Blog memang istimewa dibanding website biasa, apalagi jika digunakan untuk melontarkan ide. Kenapa ? Karena dari blog tersebut dapat dibaca juga komentar-komentar tanggapannya. Kadang-kadang membaca komentar yang diberikan, pembaca bahkan dapat belajar banyak dengan cara membanding-bandingkan argumentasi yang disampaikan, yang pada akhirnya dapat diperoleh suatu kesimpulan baru yang lebih menyakinkan.
Ide-ide yang dilontarkan pada blog kadang-kadang bisa lebih berbobot dan detail dibanding hanya mendengarkan ide-ide yang disampaikan pada suatu konferensi. Bagaimana tidak, penulisan pada blog tidak dibatasi halaman dan waktu, bisa juga ditampilkan literatur-literatur pendukung, baik berupa link ataupun file (*.ppt, *.doc, *.pdf, *.jpg, *.mp3 dan lain-lain). Jelas hal-hal ini tidak bisa diperoleh dari suatu konferensi. Kalaupun ada, paling-paling diberi CD. Memang sih, itu tergantung konferensi yang diikuti, karena bagaimanapun mengikuti konferensi ada untungnya juga, yaitu bertemu langsung dengan orangnya.
Jadi pada prinsipnya blog memang berguna untuk dijadikan salah satu sarana kita dalam mengembangkan wacana berpikir, yaitu dengan cara mendapatkan pengetahuan baru (membaca) atau diskusi (menuliskan ide / komentar di blog).
Membaca komentar-komentar yang disampaikan pembaca blog ini menarik. Ada yang memberi komentar bernada pujian, tetapi ternyata tidak ada kaitannya dengan materi yang ditulis. Jadi si pemberi komentar sebenarnya tidak tahu content blog tersebut, hanya menulis sekedar agar blog-nya tercatat dan dikunjungi. Ingin populer. Juga banyak yang mendukung ideku, bahkan memberikan argumentasi tambahan yang kadang aku tidak memikirkannya. Ada juga yang menolak ide yang kusampaikan, untuk itu sebenarnya juga tidak masalah apalagi jika dianya memberi argumentasi, mengapa dia menolak. Komentar-komentar tersebut penting sebagai pembanding kepada pembaca yang lain, yang kadang-kadang komentar yang tidak setujupun dapat dijadikan petunjuk bahwa ide yang aku sampaikan terlihat lebih kuat argumentasinya.
Dari berbagai komentar, ternyata ada juga komentar yang menarik untuk menjadi bahan pemikiran, kalaupun ditanggapi tidak cukup hanya satu dua patah kata juga kalimat bahkan perlu ditulis tersendiri agar tuntas. Tulisan yang seperti itu salah satunya yang aku temui adalah komentar sdr. Made Pande di sini, adapun komentar lengkapnya adalah sbb:
Made Pande | 20 Desember 2010 pukul 12:55 |
Kemerosotan bangsa Indonesia adalah terutama disebabkan karena faktor “pendidikan” yang tidak tepat.
Makna pendidikan di sini harus dibedakan dengan makna pengajaran. Pendidikan adalah menyangkut pembinaan secara akhlak (budi pekerti) dan ilmu pengetahuan. Pendidikan memerlukan panutan, tidak hanya penyampaian ajaran, yang hilang di negeri ini adalah pendidikan budi pekertinya. Karena pendidikan budi pekerti ini hilang, maka wajar saja jika hasil keluaran dari pendidikan di Indonesia banyak yang tidak memiliki kualitas kemanusiaan/akhlak dan kepedulian sosial yg tinggi, sehingga mereka selalu berorientasi pada pemenuhan ego pribadi maupun golongan.
Kita harus membedakan bahwa iman tidak sama dengan akhlak. Orang beriman belum tentu berakhlak dan orang berakhlak belum tentu beriman. Bangsa Indonesia mayoritas adalah bangsa beriman, tapi jika melihat dari kondisi sosial kemasyarakatan maupun tingkah pemimpin2-nya ternyata rata2 bangsa Indonesia tidak memiliki kualitas akhlak yg bagus. maka dari itu sudah seharusnya pendidikan budi pekerti diajarkan sejak dini. bukannya malah dicecoki dengan ajaran agama yang cenderung konservatif.
