Artikel ini tentu tidak terbatas untuk pembaca yang sudah mempunyai anak saja, tetapi juga anak-anak muda yang belum berkeluarga, yang tentunya sedang menjalankan fungsinya sebagai anak. Jadi ini juga berlaku bagi orang tua dan anak-anaknya, karena tanpa keduanya maka jelas tidak akan terjadi dialog.
Tulisan ini aku ungkapkan karena disadari bahwa dialog semacam itu belum tentu menjadi suatu kebiasaan bagi setiap keluarga. Mungkin karena keterbatasan waktu, yang mana karena kedua orang-tuanya bekerja, berangkat pagi, pulang larut malam, sehingga tidak ada kesempatan untuk terjadinya dialog. Kadang yang ada hanyalah pernyataan satu arah, pada waktu yang mungkin dipaksakan (tidak sesuai) sehingga yang terjadi bukannya dialog, tetapi suatu perintah yang harus dituruti, yang berkesan diktaktor. Bila ini yang terjadi, anak akan menanggapinya dengan ketakutan, hanya mengerjakan apa-apa yang dapat terlihat saja, ataupun mengerjakannya secara terpaksa. Terpaksa karena memaklumi bahwa hidupnya belum mandiri. Jadi ketika dianya dapat merasa mandiri, maka beranilah dia dengan orang-tuanya, lihatlah kasus tentang putri indonesia yang tempo hari beritanya ramai dibicarakan itu. Juga ada yang lain juga, jika belum tahu apa yang aku maksud, mulailah membaca beritanya di sini. Sekarang jadi tahu khan. 😦
Melihat adanya kasus-kasus seperti itu di atas, yaitu adanya anak-anak muda yang tidak hormat lagi pada orang tuanya, yaitu setelah merasa dirinya ‘mampu’ dan kemudian merasa hidupnya menjadi tidak bebas karena tetap disetir (menuruti perintah) orang tuanya. Terjadilah pemberontakan itu, yang bahkan kita semuanya tahu karena dieksploatasi oleh wartawan berita yang memanfaatkannya untuk meningkatkan omplah korannya. Konyolnya lagi, ada beberapa kasus yang melibatkan campur tangan pengacara, yang mana itu dapat terjadi karena adanya duit dibelakangnya (suatu bentuk betapa mandirinya si anak tersebut). O ya, kalaupun ternyata tidak ada duitnya, pasti yang diharapkan pengacara itu adalah beritanya, biar populer maksudnya. Jaman sekarang ini yang namanya citra adalah sangat bernilai, betul nggak.
Yang menjadi pertanyaan kita semua, sebelum membaca lebih lanjut adalah apakah “dialog dengan anak” itu diperlukan. Jangan sia-siakan waktunya. Jika merasa perlu, lalu apa alasan yang mendasarinya. Kita harus tahu itu, jika tidak tentu itu akan dikerjakan sambil lalu saja, jika ada kesempatan, ya khan.
Kalau pak Wir bagaimana ?
Ini tentu pertanyaan yang mudah dijawab, jika tidak penting, mengapa aku perlu menulis panjang lebar. Jadi karena aku menuliskannya maka aku pasti merasa sangat penting tentang hal tersebut. Kenapa begitu, karena aku mempunyai harapan dengan anak-anakku. Jadi agar harapan itu dapat terwujud maka aku harus mulai tanamkan pada diri anak-anakku agar nantinya sadar atau tidak sadar dapat mewujudkan harapan tersebut. Coba kamu tanya pada diri kamu: “Bagi orang tua, punyakah harapan terhadap anak-anakmu , bagi anak-anak muda, tahukan kamu apa harapan orang tuamu“. Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada orang tua dan anaknya, dan ternyata sinkron, maka pasti itu disebabkan oleh adanya dialog diantara keduanya, tanpa itu, mustahil.
Apa sih kebahagiaan orang tua terhadap anaknya. Apakah kalau anaknya jadi Presiden, baru orang tuanya bahagia, atau bila anakknya memenangkan “Indonesia Mencari Bakat” atau apa gitu.
Menurutku tidak seperti itu, bukan menjadi presiden-nya, atau juara-nya saja. Menurutku yang paling penting adalah dapat melihat anaknya tumbuh dan berkembang dan dapat hidup mandiri nantinya, bahkan dapat berkarya untuk kepentingan sesama (orang lain). Pencapaian pada tahap ini akan menimbulkan kebanggaan orang tua. Semakin berdampak bagi masyarakat luas, semakin banggalah orang-tuanya. Jadi di sini dapat diterangkan, mengapa orang tuanya yang anakknya jadi pejabat tinggi atau bahkan Presiden dapat sangat berbangga diri.
Selanjutnya, jika ternyata anak yang mandiri dan diperlukan oleh sesama itu ‘mengakui’ bahwa itu semuanya adalah berkat kontribusi orang tuanya juga maka disinilah orang tuanya disebut berbahagia. Berbahagia memang relatif, bahkan ada juga orang tua yang dicampakkan oleh anaknya yang berhasil dapat saja menyebut diri berbahagia, tetapi kita sebagai orang luar apakah mempercayainya, apakah itu tidak sekedar sebagai kamuflase, yang mana jika dianya (siorang tua tersebut) sendirian, bisa saja dianya akan menangis sedih.
