Apa yang ada dalam pikiran kalau mendengar kata pemimpin. Tentu saja, itu adalah orang yang dianggap paling bertanggung jawab. Jadi berani bertanggung-jawab adalah kewajibannya yang utama. Oleh karena itulah, maka yang bersangkutan karena dianggap mengemban tanggung-jawab maka diberikan hak tertentu sebagai kompensasinya, seperti misalnya mendapat fasilitas yang berbeda (lebih mewah), digaji yang lebih tinggi dan lain sebagainya.
Masalah yang ada, sebagian besar orang hanya berfokus pada hak yang diterimanya saja. Maunya mendapat fasilitas lebih, mendapat gaji lebih tinggi tetapi aspek tanggung jawabnya dilupakan. Jika cara melihatnya demikian maka tentu saja mereka akan melihat bahwa menjadi seorang pemimpin adalah kesempatan dan bukannya amanah yang diterima.
Pengalamanku dalam bidang kepemimpinan tidak terlalu banyak, maklum selama ini lebih banyak mengandalkan kemampuan profesional, yaitu mandiri. Meskipun demikian aku sangat ingat ketika masih yunior dahulu, yaitu sewaktu menjadi engineer muda di salah satu konsultan perencana terkemuka di Jakarta. Sebagai yunior tentu mengerjakan apa-apa yang diberikan senior, yang dalam hal ini adalah pemimpin team. Waktu itu aku ingat sekali, ada suatu item pekerjaan yang rumit, pemimpin team cukup ketat memberikan kriteria sehingga aku menjadi berpusing-pusing ria mengerjakan tugas yang diberikan. Pokoknya rasanya cukup tertekan atau stress gitu lho, maklum waktu itu masih dalam tahap belajar. Tetapi stress itu khan tanda ‘dibentuk’, iya khan, dibentuk dari yunior menjadi senior. 🙂
Selanjutnya seperti biasa, diselenggarakan rapat koordinasi dengan pihak konsultan yang lain. Waktu itu aku datang menemani beliau (pemimpin team) dalam rapat koordinasi tersebut. Rapatnya lengkap, hadir mulai dari owner, para konsultan (dalam negeri atau juga luar negeri) dan juga kontraktor (utama maupun sub-kontraktor yang terkait). Pada salah satu rapat yang aku ikuti, ada pernah terungkap salah satu desain yang kebetulan menyangkut hal yang aku kerjakan. Ada satu aspek yang kelupaan (menurut kontraktor) tetapi memang dari sisi konsultan (struktur) tidak terlalu siginifikan pengaruhnya. Kontraktornya mencecar kami, ternyata itu berdampak pada pekerjaan kontraktor, dalam hal ini aku tahu itu adalah kesalahan yang aku buat karena tempo hari pemimpin saya telah mengingatkannya. Jadi sebenarnya dalam hal ini pemimpin saya bisa saja memarahi saya di depan para peserta rapat dan mengakui jika ini adalah kesalahan anak-buahnya. Titik. Masalah bisa teratasi.
Bayangan bahwa pemimpin saya akan memarahi di depan para hadirin rapat dapat saya simpulkan karena selama ini melihat bagaimana kerasnya dia di kantor kalau menetapkan spesifikasi yang harus dikerjakan. Dengan cara pikir seperti itu maka saya pasti juga akan dibantainya di depan rapat tersebut.
Tetapi apa yang terjadi, ternyata di depan para hadirin rapat, pemimpin saya ini dengan tegas dan berani , tidak sama sekali menyangkutkan saya dengan kesalahan tersebut. Bahkan dianya memberi argumentasi tentang hal yang menjadi masalah kontraktor tersebut dan memberikan alternatif jalan keluarnya secara elegant termasuk keuntungan dan kerugian yang mungkin timbul. Intinya masalah besar yang di claim kontraktor menjadi mengecil dan akhirnya diperoleh kesepakatan win-win. Aku tidak jadi permalukan.
Sewaktu pulang, dalam perjalanan aku bertanya :”Apakah Bapak tidak tahu, masalah yang diajukan kontraktor itu adalah karena aku terlupakan untuk memasukkan dalam aspek perencanaan yang aku kerjakan. Bukankah tempo hari Bapak sudah mengingatkanku ?“.