Ajaran agama sepantasnya diberikan pada pelajar yang telah dewasa (tingkat SMA ke atas). Pada usia tersebut diharapkan seseorang dapat menentukan pilihan agamanya berdasarkan pondasi pendidikan budi pekerti, sehingga mampu memilah dan memilih mana ajaran yg paling bermanfaat bagi kehidupannya (bukan mana yg benar dan salah, karena tidak ada satupun manusia yg bisa membuktikan keberadaan Tuhan secara “objektif”.
Kesan yang aku dapat pada komentar sdr. Made Pande di atas adalah serius. Beberapa argumentasi yang disampaikan memang benar aku amini, tetapi ada yang prinsip yang tidak sesuai denganku, khususnya menyangkut pernyataan “iman” dan “agama”. Masalah ini memang krusial, dan banyak bukti yang dapat disampaikan bahwa hanya karena dua hal tersebut maka banyak nyawa yang melayang dalam berabad-abad ini. Itu sisi jeleknya, sedangkan di sisi lain, banyak jiwa-jiwa juga terselamatkan oleh kedua hal tersebut. Yah, seperti pisau juga, sangat penting, tetapi jika tidak bisa memakainya maka bisa celaka sendiri.
Oleh karena itulah, menurutku, pendapat sdr. Made Pande di atas tentang iman dan agama jika tidak dipikir oleh orang yang matang, dan sekedar ditelan mentah-mentah maka jelas itu juga bisa melukai diri sendiri atau bahkan orang lainnnya. Oleh karena itulah rasanya aku perlu menanggapi secara serius pula.
Jika berbicara menyangkut agama, mau tidak mau pasti menyangkut pengalaman subyektif penulisnya, bagaimana tidak karena itu menyangkut keyakinan pribadi, yang mungkin bisa berbeda dengan yang lain. Oleh karena itulah saya minta maaf jika dalam penjelasanku nanti aku juga lebih banyak berpendapat subyektif berdasarkan keyakinan yang aku punya, yaitu kristiani.
Sdr. Made Pande berpendapat bahwa “Iman tidak sama dengan akhlak“.
Saya yakin pasti banyak ingin menyanggahnya, karena ini jelas berbeda dari mainstream yang ada selama ini, karena dipahami bahwa iman adalah bagian dari agama, dan di ajaran agama itu pula diyakin secara umum banyak nilai-nilai luhur manusia didalamnya, termasuk akhlak tersebut. Dari situ saja sudah dapat diperoleh argumentasi bahwa pernyataan sdr. Made adalah tidak sesuai (salah). Meskipun demikian aku mencoba menelaah latar belakang cara berpikirnya sehingga mengapa pernyataan itu sampai ada.
Begini, di Indonesia dapat dinyatakan bahwa penduduknya tidak ada yang tidak beragama, atau beragama semua. Betul tidak. Sedangkan di negara lain, Taiwan katakanlah, karena saya baru dari sana (2010), dapat dikatakan bahwa manusianya bisa bicara bahwa mereka bisa tidak mempunyai keyakinan tertentu, meskipun mereka juga menghormati keyakinan orang lain. Jadi di Taiwan dapat dikatakan bahwa tidak semuanya beragama. Juga di Jerman dapat dikatakan juga bahwa tidak semuanya beragama. Dengan cara berpikir yang mengikuti main-stream yaitu bahwa beragama identik dengan berakhlak mulia, maka tentunya akan timbul pertanyaan mengapa di Jakarta atau di Solo tahun 1998 dapat terjadi penjarahan massal. Juga terjadi pengeboman bunuh diri, di Jakarta, Denpasar, dengan korban manusia-manusia tidak berdosa. Itu khan jelas tindakan-tindakan yang tidak berakhlak. Benar tidak, padahal di Taiwan atau Jerman yang dianggap tidak semua penduduknya beragama, tidak pernah terdengar berita-berita seperti itu. Adanya argumentasinya seperti maka pendapat sdr. Made Pande di atas tidak bisa disalahkan bukan . Gimana hayo.