Jika kemudian , orang-tuanya menjelang tua, mendekati ajalnya dalam kerentaannya tetap diurus dan dirawat dengan penuh kasih-sayang oleh anak-anaknya yang mandiri, maka disinilah orang tua tersebut patut mensyukuri kehidupannya di dunia ini. Tentang hal ini memang abstrak, tidak tersurat secara jelas, tetapi tersirat dari perilaku orang tua tersebut ketika memberi contoh bagaimana mereka mengurus dan merawat nenek anak-anaknya dahulu. Bagaimanapun tentu tidak pantas jika seorang kawin dan mempunyai anak dan membesarkannya dengan tujuan agar hidupnya gantian dirawat nanti pada hari tuanya. Pepatah jawa mengatakan: “Ngono yo ngono, tapi aja ngono“.
Apa yang aku ungkapkan di atas adalah bukan hal yang baru, tetapi sebenarnya adalah suatu pengetahuan akan kebenaran dalam kehidupan yang telah berumur beribu-ribu tahun lamanya, yaitu sejak ada komunikasi diantara manusia. Tidak percaya, aku kutipkan dari Alkitab perjanjian lama, jamannya Musa dulu. Ingat Musa khan diakui oleh banyak agama bukan, jadi mestinya itu dapat dijadikan suatu kebenaran yang diterima oleh banyak anggota masyarakat. Ini nash-nya:
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.
[Keluaran 20:12]Setiap orang diantara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya . . . Engkau harus bangun berdiri di hadapan orang ubanan dan engkau harus menaruh hormat kepada orang yang tua . . . .
[Imamat 19:3, 32]
Bahkan untuk memberi sanksi terhadap hal-hal di atas ada ancamannya juga, lihat:
Siapa yang mengutuki ayah dan ibunya, pelitanya akan padam pada waktu gelap. [Amsal 20:20]
Itu semua ada di bagian awal kitab suci perjanjian lama, yang keberadaannya jelas sudah berumur ribuan tahun, adapun kebenarannya jika anda ‘melek’ dan sudah berumur pasti telah membuktikannya.
Karena hidup itu tidak sekedar roti dan tempat berteduh maka jelaslah semua bahwa dialog antara anak dan orang tua sangat diperlukan agar kesemua kebenaran di atas dapat diwujudkan. So ?
Bagaimana dialog dengan anak dapat diwujudkan.
Langkah pertama tentu menyediakan waktu bagi si anak. Ini penting, bahkan bagi beberapa orang tidak gampang dilakukan. Jika demikian adanya maka haruslah dicarikan wali baginya, yang secara khusus mau memperhatikan kehidupan si anak dan tidak sekedar beralasan bahwa anaknya tersebut telah disekolahkan yang terbaik, bahkan juga diasramakan.
Tentang hal itu (mendapat sekolah terbaik dan diasramakan) memang tidak salah, dengan itu semua memang bisa dibuktikan bahwa si anak dapat bertumbuh dan mandiri, tetapi visi dan misinya belum tentu dapat meneruskan nilai-nilai atau keinginan orang tuanya. Kecuali tentunya jika si orang tua merasa bahwa perilaku kehidupannya adalah tidak patut ditiru atau ditauladani, dan ingin anaknya hidup lebih baik lagi. Yah itu boleh -boleh saja, tetapi jika demikian khan berarti kehidupan orang tersebut ‘tidak sukses’. Padahal keinginan hati setiap orang khan ingin disebut orang sebagai sukses, betulkan.
Ini ada cerita berdasarkan fakta yang aku temui. Ada orang tua, ayahnya pengusaha sukses dan bahkan ibunya guru juga, punya anak cowok. Harapannya tentu anak itu besarnya akan sukses. Orang tua tersebut tinggal di luar jawa, oleh karena itu karena mungkin termotivasi orang sukses sebelumnya maka mereka mengirimkan anak laki-lakinya bersekolah SMA di Jawa tengah, di asramakan yang dikelola para rohaniawan. Bayangkan itu, kurang apa. Asrama itu memang menjalankan peraturannya secara ketat. SMA lulus, lalu orang-tuanya mengirimkan masuk universitas di Jakarta, yang baik pula tentunya. Untuk perguruan tinggi memang jarang ada yang mempunyai asrama, maka anak tersebut kost, ini tentu lebih bebas dibanding dulu di asrama. Nah, disinilah semuanya dimulai, karena mulai menjadi mahasiswa diberi kebebasan, yang mana sewaktu di asrama dulu tidak ada, maka keblabasan lagi. Ketemu cewek jalanan tapi cantik (??!), terpikat, ya sudah kacau, ditambah lagi lingkungan pergaulannya nggak tepat, sehingga kena obat-obatan, nggak pernah masuk kuliah. Ketahuan orang-tuannya, ada pelarangan yang berdampak pada kiriman yang diterima. Kasus dimulai dan akhirnya, dianya stress. Beberapa kali orang tuanya ke Jakarta, mencoba mengarahkan sampai akhirnya ketika kena obat-obat tersebut, akhirnya dibawa pulang lagi ke daerahnya, selanjutnya kabar tidak diketahui. 😦
Bayangkan itu, jadi menyediakan waktu bagi anak agar terjadi dialog sedini mungkin adalah sangat penting, khususnya jika rumah kita di pedalaman, yang mana jika ingin melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi diharuskan ke luar daerah yang lain, dan harus berpisah dari orang tuanya. Membekali anak pergi dengan mencukupi kebutuhan materinya saja jelas tidak cukup. Mereka harus dibekali dengan hikmat, yang dihasilkan dari dialog setiap waktu antara anak-orang tua di luar waktu sekolahnya.