Jawabnya :”Betul sdr. Wiryanto, aku tahu anda melupakannya, tetapi kalau kasusnya sudah sampai rapat besar seperti tadi dan kemudian aku mengakuinya juga bahwa itu kesalahan anda, maka artinya aku juga yang akan menerima kesalahan tersebut. Aku khan yang harus mempertanggung-jawabkan ke luar, bukan kamu. Oleh karena itulah mengapa aku berusaha sangat ketat menerima pekerjaan anak-anak buahku, yaitu untuk menghindari kasus seperti tadi. Bayangkan, sudah ketatpun masih ada juga yang kecolongan. Iya khan. Untung bisa diatasi secara mudah.“, kata pemimpin saya dengan tersenyum.
Aku tercenung, kejadian itu sudah terjadi sekitar 20 tahun yang lalu, yaitu ketika aku baru lulus dan bekerja pertama kali. Kejadian yang sepele, tetapi sampai umur kepala empat, ternyata aku masih mengingatnya dengan baik. Itulah yang disebut pemimpin, besar atau kecil , tetapi intinya sama, yaitu menetapkan spesifikasi pekerjaan kepada anak buahnya dan mengevaluasi hasilnya secara ketat dan tegas, kalau perlu memberi sangksi, tetapi ketika ‘ke luar” maka sang pemimpin tersebut harus berani bertanggung jawab terhadap pekerjaan anak-buah , sesuai dengan instruksi yang diberikannya. Pemimpin wajib membela anak buahnya terhadap pengaruh luar yang negatif, seperti menyalahkannya dan sebagainya, kecuali tentu saja jika anak-buahnya tidak mengikuti pemimpinnya, kalau itu sih soal lain. Itu namanya pengkhianat.
Jadi kemampuan seorang menjadi pemimpin itu akan terlihat dari bagaimana dianya mengontrol pekerjaan anak-buahnya agar sesuai dengan apa yang diinstruksikannya. Selanjutnya jika anak buahnya telah mengerjakan sesuai dengan petunjuknya, maka tentunya jika ada orang luar yang menyalahkan pekerjaannya tersebut maka dianya harus berani tampil untuk memberi pertanggung-jawabkannya. Jadi, menjadi seorang pemimpin yang baik itu tidak hanya mau keberhasilannya saja, tetapi juga harus berani membela dan bertanggung jawab terhadap kegagalan yang terjadi dari kerja anak-buahnya. Kalau hanya mau baiknya saja, itu mah semua orang juga mau.
Dengan latar belakang pemikiran seperti itu, tentu saja aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan jaksa agung kita sekarang ini. Apa kesalahannya sehingga ketika MK memutuskan sesuatu, maka jaksa agung tersebut langsung diberhentikan. Mengapa pemimpinnya (atasan jaksa agung itu) tidak terlihat perannya sama sekali. Ingat, hasil keputusan MK khan didasarkan pada tuntutan seseorang yang saat ini sedang diproses jaksa agung. Dengan dicopot khan berarti dianggap bahwa apa yang dikerjakan jaksa agung mendapat interfensi. Ingat pekerjaan yang sedang dikerjakan jaksa agung khan sekedar membantu tugas pemimpinnya, dalam hal ini pemberantasan korupsi.
Jadi adanya pergantian jaksa agung, seperti yang sekarang ini terjadi dapat dimaknai ganda. Pertama, adalah jaksa agung tidak berperan dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itulah dicopot. Kedua, jaksa agung terlalu berani dalam memberantas korupsi, sehingga banyak pihak yang terkena, akibatnya maka harus dicopot dan diganti.
Mana yang benar, tetapi yang jelas figur pemimpin saat ini dengan yang aku bayangkan, berdasarkan pengalamanku dahulu ternyata berbeda. 🙂
** bingung mode ON**
Ping-balik: Tweets that mention pemimpin | The works of Wiryanto Dewobroto -- Topsy.com
Setuju pak, there is also a say, bahwa pemimpin adalah orang yang mampu untuk membasuh kaki anak buahnya, artinya di luar skill dan knowledge, sangat besar hati yang harus dimiliki untuk dapat duduk di kursi kepemimpinan sebab adanya unstated responsibility to his/her subordinates yang membuat dia mampu berdiri untuk mewakili mereka,
Fascinating experience, Interesting though. 😉
SukaSuka
Semakin tinggi kedudukan, semakin keras goyangan dan terpaan angin, jangan mengeluh diperlukan mental yang kuat dan bersih.
SukaSuka
Ping-balik: kekerasan ! | The works of Wiryanto Dewobroto
team leadernya bpk, saya bgt tuw pak..
hehe..
ngaku2..
Saya plg merinding dgr cerita ttg orang2 yg bertanggung jawab, heroik, nasionalis..
SukaSuka