Semua penduduk di Indonesia secara mayoritas adalah beragama, semuanya terlihat menunaikan ibadahnya masing-masing dengan rajin, tetapi mengapa masih saja dijumpai korupsi, yang merugikan masyarakat lainnya, juga ditemui trafficking manusia dengan alasan untuk mendapatkan pekerjaan bagus, padahal ada yang dijadikan pekerja seks komersil atau pekerja anak-anak yang dibayar murah. Mengapa, apakah agama yang dipunyai manusia-manusia Indonesia tidak dapat mengajarkan bahwa hal-hal itu tidak baik, tidak berahklak.
Saya yakin hal-hal seperti itu salah satu yang mendasari mengapa sdr. Made Pande berpendapat seperti di atas, yaitu “iman” tidak ada hubungannya dengan “ahklak”. Bahkan sebagai solusinya menawarkan pendidikan “budi pekerti” sebagai ganti “iman” atau “agama”. Betul khan pak Made ?
Aneh pak Wir ini, jadi kalau begitu bapak setuju ?
Eh, saya khan baru menelaah latar belakang pak Made dalam menyatakan pendapatnya itu. Itu penting agar kita bisa berpikir secara luas, secara filosofi.
Pada prinsipnya saya akan mengatakan bahwa argumentasi-argumentasi di atas tentang manusia Indonesia itu memang benar, banyak fakta yang dapat diungkapkan. Bahwa pada manusia Indonesia yang mayoritas beragama semua itu juga masih dijumpai banyak melakukan tindakan-tindakan yang tidak berahklak tersebut. Meskipun demikian saya juga ingin menyampaikan bahwa itu semua tidak dapat digunakan sebagai alasan atau argumentasi bahwa “beriman” atau “beragama” tidak sama dengan “berakhlak”. Mengapa demikian, karena yang kita bisa lihat itu semua adalah hanya “orang yang beragama”.
“Orang yang beragama” dapat dengan mudah kita lihat secara inderawi, misalnya dari omongannya yang selalu mengutip ayat-ayat agama tertentu, dari cara berpakaiannya, dari KTP-nya, dari kerajinannya pergi ketempat ibadah, pokoknya dari penampakan fisik luarnya begitu. Sedangkan orang beriman rasa-rasanya nggak gampang untuk mengetahuinya, jadi iman disini jangan diartikan bahwa dianya bisa dengan lancarnya menyatakan imannya dengan mulut, bukan itu yang saya maksud. Karena kalau itu menurutkan masih dalam golongan orang beragama saja. Iman yang aku maksud disini adalah pengakuan akan sesuatu yang tinggi, yang melampaui segala-galanya, sehingga karena itu dianya berusaha untuk menjalankan petunjuk-petunjuk yang diberikan kepada orang itu.
Lho “orang-orang beragama” khan juga demikian pak, bukankah kalau dia berdoa seperti yang dijalankan sekarang ini khan juga karena mengikuti petunjukknya.
Yah betul. Kamu tidak salah. Memang betul, oleh karena itu memang susah membedakan antara tampilan luar dan tampilan dalam. Maklum, manusia itu khan kompleks sampai-sampai ada peribahasa yang berbunyi “Dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu“. Iya khan, itu semua khan menunjukkan betapa tak terduganya pikiran seseorang.
Jadi bagaimana dong pak.
Begini, pada dasarnya saya masih meyakini bahwa semua perbuatan manusia dimulai dari pemikirannya. Oleh karena itu kalau ada orang sakit jiwa berbuat kejahatan maka dia ditangkap bukan untuk diadili tetapi dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Pikiran merupakan permulaan segala pekerjaan dan pertimbangan mesti mendahului setiap perbuatan. Akar rencana ialah hati. Sebagai tanda perubahan hati muncullah keempat bagian ini: baik dan jahat, hidup dan mati, tetapi semuanya dikuasai lidah. [Sirakh 37 : 16 – 18]
Dalam hal ini, di dalam agama banyak terkandung ajaran-ajaran yang mempengaruhi pikiran seseorang tersebut. Tetapi faktanya, memahami ajaran-ajaran yang benar dari agama itu juga tidak sederhana, diperlukan hikmat. Jadi bisa saja orang yang beragama tadi menjalankan ajaran agamanya, tanpa hikmat, seperti apa yang tertulis fisik pada kitabnya itu, padahal ternyata isinya bisa saja saling bertentangan dengan isi yang lain dari kitabnya itu. Sehingga ketika menjalankan ajaran tadi, kemudian bersinggungan dengan orang lain, bisa saja itu menimbulkan ketakutan atau kesengsaraan orang yang lain. Apakah itu berarti bahwa ajaran yang dijalankannya sudah benar.