Berdialog disini tidak harus berdiskusi di meja belajar khusus, tetapi yang penting adalah dapat menginformasikan makna dari setiap pikiran orang tua kepada si anak sehingga itu dapat dipahami dan dianggap sebagai kebenaran juga bagi si anak. Tentu saja itu dengan kerelaan.
Dialog yang paling bagus adalah jika disertai dengan contohnya. Misalnya, bagaimana pentingnya kita bersyukur kepada Tuhan dengan datang beribadah ke gereja, yaitu agar kita mendapat berkat kehidupan. Tentu ini dapat dilakukan jika keluarga tersebut pada hari-hari tertentu, misalnya hari minggu ke gereja bersama-sama. Jika itu tidak dilakukan, hanya ngomong doang, wah tentunya tidak akan berhasil.
Dialog lain yang penting adalah pentingnya belajar, mempersiapkan diri untuk hari tua. Itu diperlukan karena kalau hanya mengandalkan kekayaan orang tua yang berupa materi, itu akan dapat hilang dengan cepat jika dikerjakan dengan sembarangan. Untuk itu perlu hikmat kebijaksanaan, yang mana umumnya dapat mulai dicari jika kita belajar, baik di sekolah formal maupun informal.
Proses dialog dengan anak-anak dapat dengan mudah, ketika anak-anak aku ajak pergi bersama, baik ketika akan ke gereja , atau jalan jalan lainnya ke luar rumah (mal atau tempat hiburan lainnya). Dialog mula-mula diawali dengan menceritakan atau membahas suatu kasus yang terjadi, yang diketahui secara bersama-sama, lalu aku memberi pendapat dan argumentasinya. Tentu harus dibuat menarik, atau mengesankan. Jika si anak mulai bertanya, maka dialog secara nyata mulai terlihat.
Dialog juga bisa dimulai ketika anak mengajukan pertanyaan atau permintaan tertentu, kita minta pendapat atau argumentasinya, mengapa dia perlu itu. Jika logis dan dapat diterima maka dapat dilanjutnya (diberi apa yang diminta), tetapi jika kita tidak bisa meluluskan permintaannya kita beri pengertian, atau argumentasi yang mendasarinya. Jika ternyata hal itu dapat dipahami dan diterima oleh si anak, secara tidak langsung disitulah terjadinya dialog. Jika ternyata si anak karena tidak diberi, mengamuk, atau protes atau apa saja, dan karena kita tidak mau repot lalu memberi maka itu berarti dialog kita gagal. Tidak ngamukpun, tetapi si anak nggerundel, berarti dialog belum berhasil.
Jangan kasih afirmasi bahwa anak-anak itu masih anak-anak, jika anda berhasil melakukan dialog, anak itu kadang-kadang memberi tanggapan yang lebih dewasa lho. Intinya, kalau kita memberi secara tulus dengan maksud bahwa itu semua adalah bagi kebaikan si anak itu sendiri. Juga kalau kita tidak memberi adalah juga bagi kebaikan kita bersama, maka setahu saya, anak juga bisa memahami koq. Terus terang itu didasarkan pada latar belakang pengalaman dengan anak-anakku, juga ketika aku kecil dulu dengan kedua orang tuaku. Tentu saja, itu semua dapat terjadi karena telah dimulai dari adanya dialog antara orang tua dengan anak, sejak kecil dulu.
Yah, saya kira setiap orang tua punya cara untuk mengembangkan dialog kepada anak-anaknya. Ingat yang diberikan sekolah hanya ilmu dan pengetahuan, mungkin dari bacaan yang mereka lihat didapat pula pemahaman di luar hal tersebut. Pelajaran agama kadang-kadang dapat memberikan suatu hikmat, tetapi dalam prakteknya agama hanya ditanggapi sebatas pengetahuan saja dan tidak dapat dimengerti mengapa harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja nash-nash di atas yang aku kutip tersebut, adakah itu berdampak pada kehidupan anda secara nyata.
Ping-balik: Tweets that mention dialog dengan anak | The works of Wiryanto Dewobroto -- Topsy.com
Siip!
SukaSuka
dear Sir…
tulisan dari pengalaman yang luar biasa.
mudah2an dapat menjadi inspirasi positif buat banyak orang yang membacanya.
GBU n your family
SukaSuka