ada. Tapi ini pendapat pribadi lho, jika salah mohon dikoreksi. Ini contoh suatu inkulturasi budaya.
Anak-anak dan cucu Budhe , juga putra-putri menantu dengan tertib melaksanakan upacara tlusupan.
Apakah ini hanya ada di budaya Jawa ?
Yah, bagaimanapun juga keluarga besar kami adalah Jawa asli, tetapi juga rasanya Katolik yang asli juga. Jadi menyebutnya Jawa Katolik atau Katolik Jawa ya. Saya koq lebih memilih menyebutnya sebagai Katolik Jawa. He, he, jangan dicampur adukkan dengan nama Katolik Roma lho. Jadi sebenarnya kalau mau tepat adalah Katolik Roma – Jawa. Tapi koq jadi kepanjangan. 🙂
Mas Reza (adikku) mendapat kehormatan untuk memayungi budhe menuju mobil ambulan.
Tampak romo Uskup berbicara dengan ibuku, di depan nampak mbak Dewi, putri budhe, dibelakangnya mas Mahi, sedangkan di belakang ibu, nampak budhe Jat (batik cokla muda), istri dari almarhum pakdhe Jat, kakak ayahku.
Mas Mahi, romo Uskup, ibu, Kanya (putrinya mas Reza) dan aku berjalan menuju gereja Purwosari untuk merayakan misa Requiem bagi budhe Pudjo.
Mba Hesti, mba Wasti dan mba nDani, sedangkan dibelakangnya tampak ibuku (baju gelap) dan budhe Jat (baju terang).
Ibu, Kanya (putrinya mas Reza), Bapak dan mas Mahi, duduk di depannya putri-putri budhe Suryo almarhum (kakak budhe Pudjo).
Nampak Mgr. Pujasumarto (Uskup Bandung), Mgr. Ignatius Suharyo, PR ( Uskup Coajutor KAJ) dan Kardinal Mgr. Julius Riyadi Darmaatmadja, S.J. ( Uskup Agung Jakarta saat ini, dan juga merupakan salah seorang kardinal Gereja Katolik Roma) bergegas menyambut peti mati budhe Pudjo.
Mgr Pujasumarta memimpin misa Requim berjalan menuju altar.
mbak Rien
romo Is
mbak Rien, dibantu cucu-cucu dari budhe membacakan doa persembahan.
kekhusukan misa didukung oleh koor siswa yang begitu merdu. Terima kasih telah mengiringi perjalanan Budhe.
misa Requim dipimpin oleh dua uskup dan satu kardinal.
Antri memberi penghormatan terakhir bagi budhe Pudjo.
Ini dari keluarga istri saya, bapak mertua, bapak R.A Kresman (Jogja), suster Felisitas (Semarang, adik pak Kresman) dan budhe Kardjo (Jogja, kakak pak Kresman). Mungkin perlu dijelaskan mengapa beliau-beliau secara khusus menyempatkan hadir pada misa Requim di Gereja Purwosari, Solo. Bagi awam itu mudah untuk dijelaskan yaitu sebagai bentuk penghormatan bagi ayahku yang merupakan adik budhe Pudjo. Tetapi sebenarnya yang terjadi tidak hanya itu saja, dapat juga sebagai bukti bahwa dunia itu sempit.
Bapak R.A Kresman masa kekanak-kanaknya ternyata juga pernah mengenyam pendidikan katolik di sekolah Mendut (atau sekolah mBoro ya), yah pokoknya mengetahui juga tentang sekolah katolik Mendut. Bahkan ke-katolikan beliau rasanya juga karena itu, karena orang tuanya posisinya juga persis seperti eyangku dulu. Beliau adalah generasi pertama katolik di keluarga besarnya. Adapun suster Felisitas adalah adiknya yang pernah mengenal romo Pujo sewaktu bertugas di Semarang. Suster Feli tempo hari bahkan juga menyempatkan menghadiri petahbisan Uskup di Bandung. Sedangkan budhe Karjo, beliau yang paling tua, saat ini beliau berumur 90 tahun lebih. Nama kecil beliau adalah Yosephine Sukartinah ternyata teman satu angkatan dengan budhe Pudjo di sekolah Mendut dahulu. Hal ini baru aku tahu belum lama ketika terakhir menengok budhe Pudjo di Kalitan dulu. Pada saat itu beliau menceritakan tentang acara alumni Mendut yang dimuat di majalah Hidup. Ketika majalahnya aku baca dan juga istriku, terpampanglah wajah budhe Karjo yang kami kenal. Ternyata beliau adalah teman sekolah budhe Pudjo sewaktu kecil dulu.