Lho khan orang tersebut sekedar menjalankan apa-apa yang dinyatakan pada ayat-ayat kitab sucinya pak.
Itulah ! Kalimat argumentasi seperti itula yang menyebabkan mengapa timbul pendapat bahwa “akhlak” tidak sama dengan “iman”. Menurut saya, akhlak adalah bagian dari iman. Akhlak berkaitan dengan tindakan kita yang dapat dinilai oleh orang orang lain, di luar diri kita. Jadi menurut saya, tindakan atas nama Tuhan tetapi menindas orang lain itu juga termasuk tidak berakhlak.
Wah hati-hatil pak, pernyataan Bapak berbahaya !
Yah bisa juga, karena bagaimanapun juga ada-ada saja orang yang mampu menggunakan ayat-ayat dalam kitab suci Tuhan yang digunakan sebagai dasar argumentasi dan melegalisir tindakannya. Bahwa apa yang dikerjakan itu adalah menurut ajaran surga, meskipun itu membuat orang lain takut atau bahkan menimbulkan kesengsaraan (kematian). Pada suatu kasus tertentu, memang kematian adalah bukan sesuatu yang ditakuti dalam kaca mata agama. Tetapi masalahnya, kadang-kadang mereka melakukannya secara berlebihan, seakan-akan mereka adalah yang paling suci, sedangkan orang lain penuh dosa sehingga perlu dimusnahkan.
Kita kembali ke pernyataan sdr. Made Pande, tentang iman dan akhlak. Seperti dijelaskan tadi saya ingin menegaskan lagi bahwa akhlak adalah bagian dari iman. Di dalam ajaran agama kristiani, itu dijelaskan, baik di kitab perjanjian lama maupun baru. Bahkan Yesus dengan tegas menyatakan :
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. . . .” [Matius 7:12]
Coba perhatikan nats di atas, itu baru salah satu yang dapat digunakan sebagai dasar hukum dari akhlak yang ingin kita terapkan. Banyak yang lain, yang merupakan materi dasar dari budi pekerti, seperti misalnya :
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu . . . . Jangan membunuh. Jangan berzinah, Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu. [Keluaran 20: 12-17]
Ulurkanlah tanganmu kepada orang miskin, agar berkatmu sempurna adanya. Hendaklah kemurahan hatimu meliputi semua orang yang hidup, tapi orang matipun jangan kaukecualikan pula dari kerelaanmu. Jangan menjauhi orang yang menangis, dan hendaklah berduka cita dengan yang berduka-cita. Jangan segan menengok orang sakit, sebab karenanya engkau akan dikasihi. Dalam segala urusanmu ingatlah akan akhir hidupmu, maka tak pernah engkau akan berdosa. [ Sirakh 7 : 32-36]
Itu khan jelas-jelas materi yang diperlukan untuk pembelajaran budi pekerti. Bahkan jika mau dicermati maka ajaran-ajaran akhlak yang terkandung pada kitab suci (dalam hal ini adalah Alkitab sesuai agamaku) akan lebih banyak dibanding dari materi budi pekerti tertulis yang ada. Coba sebutkan, materi tertulis budi pekerti yang ada, aku ingin membandingkannya. Kenapa, kitab suci itu telah menjadi sumber-sumber dari nilai luhur manusia selama ini. Hanya memang dalam perjalanannya, manusia menjalankan ajaran agama hanya untuk kepentingan egonya sendiri. Ingat nats berikut:
“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu dihadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu di sorga. [Matius 6:1]
Itulah yang kelihatan terjadi saat ini, bangsa kita ini khan mudah ditipu oleh pernak-pernik yang memperlihatkan seseorang bisa dianggap religius, bisa disebut orang beragama. Itu yang sebenarnya yang terjadi, agama digunakan sebagai kedok yang bagi seseorang tertentu bahkan bisa seperti “serigala berbulu domba”. Siapa yang akan menyangkanya, dikiranya orang saleh, padahal ketika ketahuan, kayak gitu deh.