Sejak itulah saya dan istri berusaha mempertemukan. Informasi sudah disampaikan, bude Kardjo (Yosephine Sukartinah) juga masih mengingat dengan baik bude Pudjo (Agnes Sukarti). Sudah sering ada upaya untuk mengupayakan untuk dapat bertamu, tapi ya ada-ada saja, dan baru hari itu kesampaian, tetapi hanya pada misa Requiem-nya.
Terharu, bayangkan bertemannya ketika mereka masih kecil dahulu, dan sekarang setelah mencapai usia 90-an, masih dapat memberi penghormatan terakhir. Budhe Kardjo kondisinya pada usia 90-an tersebut, luar biasa, bayangkan sebenarnya tulang pinggul keduanya sudah hasil dioperasi. Tapi masih sanggup meluangkan waktu dari Jogja ke Solo untuk menghadiri upacara misa requim temannya, budhe Pudjo. Saya yakin, tidak mudah menjumpai kondisi orang seperti itu, oleh karena itulah aku mengambil fotonya beliau-beliau sebagai suatu kesaksian bahwa budhe dalam perjalanan terakhirnya juga diantar oleh teman sekelasnya sewaktu sekolah dulu.
O ya, jika anda melihat mertuaku, bapak R.A Kresman di atas yang mendampingi budhe Kardjo, jangan pangling. Beliau baru saja ulang tahun yang ke-81 (delapan satu tahun). Tuhan maha besar.
Putra-putra kebanggaan budhe Pudjo, yaitu romo Ismarton, dan Mgr. Pujasumarta memimpin acara penutupan peti jenazah budhe Pudjo.
Di deretan depan, ayahku, Sri Hardjono, mendampingi bapak mertua, R.A Kresman, dan disampingnya budhe Kardjo (teman sekelas budhe Pudjo sewaktu di Mendut) dan disampingnya yang lain Suster Feli.
Selagi para pelayat lain yang bergegas menuju kompleks pemakaman, maka diadakan upacara penutupan peti jenazah dengan dihadiri oleh kerabat / keluarga dekat.
Jenazah Budhe mendapat penghormatan terakhir dari putri-putrinya, mbak Tien, mbak Dewi (memegang tangan jenazah) disaksikan mbak Ety. Dari samping mbak Wiek dan Mgr. I Suharyo, menyaksikan. Mgr Pujosumarto mengiringi bundanya dengan nyanyian Sare.
Mgr. Pujasumarta masih mengiringi peti mati ibundanya dengan nyanyian Sare menuju mobil ambulan untuk segera dibawa ke pemakaman Katolik Pucangsawit.
Dengan kelegaan karena telah mendoakan teman sekolahnya dulu di Mendut ke peristirahatannya yang terahkir, maka budhe Kardjo (Yosephine Sukartinah) pulang dengan perlahan-lahan. Bayangkan bagaimana semangatnya itu, dengan fisik yang renta (90 tahun) dan ke dua tulang pinggul yang belum lama dioperasi (karena patah) masih sanggup datang dari Jogja ke Solo untuk memberi penghormatan terakhir. Mengucapkan selamat jalan.
Untunglah aku diberi kesempatan Tuhan untuk dapat hadir menyaksikan peristiwa itu semua.
Pucansawit, tempat peristirahatan terakhir bersama-sama dengan pakdhe Pudjo dan pakdhe Jat, kakak ipar dan kakak kandung dari bapakku.
Tampak bapak merenung di dekat kubur kakaknya, budhe Pudjo, nampak di depan romo Ismartono membawa keranjang bunga tabur .
Mas Reza (adikku) dan Kanya (anakknya) sedang menyalami mas Sonny (Jogja, putra pakdhe Soecipto almarhum) dan mbak Indah (Jakarta, putri pakdhe Soeripto almarhum).
Ping-balik: Tweets that mention selamat jalan Budhe « The works of Wiryanto Dewobroto -- Topsy.com
Turut berduka cita, Pak.
Alangkah bahagianya bila keluarga besar dapat hidup rukun, damai dan saling mengasihi seperti yang ditunjukkan oleh keluarga besar Bapak di atas. Semoga Tuhan senantiasa memberkati.
SukaSuka
Selamat Pulang ke rumah Bapa di Sorga Ibu R. Ay. Agnes Sukarti Pudjosumarto. Terimalah Mahkota yang telah disiapkan olehNya.
buat Pak Wir beserta seluruh Keluarga Besar, biarlah Tuhan yg telah menyertai perjalanan Ibu almarhumah senantiasa memberkati dan memberi kekuatan yg sejati bagi Bapak dan Keluarga Besar.
GBU Sir
SukaSuka
Turut berduka cita, semoga amal ibadahnya diterima Bapa di Surga. dan Untuk kelurga yang ditinggal biarlah diberi ketabahan dan kesabaran…..
SukaSuka