Adapun ajaran agamanya sendiri sebenarnya luar biasa, jika kita bisa mengambil hikmatnya secara benar. Oleh karena itu saya tidak setuju sekali jika pengetahuan tentang agama baru diberikan setelah dewasa. Memperkenalkan agama sejak dini kepada anak-anak kita adalah sangat penting, agar mereka tahu apa yang disebut kasih, suka-cita, ketabahan, pengorbanan, kesetiaan dan suka-cita serta yang lain sebagainya.
Itulah alasan utama mengapa pada hal-hal tertentu aku tidak setuju dengan pendapat Made Pande di atas. Semoga berguna.
WAAHHH… Kaget saya, Pak… 🙂 Komentar saya sampai dibuat artikel khusus untuk membahasnya.. he2.. tapi saya juga senang, Pak, berarti komentar saya lumayan menyentil pikiran.. 🙂
Oke Pak, saya akan membuat tanggapannya setelah pulang kerja ya… Terima kasih banyak, Pak Wir.. 🙂
SukaSuka
Artikel yang sangat menarik
SukaSuka
korupsi, terorisme, maling, garong tidak akan bisa terjadi kalau tidak ada kesempatan, celah dimana seseorang akan merubah pikirannya, perilakunya. yang sebetulnya idealis menjadi pola pikir yang berbeda.(karena pada dasarnya manusia ingin hidup tenang dalam perdamaian).
himpitan ekonomi (atau kemiskinan) misalnya dapat menjadikan seseorang menjadi garong. juga seorang pejabat dapat korupsi karena adanya celah kesempatan ini dengan memanfaatkan kekuasaannya.
Pertanyaannya :
Mengapa Yang Maha Esa yang kita yakini sebagai kekuatan yang lebih dari kita memberikan kesempatan ini ???
Jawaban menurut saya ialah “hal itu adalah sebagai ujian” yang menyeleksi kita menjadi pribadi-pribadi yang memang pantas untuk dimuliakanNya. dengan kita berpikir secara konsisten, dengan mengatakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah, tanpa merubah pola pikir ideal itu. saya rasa tidak akan ada lagi perilaku menyimpang seperti diatas.
Sebuah gambaran tentang konsistensi :
“Seorang mahasiswa ketika kuliah sangat aktif ikut serta dalam setiap aksi demo menentang korupsi. akan tetapi menjelang kelulusannya dia disibukkan dan disusahkan dengan Tugas Akhir yang tidak kunjung2 selesai (belum lagi dipersulit oleh dosennya yang super sibuk). walhasil ketika lulus wisuda, dengan perjuangan dan pengorbanannya yang sangat besar.diapun menjadi sarjana dan melamar pekerjaan, akan tetapi untuk mendapatkan pekerjaan ternyata tidaklah mudah. perlu usaha.
kelelahan dan kebosanan pun menderanya setelah seribu lowongan pekerjaan dicobanya tetapi tidak berhasil. maka dalam keputus-asaannya itu, akhirnya dia memutuskan untuk memberikan pelicin terhadap keinginannya menjadi seorang “pegawai negeri misalnya”.dan tidak disangkanya hal itu berhasil baik dengan sempurna.maka jadilah ia seorang pegawai negeri dengan segudang rincian yang singkatnya harus segera balik modal. ketika ada kesempatannya untuk balik modal secara aman maka tidak pikir panjang lagi dia langsung ambil posisi. karena dia merasa rugi karena pilihannya tadi.”
Singkatnya karena tuntutan hidupnya, seseorang merasa perlu menyesuaikan diri walaupun dengan mengorbankan nilai-nilai idealisme yang selama ini dijunjungnya. maka disinilah menurut saya konsistensi diperlukan.
Itu menurut saya Pak Wir… Mohon koreksinya…
SukaSuka
pak Ghomari,
Kelihatannya betul juga, tetapi kadang-kadang kesempatan itu bisa dibuat lho, apalagi kalau ada kesepakatan dan mufakat. Kasus korupsi di jaman sekarang ini khan cenderung tidak dimakan sendiri, tapi dibagi-bagi. Semua dapat bagian, begitu katanya. Sedangkan yang dapat bagian, boro-boro ingat jika itu hasil korupsi, yang ada dibenaknya khan hanya Alhamdulillah, dapet rejeki nih ye.
Maklumlah di jaman sekarang ini, meraih kekuasaan atau jabatan khan tujuannya untuk mendapatkan materi lebih. Jadi kalau waktu kampanye dulu menghabiskan bermilyar-milyar rupiah, maka ketika diperoleh itu kekuasaan khan harus kembali modal. Jadi intinya, meskipun bagi-bagi ke semua, tetapi khan harus untung. Oleh karena itu kalau korupsi jangan tanggung-tanggung. Itu akan lebih aman daripada jadi maling ayam, bisa-bisa mati babak belur. 🙂
SukaSuka
Akhir kata, manusia tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan.
“katanya sih begitu, tapi terlalu sering berbuat kesalahan gimana donk?”
SukaSuka
Yah, biasanya akan mengaku salah, bila tertangkap basah. Jika tidak, tentu bisa ngeles macem-macem. Maklum, negara demokrasi khan.
SukaSuka
Wah,”ada kesepakatan” setuju banget tuh pak Wir… 🙂
Saya ada uneg2 nih pak, untuk mengatasi tindakan korupsi dan pola pikir seperti yang pak Wir bilang :
gimana tanggapan pak Wir kalau tujuan memperoleh kekuasaan itu yang kita batasi. misalkan gaji pejabat itu kita samakan dengan gaji guru yang bisa disesuaikan / dinaikkan dengan “sertifikasi” pejabat. sesuai dengan prestasi yang mereka peroleh selama masa jabatannya.
kalau gak ada prestasi, gak ada tambahan gaji.
sekedar uneg2 pak…
SukaSuka
Wah… Sudah hampir satu tahun yang lalu saya tidak menjawab ya.. 🙂
Pas sekarang mau jawab, ternyata situasinya sama seperti dulu pas pertama kali mau jawab.. (dekat hari Natal).
Maaf baru sempat Pak Wir, harap dimaklumi. Ingin menjawab, tapi gak bisa hanya sedikit kalimat…, kalo mau nulis panjang2.., mood nya lama2 hilang.. berulang kali seperti itu.. <:-)
Tapi kebetulan saja beberapa saat yang lalu saya menemukan blog yang sangat pas dan tepat sebagai jawabannya.. sehingga saya tidak perlu menjawab dengan panjang lebar.. 🙂
mengenai jawabannya, silahkan bapak kunjungi website berikut: http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama.html
Blog yang sangat bagus untuk mengetahui perihal tentang kebudayaan Jepang yg masyarakatnya bisa dikatakan "tidak beragama" (berdasarkan isi blog tersebut).
Selebihnya saya hanya ingin menekankan tentang apa yang pernah saya ungkapkan dan disalahpahami oleh bapak:
"Iman tidak sama dengan akhlak"
Ungkapan di atas bukan berarti "orang beriman pasti tidak berakhlak". Ungkapan tersebut bermakna: akhlak tidak mutlak hanya berasal dari faktor keimanan saja. Kenapa saya menekankan hal ini? Karena masyarakat kita itu banyak yang menyangka orang2 yang tidak beragama adalah orang yang "tidak benar". Banyak yang menyangka agama adalah satu2nya sumber moral/akhlak sehingga menganggap rendah orang yang tidak beragama (menganggapnya sebagai orang tersesat yang tidak memiliki nilai2 luhur dalam hidupnya). Lihat saja ketika orang2 beragama (terutama di indonesia) mendengar kata ateis… whusss.. langsung pikiran negatif yang berkelebat di pikiran mereka.. <:-) padahal jika kita mau membuka pikiran kita dengan lebar, ternyata di luar sana, orang tidak beragama tidak kalah dengan orang yang mengaku beragama. Malah bisa dikatakan orang ateis banyak yang memberikan contoh perilaku yang lebih baik. Orang ateis berbuat kebaikan bukan karena berharap imbalan surga atau takut siksaan neraka, tapi didasari oleh rasa kemanusiaan itu sendiri. Ada perbedaan motivasi. Walaupun tentu saja pasti ada orang beragama yg mampu berpikir "out the box" yaitu berbuat baik karena memang berasal kesadaran hati nuraninya.
Agama saya pikir sama seperti sistem pendidikan. Ada yg metodenya dengan cara memberi imbalan dan ancaman, ada yang metodenya dengan memberi pemahaman atas bagaimana hukum alam berjalan secara adil. Terlebih dari semua itu, tujuannya tetap sama.
Terima kasih dan Selamat Natal..
SukaSuka